Cerdas
Bermental “Sopir” atau “Penumpang?
Sebetulnya saya sudah
mengetahui dan berjumpa dengan Rhenald Kasali- seorang Guru Besar dalam bidan
ekonomi yang sangat peduli pada pendidikan- ketika mengikuti kegiatan seleksi
guru berprestasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2012. Saat itu kami- para
peserta mendengar kuliah umum yang disampaikannya. Usai mengikuti kuliah kami memperoleh
dua buku yang satu pengarangnya adalah Rhenald Kasali sendiri, dengan judul:
Wirausaha Muda Mandiri, tentang kisah inspiratif anak-anak muda menemukan masa
depan dari hal-hal yang diabaikan banyak orang.
Namun saya seolah-olah
merasa lebih dekat dengan pemikirannya setelah membaca buku-buku karangannya,
seperti: Let’s Change, Change leadership
Non-Finito, Disruption, Curse Blessing, dll. Salah satu bukunya- Self Driving Menjadi Driver atau Passenger?- sangat mengagumkan dan menginspirasi saya. Saya merasa
berenang-renang dalam pemikirannya. Kini saya ingin berbagi pemahaman tentang apa
yang ditulisnya, khusus pada buku Self
Driving Menjadi Driver atau Passenger ?
Rhenald Kasali
megatakan bahwa dunia usaha menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver yang senang untuk berkompetensi,
namun juga cekatan, gesit, berinisiatif, dan kreatif. Namun di berbagai kampus,
tanpa disadari, yang terjadi justru pembentukan manusia-manusia bermental passenger. Orang-orag muda sekarang
cenderung banyak yang pandai, namun outputnya
adalah manusia-manusia bermental penumpang.
Orang-orang
demikian kalau belajar fokusnya adalah sekedar bisa menaklukan isi buku teks,
yaitu memindahkan pengetahuan dari buku teks ke kertas ujian. Jadi pintar
mereka adalah pintar kertas. Kalau mereka kuliah dan menjadi sarjana maka
sarjananya sangat mungkin menjadi sarjana kertas. Sementara itu dalam praktek
pendidikan, banyak anak sekolah yang terisolasi dari lingkungan yang dinamis.
Mereka kurang mengenal bagaimana realita kehidupan ini terjadi. .
Ditambah
dengan model pendidikan dasar- model pembelajaran yang konvensional- yang hanya
sekedar membiasakan siswa pandai menghafal pelajaran sambil melipat tangan dan
duduk manis saat belajar. Maka setelah itu terbentuklah menjadi generasi yang
pasif. Dalam realita kehidupan mereka bisa kalah oleh orang-orang yang bukan
bersekolah tinggi namun- eksis dalam realita hidup. Misalnya bagi orang-orang
yang memilih merantau ke luar negeri menjadi buruh migran (TKI). Mereka yang
yang tidak bersekolah tinggi ini dipaksa lingkungan untuk berpikir kritis
menghadapi dunia baru yang sangat menuntut.
Para
buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong, Taiwan, Jepang dan Korea
Selatan banyak yang memilki pikiran yang lebih hebat dibanding sarjana yang
dari kecil tumbuh cerdas karena serba diservis- dimudahkan jalan hidupnya. Pada
akhirya mereka menjadi pemuda dan sarjana yang tumbuh menjadi orang dengan
karakter penumpang, bukan bermental driver.
Rhenald
Kasali dan juga kita semua sudah lama komplain terhadap dunia pendidikan.
Metode pembelajaran di sekolah-sekolah yang terlalu kognitif, dengan guru-guru
yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80- betapa
stresnya mereka. Dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid yang aktif,
namun tidak menguasai semua subjek/ mata pelajaran. Potensi anak-anak hanya
dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan
catatan. Entah dimana pedagogi atau ilmu keguruan itu muncul kalau sekolah
tidak mendorong munculnya/ tumbuhnya critical
thingking. Mereka mengkritik lulusan yang bisa membebek (menganggur dan
pasif), tetapi mereka sendiri tak berhenti menciptakan/ mendidik generasi yang
bersifat bebek-bebek dogmatik.
