Sabtu, 15 April 2017

Pentingnya Menjadi Siswa Yang Smart Book dan Smart Street



Pentingnya Menjadi Siswa  Yang Smart Book dan Smart Street
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMAN 3 Batusangkar)



            Kata-kata “smart” sangat disukai banyak orang, dan pusat kegiatan yang memakai kata smart seperti smart kid, smart group, smart hobby, smart house, dll selalu diburu oleh paraorang tua. Karena  mereka ingin memilki anak-anak mereka menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang memburu tempat kursus yang punya label “smart”. Kata smart lagi fenomena  sepertismart book, smart phone dan smart street.
            Banyak orang tahu bahwa kata smart berarti cerdas.Smart book berarti cerdas dengan buku.Maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks dengan tuntas.Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam fikirannya. Sementara itu, smartstreet berarti cerdas di jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri.Orang yang smart street adalah orang yang memiliki life skill.
            Anak anak kita yang belajar di sekolah favorit yang sangat focus dengan urusan akademik pada umumnya sudah memiliki karakter sebagai  smartbook. Pengalaman seorang yang mengajak tour satu grup para siswa yang hanya sekedar cerdas akademis atau smart book pergi tour melintasi Pulau Jawa dan suati ketika berhenti di rest area dan pergi ke sebuah mall besar.
Namun para siswa yang hanya sekedar smart book tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka cukup kehilangan akal, tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama buat membantu mereka.Ini terjadi mereka minim dengat pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alamini atau kurang paham dengan smartstreet sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah biasa-biasa saja lain yang tidak punya label unggul atau label smart juga pernah dibawa tour oleh sekolah mereka dan dilepaskan ke sebuah mall sangat besar, tidak satu orang pun yang menelpon karena merasasesatjalan.  Ternyata mereka sudah terbiasa menjelajah lingkungan dan alam lebih luas, sehingga mereka menjadi siswa yang smart street. Sebenarnya negara kita sangat membutuhkan generasi muda yang smart book dan sekaligus juga sebagai smart street.
            Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur 2 bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat umum yang sudah digeneralisasi. Orang Amerika diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang.Dalam belajar di Amerika para siswa/ mahasiswa menghormati dosen (guru) mereka, namun mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga berdebat dengan dosen untuk menguji gagasannya.Namun dalam pergaulan bersikap santai dan ramah.
Sementara di Indonesia orang cenderung menggunakan visualisasi dan bahasa yang lidak langsung ke pokok permasalahan.Dalam belajar mereka menghormati dosen/guru, tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa/ siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin.
Kedua negara ini berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal.Praktek pelaksaan mendidik di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Penulis menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk  menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
            Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smartbook.Kemudian campur tangan orang tua dalam mendidik sebagian dalam bentuk pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu.Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks.Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya.Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
            Di negara ini banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata.Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas basa-basi.Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah.Setelah itu anak- anak cerdas tadi dikirim lagi oleh orang tua ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak keluh seorang anak.Namun orang tua selalu memaksa agar saya bisa memperoleh passing grade yang tinggi.Agar saya kelak bisa jebul di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit”.
Ya begitulah sebahagian anak cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam kamar akademik.Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang senja tiba.Dan seperti itulah fenomena anak anak cerdas a’la Indonesia.
            Memang belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas , utamanya bagi orang tua mereka yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis pendidikan.Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Saat penulis remaja, sering melihat orang pergi les dalam bentuk les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.Juga les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les main organ, biola, gitar, dan lain-lain.Les- les seperti itu membuat para remaja cerdas secara non akademik.Namun les- les seperti itu sudah sangat langka, yang menjamur adalah les mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional.Les ini dikemas dalam bentuk “bimbingan belajar”.Sekali bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin.Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
            Tentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka.Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
            Orang tua di rumah juga sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor dan rangking setinggi langit.Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus.Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit.Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka.Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang bangsa kita dan apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label.Mereka selalu mencari pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak” namun  pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
            Seorang famili yang baru pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life kita.Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (semata- mata terfokus pada satu tujuan saja) untuk melahap rumus- rumus pelajaran.Dari pagi hingga awal sore mereka belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat  dan pulang bimbel juga sudah malam semua membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena ledek oleh mama dan dianggap malas”.Juga mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah.
