Malpraktek Dalam Pendidikan
Indikasi “Malpraktek” kemungkinan banyak terjadi di
sekolah-sekolah. Selama ini kita tahu bahwa malpraktek hanya terjadi di rumah
sakit dan dilakukan oleh dokter yang kurang bertanggung jawab dan ilmu
kedokterannya masih mentah. Ternyata malpraktek juga terjadi dalam dunia
pendidikan, seperti di dalam kelas. Bentuk malpraketnya adalah seperti: Teacher
Talking Time, Kurang Terampil menjadi MC (Master Ceremony) Dalam
Kelas dan Kebiasaan Suka Memberi Label
(labelling) Pada Siswa
1. Teacher Talking Time
Malpraktek
atau kesalahan praktek pertama seorang guru adalah hanya mengisi proses
pembelajaran secara monoton dengan “Talking- atau ngomong melulu”. Ceramah
terlalu banyak. Pembelajaran hanya berjalan satu arah dari guru ke siswa.
Padahal, pembelajaran adalah proses transfer ilmu dua arah antara guru sebagai
pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi.
Guru
mengajar dan siswa belajar adalah dua proses atau jalan yang berbeda. Proses
pertama guru mengajar atau memberikan presentasi. Proses kedua siswa belajar
atau siswa beraktivitas. Ketika guru mengajar, belum tentu siswa ikut belajar.
Proses transfer pengetahuan ini akan berhasil apabila waktu terlama difokuskan
pada kondisi siswa beraktivitas, bukan pada kondisi guru mengajar.
Keberhasilan
pembelajaran akan lebih terwujud apabila proses transfer dilaksanakan dengan
suasana yang menyenangkan dan mengaktifkan siswa. Tidak melulu menyampaikan
dengan ceramah yang membosankan. Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, itu
sebabnya guru harus selalu berusaha menjadi pendengar yang baik ketimbang
“obral bualan” di kelas sepanjang waktu.
Guru
harus mengetahui bahwa modalitas belajar atau kecenderungan cara informasi
masuk dan disimpan kedalam memori otak melalui pengolahan indera oleh siswa
adalah berbeda-beda. Terdapat 3 macam modalitas, visual (citra penglihatan),
auditorial (pendengaran), dan kinestetik (gerak, aktivitas tubuh). Untuk
memaksimalkan ingatan mengenai Informasi yang disimpan kedalam memori jangka
panjang di otak adalah dengan cara menyampaikannya mengikuti aturan sebagai
berikut: terkait dengan keselamatan hidup, memiliki muatan emosi yang kuat
terhadap seseorang, memberikan penghargaan terhadap eksistensi diri, dan
mempunyai frekuensi yang tinggi (sering diulang).
2. Kurang Terampil menjadi MC (Master Ceremony) Dalam Kelas
Guru
bisa disamakan dengan actor atau pembawa
acara dalam sebuah concert. Concert
akan menjadi lebih menarik atau malah membosankan, itu sangat ditentukan oleh
oleh kualitas MC nya.
Ada
kalanya guru ketika mengajar, apa yang diajarkannya tidak menarik perhatian dan
minat siswa karena apa yang diajarkan merupakan hal yang tidak bermakna bagi
mereka. Kebanyakan siswa akan kesulitan dan merasa jenuh ketika diharuskan
menghapal rumus-rumus rumit karena mereka tidak paham bagaimana dan apa
pentingnya mempelajari hal tersebut. Para siswa tidak mengetahui kegunaanya
didalam kehidupan sehari-hari.
Siswa
akan lebih termotivasi dan mudah memahami apabila belajar merupakan kegiatan
bermakna dan sesuai dengan kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu,
kemanfaatan ilmu dalam kegiatan sehari-hari harus dijelasakan di awal
pembelajaran oleh guru (apersepsi).
Seorang
guru harus kreatif dalam memberikan penjabaran mengenai pemanfaatan ilmu yang
diajarkannya kepada siswa. Proses pembelajaran juga harus disampaikan secara
bertahap, dari hal yang paling mudah kepada hal yang dianggap lebih kompleks.
Untuk mengetahui tingkatan tahapan ini kita bisa melihat dalam penjabaran yang
diuraikan dalam Taksonomi Blooms.
Intinya adalah ketika memberikan pembelajaran materi yang disampaikan alangkah
lebih baiknya memberikan gambaran umumnya atau gambaran besarnya terlebih
dahulu baru kemudian lebih mendetail kedalam gambaran yang lebih spesifik dan
khusus.
