Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMAN 3 Batusangkar)
Kata-kata “smart” sangat disukai banyak orang, dan pusat kegiatan yang memakai
kata smart seperti smart kid, smart group, smart hobby, smart
house, dll selalu diburu oleh paraorang tua. Karena mereka ingin memilki anak-anak mereka menjadi
smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang
memburu tempat kursus yang punya label “smart”.
Kata smart lagi fenomena sepertismart book, smart phone dan smart street.
Banyak orang tahu bahwa kata smart berarti cerdas.Smart book berarti cerdas dengan
buku.Maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks
dengan tuntas.Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam fikirannya.
Sementara itu, smartstreet berarti
cerdas di jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan
diri.Orang yang smart street adalah
orang yang memiliki life skill.
Anak anak kita yang belajar di
sekolah favorit yang sangat focus dengan urusan akademik pada umumnya sudah
memiliki karakter sebagai smartbook. Pengalaman seorang yang
mengajak tour satu grup para siswa yang hanya sekedar cerdas akademis atau smart book pergi tour melintasi Pulau
Jawa dan suati ketika berhenti di rest
area dan pergi ke sebuah mall besar.
Namun
para siswa yang hanya sekedar smart book tersesat
dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke
dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka cukup kehilangan akal,
tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama buat membantu mereka.Ini terjadi
mereka minim dengat pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan
di alamini atau kurang paham dengan smartstreet
sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
Sementara
itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah biasa-biasa saja lain yang
tidak punya label unggul atau label smart
juga pernah dibawa tour oleh sekolah mereka dan dilepaskan ke sebuah mall
sangat besar, tidak satu orang pun yang menelpon karena merasasesatjalan. Ternyata mereka sudah terbiasa menjelajah
lingkungan dan alam lebih luas, sehingga mereka menjadi siswa yang smart street. Sebenarnya negara kita
sangat membutuhkan generasi muda yang smart
book dan sekaligus juga sebagai smart street.
Indonesia dan Amerika Serikat adalah
dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat. Jalaluddin
Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur 2 bangsa sebagian bersifat
stereotipe atau pendapat umum yang sudah digeneralisasi. Orang Amerika diajar untuk
berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang.Dalam belajar di Amerika
para siswa/ mahasiswa menghormati dosen (guru) mereka, namun mereka boleh
memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga berdebat dengan dosen untuk
menguji gagasannya.Namun dalam pergaulan bersikap santai dan ramah.
Sementara
di Indonesia orang cenderung menggunakan visualisasi dan bahasa yang lidak
langsung ke pokok permasalahan.Dalam belajar mereka menghormati dosen/guru,
tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan
mahasiswa/ siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin.
Kedua
negara ini berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, kualitas SDM
masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal.Praktek pelaksaan mendidik di sekolah
Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Penulis menulis
tentang hal ini bukan bermaksud untuk
menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa
Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
Adalah fenomena bahwa di Indonesia
semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar
mereka menjadi smartbook.Kemudian
campur tangan orang tua dalam mendidik sebagian dalam bentuk pintar memerintah,
menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan
setelah itu.Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan
melahap isi semua buku teks.Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori,
tanpa melewatkan titik dan koma-nya.Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik
mereka signifikan cukup bagus.
Di negara ini banyak anak yang hanya
belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata.Meski sudah ada pemaham
kearah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas
basa-basi.Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
Urusan akademik memang selalu nomor
satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat
pulang ke rumah.Setelah itu anak- anak cerdas tadi dikirim lagi oleh orang tua
ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup
melelahkan pak keluh seorang anak.Namun orang tua selalu memaksa agar saya bisa
memperoleh passing grade yang tinggi.Agar saya kelak bisa jebul di jurusan yang
bergengsi dan di perguruan tinggi favorit”.
Ya
begitulah sebahagian anak cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam
kamar akademik.Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang
senja tiba.Dan seperti itulah fenomena anak anak cerdas a’la Indonesia.
Memang belajar pada Bimbel sudah
menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas , utamanya bagi orang tua mereka
yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di
mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise
education atau bisnis pendidikan.Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih
mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
Saat penulis remaja, sering melihat
orang pergi les dalam bentuk les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan
oleh keluarga Tionghoa.Juga les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les
main organ, biola, gitar, dan lain-lain.Les- les seperti itu membuat para
remaja cerdas secara non akademik.Namun les- les seperti itu sudah sangat
langka, yang menjamur adalah les mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok
dalam ujian nasional.Les ini dikemas dalam bentuk “bimbingan belajar”.Sekali
bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah.