Sebagian siswa merasakan badan mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang.Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan zat kimia atau adiktif.Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam label mewah namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat dan juga mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah.Pokoknya asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka juga kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan fikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
“Ya demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang mereka. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik”
Di negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada namun tidah ada fenomena deman bimbel setiap akhir tahun akademik. Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan  sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru- guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim layanan prima: look smile, greed, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi.
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate. Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya.Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang music dan seni, mereka pada menyerbu theater. Ada yang mendalami music jazz, musicpop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional.
Bagaimana dengan urusan akademik ?Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni.Walau mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan konsep agama kita “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak.Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai akademik.Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorit (?).Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan mudah.
Makanya orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi.Anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani.Kalau perlu anak harus dimanjakan.Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan.Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga atau lingkungan sosial maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial.
Kita mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak yang sekedar “rancak di labuah- sekedar bagus pada penampilan”  yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai teacher.Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka.Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak- anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik.Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang miskin smartstreet dan tidak punya life skill akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim kampung halaman.Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan masa hingga usia merangkak tua.
Anak- anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas.Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo.Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak- anak untuk menjadi smartbook dan smartstreet. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional. (Note: Jalaluddin Rakhmat .(1998). Komunikasi Antar Budaya, Paduan Berkomunikasi DenganOrang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya).


Berburu Kesempatan Mengikuti Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri



Berburu Kesempatan Mengikuti Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMAN 3 Batusangkar)



Mengikuti proram pertukar pelajar ke manca negara adalah program yang banyak diminati oleh pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Program tersebut seperti: AFS (American Field Service), Yes (Youth Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang) masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada program Jenesys untuk dua minggu. Karena program ini terbatas untuk beberapa orang saja dan juga cukup bergengsi maka tentu saja setiap peminat harus punya persiapan yang matang untuk memenangkan seleksi penyisihan. Tulisan ini- Berburu Kesempatan Mengikuti Pertukaran Pelajar Ke Luar Negeri- tersinspirasi oleh pengalaman Miftahul Khairi (17 tahun), salah seorang kerabat saya yang saat itu tercatat sebagai pelajar pada salah satu SMA di kota Bukittinggi. 
Miftahul Khairi beruntung bisa mengitu program pertukaran pelajar Yes (Youth Exchange Studies) di Amerika Serikat yang juga disebut dengan negara “Uncle Sam” atau “Paman Sam”. Tentu saja Miftahul (Ari) terlebih dahulu melakukan persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti program Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika Serikat dengan orang tua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada umumnya, Ari biasa-biasa saja, rajin tapi kadang-kadang juga malas.Suka membantu orang tua, suka belajar dan juga suka main game on-line.”Namun kenapa kamu tertarik mengikuti program pertukaran pelajar ?”. Itulah pentingnya bergaul dan bertukar cerita dengan banyak orang.
Suatu hari kakak teman yang baru saja kembali mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin tahu dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang mendorong Ari ingin mengikuti program ini adalah karena ingin melihat dan merasakan tentang bagaimana budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman baru tinggal di Amerika.
Ia memperoleh informasi bahwa peserta yang kemungkinan akan lulus dalam program American Field Service ini adalah mereka yang selain mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership dan aktif dalam organisasi. Ia pun juga aktif dalam organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah. Ia harus memiliki banyak wawasan, setiap hari mengikuti berita-berita dan mencatat semua issue berita pada buku catatan khusus.
Kadang-kadang Ari juga pergi ke internet untuk melakukan browsing tentang berita terkini dari seluruh pelosok Indonesia dan dari seantaro dunia- tentang global warming, tentang proliferasi nuklir, tentang cloning, tentang kematian Michael Jackson, tentang perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain. 
Ari melompat hampir setinggi langit, riang gembira karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa “preparation is mother of successfulness”. Tentu saja persiapan Ari yang lain, selain kemahiran dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal berdebat, menguasai kesenian dan life skill lain- ia belajar memasak gulai dan rendang Padang. Ari juga belajar tari Minang, silat Minang, masakan Minang, dan juga membaca buku-buku tetang budaya Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah menjadi duta bangsa. Kebiasaaan berdebat sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan berani dan sebab program pertukaran pelajar tidak perlu menjadi anak manis yang serba penurut, patuh tapi susah dalam berkomunikasi.