Untuk
menyelesaikan sebuah puzzle berupa gambar pesawat terbang dengan serakan
potongan gambar yang kecil-kecil, agar mudahnya kita harus mengetahui terlebih
dahulu gambar pesawat terbang tersebut secara keseluruhannya. Barulah kita
dapat dengan mudah menyusun potongan gambar kecil tersebut menjadi gambar utuh
sebuah pesawat terbang yang besar. Artinya, gambaran umum terlebih dahulu
barulah gambaran khususnya (hal ini disebut sebagai logika deduksi, penjabaran dari umum ke khusus) barulah induksi (pejabaran dari khusus ke
umum). Selanjutnya penggunaan kedua logika ini dilakukan secara proporsional.
3. Kebiasaan Suka Memberi Label (labelling) Pada Siswa
Pengelompokan
siswa dan dan pemberian label (labeling), misalnya berdasarkan kemampuan
kognitifnya. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh Munif Chatib (2012) dalam
bukunya “Sekolahnya Manusia”. Dikatakan bahwa dengan mudahnya kadang seorang
guru melabeli siswanya dengan “cap pintar atau bodoh” berdasarkan tingkat
kognitifnya. Kita harus menyadari bahwa kecerdasan adalah jamak. Memang benar,
dalam kasus tertentu mungkin seorang siswa memang tidak cakap dalam hal
tertentu, akan tetapi itu bukan lantas melabelinya dengan cap bodoh.
Semua
siswa apapun bentuknya merupakan makhluk yang cerdas. Kecerdasan setiap siswa
berbeda-beda, ada yang pandai bermusik, menari, menggambar, melakukan
perhitungan matematis, menghapal dan sebagainya. Pada umumnya dalam pendidikan
formal, kita terjebak kedalam bentuk kecerdasan kognitif. Siswa dipandang
pandai atau cerdas apabila sesuai dengan kemampuannya dalam menyelesaikan
pekerjaan yang berhubungan dengan praktik persekolahan seperti membaca,
menulis, mengingat dan berhitung. Padahal kecerdasan manusia lebih luas lagi
dari itu.
Siswa
dengan kecerdasan menonjol di bidang tertentu dapat pula menguasai bidang
lainnya. Misalnya siswa dengan bakat musik bukan berarti juga tidak dapat
belajar atau diajari matematika. Semua siswa dapat belajar apapun, namun cara
mereka belajar harus disesuaikan dengan kemampuan yang menjadi daya tarik dan
bakatnya masing-masing. Misalnya siswa dengan kecerdasan dominan musik akan
lebih mudah memahami belajar matematika dengan strategi menyanyi atau yang
berhubungan dengan kecerdasan musikalnya. Oleh sebab itu penting bagi guru
untuk mengajar dengan berbagai macam pendekatan, model dan strategi
pembelajaran yang dapat mengoptimalkan kemampuan siswanya.
Ternyata
perkembangan psikologi dan kompetensi seorang siswa pandai yang masuk dalam
kelas khusus anak pandai (secara perhitungan IQ) atau kelas akselerasi
mempunyai resiko kemunduran tingkat kecerdasan. Karena menimbulkan ketegangan
dan memenjarakan siswa dalam dikotomi menang kalah. Siswa yang tertinggal
sejengkal saja akan frustasi dan murung, sangat buruk terhadap perkembangan
psikologis anak tersebut.
3) Reformasi Proses Pembelajaran
Melihat dan menyadari bahwa pendidikan
kita selalu tertinggal, malah nyaris lari ditempat, maka reformasi pendidikan
adalah solusi yang selalu didengungkan, termasuk reformasi cara megajar guru-
guru yang kebanyakan melakukan malpraktek dalam mengajar.
Reformasi pendidikan memang sangat
dibutuhkan. Tidak
hanya reformasi birokrasi, reformasi pendidikan nasional sangat diperlukan
untuk memajukan pendidikan bangsa. Tujuan reformasi pendidikan adalah untuk
menciptakan pendidikan berkualitas, merata, dan terjangkau. Sementara,
reformasi sistem pembelajaran dilakukan dalam bidang isi, metodologi, dan
evaluasi hasil pembelajaran.
Sebagaimana
dikatakan di atas bahwa malpraktek dan krisis pendidikan menyerang umumnya
banyak sekolah. Biasanya krisis pendidikan terlihat bila event pendidikan
berskala besar yang namanya “Ujian Nasional” yang diselenggarakan dari Sabang
(Aceh) hingga Merauke (Papua) untul jenjang SD hingga SLTA. Bila UN berakhir
maka akan terlihat masalah. Memang banyak pihak yang bertanggung jawab bila
kualitas pendidikan rendah, utamanya guru, pihak sekolah, orang tua hingga
Dinas Pendidikan. Guru merupakan ujung tombak utama yang perlu dipuji atau
dikritik saat SDM naik atau turun.