Sementara
itu di perguruan tinggi, juga banyak akademisi yang mengukur kecerdasan
mahasiswa hanya dari ujian tertulis, buku test dan kertas test. Rhenald Kasali-
sebagai Profesor ekonomi- sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A
dalam kelas marketing (mendapat nilai
A dengan sangat mudah) namun mereka memiliki pribadi yang tidak mencerminkan
seorang marketing dengan nilai A.
Mengapa ? Ya karena cara bicaranya yang ketus pada teman, berpakaian
sembarangan, pribadi mereka membosankan temannya. Pada hal seorang marketing
itu pribadinya harus menarik dan menyenangkan.
Akhirnya
orang-orang seperti itu (mahasiswa seperti itu) kelak akan kesulitan dalam
mencari pekerjaan atau berwirausaha. Mereka juga akan kesulitan dalam
memasarkan dirinya dan jadilah mereka sebagai mahasiswa atau sarjana yang
frustasi/ depresi.
Adalah
juga fenomena bahwa sekarang banyak orang (calon mahasiswa) berebut untuk bisa
kuliah di tempat- di universitas yang bergengsi dan berlabel di pulau Jawa. Ini
tidak salah kalau mereka bisa berproses dengan ideal. Namun cukup banyak dari
mereka yang berprinsip bahwa label-label universitas tersebut akan menjamin
mereka untuk bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah di perusahaan ternama di
tanah air ini. Pendidikan yang benar adalah “jangan menjual label-label
universitas. “Wah saya ini lulusan universitas X pasti perusaha besar yang
hebat akan mudah menggaetku, namun jual-lah apa potensi dirimu- kelebihan
unggul yang engau miliki !”.
Sesungguhnya
Allah telah memberi kita diri yang bisa kita sebut dengan kata “self- atau diri”. Self ini adalah sebagai kendaraan- maka sekarang kita bisa memilih,
mau dibawa kemana self tersebut, mau menjadi penumpang (self-passenger) atau pengemudi (self-driver)
nya. Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver ?
Pilihan
yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver- yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat
benar bahwa kita harus mampu untuk:
“Drive yourself, drive your friend, drive
your people, and drive your nation- gerakan dirimu, gerakan temanmu,
gerakan orang lain, dan gerakan bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang
bermartabat di dunia”.
Namun
kenyataannya adalah banyak orang dalam bangsa kita, di lingkungan kita, atau
juga kita sendiri yang “bermental passenger-
yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Seorang
penumpang, dia boleh duduk dengan manis di belakang sopir (driver), tak mau ambil resiko, dia boleh duduk sambil ngantuk atau
ngobrol. Sementara seorang driver
harus duduk di depan, tidak boleh mengantuk. Dia harus bertanggung jawab atas
resiko, dan dia harus tahu jalan. Dia juga perlu memikirkan keadaan lalu lintas
dan harus bisa merawat kendaraan.
Seseorang
yang menjadi passenger- berkualitas
pengikut dengan mental menjadi kerdil- itu karena dia terbelenggu oleh
settingan otak yang kondisinya tetap (statis/ kurang bergerak). Sebaliknya
seseorang yang menjadi driver- mampu
mendorong- karena memiliki settingan otaknya
(mindsetnya) yang selalu
tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang- orang lain untuk ikut berkembang dan bisa
keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai
perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati dan kaya
empati.
Telah
banyak orang yang didik begitu lama, dari bangku SD hingga menjadi sarjana.
Namun setelah jadi para sarjana, mereka tidak tahu mau pergi kemana. Ya banyak
orang yang berpendidikan tinggi namun belum mampu menggerakan (self-drive in) dirinya sendiri, apalagi
menggerakan orang lain. Sebaliknya banyak orang yang hanya berpendidikan
rendah, namun tidak mau meratapi diri mereka, malah mereka bertarung
habis-habisan agar bisa mengatasi masalah hidupnya sendiri dan tidak mau
menjadi beban bagi orang lain.