Ari bebagi cerita bahwa saat itu ada sekitar 600-an peminat program pertukaran pelajar dari seluruh Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil adalah program YES (Youth Exchange Studies) dan yang diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang. Ari termasuk satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini meliputi test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris, wawancara non Bahasa Inggris tentang pengetahuan umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu tentang kerja kelompok atau team-work.
Tip dan trick agar menang dalam seleksi program pertukaran pelajar tersebut adalah “be your self”. Penilaian dengan skor rendah selama aktifitas team work adalah kalau seseorang memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois dan adanya kesan arrogant atau angkuh. Selanjutnya karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk  karaktercooperative, leadership, dan kreatif.
Tipe “be yourself” yang disenangi oleh program pertukaran pelajar adalah untuk semua karakter orang- ada yang agak pendiam, suka usil, humoris. Yang dinilai tidak hanya cerdas, ramah, cooperative, leadership dan kreatif, tetapi juga harus bersifat “out going, easy going dan humoris”.
“Apa yang kamu rasakan begitu kamu dinyatakan lulus dalam seleksi ?”. kelima peserta yang lulus kemungkinan “feeling between belive or not believe” kalau mereka lulus, kemudian merasa excited dan mulai membuat seribu impian dan sejuta andai, “Kalau…. Kalau….kalau…., saya akan…..”. Mereka juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu. Pokoknya ada harapan yang begitu tinggi dengan sejuta mimpi.Namun kemudian bercampur dengan emosi kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sedih berpisah dengan teman dan sedih kehilangan waktu- tertunda belajar  di sekolah selama satu tahun.
“Apa persiapan kamu menuju negara Paman Sam ?”. Selain faktor bahasa dan pengeahuan budaya juga harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang digunakan seperlunya, buku-buku yang diperlukan , paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran pelajar adalah juga berarti pertukaran budaya, maka peserta juga harus punya persiapan budaya- belajar tari, belajar seruling, belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan ke negara tujuan maka semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarrta, tentu saja diantarkan oleh orang tua.Mereka diberi program orientasi- pembekalan untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri sendiri.Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau “Cross Culture Understanding- pemahaman lintas budaya”.Dan setelah itu acara Talent Show- penampilan bakat- yang disuguhkan buat orang tua peserta yang baru saja mengantarkan anak-anak mereka untuk program pertukaran pelajar.
“Bagaimana perasaan kamu saat terbang melintasi samudra pasifik ?”. Peserta program AFS dan Yes tidak terbang melintasi samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA (Garuda Indonesia Airways) tidak memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa, karena diangap kurang memenuhi standard keselamatan dan mungkin karena pesawat sudah agak tua (maaf), maka peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline System) dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala Lumpur terbang lama selama 12 jam dengan pesawat menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang selama 12 jam karena pesawat terbang menyonsong matahari. Agar bisa tidur maka pilot menyarankan agar menutup semua jendela pesawat dan sebagian penumpang bisa tidur.
Peserta transit di Frankfurt. Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya bearoma harum sehingga setiap pengunjung merasa dimanja. Kemuian peserta terbang dengan pesawat United Airline menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra Atlantik. Peserta menjadi too excited karena sudah begitu dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan emosi kesedihan “ada yang menangis” karena sudah terasa begitu jauh dari tanah air dan dari mama dan papa tercinta.
“Apa kesan kamu melihat orang-orang dalam pesawat terbang moderen ?”. Bule-bule dalam pesawat umumnya tampak sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan phone cell, sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-orang kita- peserta yang dinyataan menang dan lulus selesi pertukaran pelajar- terlihat sibuk dengan orang lain. Mengurus orang lain, sibuk ngobrol, sibuk tersenyum. Di sinilah beda kepribadian individualitas dan masyarakat sosial. Dalam masyarakat barat atau budaya individu terkesan bahwa “no personal space”.
