Menjadi Orang Indonesia Dengan Level “World
Class People”
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMA Negeri 3 Batusangkar
Dalam
zaman sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang didukung oleh
perkembangan tekhnologi informasi komunikasi maka orang mulai berfikir
bagaimana mendorong pertumbuhan institusi mereka, yang semua berada pada
kualitas level kecamatan, kabupaten, propinsi hingga menjadi kualitas nasional.
Dan sekarang berlomba untuk menempati kualitas level dunia. Untuk lembaga
perguruan tinggi kita mendengar istilah world class university- universitas
kelas dunia, yang lain adalah world class school, world class business, dll.
Untuk perusahaan juga
cukup banyak yang sudah menjadi “world class company”, seperti Boeing, Toyota, Exxon,
Samsung, IBM, General Electric. Ini adalah segelintir daftar perusahaan –
perusahaan kelas dunia yang selama ini acap menjadi acuan dalam memahat best
management practices. Apa factor yang membuat perusahaan-perusaan ini bisa
menjadi perusahaan kelas dunia ? Ya tentu saja karena perusahaan ini memiliki
orang-orang hebat yang selalu berbuat untuk membuat kualitas perusaan tersebut
menjadi kelas dunia
Selanjutnya kenapa
orang-orang itu menjadi kategori great people ? Ya tentu saja karena kinerja
mereka dikelola dengan sistematis dan efektif. Penuh dengan perencanaan yang
matang. Sarat dengan perhitungan yang seksama. Toh demikian, meski semua
perusahaan kelas dunia berangkat dari latar industri yang berbeda, ada satu hal
yang menyamakan mereka : ketika melakukan pengukuran kinerja SDM, mereka fokus
pada dua elemen kunci, yakni elemen kinerja (performance results) dan elemen
perilaku/sikap kerja/budaya kerja.
Untuk ukuran personal
atau orang, maka para kepala negara
seperti Joko Widodo, Barrack Obama. Orang-orang yang berkualitas tinggilah yang
bisa melangkah maju menuju manusia kualitas dunia. Sebetulnya seseorang yang
kualitasnya berkaliber nasional dan internasional, saat terlahir ke dunia
persis sama kondisinya dengan orang yang berkualitas biasa-biasa saja. Kenapa
kemudian mereka bisa berbeda, salah satunya karena mereka berbeda dalam
memanfaatkan waktu.
Ya betul bahwa ketika
terlahir ke dunia, manusia datang tanpa membawa bekal apapun. Namun semua
manusia diberikan modal yang sama yaitu waktu. Allah Swt juga mengingatkan umat
manusia dalam hal waktu, Allah bersumpah dengan waktu, seperti yang dapat kit
abaca pada al-Quran (surat 103:1-3):
“Demi masa (waktu).
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Jadi seberuntung-beruntung
manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya untuk berbuat kebaikan
dan juga saling berbagi nasehat. Secelaka-celakanya manusia adalah mereka yang
menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat keburukan dan bagi yang suka berbuat
keburukan dan pelanggaran di dunia.
Ada apa dengan “waktu”?
Bahwa Bill Gate, Presiden Jokowi, Zainuddin MZ (alm), Najwa Shihab, seorang
Satpan hingga seorang tukang jual bubur sama-sama mempunyai waktu 24 jam dalam
1 hari. Dan kuantitas di dalam waktu ini tidak bisa ditawar dan tidak bisa
dilebihkan. Sehingga ada yang sukses sebagai enterpreneur, ada yang suksesnya
jadi presiden, ada yang jadi Da’i kondang, Presenter TV, hingga menjadi seorang
Satpam dan tukang jual bubur. Mereka semua sukses dan semua dibutuhkan. Lantas
bagaimana dengan nasib para pengangguran dan pengemis ?
Apakah waktu di dalam
hidup mereka berbeda? Ya tentu saja sama! Pengemis dan pengangguran juga hidup
24 jam sehari. Tapi mengapa nasib mereka begitu berbeda. Back to the
original statement kitab suci Al-Quran yang mengupas tentang waktu atau masa :
Seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya
dengan baik untuk berbuat kebaikan.
Manusia yang mampu
menjadi manusia kelas dunia tentu saja lebih mampu berbuat dengat sangat prima.
Orang orang Indonesia juga cukup banyak yang menjadi orang kelas dunia. Amin
Rais, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan banyak lagi, juga
Salim Said, Syafii Ma’arif dan Azyumardi Azra adalah juga orang Indonesia kelas
dunia. Kita berharap akan banyak bermunculan manusia kelas dunia. Untuk itu
kita perlu bercermin dari perjalanan hidup Salim Said, Syafii Maarif dan
Azyumadi Azra menuju pentas dunia.