Pendidikan
hidup yang mereka jalani adalah melalui proses belajar, yaitu bagaimana
memperbaiki cara berpikirnya dan cara menjalani hidup yang menantang. Sayangnya
banyak orang yang berpendidikan tinggi, menjadi sarjana, tetapi tidak mengalami
proses belajar tentang bagaimana dengan realita kehidupan ini. Mereka tahunya
hanya belajar dengan cara menghafal-dan meghafal saja- sekalipun mampu menjadi
juara- namun ternyata bahwa itu belum lagi menjadikan mereka sarjana yang
terbiasa berpikir.
Belajar artinya
adalah berpikir, ibarat seorang driver
yang harus cepat mengambil keputusan di jalan raya yang padat. Ia bisa
mengambil jalan-jalan yang lain yang baru sama sekali. Sedangkan menghafal dapat diibaratkan menjadi seorang penumpang yang
mana dia boleh mengantuk, tertidur dan tanpa perlu mengambil resiko di jalan.
Masalah yang
kini kita saksikan di panggung dunia kerja dan dunia politik, juga di dunia
birokrasi dan akademik, semua tidak lepas dari pengalaman bagaimana
manusia-manusia Indonesia dididik dalam keluarga pada masa kecil. Melalui
tangan orangtua, bayi-bayi mungil yang tak berdaya itu diberi kehangatan, kasih
sayang, kelembutan, asupan gizi, ASI dan seterusnya menjadi seorang anak.
Cukup banyak
anak-anak yang dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua, bukan berdasarkan
potensi atau pemikiran anak. Sehingga dalam mengambil keputusan dan berargumen
juga tidak mandiri, masih minta pertimbangan pada orangtua. Jadinya anak sering
bertanya:
“Mama,
..papa..ini boleh nggak aku kerjain?, ...apa ini sudah boleh aku kerjakan?,...apa
sudah waktunya atau belum aku boleh main game?,....pakaian yang aku pakai ini
cocok atau tidak ??”. Demikian seterusnya hingga mereka tumbuh dewasa. Saat
mereka tumbuh dan bisa berjalan, kita masih membelenggu pikiran mereka dengan
hubungan batin pada pikiran kita. Saat mereka ingin ikut berkemah dengan
teman-temannya, kita katakan:
“Jangan ikut
berkemah nak ..nanti kau sakit”. Atau saat mereka ingin melakukan eksplorasi, travelling, kita/ orang tua juga merasa
keberatan. Bahkan saat mereka memilih jodoh, orang tua juga menetapkan
syarat-syarat yang ketat. Malah sudah menikah, bahkan tak sedikit orangtua yang
mengatur kehidupan anak-cucunya. Tempat tinggal, karier, gaji dan sebagainya
masih banyak diurus orangtua.
Rasa
ketergantungan anak-anak yang besar semakin hari semakin banyak kita saksikan.
Yang kita lupa bahwa anak-anak telah tumbuh menjadi manusia dewasa, yang kurang
mampu berpikir secara mandiri karena kita yang melatihnya secara mereka kecil
hingga dewasa. Seolah-olah kita tak rela menjadikan mereka manusia dewasa yang
mampu berpikir sendiri- jadinya mereka hanya menjadi manusia yang bisa mengeluh
yang selalu ingin dibimbing orangtua. Akhirnya mereka menjadi manusia passenger dalam kendaraan keluarga.
Sudah seharusnya
anak-anak juga bisa dilatih untuk mandiri dan melepaskan diri dari
ketergantungan. Hewan saja tidak selalu melindungi anaknya secara bulat-bulat,
sesuai masanya dia melatih anaknya unduk punya keterampilan, untuk mandiri dan
setelah itu anaknya terbang dan hidup mandiri. Maka anak-anak muda, para
remaja, apalagi para mahasiswa jangan biarkan diri selalu terpasung oleh
sesuatu yang dibawa dari masa lalu. Untuk itu lakukanlah perubahan !!!