Akhirnya pesawat United Airline mendarat di bandara Washington DC.Sebelum menyebar maka peserta YES diberi orientasi tentang way of life di USA. Program Yes adalah program scholarship penuh dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan orientasi di Washington juga ada pelajar dari Malaysia, Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim lainnya. Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan gedung WTC (World Trade Centre) oleh teroris, dan rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama Islam masyarakat muslim, USA mengundang para pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
Semua peserta Yes disebar ke 50 negara bagian Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di kota Mineappolis, negara bagian Minnessota. Minneapolis adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat Yogyakarta. Kota ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas St. Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
“Apa yang kamu lakukan Ari, pertama kali tinggal dengan host famiyy ?”. Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi dengan bahasa, budaya, makanan, pendidikan dan bagaimana supaya bisa “fit with new famiy and new culture”. Walaupun peserta sudah yakin memiliki bahasa Inggris yang baik namun kadang kala kurang mengerti dengan bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka berbicara cepat dan accent berbeda.Untuk memahami komunikasi maka peserta mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage.Tentang akanan, masakan Indonesia lebih mengutamakan taste and flavour, sementara masakan Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering kurang pas menurut lidah orang Indonesia.
Sistem sekolah di sana juga berbeda dengan Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk tingkat SMA mereka tidak memakai seragam, tetapi free clothes. Dalam kelas terdapat banyak tempelan-tempelan yang memberi info kepada siswa/pelajar. Kertas yang ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama berbulan-bulan, apa lagi tempelan selama bertahun-tahun. Pendidikan di sekolah kita “guru-guru terlalu banyak ngomong”, namun di USA gaya pembelajaran bersifat memberi “explanation, practicing, dan pemahaman concept”. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa seperi permen dan coklat- walau materi sedikit.Di Indonesia materi terlalu padat dan siswa disuguhi dan harus menghafal banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga banyak.
Ari secara langsung melihat dan merasakan pebedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya sendiri (Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru memajang nilai yang diperoleh siswa dan selalu mengupdatenya, tiap kali ada penilaian.Suasana pembelajaran kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya, misalnya dalam kelas poloitik (atau KWN- kewarga negaraan).Dalam pembelajaran ini ada kalanya juga dengan bermain peran, sebagai presiden, anggota partlemen, sebagai pengacara, sebagai narapidana.
Pelajaran seni di Indonesia sudah berciri “praktek” dan di Amerika malah lebih banyak praktek, misal kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat keramik. Ada kesan dari kebisaaan pelajar di Indonesia, kalau pulang sekolah buru-buru pergi les, les matematik, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les komputer.Namun para pelajar Amerika pulang sekolah cenderung pergi berolah raga- mengikuti team basket, team bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di sana terbentuk lebih sehat dan kuat. Penduduk di sana sangat mencintai kegiatan olah raga, oleh karena itu mereka terkesan berani dan agresif dalam bekerja dan bersosial. Inilah dampak positif dari kebisaaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam hal olah raga,  bahwa selalu ada kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat berolah raga dalam sekolah dan dalam masyarakat membuat self-believe, life skill, team work, hard work, dan self determination mereka sangat tinggi dan sudah menjadi karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status atau “kamu anak siapa”,  semua orang sama-sama punya kesempatan untuk maju, seorang guru tidak membandingkan latar belakang siswanya apakah dari orang tua miskin, kaya, kulit putih, kulit berwarna, katolik atau non katolik dalam peniaian dan dalam pelayanan (tentu ini juga bergantung pada karakter seseorang).
Umumnya siswa di sana memiliki “self determination” menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya pelajar di sana sudah membayangkan apa yang akan mereka kerjakan kelak bila sudah dewasa. Kalau mereka tidak memiliki self determination- menentukan arah diri sendiri, maka itu berarti mereka “gagal dalam hidup”.
“Di negeri kita anak yang dipandang baik adalah sweet-kid (anak manis) yaitu patuh, penurut dan rajin”. Di negara Paman Sam, jarang sekali karakter “sweet kid”,  semua orang berkarakter “assertive” yaitu say what you feel dan tidak ada istilah bahasa yang berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara Indonesia dan Amerika tentu berlaku istilah  different fish different pond- lain lubuk lain ikannya”. Jadi pola berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct communication dan tidak berbelit-belit”.
Tentang appellation atau panggilan, Ari cukup memanggil nama saja untuk host family (orang tua angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini menandakan closeness- kedekatan. Sementara di Sumatera Barat “Panggilan” disesuaikan dengan empat tingkat kata: kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng. Ada yang panggil adik, uni, uda, ibu, etek, sumando, menantu, dan lain-lain”.
