Melejitkan
Kecerdasan Yang Berimbang
Quantum Quotient
Di
awal tahun 2000-an, dalam dunia pendidikan ada istilah quantum quotient atau kecerdasan quantum. Banyak orang ingin
memahami apa dan bagaimana dengan istilah quantum
quotient, yaitu bagaimana meledakkan (menumbuh-kembangkan) kecerdasan.
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002) membahas tentang istilah ini. Mereka
menyebutnya dengan istilah quantum
learning, yaitu bagaimana membiasakan belajar dengan nyaman dan
menyenangkan. Bahwa aktivitas belajar perlu suasana nyaman dan menyenangkan.
Kalau begitu, adakah sekolah yang menyenangkan di seputar kita?
Sekolah
yang nyaman dan menyenangkan itu tentu ada, mulai dari sekolah rendah sampai ke
sekolah yang lebih tinggi. Pada umumnya TK (Taman Kanak-kanak) dan juga pada
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sangat nyaman dan menyenangkan. Karena di sana
guru-gurunya mengajar dan menemani anak dengan ramah dan sepenuh hati.
Selanjutnya
sekolah-sekolah yang dirancang menjadi sekolah ramah anak juga sebagai sekolah
yang nyaman dan menyenangkan. Sekolah tersebut mungkin ada di tingkat SD, SLTP
dan SLTA. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia gencar mengkapanyekan “Sekolah Ramah Anak.”
Sekolah Ramah Anak (SRA)
adalah sekolah yang nyaman. Sekolah yang begini merupakan upaya mewujudkan
pemenuhan hak dan perlindungan anak selama 8 jam anak berada di sekolah,
melalui upaya sekolah untuk menjadikan sekolah dengan suasana:
- Bersih
- Aman
- Ramah
- Indah
- Inklusif
- Sehat
- Asri
- Nyaman
Dewasa
ini sudah banyak sekolah yang nyaman, terutama untuk tingkat dasar dan
menengah. Pada sekolah ramah anak, para siswa merasa nyaman dan senang belajar,
karena lingkungan sekolah telah didesain begitu menyenangkan.
Yang diperlukan oleh para
siswa untuk belajar adalah lingkungan yang menyenangkan, kemampuan
berkomunikasi, keterampilan belajar dan menumbuhkan rasa percaya diri. Suasana
menyenangkan juga berhubungan dengan
perlakuan yang diterima dari lingkungan.
Dorothy Law Nolte
memaparkan efek lingkungan terhadap pendidikan anak, sebagaimana tertulis dalam
puisinya edukasi yang berjudul “children
learn what they live- anak anak belajar dari lingkungan”. Beberapa cuplikan
puisinya mengenai suasana pendidikan dengan lingkungan positif, yaitu sebagai
berikut (Ahmad Faiz Zainuddin, 2009):
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang penuh toleransi, ia belajar untuk
bersabar.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang memberi pujian, ia belajar untuk
menghargai.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang menerimanya apa adanya, ia belajar
untuk mencintai.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang memberikan dukungan, ia belajar
untuk menyenangi dirinya.
- Jika anak tumbuh di lingkungan yang
memberikan penghargaan, ia belajar
untuk memiliki tujuan dan
cita-cita.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang suka berbagi, ia belajar untuk
bermurah hati dan suka memberi.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang menjunjung tinggi kejujuran, ia
belajar untuk mencintai kebenaran.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang menghargai keadilan, ia belajar untuk
bersikap adil.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang baik hati dan penuh tenggang rasa, ia
belajar untuk menghormati.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang penuh rasa aman, ia belajar untuk
memiliki keyakinan dan berbaik
sangka.
- Jika anak tumbuh di lingkungan
yang bersahabat, ia belajar untuk merasa
bahwa dunia ini indah dan hidup ini
begitu berharga.
Nah
bagaimana dengan remaja (atau anak-anak) di lingkungan kita? Mengapa di
sekolah-sekolah dan kelas-kelas tersebut aktivitas belajar ada yang terasa
nyaman dan menyenangkan dan juga ada lingkungan sekolah yang belum memberi
suasana kurang nyaman dan menyenangkan?
Suasana nyaman dan
menyenangkan bisa terjadi karena adanya
lingkungan yang memberi semangat dan dukungan. Lingkungan yang memberi pujian
dan menerima, juga memberi penghargaan dan rasa aman, serta lingkungan yang
penuh bersahabat dengan anak didik (para remaja).
Sebaliknya bahwa suasana
tidak nyaman, tidak menyenangkan terjadi karena adanya lingkungan yang tidak
ada memberi semangat dan dukungan, tidak ada lingkungan yang memberi pujian dan
menerimanya. Juga tidak ada lingkungan yang memberi penghargaan dan rasa aman,
serta lingkungan yang tidak bersahabat dengan anak didik atau tidak.
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2002) mengatakan bahwa
setiap hari para remaja akan memperoleh dua macam komentar dari teman, orangtua, guru dan lingkungan mereka,
yaitu komentar positif dan komentar negatif. Adalah berbahaya bila mereka
banyak memperoleh komentar negatif, sebab semangat belajar mereka bisa melorot.
Jika
mereka sering kena ancam atau tidak memperoleh modeling dalam hidup, maka
kecerdasannya pada akhirnya akan mandek. Lingkungan yang kaya akan rangsangan,
menghasilkan siswa atau remaja yang sukses. Sementara lingkungan yang miskin
dengan rangsangan akan menghasilkan siswa yang lambat cara belajarnya.