Kita tidak
bermaksud menjelekan praktek pendidikan di Indonesia. Namun hanya sekedar
memberi tahu tentang kenyataanya- atau realitanya. Bahwa para pendidik dan juga
para dosen merasa puas mengajarkan dengan cara memindahkan isi text book ke kepala mereka (siswa dan
mahasiswa), itu namanya belum menuntut ilmu, tetapi baru sekedar memindahkan
isi buku ke memory dalam kepala.
Rhenald Kasali
mengatakan tentang perbedaan kontras dari eksistensi belajar di Indonesia
dengan di Amerika Serikat. Bahwa anak-anak di Indonesia terlihat banyak yang
ketakutan dalam megungkapkan isi pikiran dan analisisnya kendati mereka sudah
dewasa. Sebaliknya di Amerika Serikat Rhenald Kasali bertemu dengan ribuan pemuda
(mahasiswa) dari berbagai bangsa dan mereka berbagai cerita.
Ketika banyak
anak Indonesia begitu manja hidup dari beasiswa atau tunjangan dari orangtua,
Rhenald Kasali justru berjumpa dengan banyak orang muda dari berbagai negara-
Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Aljazair, Mesir, dll- yang dibiarkan orangtua untuk
belajar hidup. Mereka bekerja keras untuk membayar sewa apartemen, makan
sehari-hari dan membayar uang kuliah, dan mereka mendapatkan kemandirian. Ada
yang menjadi petugas pembersih toilet yang kerjanya malam hari, memupuk kebun
jagung, operator mesin pemotong rumput, mengantar koran, dan mencuci piring di
restoran, dll.
Para mahasiswa
yang dulu hidupnya serba mudah, serba diservis hingga bisa memperoleh nilai akademik
yang tinggi, namun dalam realita mereka sangat miskin dengan pengalaman hidup
di dunia yang nyata. Setelah itu hidup akan terasa terbalik 180 derajad.
Jadinya yang perlu kita kasihan, bahwa kita menyaksikan mereka yang dulu hidup begitu
dimanjakan (akibat berada dalam comfort-zone)
. Namun tak sedikit di antara mereka yang kemudian keadaanya serba terbalik.
Tak sedikit di antara mereka yang kemudian kesulitan untuk berselancar dalam
dinamika kehidupan yang berubah-ubah dan penuh ketidakpastian. Sementara bagi
mereka yang terlatih dengan kesulitan hidup (keluar dari uncomfort-zone) mampu menjalani ketidakpastian. Oleh sebab itu
biasakanlah belajar untuk keluar dari comfort
zone- dari kebiasaan banyak diservis/ serba dilayani dan merengek pada
orangtua melulu.
Keluar dari comfort zone- dan keluarlah dari sangkar
emas. Diakui bahwa memang banyak jumlah para mahasiswa sekarang, yang mana kalau di atas kertas cukup banyak yang telah
memperoleh prestasi, namun dalam kenyataanya bahwa mereka yang hanya sebatas mampu
meraih nilai atau skor akademik yang tinggi setelah itu tidak tahu mau berbuat
apa untuk hidup dan apa bentuk karir mereka.
Ya generasi baru
Indonesia banyak dalam bentuk generasi servis. Mereka dibesarkan dengan servis
yang dibeli oleh orangtuanya yang bekerja. Yang punya uang berlebih tentu bisa menyewa
asisten rumah tangga untuk membereskan tugas-tugas rumah. Semua anak-anak akan bebas
dari tanggung jawab untuk ikut beres-beresin rumah. Secara langsung maka para
orangtualah yang mendidik anak jauh dari tanggung jawab:
“Anak- anak
tidak diajar bertanggung jawab, mengurus diri dan ikut mengerjakan pekerjaan
rumah. Namun semua semua diserahkan pada pembantu/ assisten rumah tangga”.
