Pentingnya
Menjadi Siswa Yang Smart Book dan Smart Street
Kata-kata
“smart” sangat disukai banyak orang,
dan pusat kegiatan yang memakai kata smart
seperti smart kid, smart group, smart
hobby, smart house, dll selalu diburu oleh paraorang tua. Karena mereka ingin memilki anak-anak mereka menjadi
smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang
memburu tempat kursus yang punya label “smart”.
Kata smart lagi fenomena seperti smart book, smart phone dan smart street.
Banyak
orang tahu bahwa kata smart berarti
cerdas. Smart book berarti cerdas
dengan buku. Maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku
teks dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam pikirannya.
Sementara itu, smart street berarti cerdas di jalanan,
maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri. Orang yang smart street adalah orang yang memiliki life skill.
Anak
anak kita yang belajar di sekolah favorit yang sangat focus dengan urusan
akademik pada umumnya sudah memiliki karakter sebagai smart
book. Pengalaman seorang yang
mengajak tour satu grup para siswa yang hanya sekedar cerdas akademis atau smart book pergi tour melintasi Pulau
Jawa dan suati ketika berhenti di rest
area dan pergi ke sebuah mall besar.
Namun para siswa
yang hanya sekedar smart book tersesat
dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke
dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka cukup kehilangan akal,
tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama buat membantu mereka. Ini terjadi
mereka minim dengat pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan
di alam ini atau kurang paham dengan smart
street sehingga bermasalah dalam
sepenggal kehidupan nyata.
Sementara itu
teman teman mereka yang berasal dari sekolah biasa-biasa saja lain yang tidak
punya label unggul atau label smart juga
pernah dibawa tour oleh sekolah mereka dan dilepaskan ke sebuah mall sangat
besar, tidak satu orang pun yang menelpon karena merasasesatjalan. Ternyata mereka sudah terbiasa menjelajah
lingkungan dan alam lebih luas, sehingga mereka menjadi siswa yang smart street. Sebenarnya negara kita
sangat membutuhkan generasi muda yang smart
book dan sekaligus juga sebagai smart street.
Indonesia
dan Amerika Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya
timur dan barat. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur 2 bangsa
sebagian bersifat stereotipe atau pendapat umum yang sudah digeneralisasi.
Orang Amerika diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran
tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa/ mahasiswa menghormati dosen (guru)
mereka, namun mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga
berdebat dengan dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan bersikap
santai dan ramah.
Sementara di
Indonesia orang cenderung menggunakan visualisasi dan bahasa yang indirect- bahasa yang tidak langsung ke
pokok permasalahan. Dalam belajar mereka menghormati dosen/guru, tidak terbiasa
untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa/ siswa
terbiasa mencatat sebanyak mungkin.
Kedua negara ini
berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, kualitas SDM masyarakatnya,
budayanya, dan banyak hal. Praktek pelaksaan mendidik di sekolah Amerika juga
sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan
bermaksud untuk menyanjung Amerika
Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu
kita cintai.
Adalah
fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca
membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian
campur tangan orang tua dalam mendidik sebagian dalam bentuk pintar memerintah,
menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan
setelah itu. Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan
melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori,
tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik
mereka signifikan cukup bagus.
Di
negara ini banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif
semata. Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif/ sikap dan praktek,
tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian
anak.
Urusan
akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore-
hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak cerdas
tadi dikirim lagi oleh orang tua ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup
melelahkan pak keluh seorang anak. Namun orang tua selalu memaksa agar saya
bisa memperoleh passing grade yang
tinggi. Agar saya kelak bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan
tinggi favorit”.
Ya begitulah
sebahagian anak cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam kamar
akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang senja
tiba. Dan seperti itulah fenomena anak anak cerdas a’la Indonesia.
Memang
belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas,
utamanya bagi orang tua mereka yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri
gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis
pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan
cocok menurut selera.
Saat
saya remaja, sering melihat orang pergi les dalam bentuk les menjahit, les
memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa. Juga les otomotif, les
merangkai elektronik, hingga les main organ, biola, gitar, dan lain-lain. Les-
les seperti itu membuat para remaja cerdas secara non akademik. Namun les- les
seperti itu sudah sangat langka, yang menjamur adalah les mengolah soal- soal
mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Les ini dikemas dalam bentuk
“bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah
melimpah dan coraknya monoton yaitu sekedar les buat tujuan academik melulu.