1) Salim Said,
lahir di Pare-pare,
Sulawesi Selatan. Salim Said
bisa dibilang sebagai kritikus perfilman di Indonesia, ketajamannya dalam
mengulas film membuat dirinya tidak disukai oleh para produser. Hingga akhirnya
dengan keahliannya tersebut, ia diangkat sebagai Kepala Urusan (desk) Film
& Luar Negri majalah Tempo. Jabatannya yang juga pernah sebagai ketua dewan
kesenian Jakarta telah menerbitkan beberapa buku seperti Profil Dunia Film
Indonesia, Pantulan Layar Perak, dan Dari Festival ke Festival.
Ia menempuh
pendidikannya pada SMA, ATNI (1964-1965), Fakultas Psikologi, Fakultas Sosial
& Politik UI Jakarta. Lulus doktor ilmu politik di Ohio State University
(Amerika) ini semula dikenal sebagai wartawan/penulis. Ketajaman penanya dalam
mengulas film (Indonesia) menyebabkan dia kurang disukai produser-produser.
Hingga awal 1980-an ia menjadi Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negeri
majalah Tempo. Tetap bergiat di bidang film, meski ia juga dikenal sebagai
pengamat politik dan militer. Anggota
Dewan Film Nasional selama 2 periode
1989-1995, disamping sebagai Ketua Bidang Luar Negeri Pantap FFI (1988-1992).
Pada 1990 dipilih sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan terpilih lagi pada
1993. Sebelum itu menerbitkan pula buku kumpulan tulisan Profil Dunia Film
Indonesia (1989), Pantulan Layar Perak (The Shadow on the Silver Screen) dan
Dari Festival ke Festival.
2) Ahmad Syafii Ma'arif
lahir di Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia bersaudara dengan 15 orang yang
seayah namun tidak seibu. Sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya
meninggal hingga ia kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang
bernama Bainah. Tahun 1942, ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus dan
kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tengah, Lintau. Saat ia
berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta.
Di sana ia ingin meneruskan sekolahnya ke Madrasah Mualimin di kota itu. Namun
keinginan tersebut tidak terwujud dengan alasan bahwa kelas sudah penuh.
Malahan ia direkrut menjadi guru pengajar di sekolah itu.
Setelah ayahnya
meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli
1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah
biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok
memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.
Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus
Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan
sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah
di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi
kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan
ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh
gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya
untuk tingkat doktoral
pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat
pada tahun 1968.Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk
melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum
diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun
bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya,
kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif -
cite_note-FOOTNOTEMaarif2009111.E2.80.93140-8 Selain itu, ia
juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan
anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Selanjutnya bekas
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus
meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di
Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh
dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan
disertasi : Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic
Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago
inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan
pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu
pemikiran Islam,
Fazlur Rahman.
Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish
Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan
doktornya.Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad
Syafi'i Maarif, yang berjudul “Si Anak Kampung”. Novel ini telah difilmkan dan
meraih penghargaan pada America
International Film Festival (AIFF).
Setelah meninggalkan
posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas
Maarif Institute. Di samping itu, guru besar
IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam
sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan
dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan
pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain
berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?,
kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam
dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya,
pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
3). Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA, CBE (lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera
Barat, 4 Maret 1955; umur 60 tahun adalah akademisi
Muslim asal Indonesia.[butuh rujukan]
Ia juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Azyumardi terpilih sebagai
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006. Pada
tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire,
sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan
Inggris. Dengan gelar ini, maka Azyumardi adalah orang pertama di
luar warga negara anggota Persemakmuran yang boleh mengenakan Sir
di depan namanya.
Azyumardi memulai
karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN
Jakarta pada tahun 1982, kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan
gelar Master of Art (MA) pada Departemen
Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia
memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus
yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh
gelar MA pada 1989.
Pada 1992, ia memeroleh
gelar Master of Philosophy
(MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi
berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of
Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan
di Canberra
(Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda
(KITLV Press).
Kembali ke Jakarta,
pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia
Islamika, sebuah jurnal
Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast
Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford
University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony
College.
Azyumardi pernah pula
menjadi profesor tamu pada University of
Philippines, Philipina dan University Malaya,
Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection
Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang
diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun
1997-1999.
Sejak Desember 2006
menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebelumnya
sejak tahun 1998 hingga akhir 2006 Azyumardi Azra adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ia pernah menjadi
Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen Fakultas Adab dan Fakultas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar
Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara
pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne,
Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International
Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009). Ia juga masih menjadi
salah satu anggota Teman Serikat Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan.
Azyumardi Azra dikenal
sebagai Profesor
yang ahli sejarah, sosial dan intelektual Islam. Ketika menjadi Rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, ia melakukan terobosan besar terhadap institusi pendidikan
tersebut. Pada Mei 2002 IAIN tersebut berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Hal ini merupakan kelanjutan ide Rektor terdahulu Prof.Dr.
Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang
berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran. https://id.wikipedia.org/wiki/Azyumardi_Azra - cite_note-az-1