Keluarga Amerika menerapkan berbagi kerja dalam mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah serba mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak yang diterapkan oleh host family atau orang-orang lain adalah “grounded punishment”. Misalnya seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama seminggu  Phone Cellnya, Lap topnya, MP 3 nya disita, fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah sehingga mendatangkan efek bosan dan jera.
Sementara hukum spangking “melampang” pantat anak, apalagi sampai menempeleng kepala, mencambuk kaki anak, mencewer telinga dan hukuman fisik lain.  sudah lama ditinggalkan karena bisa dipandang bertetangan dengan hak azazi manusia. Pelaksanaan hukum tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada orang tua yang menganiaya dan sampai menelantarkan anak mereka.
“Bagaimana teman-teman mu di Sekolah Amerika dalam memandang negerimu- Indonesia ?”. Ternyata banyak pelajar di sana yang buta dengan informasi budaya dan informasi geografi tentang negara lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih memandang Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal atau primitive, sehingga muncul pertanyaan yang lucu-lucu.
“Apa kamu pernah makan daging orang utan…? Apa kamu tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar ?”
Orang di negara Paman Sam  memandang Indonesia sebagai negara yang indah apalagi orang di sana menyukai derah tropis, menyukai warna kulit yang terbakar matahari sebagai “sun tanned skin” sebagai lambang kulit yang sehat makanya orang di sana gemar berjemur saat musim panas. Orang di sana juga menyukai budaya Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak ada tari atau seni yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mereka juga memandang orang Indonesia sebagai bangsa yang hospitality- ramah tamah.
Host family memandang Ari sebagai remaja yang riang, lucu, dan smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago di sekolah.Ternyata pelajaran Indonesia lebih tinggi- Ari sering sering tampil dalam mata pelajaran matematika, namun kita hanya kaya dengan hafalan dan mereka kaya dengan praktek.
Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka membantu, suka memotret-motret, hospitality dan smart.Walau Bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak untuk didengar, ibarat kita mendengar mereka berbahasa Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan sosial di daerah perkotaan terasa sangat individu, mungkin sama juga dengan kondisi di kota besar Indonesia. Namun di country side- di pedesaan agak sama dengan di desa Indonesia- juga ada suasana bersosial yang tinggi. Beda tentang berteman, kalau di Indonesia seorang remaja mengenal “a lot of close friend”, namun di sana remaja mengenal “few close friends”. Di mata mereka bahwa keramah tamahan itu hanya  sekedar memperlihatkan kebaikan saja. Di sana remaja active mencari teman yag memiliki minat yang sama, misal dalam bidang olah raga dan musik. .     
“Bagaimana tentang hubungan orang tua dan anak di Amrik ?”. Hubungan orang tua dan anak di sana, ya sama dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka memberi anak “freedom to choose” tetapi tetap selalu ada nasehat-nasehat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri dan banyak remaja melakukan kerja “part time”- kerja paroh waktu di swalayan, street construction, di restorant fast food.
UMR (Upah Minimum Regional) di negara kita hitungannya adalah per-bulan, sementara di sana per-jam. UMR-nya adalah 7.25 Dollar Amerikaatau setara dengan Rp. 82.000.Namun mereka dibatasi kerja perminggu oleh undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time, mereka menulis resume atau lamaran. Hasil pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan berlibur, jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk membantu uang kuliah dan membeli barang yang mereka butuhkan.Part time diberikan untuk remaja minimal usia 16 tahun.
“Setelah kamu berada di Amerika, bagaimana kamu melihat Indonesia dari arah luar ?”. Ari merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh orang sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap bagus. Apalagi ada persaan emosional, bangga atas nilai kebersamaan yang ada di Indonesia, kemudian Indonesia juga sangat kaya dengan budaya dan seni.
Orang Amerika kagum dengan anak-anak Indonesia karena kecil kecil sudah mahir berbahasa Inggris, mereka saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat duduk di bangku SMA saja. Tentang jurusan favorit di universitas ya sama fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai jurusan ekonomi, jurusan kedokteran, bisnis, hukum dan tekhnik atau engineering.
Mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri, walau kehilagnan waktu belajar selama satu tahun, namun di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga memperoleh ijazah atau sertifikat tanda tamat belajar yang nilainya sama dengan diploma satu untuk Indonesia, dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di jurusan yag menggunakan bahasa Inggris di universitas Indonesia. Saat sebelum mengikuti pertukaran pelajar, Ari terlihat sebagai anak yang manis- baik dan patuh.Namun setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama setahun, rasa nasionalismenya bertambah, semangat bekerja dan belajar lebih progresif seperti anak anak di Amerika dan kemandirian dan self determinasi Ari juga lebih meningkat.

Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif



Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif
Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMAN 3 Batusangkar)

            Dalam dunia sastra, cerita-cerita dari Barat sangat mengglobal sejak dahulu kala.Kita mengenal cerita Pinokio, Cinderella, The Swan, dan malah dalam zaman sekarang cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK.Rowling yang lahir di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara untuk bidang cyber atau internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke media sosial (medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram diciptakan oleh orang Barat dan termasuk oleh orang Asia yang besar dan terdidik di Barat- di Eropa dan Amerika.
Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena bahwa “orang Barat lebih kreatif dari orang Asia dan termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal ini bisa terjadi ?Ini dapat dijawab dengan menelaah artikel yang ditulis oleh seorang dosen dari Malaysia dan buku yang ditulis oleh dosen dari Universitas Queensland- Australia.
Tulisan seorang dosen yang bernama William K. Lim dari Universiti Malaysia Serawak yang berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Ujian Hanya Berdasarkan Skor Menghancurkan Kreatifitas". Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara).
Menurutnya bahwa akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar.Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.  Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes.
Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya.Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi.Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orang tua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian.Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Seorang dosen dari Universitas Queensland yang bernama Prof. Ng Aik Kwang melihat fenomena ini.Apalagi dosen ini adalah juga seorang Australia keturunan China merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan fenomena ini dikupasnya dalam bentuk buku yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners- Mengapa orang Asia kurang kreatif dari orang Barat". Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup kontroversial, namun akhirnya menjadi buku best-seller dan cukup membuka mata dan fikiran para pembaca di Australia (www.idearesort.com/trainers/T01.p).
            Sebagai dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemui fenomena ini pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and the Westerners -orang Asia dan orang Barat”, tentu saja ia memahami proses kreativitas orang Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia. Jadinya kreativitas sebagaimana yang diobservasi oleh Prof. Ng Aik Kwang lebih tumbuh pada orang Barat.Ini terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau bertanya jawab.
Karena beda titik pandang atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia) menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi (rumah, mobil, uang dan harta lain). Jadi orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer pada perusahaan minyak dipandang lebih sukses dibanding dengan seorang ulama, jurnalis, wartawan dan pelayan public (PNS), yang melalui karir mereka tidak bisa mengumpulkan banyak materi.Sehingga sekarang orang berbuat/ beraktivitas, bersekolah dan termasuk menuntut ilmu pada perguruan tinggi dengan tujuan materialism oriented.
Bagi org Asia dan juga termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai  dibandingkan orang yang memiliki sedikit materi. Guru yang memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang hanya datang berjalan kaki. Begitu juga seorang Ustad atau seorang motivator yang datang hanya dengan sepeda motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada yang datang dengan mobil sedan. Bisa jadi orang yang hanya datang dengan jalan kaki atau punya sepeda motor butut lebih berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli pada bentuk casing atau kulit luar saja.
Perilaku orang kitayang lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda duniawi ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang menyukai  ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Dalam pembelajaran, kita terbiasa dengan budaya menghafal.Pendidikan kita identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, dan juga tes masuk perguruan tinggi  dll semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus- rumus Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
Sebuah cara pandang yang berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejaran. Murid penulis menganggap sebagai mata pelajaran mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas menghafal dan mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari Jerman yang bernama Lewin Gastrich, saat ia ujian sejarah, menyatakan sangat sulit. Karena ia harus mampu menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan.Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin pelajaran.Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika.Tapi jarang sekali- atau hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Penyebab lain adalah karena sifat eksploratif atau penjelajah yang kurang. Kalau ada menjelajah, siswa kita baru sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau mendaki gunung.Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin tahu. Ya sifat eksploratif sebagai  upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko.