Adalah
fenomena bahwa kualitas guru banyak
yang belum mengembirakan dan kesungguhan guru dalam menjalankan
tugasnya belum berjalan maksimal dalam menciptakan kondisi kondusif
dalam kegiatan belajar mengajar anak.
“Ada
guru yang mengajar hanya sebatas melaksanakan tugas. Ini
sangat berpengaruh terhadap prestasi yang akan dicapai anak didik”.
Karena
itu pendidik (para guru) harus mempersiapkan diri secara matang, mengubah
paradigma berpikir peserta didik yang lebih aktif dan kreatif
terhadap berbagai disipilin ilmu dan ketersediaan anggaran benar-benar
dimanfaatkan untuk peningkatan mutu.
Dalam
rangka reformasi “proses pembelajaran”, maka kita- para guru, khusunya guru-
guru di Aceh, bisa belajar dari para guru dari negara tetangga seperti
Australia dan Singapura. Bagaimana keberadaan pendidikan di negara tetangga,
seperi Australia, sebagaimana yang sempat saya lihat dalam dua kali kunjungan
ke sekolah- sekolah di Melbourne dan Sydney (dan juga seperti ditulis oleh
Zubaidah Ningsih (2009) dalam artikelnya: What
I've learned from Australia.
Beda budaya cara mendidik kita (Indonesia) dengan
Australia, adalah cara pendekatan kita dalam mendidik. Bagi kita, posisi guru
sebagai “orang yang serba tahu dan lebih pintar”. Jadinya para “guru, ustadz
atau kyai” sebagai pusat segala ilmu, maka di Australia (dunia barat ini) guru
hanyalah sebagai “fasilitator- penyedia sarana dan kesempatan belajar dan
sekaligur memberikan motivasi belajar yang terus menerus”. Jadinya di
lingkungan sekolah kita para siswa menjadi tidak mandiri dalam menggunakan
otak.
Kita mengajar membuat anak didik susah ngomong,
sehingga siswa jarang menjadi berani dan takut berbeda pendapat- taku salah,
takut dicela dan ditertawakan oleh teman- teman.
Konsep yang dikembangkan dalam metode pembelajaran di
kelas adalah dengan membiarkan anak
didik mengekspresikan makna obyek tertentu dalam proses belajarnya. Dan yang
lebih menarik lagi guru bisa mengembangkan daya kritis anak dengan membantunya
terus bertanya tentang obyek tersebut. Learning through questions adalah
konsep yang bisa dikembangkan untuk mengembangkan daya kritis anak sekaligus
membangun pengetahuan seorang anak akan suatu obyek yang dekat dalam kesehariannya.
Proses belajar ini bisa membawa anak mempertanyakan hal-hal dalam kesehariannya
yang tentu saja sangat membantunya memahami lingkungan di sekitarnya.
Selain konsep learning through questions ini,
juga ada metode pembelajaran yang bernama Show and Tell . Metode ini
banyak dikembangkan di sekolah-sekolah dasar di sini. Dalam program ini anak
didik diharapkan membawa sebuah benda dan berbagi cerita tentang benda ini di
depan teman-temannya. Dia bisa mengekspresikan pendapatnya akan benda tersebut
sekaligus berbagi informasi mengenai benda ini. Keuntungan dari dua program ini
adalah adanya pengembangan self actualization (aktualisasi anak didik)
dan appreciation value (penghargaan pada anak didik).
Dua program ini berdampak pada pola pikir anak didik
maupun pola pikir guru atau orang tua. Sudah saatnya kita mengembangkan
paradigma (pemikiran) bahwa guru atau orang tua tidak lagi menjadi satu-satunya
pusat informasi tetapi menjadi fasilitator yang diharuskan lebih menghargai,
memberi ruang dan tentu saja lebih open minded. Orang tua dan guru diharapkan
tidak egois, mau mengakui kekurangan dan terus mendukung anak-anak dalam proses
pembelajaran ini.
Satu praktek menarik di Australia adalah bahwa sebuah
sekolah mempunyai motto yang menarik. Motto ini diharapkan bisa mewarnai sikap
anak didiknya. Motto ini misalnya honesty, integrity, responsible and
getting along. Nilai-nilai ini akan selalu dikembangkan dalam segala proses
belajar mengajar. Pengikutsertaan orang tua dalam program- program sekolah juga menjadi satu kunci penting
berhasilnya proses penanaman nilai-nilai ini.