Antara satu Bimbel dengan Bimbel
yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa
menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya
seapik mungkin.Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar
bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance anggun,
semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
Tentor bimbel yang ramah tamah,
bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru- guru
mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan berbahasa
yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan proses
pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru
yang nggak bersahabat.
Singkat cerita bahwa untuk urusan
akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per
hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan
belajar mereka.Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor
akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah
di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena
bakalan berkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
Orang tua di rumah juga sudah
memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor dan
rangking setinggi langit.Anak perlu memiliki prestasi akademik yang
bagus.Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit.Orang tua
memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka.Mereka menyerbu sekolah berlabel
unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah
multi-talenta, dll.
Memang bangsa kita dan apalagi anak
anak muda senang dengan merek atau label.Mereka selalu mencari pakaian mereka, sebagai
contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu
perak yang ada merek “Foot Ball of
Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga
“satu juta perak” namun pada punggungnya
ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
Seorang famili yang baru pulang dari
Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” tindak
henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way
of life kita.Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di
Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak
teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,
juga siswa-siswa di Indonesia
secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (semata- mata terfokus pada
satu tujuan saja) untuk melahap rumus- rumus pelajaran.Dari pagi hingga awal
sore mereka belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di
bimbel. Pulang sekolah sudah telat dan
pulang bimbel juga sudah malam semua membuat badan terasa capek:
“Ah
pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena ledek oleh mama dan
dianggap malas”.Juga mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah.
Sebagian
siswa merasakan badan mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak
berimbang.Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan
mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan zat kimia
atau adiktif.Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam label mewah
namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak
sehat dan juga mengadoppsi life style yang
mereka anggap mewah.Pokoknya asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka
juga kurang sehat.
“Mana
mungkin tubuh dan fikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
“Ya
demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang
mereka. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik
setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik”
Di
negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami
saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada namun tidah
ada fenomena deman bimbel setiap akhir tahun akademik. Belajar di sekolah saja
itu mereka rasakan sudah cukup. Mereka
tidak perlu lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru-
guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi
hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara
kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan
iklim layanan prima: look smile, greed,
serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas
guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi.
“Ya
betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada,
tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan
di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi
mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main
badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate.
Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya.Sehingga pada
akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi
yang gemar pada bidang music dan
seni, mereka pada menyerbu theater.
Ada yang mendalami music jazz, musicpop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga
menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh dewasa- mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi
pemain biola, music, dan theter
professional.
Bagaimana
dengan urusan akademik ?Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni.Walau
mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan
konsep agama kita “man jadda wa jadda-
barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali
lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di
kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang
tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang
anak.Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan
menguasai akademik.Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah
menghabiskan waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor
akademik yang tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorit (?).Setelah itu
seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan
mudah.
Makanya
orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan
akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi.Anak tidak perlu lagi ikut
cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam
kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena
anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani.Kalau perlu anak
harus dimanjakan.Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak
perlu lagi dilibatkan.Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak,
mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan
anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai,
sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line
atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena
sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga
atau lingkungan sosial maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan
sosial.
Kita
mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga
rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik
namun buta dengan lingkungan- tidak punya life
skill- kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan
anak- anak yang sekedar “rancak di labuah- sekedar bagus pada penampilan” yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal
yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa
Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon
pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang
bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir
semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator,
dan guru di sekolah sebagai teacher.Educator
berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan
menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah
individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil
setiap anggota keluarga tahu dengan job
description (pembagian tugas) mereka.Setiap orang di rumah punya tugas dan
tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam
aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga
sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak-
anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik.Mereka sudah
terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka
menjadi smart book, dan itu juga
sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena
memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos
perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga
tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan
pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan
selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas
itu bagi sarjana yang miskin smartstreet
dan tidak punya life skill akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan
akademik. Mereka berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” tahun berikutnya atau
mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim kampung halaman.Mau
pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan masa hingga usia
merangkak tua.
Anak-
anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang
jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas.Jadi mereka memilih
perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo.Memilih jurusan dan
perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak
ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara
berlebihan.
Proses
belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak-
anak untuk menjadi smartbook dan smartstreet. Kemudian semua orang yang
mengerti dengan konsep parenting juga
telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut mendorong
mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani,
punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas
pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di
sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka
mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota.
Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level
nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di
Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas
tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional. (Note: Jalaluddin Rakhmat .(1998). Komunikasi
Antar Budaya, Paduan Berkomunikasi DenganOrang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya).