Tahun terakhir SMA (saat-saat akan masuk kuliah S1) adalah waktu yang sibuk dan cukup menekan untuk saya. Di samping harus mempersiapkan Ujian Nasional dari Pemerintah, Ujian Sekolah – baik dengan belajar di rumah, di sekolah serta di bimbingan belajar yang rasanya tidak selesai-selesai (setiap hari saya bisa les 2-3 mata pelajaran berturut-turut) – saya juga harus memilih jurusan dan universitas. Rasanya bisa lulus SMA saja sudah merupakan suatu prestasi luar biasa dan cukup membuat deg-degan apakah saya bisa lulus atau tidak.
Betapa tidak, saat itu saya termasuk di daftar siswa yang pernah dipanggil kepala sekolah karena nilai Fisika dan Kimia saya yang kurang memuaskan dan karena saya ada di jurusan IPA, ini merupakan suatu hal yang penting. Untungnya setelah bergulat dengan soal-soal IPA yang rasanya tidak ada habisnya, saya lulus SMA dengan nilai cukup memuaskan. Merdeka!
Nah, saya tentu saja harus memilih jurusan sebelum lulus karena saat itu (dan saya yakin saat-saat sekarang trennya juga begitu) para institusi pendidikan tinggi sudah berlomba-lomba membuka pendaftaran lebih awal, bahkan dengan diskon early bird, di mana kalau kita mendaftar lebih awal, kita dapat potongan harga.
Memilih Jurusan dan Universitas
Pertanyaan paling penting: apa yang ingin saya pelajari? Apa jurusan yang mau saya geluti selama 3-4 tahun ke depan?
Saat SMP dan SMA, saya sudah bingung memikirkan hal ini, sudah tidak sabar ingin cepat-cepat kuliah, menjadi dewasa dan mandiri. Saya sering ikut tes minat dan bakat serta tes IQ walaupun kadang-kadang hasilnya (rasanya) kurang akurat karena salah satu jurusan yang dianjurkan adalah matematika (salah satu mata pelajaran momok).
Di dalam hati, saya menyimpan impian, saya sangat ingin menjadi seorang perancang busana sukses. Dari kecil, saya juga hobi menggambar dan membaca majalah-majalah wanita seperti Femina, Dewi, Elle, dan Vogue.
Saya sudah mencari informasi tentang program desain busana dan hampir mengikuti tes masuk untuk kuliah di sebuah institut di Singapura ketika orangtua menyatakan keberatan mereka. Mereka ingin saya kuliah di Indonesia. Alasannya, mereka mengganggap saya belum bisa dilepas sendiri. Mereka takut saya tidak betah dan minta pulang. Saat itu saya mendengar pendapat mereka dan menyetujuinya; saya memang merasa belum siap secara mental untuk tinggal sendiri di negara asing. Kedengarannya cengeng, tetapi persiapan mental memang merupakan sesuatu yang harus dimiliki seseorang untuk dapat sukses kuliah dan tinggal di luar negeri.
Pada saat itu, saya tidak menemukan program S1 di bidang desain busana di Indonesia yang kelihatannya cocok. Maka, saya memilih secara acak program S1 lain yang kelihatannya menarik dan tersedia di universitas yang saya mau. Saat itu merupakan saat-saat yang cukup kacau, satu keluarga saya berkumpul membantu saya memilih jurusan. Mereka menyarankan program Bahasa dan Sastra Inggris, alasannya karena saya selalu dapat nilai bagus di pelajaran Bahasa Inggris, jomplangjika dibandingkan dengan nilai di pelajaran MaFiA (Matematika, Fisika, Kimia). Saya juga hobi membaca novel dalam bahasa Inggris. Di brosur, pilihan karirnya juga cukup beragam: menjadi guru, penerjemah, dosen, sekretaris, entrepreneur, kerja di industri pariwisata, dll. Akhirnya saya memilih Sastra Inggris sebagai pilihan pertama karena berpikir mungkin bisa kerja di perusahaan apapun dengan jurusan fleksibel seperti Sastra Inggris ini. Selamat tinggal, MaFiA! Saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Saya cuma ingin kuliah dan dapat gelar S1.
Kuliah Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Sangat mengejutkan bagi saya ketika saya menjalani kuliah di program Bahasa dan Sastra Inggris ini. Saya sangat amat menikmatinya! Saya dapat dengan lancar berpartisipasi dalam semua diskusi kelas. Saya merasa menemukan dunia baru yang mengasyikkan dalam diskusi-diskusi kelas, khususnya dalam diskusi sastra. Ketika ada pembagian konsentrasi dalam jurusan ini (antara sastra, linguistik, dan pendidikan guru), tanpa ragu saya memilih sastra dengan satu tujuan: menjadi editor buku saat lulus nanti karena saya tahu sangat sedikit opsi karir untuk sastra. Naifnya, saya tidak punya cadangan karir lain. Saya cuma ingin menjadi editor buku fiksi, kalau bisa bahkan buku dalam bahasa Inggris, titik. Saya merasa jika saya sungguh-sungguh menginginkan sesuatu dan mau bekerja sekeras mungkin, peluang pasti muncul.