Antara
satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak
anak cerdas. Agar bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior
dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel
dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
Tentor
bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka
idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala
berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena,
bahwa pribadi tentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM
di kelas yang kusam dengan guru yang nggak bersahabat.
Singkat
cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan
waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik
adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka
mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih
jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka
akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir
dengan duit.
Orang
tua di rumah juga sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat
untuk meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi
akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit.
Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu
sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan,
sekolah multi-talenta, dll.
Memang
bangsa kita dan apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label. Mereka
selalu mencari pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50
ribu perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan
diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak” namun pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola
Bintang Kecil”.
Seorang
famili yang baru pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program
pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange
Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa
program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda
dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak
teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,
juga siswa-siswa di Indonesia
secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (semata- mata terfokus pada
satu tujuan saja) untuk melahap rumus- rumus pelajaran. Dari pagi hingga awal
sore mereka belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di
bimbel. Pulang sekolah sudah telat dan
pulang bimbel juga sudah malam semua membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur
saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena ledek oleh mama dan dianggap
malas”. Juga mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah.
Sebagian siswa
merasakan badan mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak
berimbang. Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan
mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan zat kimia
atau adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam label mewah
namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak
sehat dan juga mengadoppsi life style yang
mereka anggap mewah. Pokoknya asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka
juga kurang sehat.
“Mana mungkin
tubuh dan pikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
“Ya demikianlan
realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang mereka. Yaitu
gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin,
namun mengabaikan kecerdasan non akademik”
Di negara Paman
Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami saja, tidak
begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada namun tidah ada fenomena
deman bimbel setiap akhir tahun akademik. Belajar di sekolah saja itu mereka
rasakan sudah cukup. Mereka tidak perlu
lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru- guru
mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat,
sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara kreatif
dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim
layanan prima: look smile, greed, serve,
and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru
bimbel kita, atau malah lebih lagi.
“Ya betul bahwa
di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya
dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di
sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi
mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main
badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate.
Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya. Sehingga pada
akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi yang gemar
pada bidang music dan seni, mereka
pada menyerbu theater. Ada yang
mendalami music jazz, music pop, biola, key board,
mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada
akhirnya- saat tumbuh dewasa- mereka
bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional.
Bagaimana dengan
urusan akademik ? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni. Walau mereka
pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan konsep
agama kita “man jadda wa jadda-
barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi
bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas
bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga
punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak. Orang tua di
negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai akademik.
Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan waktu di
sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi dan
kelak kuliah di tempat yang favorit (?).
Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang
datang dengan mudah.
Makanya orang
tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik
dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Anak tidak perlu lagi ikut cuci
piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam
kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena anak
sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus
dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu
lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak, mencuci
malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan anak
sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai,
sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line
atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena
sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga
atau lingkungan sosial maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan
sosial.
Kita mendidik
dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga rumah-rumah dan
sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik namun buta dengan
lingkungan- tidak punya life skill-
kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak
yang sekedar “rancak di labuah- sekedar bagus pada penampilan” yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda
dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika-
mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon pengantin
sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting-
bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam
mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua
orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan
guru di sekolah sebagai teacher. Educator
berarti pendidik dan teacher berarti
pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku dan
tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan
tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap
anggota keluarga tahu dengan job
description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan
tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam
aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga
sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak- anak di
Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart
agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan
belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting.
Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki
skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi
terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda.
Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang
basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji
dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi
sarjana yang miskin smart street dan tidak punya life skill akan
dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan
buat menunggu datangnya “job- fair”
tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim
kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan
masa hingga usia merangkak tua.
Anak- anak di
sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang jelas.
Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan
tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan
tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak ada
fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar
di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak- anak
untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian
semua orang yang mengerti dengan konsep parenting
juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut
mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan,
berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas
pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di
sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka
mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota.
Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level
nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di
Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas
tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.