Bagi orangtua yang
lebih sejahtera ekonominya juga bisa membeli jasa baby sitter. Bahkan untuk belajar pun, mereka didampingi guru-guru
les yang bisa disewa orangtua. Akibatnya anak-anak jadi kurang inisiatif.
Apa jadinya
sekarang, ya telah bermunculan generasi anak mami yang lebih banyak dibentuk
oleh servis yang dibeli oleh orangtua. Artinya anak-anak dibuat dengan
kemampuan berpikirnya hanya sekedar bisa menghafal- hingga mereka menjadi
generasi yang memiliki kesulitan berpikir dalam menghadapi tantangan-tantangan
baru.
Pergi sekolah
untuk apa dan kuliah buat mencari apa ? Masuk universitas pilihan susahnya
setengah mati. Kalaupun diterima ternyata juga banyak yang salah kamar.
Kalaupun mereka sudah masuk universitas/ atau sekolah yang bergengsi, yang
dilatih hanya otaknya saja. Sementara mental dan fisiknya miskin dengan
sentuhan. Seharusnya selain otak, fisik mereka juga harus dikuliahkan/ disekolahkan.
Sesungguhnya sekolah dan kuliah itu sendiri bukan harus di atas bangku/ dalam
kelas melulu, namun harus ada di alam semesta, bertemu debu dan lumpur,
berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.
Mengapa sudah
jadi fenomena bahwa para sarjana sulit memperoleh pekerjaan? Pada mulanya
banyak orang berpikiran bahwa dengan kuliah di universitas, khususnya
universitas yang bergengsi dan punya label” maka setelah wisuda pekerjaan bisa datang
dengan mudah, banyak perusahaan akan ngiler melihak sosok pribadinya. Ternyata
itu hanya isapan jempol dan tidak terbukti.
Perusahaan/
pengusaha tidak mau mencari pegawai yang bertipe pemegang ijazah. Memang juga
benar bahwa orang-orang yang berijazah dari universitas bagus- bergengsi dan
berlabel unggul- menunjukan sinyal bahwa mereka adalah pekerja keras yang telah
terseleksi dengan baik. Namun para pengusaha juga menyadari bahwa kegiatan di
kampus-kampus baru sebatas mengisi para mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan
teori, sedangkan untuk menghasilkan “manusia yang berpikir” dibutuhkan lebih
dari sekedar teori dan ilmu pengetahuan. Yang dibutuhkan adalah seseorang
dengan “total pribadi” yang sangat berkualitas. Dan itu semua bisa ditempa oleh
serangkaian pengalaman- yang penuh ketabahan, kesusahan, penderitaan, kesabaran
dan keberaian.
Lebih lanjut
juga dikatakan oleh Rhenald Kasali bahwa Vicki Abeles mengumpamakan pendidikan
di sekolah kita dengan istilah “Race To
Nowhere” – yaitu perlombaan besar yang muaranya tak jadi apa-apa. Dimana banyak
anak anak yang pada mulanya belajar dengan sangat serius dan bersemangat namun
bertahun kemudian mereka tidak jadi apa-apa.
Fenomena
memperlihtkan bahwa hidup kita sering jadi terbalik. Ada orang yang sekolahnya
dilalui dengan “penuh kesungguhan”, namun hasilnya bisa jadi nothing- tak jadi
apa-apa. Sedangkan orang yang sekolahnya “main-main” malah bisa menjadi
pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Mungkin orang yang
terkesan bermalas-malas mereka malah memiliki mindset (pola bersipiki) sebagai seorang driver, sementara orang yang tekun memiliki mindset (pola bersipiki) sebagai seorang passenger -ya sekedar berharap jadi penumpang.
Namun kita
berharap mereka yang bekerja dan belajar dengan bersungguh-sungguh agar bisa bermental
driver. Untuk itu kepada mereka yang
sedang belajar bersungguh-sungguh kita ajukan sejumlah indikator atau
pertanyaan untuk melihat apakah kelak manjadi orang bermental driver atau passenger. Indikator atau
pertanyaanya sebagai berikut:
- Coba jelaskan
mengapa hidup musti berubah, dan mengapa perubahan menuntut
manusia untuk berpikir ?