Pengalaman kuliah S1 ini sangat berkesan. Dari bukan siapa-siapa di SMA, saya menjadi lulusan terbaik dari fakultas saya dan berpengalaman menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan di jurusan saya, serta berpidato dalam upacara kelulusan universitas waktu itu. Saya sangat bersyukur atas lingkungan belajar yang suportif dan stimulatif, yang membuat rasa percaya diri saya yang lemah dapat meningkat.
Mencari Pekerjaan!
Saat sidang akhir selesai, saya tahu saat mencari pekerjaan tiba. Saya kurang berpengalaman saat itu, saya hanya pernah sekali kerja paruh waktu menjadi guru les Inggris saat semester terakhir. Kalau saya tahu sejak dulu, saya akan lebih aktif mencari kerja sambil kuliah untuk mempersiapkan karir lebih dini, sekaligus mencoba-coba pekerjaan di berbagai bidang. Perjuangan masih panjang setelah lulus S1. Sesungguhnya, perjuangan yang sebenarnya baru dimulai karena menurut pengalaman saya, jurusan di S1 tidak selalu berbanding lurus dengan karir.
Setelah menamatkan S1, di ijazah saya, yang tercetak adalah S.Pd (Sarjana Pendidikan) dan resume saya menunjukkan saya lulusan terbaik Fakultas Pendidikan walaupun saya tidak pernah mempelajari cara menjadi guru barang sedikitpun di kuliah (Sastra dan Bahasa Inggris berganti nama menjadi Pendidikan Bahasa Inggris). Alhasil, setiap kali saya melamar kerja menjadi guru bahasa Inggris, saya selalu dipanggil wawancara atau tes mengajar. Memang, IPK dan gelar yang bagus selalu membuka jalan ke tahap paling pertama.
Walaupun terlambat, saya menyadari situasi bursa kerja yang nyata. Profesi pendidik sedang amat dibutuhkan. Banyak anak masuk sekolah, sekolah-sekolah dibuka, bertebaran dan berkompetisi menarik murid di mana-mana. Sekolah nasional plus juga memberikan gaji yang lumayan besar untuk guru-guru. Guru juga merupakan suatu profesi yang cukup terhormat. Dibandingkan dengan industri penerbitan buku di Indonesia yang didominasi sebuah penerbit besar, industri pendidikan tentu saja menawarkan peluang kerja yang lebih banyak dan lebih baik.
Saya sangat mencintai buku dan dunianya, tetapi karena setelah beberapa bulan terkatung-katung melamar kerja dan selalu tidak berhasil melamar kerja di bidang penerbitan buku (entah karena lokasi yang jauh menurut saya, keberatan dari pihak penerbit, atau apapun itu), saya menyerah dan mau mencoba menjadi guru. Guru kan juga harus banyak membaca, saya pikir. Tiga bulan pertama dari program pelatihan guru di sebuah sekolah nasional plus, saya keluar. Tidak sanggup, rasanya ada beban mental dalam mengajar murid-murid SD, jika saya salah mengajar mereka menambah-mengurangi-mengali-membagi, bagaimana nasib mereka nanti saya pikir.
Sebuah kesempatan menjadi penerjemah datang dari kenalan saya. Saya ingat sekali, waktu itu sambil mengobrol, ia bertanya saya ingin jadi apa. Saya jawab menjadi penerjemah mungkin. Kebetulan, ia butuh seseorang untuk menerjemahkan sesuatu katanya. Saya langsung menyanggupi. Akhirnya sambil mencari kerja lain, saya menjadi penerjemah.
Pekerjaan Kedua
Bisa tebak pekerjaan kedua saya? Rupanya saya tidak kapok juga, saya kembali menjadi guru. Tetapi ini profesi guru yang berbeda, karena saya menjadi guru sastra Inggris untuk SMA! Saya mengambil peluang ini karena saya punya guru-guru sastra Inggris yang hebat saat kuliah. Saya sangat suka mereka karena mereka dapat menerangkan sastra dengan sangat mengasyikkan dan jelas. Mungkin ini akan lain, saya pikir. Pada akhirnya memang lain karena saya cukup menikmati mengajar sastra kepada murid-murid SMA. Banyak dari antara mereka kritis dan sudah memiliki fondasi bahasa Inggris yang baik. Mengajar juga jadi menantang untuk saya. Saya jadi belajar menjadi guru yang baik dan bagaimana berinteraksi dengan orang-orang dan kelas yang berbeda.
Sumber: http://indonesiamengglobal.com/2015/02/memilih-jurusan-dan-karir-yang-tepat-bagian-1/