Adi Jaderock melalui Forum Orisinil (http://forum.orisinil.com/index) menggagas dialog online tentang mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan dengan bangsa Barat.Ia menjelaskan tentang rasa ingin tahu dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan munculnya temuan- temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari fikiran Newton, Edwin land, Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya.
“Newton bertanya dalam bathin... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan bukan ke atas...? Jadilah Hukum Gravitasi”.
“Edwin land bertanya dalam bathin, Mengapa hasil foto harus menunggu berhari-hari untuk di cetak..? maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid”.
“Wright bersaudara bertanya dalam bathin mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak?maka terciptalah pesawat udara”.
“Johan Gutenberg bertanya dalam bathin mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah sebanyak ini..? maka terciptalah Mesin Cetak”.
“Ray Tomlinson bertanya mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu berhari-hari ?, maka terciptalah email”.
“Graham Bell bertanya bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah jarak?, maka terciptalah telepon”.
“Martin Cooper bertanya dalam bathin mengapa telepon harus pakai kabel?bikir repot saja, maka terciptalah Handphone”.
“Mark Zuckerberg bertanya dalam bathin Bagaimana ya supaya kita bisa saling berbagi pencerahan dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja kita..? maka terciptalah face book yang sangat digandrungi di Indonesia dan di seluruh dunia”.
Pertanyaannya kita adalah: “Mengapa para penemu fitur atau produk teknologi ini semua berasal dari Barat dan bukan dari Indonesia ?’. Salah satu alasannya terbesarnya adalah karena selama ini anak-anak Indonesia dilatih untuk pandai menjawab soal-soal ujian yang sudah ada jawabannya di buku dan bukan dilatih untuk pandai bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam bathinnya sendiri untuk memecahkan masalah-masalah dunia.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung sempit.Untuk tingkat SMA yang dianggap sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”.Maka seorang siswa jurusan IPA hanya tertarik memahami dan mendalami bidang studi tadi.Sebaliknya buat jurusan sosial adalah “akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS hanya tertarik membaca mata pelajaran IPS saja. Untuk ukuran mahasiswa, mahasiswa kedokteran hanya mendalami kedokteran dan tidak begitu peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya untuk mahasiswa jurusan lain.
Pada hal ilmuwan besar dunia, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia mendalami filsafat, agama atau teologi, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi. Sehingga ia mampu menulis 99 buku. Ibnu Arabi sendiri menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd, seorang arsitektur Amerika Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin, ia memahami matematika, politik, diplomasi atau bahasa dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka jadi kreatif pada konsep berfikir.
Penulis jadi memahami semangat eksplorasi teman dari Perancis, mereka adalah Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse, yang dengan senang hati berulang ulang datang ke Batusangkar dan menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk mencari  serangga baru yang belum teridentifikasi di sana. Atau eksplorasi yang dilakukan oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk menemui fosil-fosil kecil sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan suasana tanya jawab. Saat diberikan sesi Tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber utk minta penjelasan tambahan. Prof.Ng Aik Kwang menawarkan bebrapa solusi agar para pelajar kita bisa menjadi lebih kreatif seperti berikut: 
1). Hargai proses pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya. Jangan bangga dapat menantu kaya raya, punya ruko dan 7 mobil mewah namun semua diperoleh melalui cara yang  tidak jelas.
2). Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis essay dan penalaran. Jangan memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun biarkan mereka memahami bidang studi yang paling disukainya.
3). Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains yang punya rumus. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4). Biarkan anak/ siswa memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang
lebih cepat menghasilkan uang.
5). Dasar kreativitas adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa untuk banyak bertanya dan jangan pernah bosa untuk memberi jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu mereka. Kalau tidak bisa menjawab maka cari sumbernya bersama- sama.
6). Guru dan dosen adalah seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu segala jawabannya. Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan tersebut.
7). Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka sebagai orang tua dan guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk mengarahkan mereka dalam menemukan passionnya dan selalu memberi mereka dukungan.
Mudah- mudahaan dengan cara begini kita bisa memiliki anak-anak, para siswa dan mahasiswa menjadi manusia yang kreatif. Kelak bila mereka dewasa maka mereka juga mewariskan model parenting yang kita ajarkan buat generasi mereka sehingga anak-anak mereka juga menjadi generasi yang kreatif,  komunikatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi dan menolak nilai-nilai KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...