Kemampuan
Akademik Dan Pengalaman Kerja Yang Berimbang
Ilmu
Pengetahuan Bisa Jadi Usang
Saya sangat tertarik
dengan tulisan Annie Mueller (2015) yang berjudul: work experience versus education- which lands you the best job? Pengalaman
kerja versus pengalaman pendidikan- yang mana lebih banyak berpengaruh untuk
meraih pekerjaan? Tulisan ini dipaparkannya dalam bentuk tinjauan analisis.
Beberapa argumen yang dipaparkannya adalah seperti:
- Pendidikan tinggi hanya membuktikan bahwa
anda hanya sebatas sukses
dalam bidang akademik, bukan
dalam dunia kerja yang nyata.
- Sukses dalam pekerjaan yang aktual
(pengalaman kerja) lebih berarti
daripada sebatas sukses dalam
bidang pendidikan.
Tinjauan
analisis di atas didukung pula oleh pendapat George D Kuh (2015), dia menulis
sebuah artikel dengan judul: “the
chronicle of higher education”. Ia mengatakan bahwa seorang mahasiswa yang
bekerja saat ia masih kuliah akan memperoleh keterampilan yang sangat berguna
bagi karirnya kelak. Yaitu seperti keterampilan dalam team work dan manajemen waktu.
George.
D Kuh (2015) menambahkan bahwa para mahasiswa yang bekerja part time (kerja paroh waktu) akan membantu mereka untuk melihat
dari dekat tentang nilai keterampilan hidup sesuai dengan teori yang dipelajari
dalam kelas dan diapplikasikan dalam pengalaman bentuk nyata. Pengalaman tersebut
juga akan punya dampak langsung dengan cita-cita atau karir yang sedang dicari.
Ilmu
pengetahuan (kemampuan akademik) yang kita miliki bisa menjadi usang atau
kadaluarsa (expired), kecuali kalau
selalu kita perbaharui (update) tiap
saat. Gelar kesarjanaan yang diperoleh seseorang 20 tahun lalu, misalnya untuk
bidang teknologi, ilmunya bisa jadi tidak begitu terpakai untuk saat ini.
Kecuali kalau dia memiliki akumulasi pengalaman kerja yang relevan yang lamanya
juga 20 tahun. Dengan demikian pengalaman kerja lebih punya nilai signifikan
dibandingan teori yang diperoleh melalui pendidikan sebelumnya.
Sekarang banyak hal-hal
lama yang telah berubah. Banyak produk dan manajemen bisnis yang juga berubah.
Pada tahun 1960-an, di pergelangan tangan setiap orang nyaris hanya ada arloji
“made in Switzerland”. Jam tangan
buatan Swiss itu menguasai market share
di atas 60%. Namun pada tahun 1980-an market
share-nya tinggal 15%. Arloji Swiss tiba-tiba dihajar jam digital buatan
Asia. Pada tahun 1970-an, dunia hanya mengenal rol film merek Kodak dan Fuji.
Kini Kodak sudah tidak ada, sedangkan Fuji berevolusi ke dunia digital. Apa
yang tengah terjadi dengan strong brand
itu? Ini adalah fenomena perubahan ini
dengan istilah “Menyerang (disrupting)
atau diserang (disrupted), atau
fenomena disruption (Rhenald Kasali,
2017).
Disruption agaknya juga
bisa terjadi dalam dunia pendidikan. Kalau biasanya mau cedas dan ingin
memiliki nilai akademik yang tinggi, mereka pergi ke bimbel, namun kelak tak
perlu lagi, karena mereka bisa mengakses Quipper, atau semacam applikasi bimbel
(bimbingan belajar). Maka kita sangat direkomendasi untuk memahami berbagai
kecendrungan- the life trendy di
dunia ini yang selalu berubah- namun kita selalu bisa melatih diri agar selalu
memiliki banyak pengalaman hidup ini.
“Mana yang lebih punya
pengaruh signifikan antara pengalaman kerja atau hanya sebatas mencari
pengalaman akademik di sekolah/ di kampus?” Demikian paparan pro dan kontra
atas pernyataan Annie Mueller (2015). Namun saya ingin menggabungkan kedua
titik pandang tersebut menjadi dua kekuatan yang saat ini bermanfaat untuk
menuju masa depan. “Bahwa kita perlu memiliki kemampuan akademik dan pengalaman
kerja (keerampilanhidup) yang berimbang”.
Saya juga termasuk orang
yang mendukung bahwa pengalaman kerja tetap lebih signifikan dari segudang teori.
