Banyak
Yang Pintar, Sedikit Yang Kreatif
Mengapa
Orang Barat Kreatif ?
Dalam dunia sastra,
bahwa cerita-cerita klasik yang datang dari dunia Barat. Cerita-cerita klasik
tersebut telah mengglobal sejak dahulu kala. Kita mengenal cerita Pinokio,
Cinderella, The Swan, The beast and the beautiful, dan malah dalam zaman
sekarang ada cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK. Rowling yang lahir
di Barat yaitu di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris.
Sementara untuk bidang cyber atau
internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke
media sosial (medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram juga
diciptakan oleh orang Barat dan oleh orang-orang Asia yang besar dan didik di Barat- di Eropa
dan Amerika.
Dengan demikian terasa
adanya suatu fenomena bahwa “orang Barat lebih kreatif dari orang Asia dan
termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini telah dijawab oleh
William K. Lim (2010) dan Ng Aik Kwang (2001).
William K. Lim (2010)
dalam bukunya yang berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity-
Budaya Ujian Cara Orang Asia, Hanya Berdasarkan Skor Menghancurkan
Kreatifitas". Dia menjelaskan bahwa meskipun sejak bertahun-tahun, orang
Asia didaulat akan menjadi pendorong dunia sains berkat sangat besarnya
investasi di bidang sains dan teknologi. Dalam kenyataannya malah Asia masih
tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara).
“Ada apa kalau pendidikan
hanya berorientasi pada skor-tes?”
Menurutnya bahwa akar
permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes,
yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas
pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi
ilmuwan yang berhasil.
Di Asia, para pelajar dan
juga manajemen sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya-
misalnya bagaimana sekolah bisa memperoleh peringkat skor UN (Ujian Nasional)
yang tertinggi. Banyak yang beranggapan bahwa pelajar yang mampu meraih
skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan
masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik
ditentukan oleh skor-tes.
Semakin tinggi skornya
tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa
dimasuki oleh orang-orang yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya
meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin
pendanaan lebih banyak.
Guru pun ditekan untuk
mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi.
Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam
pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah
semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan
hanya berorientasi skor-tes, para orangtua lazim memasukkan anak-anaknya ke
suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah atau bimbel (bimbingan belajar) sejak usia dini. Akibat waktu sekolah yang
panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan
intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan
kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya
keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar.
“Padahal keterampilan
menelaah, menginvestigasi dan bernalar sangat dibutuhkan dalam
penemuan-penemuan ilmiah”.
Ng Aik Kwang (2001)
menulis tulisan ilmiah yang berjudul “Why
Asians Are Less Creative Than Westerners”, Dia adalah seorang dosen dari
Universitas Queensland juga seorang Australia keturunan Asia (atau China). Dia
merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan fenomena ini dipaparkanya kedalam
opininya- essaynya:
"Why Asians Are Less Creative Than Westerners- Mengapa orang Asia
kurang kreatif dari orang Barat".
Pada mulanya tulisan dosen
ini dipandang cukup kontroversial, karena bersifat sentimentil rasial. Namun
akhirnya opininya cukup objektif dan
membuka mata dan pikiran para stakeholder
pendidikan di kampusnya- Universitas Queesland- Australia.
Sebagai
dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemukan fenomena
ini pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat
multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and the Westerners -orang
Asia dan orang Barat”. Tentu saja ia memahami proses kreativitas orang Eropa,
Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia. Jadinya kreativitas
sebagaimana yang diobservasi oleh Ng Aik Kwang (2001) lebih tumbuh pada orang
Barat. Ini terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di
sekolah-sekolah kita yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau
bertanya jawab.
“Bagaimana ukuran sukses
bagi orang kita?”
Karena beda titik pandang
atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga sebagian orang Asia)
menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi. Punya rumah bagus, mobil
mewah, uang banyak dan harta lain. Jadi orang yang bisa menjadi dokter
spesialis atau manajer pada perusahaan minyak dipandang lebih sukses dibanding
dengan seorang ulama, jurnalis, wartawan dan pelayan publik (PNS), yang melalui
karir mereka tidak bisa mengumpulkan banyak materi. Sehingga sekarang orang
berbuat/ beraktivitas, bersekolah dan termasuk menuntut ilmu pada perguruan
tinggi dengan tujuan materialism oriented.