Apa yang diharapkan warga dari sebuah sistem
pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah
setidaknya kurikulum yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan
biaya murah, jika bisa. lingkungan sekolah yang kondusif, daya saing yang
tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah. Tampaknya hal
itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan di Singapura dengan
Indonesia seperti bumi dan langit rasanya.
Dari sekolah dasar hingga universitas, misalnya, siswa
sudah dipantau dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya.
Jadi, tidak semua warga layak atau bebas masuk universitas di Singapura.
Sementara pendidikan kita terkesan “ala kadarnya dan tidak begitu terpatau
perkembangan kualitas SDM anak didik dari SD hingga Universitas, sehingga saat
duduk di bangku SMA terlihat galau atau bengong kemana hendak menyambung studi.
Ruang kelas, perpustakaan, kantin sekolah, dan tempat
bersantai juga tersedia. Ruang kelas ditata secara bersih dan membuat murid
bisa melihat guru atau dosen dan sebaliknya dosen atau guru bisa memantau semua
anak didiknya. Kelas diperlengkapi dengan peralatan yang memudahkan guru
melakukan presentasi lewat slide yang sudah melekat di setiap ruang sekolah
sehingga tidak perlu repot setiap kali melakukan presentasi.
Guru di Singapura juga tidak kalah profesionalnya.
Dengan gaji yang tergolong memadai, orang- orang terangsang menjadi guru. Yaitu
orang- orang yang talenta di dunia pendidikan.
Jadi, selain mendapatkan ilmu, para siswa dan guru
juga diberi pencerahan dengan menghadiri seminar-seminar gratis tetapi sangat
berkualitas. Tentu saja presentasi seminar tidak membuat bosan dan mengantuk.
Guru dan siswa sering kali mendapatkan kesempatan
untuk melakukan studi tur dengan menjelajah daerah lain buat melihat kemajuan
dan menimba pengalamannya. Melakukan banyak eksplorasi- kunjungan- dan
mengundang orang/ tokoh lain ke sekolah otomatis membuat warganya terbiasa
bergaul secara luas ketika masih berada di sekolah. Sehingga warganya tidak
menjadi seperti katak di bawah tempurung.
4) Pengalaman Tentang Proses Pembelajaran di Negara
Tetangga
Pepatah
dari daerah Minang yang berbunyi “alam takambang jadi guru”- alam yang
terbetang bisa dijadikan guru. Pribahasa ini juga dipakai di negara- negara
Barat, “the nature is teacher”. Kebetulan penulispunya kesempatan mengobservasi
kemajuan pendidikan Australia di kota Melbourne sebanyak dua kali yaitu di
Norwood Secondary College dan Box Hill Institute. Juga salah seorang kepala SD
(Zulfahmi, saat itu sebagai mahasiswa pascasarjana UNP dan kepala SD 09 Pauh
kota Padang) yang melihat proses pembelajaran di “Gibbs Street Primary School
Perth, Australia. Begini hasil kunjungan kita:
a) Tujuan Kunjungan
- Melihat bagaimana guru membuat
rencana pembelajaran, kapan, dimana dan dengan siapa mereka bekerja ?
- Bagaimana guru mengelola kelas dan
membelajarkan siswa ?
- Bagaimana cara guru melaksanakan
assesmen (penilaian berbasis portofolio), evaluasi dan melaporkan hasil belajar
kepada orang tua ?
- Bagaimana filosofi penddikan
setiap guru dalam mengajar dan melaksanakan tugas –tugas di sekolah?
b)
Memahami Kondisi Pendidikan kita di Indonesia
- Indonesia telah melakukan sejumlah
perubahan kurikulum- 1968, 1974, 1984, 1994, 2004,
kurikulul KTSP
dan sekarang Kurikulum 2013.
- Umumnya kegiatan pembelajaran di
kelas tetap sama, yaitu dalam bentuk ceramah, menulis dengan kapur atau board marker pada papan tulis tetap
mendominasi proses pembelajaran di kelas.
- Masih relatif sedikit gerak buat
menuju perubahan.
- Proses pembelajaran yang miskin
dengan action guru.
- Ruang kelas belum bisa sebagai
agen perubahan sosial
c) Hasil Kunjungan
Pendidikan Ke Sekolah Bermutu (di Australia)
- adalah hal yang keliru bila kita menyimpulkan bahwa
kemajuan pendidikan Australia karena mereka punya uang cukup atau karena
kelengkapan fasilitas.
- Uang dan fasilitas hanya merupakan sata faktor dan
bukan domain yang utama, kata kuncinya terletak pada “sikap mental, mindset/
pola pikir, kreatifitas guru, dan kreativitas kepala sekolah”.
-
Ternyata media belajar mereka terbuat dari barang- barang bekas.
- Perencanaan guru sangat matang, semua guru membuat
perencanaan guru untuk 10 minggu,
perencanaan mengajar dalam bentuk
utuh, meliputi seluruh kebutuhan siswa dan guru (LKS, alat peraga, media
pendidikan, alat pendukung dan team
teaching).
- Penyusunan rencana mengajar guru kelas bekerja sama
dengan guru bidang study, guru pembimbing, wakil, kepala sekolah dan orang tua.
- PBM di Australia untuk SD dimulai pukul 09.00 s.d 15.00. Namun pukul 07.30 semua guru sudah di sekolah untuk
menyempurnakan berbagai keperluan mengajar. Kemudian setelah lonceng pulang
guru tidak langsung pulang, tetapi memeriksa PR siswa pada hari itu juga.
- Tiga
atau empat PR siswa terbaik dipajang di kelas, selebihnya disimpan dalam file/
portofolio.
-
Kegiatan morning news yang mengagumkan,
bahwa lima belas menit sebelum pelajaran pertama dimulai, 5 orang siswa secara
bergiliran selama 3-4 menit menyampaikan morning news di depan kelas, siswa
yang lain mendengarkan, bertanya dan menaggapinya.
- Orang
tua sering datang ke sekolah, bahkan ikut mengajar di kelas.
-
Suasana kelas sangat menarik dan menyenangkan, siswa terlibat seara
psikomotorik, intelektual dan emosional.
-
Pembelajaran bahasa melalui kegiatan: menulis surat kepada orang tua, menulis
kembali berita yang pernah didengar dan dibaca dengan bahasa sendiri, dan
membuat komentar/ taggapan yang kegiatan ini sudah dimulai sejakkelas 1 SD.
- Pendidikan
inklusif sudah berjalan sedeikian rupa, guru tidak lagi berbicara sebatas
konsep PAKEM atau life skill, namun
konsep tersebut terlihat langsung terpadu dalam pembelajaran kelas.
- Anak-
anak tidak diajari tentang “sikap dan prilaku” sebagaimana anak belajar KWN,
tetapi setiap kelas membiasakan dan telah menjalankan dalam bentuk “class rule” atau peraturan kelas. Class rule ini adalah aturan kelas yang
disepakati bersama siswa dan guru.
Laporan hasil belajar siswa siswa dibuat dalam bentuk
portofolio, lebih bersifat deskriptif, tiap pekerjaan siswa dikomentari dan
direward seperti “very good, excellent, atau fantastic. Tidak menggunakan
ungkapan yang menyudutkan.
- Siswa
merasa tidak sedang dipenjara, karena siswa menjalankan proses: learning to do
(belajar dengan mengerjakan), learning to how (belajar untuk mengetahui),
learnig together (belajar bersama). Dan siswa asyik menikmati belajar karena
guru dan siswa bercanda dan tertawa bersama.
Maka
sebagai renungan bagi kita:
-
Apakah saya sudah menjalankan tugas sebagai seorang guru dengan baik ?
-
Apakah saya megejar hanya sekedar melepaskan tanggung jawab ?
-
Apakah gaji yang saya terima sudah setimpal dengan pengorbanan yang saya
lakukan dalam mengajar.
- Persiapan
mengajar, apakah ada?
-
Materi mengajar, apakah sesuai ?
-
Metode mengajar apakah sudah tepat ?
- PR
siswa apakah selalu diperiksa ?
- Soal
ujian, apakah sudah disusun dengan benar ?
- Media
pembelajaran apakah selalu digunakan ?
- Apakah
saya ikhlas menjadi guru ?
-
Apakah saya sering memarahi siswa ?
Apakah
kelas saya selalu menyenangkan ?
-
Apakah siswa merasa gelisahdan ingin cepat pulang ?
-
Apakah siswa- siswa saya kreatf ?
-
Apakah materi pembelajaran saya bermafaat bagi kehidupan anak ?
-
Apakah pekerjaan saya selama ini saya lakukan karena terpaksa ?
Kita tetap optimis bahwa pendidikan di Aceh juga bisa
akan semakin bagus. Tak benar jika bule atau daerah Pulau Jawa selalu superior pendidikannya
dibanding Aceh. Pendidikan sangat krusial untuk membentuk Aceh yang lebih baik,
dan anda- Para guru di Aceh- akan selalu bisa berpartisipasi di dalamnya. Be
creative and together we’ll make a better Indonesia!!!