Saya terinspirasi dengan pengalaman hidup (biografi) orang-orang sukses,
misalnya dua orang tokoh, Presiden Sukarno dengan pengalaman hidupnya yang
dahsyat dan Ciputra dengan pengalaman enterpreneurnya yang yang sangat hebat.
Dari biografi mereka kita
tahu bahwa kunci yang membuat mereka jadi hebat atau sukses adalah “karena
mereka mempunyai proses kehidupan yang hebat”. Mereka mengalami proses belajar,
proses berorganisasi, proses bersosial yang hebat, dan proses kehidupan lain
yang mereka ciptakan dan mereka lakoni.
Konsep
Sukses di Sekolah
Bagaimana
pendapat banyak remaja tentang apa yang perlu mereka miliki selagi masih
sekolah di SLTA, atau bagi mereka yang sedang kuliah di perguruan tinggi
sebagai antisipasi untuk meraih masa depan(?) Mayoritas mereka berpendapat
bahwa sukses dengan pendidikan merupakan jembatan emas buat meraih mimpi.
Pendapat ini mungkin juga benar.
Sekolah yang juga identik
dengan dunia akademik, di sana para remaja berlomba agar bisa jadi jagoan dalam
bidang akademik. Maka merekalah yang dianggap sebagai seorang yang sukses. Para
remaja yang memperoleh juara kelas, juara bidang studi, juara olimpiade, hingga
juara umum, ya mereka dapat dikatakan sebagai seorang hero.
Para
orangtua juga berpikiran bahwa putra-putri yang jago dalam akademik, maka itulah yang dikatakan
sukses tersebut. Jadinya mereka rela untuk membebaskan anak dari tanggung jawab
ikut mengerjakan house work-
membersihkan rumah, menyapu, cuci piring, menutup warung, dll- asal anak mereka
bisa ikut bimbel dan melahap semua contoh-contoh soal ujian. Sebab terbayang
sudah bahwa kalau sang anak mampu memperoleh ijazah dengan skor- skor yang
fantastis, wow dapat dipastikan bahwa jalan toll
menuju masa depan sudah terbentang. Sang anak akan melenggang kangkung buat
melangkah menuju perguruan tinggi favorit dan setelah itu mimpi mereka akan
menjadi kenyataan.
Adalah
fenomena sosial bahwa cukup banyak generasi muda yang telah berhasil
menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, namun terlihat kebingungan.
Mereka yang telah menyandang gelar kesarjanaanya terlihat bengong- tak tahu
lagi hendak mau dibawa kemana ijazah yang baru saja diterima dari perguruan
tinggi(?)
Bahkan juga banyak pemuda
dan pemudi yang telah menyelesaikan studi di perguruan tinggi masih
memperpanjang kontrak rumah kost mereka agar bisa tinggal lebih lama dan
berharap kerja favorit yang mereka impikan bisa jatuh dari langit. Namun itu semua adalah nonsense !!!
Karena
ternyata tidak ada pekerjaan yang jatuh dari langit. Bahwa pekerjaan itu tidak
akan datang mengejar kita dan juga tidak datang dengan mudah. Bahwa kitalah
yang wajib mencari pekerjaan atau menciptakan suatu pekerjaan. Ya kesuksesan
kerja yang hebat itu kitalah yang menciptakannya.
Sebuah
pendapat umum menyatakan bahwa kalau dahulu, 20 atau 30 tahun lalu, bila ada
kelulusan 100% dari sarjana baru, maka yang 80% akan memperoleh pekerjaan,
sementara yang 20% menjadi pengangguran. Mereka kemudian menjadi sarjana
pencaker- pencari pekerjaan. Fenomena sosial tersebut kemudian berbalik 180
derajat untuk para sarjana hari ini. Yakni dari 100% kelulusan sarjana baru,
yang 20% akan mampu memperoleh pekerjaan dan yang 80% menjadi PTT alias
Pengangguran Tingkat Tinggi.
“Siapa
sih 20% dari para sarjana baru yang mampu memperoleh pekerjaan setelah lulus
dari perguruan tinggi?, dari mana mereka berasal? dan apa kegiatan mereka saat
di SLTA dan saat jadi mahasiswa?”
Para sarjana yang mampu
memperoleh pekerjaan setelah wisuda adalah mereka yang sewaktu masih kuliah
tidak terjebak sebagai mahasiswa “kupu-kupu”. Yaitu para mahasiswa yang kebanyakan
hanya terfokus pada urusan akademik dan tahunya hanya “kuliah pulang- kuliah
pulang”. Atau juga bukan tipe mahasiswa yang terjebak dalam karakter pasif-
karakter “D-D-D-D”atau “4D” yaitu tahunya cuma “datang, duduk, dengar, diam”.