Bagi orang Asia dan juga
termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai dibandingkan orang yang memiliki sedikit
materi. Guru yang memilki mobil lebih terpandang dari pada guru yang hanya
datang berjalan kaki. Begitu juga seorang Ustad atau seorang motivator yang
datang hanya dengan sepeda motor butut bisa jadi dibayar lebih rendah dari pada
yang datang dengan mobil sedan.
“Pada hal mereka yang
hanya datang berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor butut bisa jadi lebih
berkualitas. Dengan demikian orang kita lebih peduli pada bentuk casing atau kulit luar saja”.
Perilaku sebagian
masyarakat kita yang lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda
duniawi ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang
bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun,
atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila
perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
“Apa pembelajaran kita
terbiasa dengan budaya menghafal?”
Ya benar. Dalam pembelajaran,
kita terbiasa dengan budaya menghafal. Pendidikan kita identik dengan hafalan
berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, dan
juga tes masuk perguruan tinggi, dll, semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat
sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus- rumus Ilmu pasti dan ilmu
hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan
rumus rumus tersebut.
Sebuah cara pandang yang
berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejarah. Banyak siswa yang menganggap
sejarah sebagai mata pelajaran yang mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas
menghafal dan mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa
dari Jerman, yang mengikuti pertukaran pelajar Indonesia dan Jerman untuk
wilayah kota Padang yang bernama Lewin Gastrich, mengatakan pelajaran sejarah
sebagai mata pelajaran yang sangat sulit. Karena ia harus mampu menyampaikan
sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya di depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode
belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat hafalan. Karena
berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin pelajaran.
Mereka dididik menjadi "Jack of all
trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal
tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan,
banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade
Fisika, dan Matematika. Tapi jarang sekali orang Asia yang menang Nobel atau
hadiah internasional lainnya yang berbasis invention
(penemuan), inovasi dan kreativitas.
Penyebab lain adalah sifat
eksploratif atau penjelajah yang masih kurang. Kalau ada eksplorasi, banyak
siswa hanya sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau mendaki gunung.
Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin tahu. Ya
sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi
rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko.
Rasa
Ingintahu Mendorong Kreativitas
Adi Jaderock melalui Forum
Orisinil (http://forum.orisinil.com/) menggagas dialog online tentang: “Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan
dengan bangsa Barat?”
Respondennya menjelaskan
tentang rasa ingin tahu dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah menyebabkan
munculnya temuan- temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari
pikiran Newton, Edwin land, Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson,
Graham Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya. Jadi rasa
ingin tahu adalah sebagai pemicu kreativitas. Seperti apa proses kreatif para inovator tersebut. Agaknya beginilah
profil sekilas tentang usaha inovasi mereka:
a). Issac Newton
Issac Newton- seorang
matematikawan, fisikawan, ahli astronomi yang juga penemu dari teori gravitasi.
Ia terlahir prematur, kurang cukup bulan, dari keluarga
petani. Ketika Isaac Newton sedang berjalan di taman, di
bawah pohon apel dan melihat jatuhnya sebuah apel yang menginspirasinya dan
bertanya dalam hatinya... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah dan
bukan ke atas...? Padahal Newton sendiri mengatakan bahwa ia sedang di dalam rumah
ketika ia melihat dari jendela sebuah apel jatuh dari pohonnya, ini
menginspirasinya untuk menemukan teori gravitasi, kemudian munculah Hukum
Gravitasi (Hatch
Robert A, 1998).
b). Edwin Herbert Land
Edwin Land - seorang tokoh
dalam sejarah fotografi industri. Pada masa mudanya, Edwin Land sering membaca
buku mengenai Fisika Optik yang ditulis oleh Robert W. Wood, terutama bagian
mengenai polarisasi cahaya. Setelah lulus dari Norwich Free Academy, Land
melanjutkan studinya di Universitas Harvard dengan niat untuk meneliti tentang
polarisasi cahaya. Setelah tahun pertama belajar di Harvard, Land memutuskan
untuk berhenti sekolah dan berkonsentrasi untuk menemukan cara menghasilkan
teknologi polarisasi murah dan efisien yang di kemudian hari disebut sebagai
Polaroid. Sejak itu, ia meneruskan belajar di Perpustakaan Umum New York.