- Apakah
orangtua/ lingkungan anda membelenggu perkembanganmu ?
- Apakah anda
tertantang untuk mengenal linkungan baru yang lebih banyak ? Apa
anda bertipe orang rumahan ?
- Apa anda
senang diservis, generasi anak mampi atau anak yang lebih mandiri ?
- Apa anda
tergila gila dengan gadget dan membuat anda sangat individualis dan
kurang membuka diri ?
- Apa anda suka
melayani, dan punya inisiatif, juga punya navigasi atau kendali diri,
serta juga punya tanggung jawab ?
- Ananda memiliki kemampan drive (mengendalikan)- untuk bisa mengendalikan diri,
teman- teman, lingkungan dan kedepannya
untuk mengendalikan bangsa ini ?
- Anda senang
menonton orang bekerja ? Atau terpanggil untuk ikut berpartisipasi ?
- Anda mudah
gelisah dengan perobahan, dengan hal-hal baru dan juga dengan
orang baru ? Anda mampu beradaptasi dengan
mudah ?
- Dalam bergaul
dan berkomunikasi anda suka memonopoli, terlalu banyak
berbicara, dan kurang bisa mendengar pendapat
orang ?
- Apa anda
memiliki disiplin diri yang tinggi dan manajemen waktu yang baik ?
- Apa anda punya
ketertarikan atau hobby dan suka memenjaganya ?
- Anda mampu
berkonsentrasi ? Juga mampu mengendalikan emosi/ amarah ?
- Anda senang
beraktivitas ?
- Apa anda suka
membuat-buat alasan ? Suka mnunda nunda waktu, menunda
pekerjaan, bekerja tanpa prioritas ?
- Apa anda suka
menghindari tanggungjawab, kurang berani, dan suka membuang
waktu ?
- Apa anda bisa
mengukur kemampuan diri ?
- Apa anda
orangnya sangat gigih ? Sangat tekun ? Sangat Pede ? Tidak suka
pasrah dan menyerah ?
- Apa anda orang
nya sederhana ada gaya hidup yang ribet ?
Dari
pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawan bagaimana arah pribadi mereka, dan
juga arah pribadi kita. Apakah bermental penumpang atau bermental driver- pengemudi. Namun tentu saja arah
pribadi yang didambakan adalah yang bermental driver.
Adapun praktek
pendidikan yang cenderung mengantarkan anak didik untuk menjadi orang yang
bermental penumpang harus segera diperbaiki. Yaitu metode pengajarannya harus
dibongkar habis. Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan harus
merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir
mandiri. Mata pelajaran sains seperti biologi, kimia, fisika harus diubah
menjadi mata pelajaran lab yang lebih fun.
Dimana anak didik dibuat belajar seperti seorang saintis yang berpikir, dan
bukan menghafal.
Karena
pengalaman di lapangan pendidikan sering ditemukan anak-anak yang pintar di
sekolah, namun belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru
terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan yang siswanya
cenderung suka menghafal.
“Memorizing is not good thingking dan
menghafal bukanlah cara berpikir yang baik”.
Maka anak-anak dan
juga kita perlu latihan berpikir. Mata pelajaran yang terlalu bersifat
menghafal perlu kita renungkan kembali bagaimana model PBM yang bisa membuat
siswa aktif dan kreatif. Guru-guru juga harus dilatih ulang. Sebab mereka
sendiri sebelumnya telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat
merisaukan. Jadinya guru dan para siswa harus berubah dari kebiasaan menghafal
menjadi berpikir- thingking oriented.
Karena dengan
kemampuan berpikir yang baik akan bisa menghasilkan karya-karya yang besar.
Jadi pendidikan perlu disepurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan
orangtuanya. Dengan demikian kita semua tumbuh dan berkembang menjadi pribadi driver- yang mampu menggerakan dan mengendalikan
diri dan memajukan bangsa ini. Ya untuk menjadi nation driver.