Namun mereka adalah para mahasiswa yang selain aktif belajar juga ikut
melibatkan diri dalam ekskul di kampus dan punya seabrek peran dalam hidup
mereka.
Juga
diperkirakan bahwa para sarjana yang mampu memperoleh pekerjaan tidak lama
setelah mereka wisuda adalah mereka yang saat menjadi siswa SLTA- di bangku
SMA, Madrasyah dan SMK- bukan termasuk tipe siswa yang tahunya hanya jadi anak
manis (anak rumahan). Yaitu siswa yang patuh, kaku, kuper, nggak punya banyak
waktu buat membuka diri. Namun mereka adalah para siswa yang selain bertanggung
jawab dalam belajar, juga meluangkan waktu dan pikiran dalam mengurus kegiatan
OSIS di sekolah. Sementara di rumah mereka adalah juga para anak yang juga pinter buat menyenangi hati orangtua-
ayah dan ibuya, serta tahu cara menempatkan peran dalam lingkungan sosial.
“Jadinya mereka juga
peduli dalam mengurus diri sendiri, merapikan kamar, membantu mama di dapur,
menemani papa untuk beres-beres di perkarangan rumah atau ditempat usaha, juga
peduli dengan tetangga atau dengan sesama ”.
Untuk
zaman sekarang para siswa yang hanya sebatas jago dalam menaklukan buku, bisa
jadi juara kelas dan juara lomba bidang akademik, namun kurang membuka diri dan
juga kurang peduli dengan sesama bakal susah kebingungan buat mencari masa
depan. Apalagi kalau juga susah diajak ngomong (berkomunikasi) dan susah buat
bekerja sama dengan team work. Maka
kepintaran mereka hanya bersifat fatamorgana semata- bisa dilihat namun tak
dapat buat disentuh. Sementara nilai atau skor-skor yang tinggi pada selembar
ijazah tidak akan banyak berguna bagi orang lain. Nilai yang tinggi hanya
menjadi persyaratan pertama untuk lulus, untuk diterima, dll.
“Sekarang
begitu banyak pelajar yang pinter di sekolah, ya sebatas pinter cari nilai dan miskin
pengalaman hidup, setelah dewasa hanya mampu jadi wong kecil atau pekerjaan
biasa-biasa saja. Sementara itu bagi yang saat remaja- sekolah di SMA/ MA yang
pintarnya biasa-biasa saja, namun sangat peduli dengan sesama dan juga aktif
dengan kehidupan sosial. Singkat kata dia adalah tipe orang yang cepat kaki-
ringan tangan. Senang bekerja dan suka memberi bantuan pada sesama, maka
setelah dewasa mereka- alhamdulillah- menjadi orang yang rata-rata tergolong
sukses”.
Kalau
demikian bagaima jadinya tentang eksistensi sebuah sekolah? Ya keberhasilan dalam hidup ini tidak hanya
ditentukan semata-mata pada prestasi akademik. Prestasi akademik yang tinggi
juga mutlak diperlukan bagi mereka yang juga akan berkarir dalam akademik,
mungkin juga untuk menjadi mentor pada bimbel, guru dan dosen. Namun pekerjaan
di luar itu sangat direkomendasi untuk memiliki nilai dan keterampilan sosial
yang juga ekstra. Kemampuan akademik tidak cukup buat meraih masa depan.
Jadinya mereka mutlak untuk memiliki kecakapan hidup yang lain seperti
kemampuan bekerja-sama (team work),
keberanian, keterampilan berkomunikasi, kemampuan manajemen, kemampuan
memimpin, kemampuan beradaptasi, dll.
Proses
Jalan Hidup Presiden Sukarno
Dari
proses kehidupan bapak proklamator negara kita, Presiden Sukarno, dapat kita
baca bahwa prestasi akademik dan serangkaian pengalaman sosial/ pengalaman
hidupnya telah menjadi kunci utama dalam mengantarkannya menjadi orang yang
hebat dalam sejarah Indonesia, bahkan juga dalam sejarah dunia. Sejak berusia
masih muda Presiden Sukarno sangat gemar belajar, membaca dan berorganisasi. Ia
belajar secara otodidak untuk banyak bidang. Saat dia pindah rumah maka dia
membutuhkan sebuah truk untuk membawa buku-bukunya dalam berbagai bahasa.
Karena ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda secara fasih dan beberapa bahasa
asing lainnya.
Eksistensi
Presiden Sukarno telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di dunia, apalagi
buat kita di Indonesia. Dia adalah tokoh yang sangat hebat. Grolier (1965)
menempatkan peran kepemimpinan Sukarno sama dengan pemimpin negara sekelas
dunia dan berpengaruh saat itu, seperti Kennedy, Nehru, Mao, Nasser, Tito, De
Gaule, Nkrumah, dll. Dia punya pengalaman hidup yang luas dan pengalaman
akademik yang hebat.
Membaca merupakan kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa
alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar
tentang segala sesuatu ?
Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa
bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan
sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS (Hoogere Burger School) Surabaya. Dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang pribumi (satu di
antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas.
Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung
Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati
padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa
memperoleh fasilitas yang lebih untuk
“mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik
yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku ditulis dalam bahasa
Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku
yang ditulis dalam bahasa Belanda).
Entah strategi apa yang ia peroleh secara
kebetulan, namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai
bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai
kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah
cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah
satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih
berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar
orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno
muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga
Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir
bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga
dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari
tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah
bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di
situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels,
dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi
maju dan smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik
Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat Negara yang
ditemukan setelah ia digulingkan. Dari ribuan item miliknya, hampir 70 persen
adalah buku. Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh, dan pernak-pernik
lainnya. Harta Bung Karno yang terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno: An Autobiography)
diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan dirinya, baik dari Jakarta ke
Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu kembali ke Jakarta, maka
bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu, belum
termasuk buku-buku yang dirampas dan dimusnahkan penguasa penjajah. Apa muara
dari proses belajar sepanjang hidup yang sangat kreatif adalah mengantarkan
Bung Karno menjadi Presiden yang pernah memperoleh 26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah gelar doktor yang ia terima dari
seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC yang
rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari dalam negeri. Ia memperoleh
gelar doctor HC dari Far Eastern University, Manila: Universias Gadjah
Mada, Yogyakarta: Universitas Berlin:
Universitas Budapest: Institut Teknologi Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo:
IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta: dan universitas dari negaralain
seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia,
Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA,
Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses
kreatifitas Bung Karno yang lain?
Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership
(kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil,
maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil,
maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno
bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe de”. Itu pula yang
mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama
enam dasawarsa kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni.
Ekspresinya disalurkan dengan cara mengumpulkan gambar bintang-bintang
terkenal. Karena kecerdasan dan keluasan wawasannya sejak kecil maka pada usia
12 tahun, Bung Karno sudah punya gang (pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung
Karno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera teman temanya
mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga
mengumpulkannya. Kalau “gang” mereka
bermain panjat pohon, maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu
artinya, ketika jatuh Bung Karno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang
lain. Dalam segala hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasib
Bung Karno adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan”.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas
kaki sendiri’. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika
Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go
to hell with your aid. Persetan dengan bantuanmu!!!”
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang
(baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil
mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.
Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi
bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Bung Karno adalah juga orator ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan
fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan
bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan
latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih belajar Bung Karno
sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan
gang nya. Bung Karno juga gemar
menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan
judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan
paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai
Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan
Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak
dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya (Cindy Adams, 1965).
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar
(pembelajaran) dari uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita
hubungkan dengan cara belajar dan gaya hidupm kita ? Bahwa membaca adalah
kebiasaan positif yang perlu selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno
membaca buku-buku berbahasa asing (bahasa Belanda). Untuk membuat bahasa
asingnya lancar adalah dengan mempraktekan (menggunakan) bahasa tersebut dengan orang yang mahir (pribumi maupun orang asing).
Setelah lancar berbahasa asing/ bahasa Belanda, ia tidak cepat merasa puas dan
berhenti belajar. Ia malah membaca biografi tokoh tokoh besar di dunia dan juga
buku buku berpengaruh di dunia sehingga ia memiliki wawasan dan cara pandang
yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya
prinsip hidup “mandiri atau berdikari- berdiri pada kaki sendiri”. Jangan terlaku suka untuk mencari bantuan. Kemudian juga penting untuk
mengembangkan pergaulan/ teman yang banyak untuk melakukan proses bertukar
fikiran. Juga penting untuk melatih jiwa pemimpin- bukan jiwa penurut, pasif
atau pendengar abadi.
Selanjutnya
bahwa juga penting mengembang kemampuan berbicara/ berpidato lewat latihan
sendiri dan berpidato didepan kelompok. Kemampuan berbicara/ berpito perlu
didukung oleh kemampun menulis, karena membuat pidatio punya kharismatik dan
menarik. Ini dapat dikembangkan melalui latihan demi latihan. Inilah top secret dari proses hidup Presiden Sukarno sehingga dia bisa menjadi inspirasi bagi kita dan
bagi dunia.