Penemuan Polaroid diilhami
dari pertanyaan Jennifer Land, anak Edwin Land yang saat itu berusia tiga
tahun. Dia menanyakan kepada ayahnya mengapa tidak dapat melihat hasil foto
jepretan ayahnya secara langsung. Edwin juga bertanya dalam hatinya, Mengapa
hasil foto harus menunggu berhari-hari untuk di cetak..? Dia menggunakan
prinsip transfer difusi untuk menghasilkan kembali gambar yang direkam oleh
lensa kamera secara langsung ke permukaan sensitif cahaya yang berfungsi
sebagai film atau foto- maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid (Victor Mc
Elheny, 1999).
c). Wright Bersaudara.
Wright bersaudara yang terdiri dari dua orang adik beradik, Orville Wright dan
Wilbur Wright. Kedua kakak
beradik itu pada awalnya mengelola sebuah toko di Dayton, Ohio. Toko tersebut
menjual dan memperbaiki sepeda motor. Wright bersaudara tentu saja
bertanya-tanya dalam hatinya mengapa burung bisa terbang dan manusia tidak?
Jadinya kemudian mereka mulai mempelajari masalah penerbangan pada tahun 1889.
Kemudian mereka mulai
membuat tiga pesawat terbang layang bersayap kembar. Ketiganya dites di pantai
Kitty Hawk di Carolina Utara. Pesawat yang ketiga telah diujinya sebanyak 1000
kali penerbangan dan ternyata berhasil dengan sukses. Kemudian mereka membuat
mesin motor ringan. Mesin tersebut di pasang di pesawatnya yang keempat, yang
dinamakannya Wright Flyer, jadinya maka terciptalah pesawat udara (Tejvan Pettingen, 2010).
d). Johan Gutenberg
Johann Gutenberg dianggap
penemu mesin cetak yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Tak ada penemuan
yang terlompat dari pemikiran seseorang. Segel dan bulatan segel yang
pengerjaannya menganut prinsip serupa dengan cetak blok sudah dikenal di Cina
berabad-abad sebelum Gutenberg lahir.
Waktu muda ia tentu sempat
bertanya dalam hatinya mengapa kita harus menulis ulang naskah-naskah sebanyak
ini. Dia mengembangkan metal logam campuran untuk huruf cetak; menuangkan
cairan logam- maka terciptalah Mesin Cetak. Betapa penemuan Gutenberg amat
berarti bahkan bisa disebut suatu penemuan penting dalam kaitan penarikan
pelatuk revolusi kemajuan jaman modern (Kay
Melchisedech Olson, 2006).
e). Ray Tomlinson
Raymond Samuel
Tomlinson atau Ray
Tomlinson dikenal sebagai Penemu dari Email atau Elektronik
Mail. Agaknya ia sempat bertanya-tanya dalam hati
mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya menunggu berhari-hari? Ray
Tomlinson pernah kuliah di Politeknik, kemudian melanjutkan studinya untuk
gelar Master di Massachusetts Institute of Technology dalam bidang teknik elektro.
Tomlinson mengembangkan
teknologi analog-digital hybrid speech synthesizer yang dijadikan sebagai
subyek untuk tesis. Ray Tomlinson menulis sebuah program transfer file yang
disebut CPYNET untuk mentransfer file melalui ARPANET. Ray Tomlinson diminta
untuk mengubah sebuah program yang disebut SNDMSG, yang mengirim pesan ke
pengguna lain dari komputer time-sharing, untuk dapat dijalankan pada TENEX.
Dia menambahkan kode yang ia ambil dari CPYNET ke SNDMSG sehingga pesan dapat
dikirim ke pengguna pada komputer lain- maka terciptalah email (Jesse Hicks,
2012).
f). Graham Bell
Alexander Graham Bell
dikenal sebagai penemu telepon. Dia pernah mengajar orang yang bisu dan tuli,
mempopulerkan system yang disebut 'bahasa visual'. System yang dikembangkan oleh
ayahnya, Alexander Melville Bell, yang menunjukkan bagaimana bibir, lidah, dan
tenggorokan digunakan dalam menggambarkan suara. Graham Bell agaknya pernah
bertanya-tanya dalam hati bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun
terpisah jarak?
Pada masa kanak-kanaknya,
dia telah memperlihatkan rasa ingin tahu yang sangat besar pada dunia ini, yang
menyebabkan dia sering mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan. Bersama teman
baiknya yang memiliki penggilingan gandum yang juga merupakan tetangganya, dia
sering membuat keributan, dan suatu hari ayah temannya berkata, "Mengapa
kalian tidak membuat sesuatu yang lebih berguna?”
Sejak usia 18 tahun, Bell
telah meneliti gagasan bagaimana mengirimkan dan mentransfer perkataan. Tahun
1874 saat dia mengerjakan telegraph,
dia mengembangkan gagasan dasar yang baru bagi telephone- ya maka terciptalah
telepon (Harold S. Osborne, 1943).
g). Martin Cooper
Martin Cooper dialah sang penemu handphone atau telepon genggam
pertama. Dia sendiri tidak membayangkan bahwa telepon selular
bisa sekecil sekarang ini sehingga dapat dibawa kemana saja sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan di zaman nirkabel sekarang ini. Martin juga sempat
bertanya-tanya dalam hatinya mengapa telepon harus pakai kabel?
Martin Cooper dibesarkan
di Chicago adalah imigran Ukraina. Ketika masih muda ia menyukai rekayasa
elektronika. Cooper (bersama temannya John F. Mitchell) membayangkan sebuah
produk komunikasi yang tidak hanya terpaku di dalam mobil. Sehingga alat
tersebut haruslah kecil dan cukup ringan untuk menjadi alat portabel- bukan
alat yang bikir repot saja. Cooper dianggap sebagai penemu pertama telepon
genggam seluler (handphone)- maka
terciptalah Handphone yang pertama dan orang pertama yang melakukan panggilan
dengan prototipe ponsel genggam seluler tersebut pada 3 April 1973. Kejadian
yang bersejarah tersebut disaksikan di muka umum di depan wartawan dan orang
orang yang lewat di jalan kota New York (Sean Maloney, 2008).
h). Mark Zuckerberg
Mark Zuckerberg adalah
penemu FaceBook. Umurnya masih muda namun ia dikenal sebagai pemuda terkaya di
dunia berkat Facebook. Sejak kecil Zuckerberg suka mengutak-atik komputer,
mencoba berbagai program komputer dan belajar membuatnya. Ia tentu sempat
bertanya-tanya dalam hatinya Bagaimana ya supaya kita bisa saling berbagi
pencerahan dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja
kita?
Bagaimana cikal bakal ia
menemukan FaceBook? Saat berada di Universitas Harvard inilah Zuckerberg
menemukan ide membuat buku direktori mahasiswa online karena universitasnya tak membagikan facebook (buku
mahasiswa yang memuat foto dan identitas mahasiswa di universitas itu) pada
mahasiswa baru sebagai ajang pertemanan di antara mereka. Namun setiap kali ia
menawarkan diri membuat direktori itu, Harvard menolaknya. "Mereka
mengatakan punya alasan untuk tidak mengumpulkan informasi (mahasiswa) ini”.
Meski ditolak ia selalu
mencari cara untuk mewujudkannya. Suatu malam di tahun kedua ia kuliah di
Harvard, Zuckerberg menyabot data mahasiswa Harvard dan memasukkannya ke dalam
website yang ia buat bernama Facemash. Sejumlah foto rekan mahasiswanya
terpampang di situ. Tak lupa ia membubuhkan kalimat yang meminta pengunjungnya
menentukan mana dari foto-foto tersebut yang paling "hot".
Pancingannya mengena.
Dalam tempo empat jam sejak ia meluncurkan webiste itu tercatat 450 orang
mengunjungi Facemash dan sebanyak 22.000 foto mereka buka. Pihak Harvard
mengetahuinya dan sambungan internet pun diputus. Zuckerberg diperkarakan
karena dianggap mencuri data. Anak muda berambut keriting ini pun meminta maaf
kepada rekan-rekan yang fotonya masuk di Facemash
Ia tidak patah semangat
dan ia malah membuat website baru dengan nama Facebook (www.thefacebook.com).
Website ini ia luncurkan pada Februari 2004. Facebook merupakan penyempurnaan
dari Facemash- maka terciptalah FaceBook yang sangat digandrungi di Indonesia
dan di seluruh dunia (Lev Grossman, 2010).
Eksplorasi
Untuk Mendorong Kreativitas
Pertanyaannya kita adalah: “Mengapa para penemu
fitur atau produk teknologi ini semua berasal dari Barat dan bukan dari Padang,
Medan, Jakarta, atau daerah Indonesia lainnya?”. Salah satu alasan terbesarnya
adalah karena selama ini banyak anak-anak Indonesia yang dilatih untuk pandai
menjawab soal-soal ujian yang sudah ada jawabannya dalam buku dan bukan dilatih
untuk pandai bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam
hatinya sendiri
untuk memecahkan masalah-masalah dunia lainnya.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung sempit.
Untuk tingkat SMA yang dianggap sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”.
Maka seorang siswa jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) hanya membatasi diri
dalam memahami dan mendalami bidang studi tadi. Sebaliknya buat jurusan sosial
adalah “akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) hanya membatasi diri buat mempelajari mata pelajaran IPS
saja. Lebih meluas, bahwa, mahasiswa kedokteran hanya mendalami kedokteran dan
tidak begitu peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya untuk
mahasiswa jurusan lain.
Pada hal ilmuwan besar dunia tidak seperti itu.
Mereka memahami ilmu sain, ilmu sosial, ilmu agama, filsafat dan ilmu yang
mereka anggap juga bermanfaat buat dirinya. Seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi
mendalami berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia
mendalami filsafat, agama atau teologi, matematika, astronomi, kedokteran,
psikologi dan puisi. Sehingga ia mampu menulis 99 buku. Ibnu Arabi sendiri
menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd,
seorang arsitektur Amerika Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek,
seorang penulis dan juga seorang pendidik. Begitu pula dengan Benjamin
Franklin, ia memahami matematika, politik, diplomasi atau bahasa dan fisika.
Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka jadi kreatif pada konsep
berpikir.
Saya jadi memahami
semangat eksplorasi secara langsung dari teman saya orang Perancis, mereka
adalah Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse. Mereka datang
berulang-ulang datang ke Kabupaten Tanah Datar (Batusangkar) dan kami
bareng-bareng menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk mencari serangga baru yang belum teridentifikasi di
sana (Louis Deharveng, 2005). Atau eksplorasi yang dilakukan oleh Jerry
Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk menemui fosil-fosil
kecil sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa
mendorong kreativitas. Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk
penemuan pemahaman konsep dan menjawab rasa ingin tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan suasana tanya
jawab. Saat diberikan sesi tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu apa yang
ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa
bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat
tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah
dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya
tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber untuk
minta penjelasan tambahan. Ng Aik Kwang (2001) menawarkan beberapa solusi untuk
pengalaman pendidikan untuk membentuk remaja yang lebih kreatif, yakni sebagai
berikut:
1). Hargai proses
pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
2). Hentikan pendidikan
berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis essay dan penalaran. Jangan
memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun biarkan mereka memahami
bidang studi yang paling disukainya.
3). Jangan menjejali murid
dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains yang punya rumus. Untuk apa
diciptakan kalkulator kalau jawaban rumus untuk “X : Y” harus dihapalkan? Biarkan murid memilih
sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4). Biarkan anak/ siswa
memilih profesi berdasarkan passion
(rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau
profesi tertentu yang
lebih cepat menghasilkan uang.
lebih cepat menghasilkan uang.
5). Dasar kreativitas
adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) dan berani ambil resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa
untuk banyak bertanya dan jangan pernah bosan untuk memberi jawaban yang bisa
melepaskan dahaga ingin tahu mereka. Kalau tidak bisa menjawab maka cari
sumbernya bersama- sama.
6). Guru dan dosen adalah
seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu segala jawabannya.
Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan tersebut.
7). Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka
sebagai orangtua dan guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk
mengarahkan mereka dalam menemukan passionnya
dan selalu memberi mereka dukungan.
Mudah- mudahan dengan cara
begini dunia pendidikan kita bisa memiliki remaja, yaitu siswa dan mahasiswa-
yang kreatif dan innovatif. Berharap kelak bila mereka dewasa akan juga
mewariskan semangat bereksplorasi dan berinovasi, memiliki integritas dan
idealisme tinggi buat generasi berikutnya. Dengan demikian mereka akan mampu
membangkitkan peradaban yang berkualitas buat republik ini.