Lingkungan
Rumah Yang Mencerdaskan
Saya
menjumpai sebuah lingkungan rumah yang memungkinkan seseorang dari usia
anak-anak hingga remaja bisa tinggal, berinteraksi dan belajar dengan nyaman
dan menyenangkan. Memang orangtua harus menyediakan ruang belajar dan
merancangnya seapik mungkin. Rumah tersebut adalah rumah seorang mahasiswa Asia
yang mengikuti kuliah Post Graduate lewat beasiswa di Universitas Melbourne.
Umumnya orang di Australia
hidup secara mandiri (independent),
dan tidak terbiasa punya pembantu. Punya pembantu malah melambangkan ketidak
berdayaan dan juga tidak mandiri dalam hidup.
Mahasiswa
doktoral ini membawa anaknya dan merancang ruang belajar dan ruang eksplorasi
buat anak. Ada sarana bermain edukatif, ada bacaan, ada aturan kehidupan, ada
interaksi. Lingkungan begini memberikan rasa aman bagi anak, ada pujian dan
penerimaan. Orangtua berusia muda ini menyediakan pengalaman yang banyak dan
beragam buat anaknya. Sang anak punya pengalaman mencoba, bergaul dan
pengalaman perjalanan. Sebab anak atau seseorang yang punya koleksi pengalaman
pribadi yang banyak akan lebih kreatif dari orang yang kurang pengalamannya
(Ibrahim Elfiky, 2011).
Orangtua
dan guru juga tidak perlu terlalu mencampuri dan terlalu mendikte mengapa dan
bagaimana idealnya seorang anak dalam belajar. Bahwa orang belajar tergantung
pada faktor fisik, faktor emosional dan faktor sosiologi. Ada anak yang senang
belajar dengan cahaya terang dan juga ada yang suka cahaya agak redup. Ada yang
suka belajar dengan berkelompok dan ada yang suka sendiri. Kemudian ada yang
suka belajar pakai musik dan ada yang suka suasana sepi, dan juga ada yang suka
belajar dengan kondisi rapi dan ada yang suka suasana berantakan.
Sekarang
ini banyak orang beranggapan bahwa belajar yang nyaman dan menyenangkan hanya
terjadi di sekolah-sekolah berlabel unggul, karena sekolah tersebut sengaja
dirancang dan para siswanya menjadi cerdas karena diprogramkan. Namun jauh di
sana di Indonesia bagian timur, pada sebuah sekolah biasa-biasa saja di kota
Ambon telah muncul seorang siswa polyglot- menguasai lebih dari 10
bahasa-bahasa dunia, sementara itu orangtuanya hanya seorang buruh kecil, namun
dia (namanya Gayatri) menemukan quantum
learning sendiri dalam menguasai banyak bahasa, sehingga sempat
mengantarkan dia menjadi duta bangsa ke PBB di New York (Murad Maulana, 2014).
Latif
Pramudiana, seorang teman saya asal Tangerang, yang pernah mengabdi sebagai
guru di Lintau, sebuah kota kecil di Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat,
mengadopsi konsep long life education-
dan tidak berhenti belajar dalam hidupnya. Laki-laki ini terbiasa untuk selalu
belajar dalam hidupnya. Saya menemukan alat musik dan juga tumpukan buku-buku
di kamar kontrakannya. Dia terbiasa kalau belajar membiarkan buku-buku yang dia
perlukan bertebaran di sekitarnya. Pada lain waktu ia bermain gitar atau
membaca buku yang ditemani lantunan instrumen musik yang lembut.
Baginya
memegang buku itu sebuah kenikmatan. Ia melahap buku dengan sepenuh hati. Ia
menggunakan sebuah pensil untuk mencoret-coret, menggaris bawahi dan menghubungkan
ide-ide dalam buku tersebut. Bila bisa menamatkan satu buku, ia merasakan bahwa
ia berhasil menaklukan sebuah peradaban dan ia pun merayakan. Banyak membaca
bukan berarti membuat ia menjadi kurang pergaulan. Ia juga meluangkan waktu
untuk saling bertukar pikiran dengan sesama dan juga melakukan banyak
perjalanan untuk menemui orang baru dan pengalaman baru.
Quatum Learning
Secara
tidak sengaja saya sering berkunjung ke sebuah rumah di Lintau. Bagi saya rumah
tersebut adalah sebuah rumah inspirasi karena di dalamnya terdapat beberapa
lemari yang penuh dengan berbagai jenis buku. Orang yang memiliki buku-buku
tersebut bernama Fasli Jalal, yang kemudian sempat menjabat Wakil Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Dalam usia muda dia telah telah membaca/ menamatkan dan mentelaah
semua isi buku tersebut. Sehingga dia memiliki wawasan yang luas dan
dalam.
Quantum learning- kebiasaan belajar
nyaman dan menyenangkan- telah mengantarkan Fasli Jalal menjadi salah seorang
tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Itu diawali dengan keputusannya saat
muda untuk memilih sekolah berkualitas Di Kota Solok jauh dari kampungnya di Lintau. Di sana dia
hidup mandiri dan terbiasa dengan active
learning dan peduli denga literasi membaca yang banyak dan berkualitas.
Semangat suka berkompetisi memberinya motivasi yang tinggi untuk mencapai
visinya melalui strategi hidupnya yang terencana hingga ia memperoleh puncak
karirnya. Itu sebagaimana dikatakan oleh kerabat Fasli Jalal pada saya.
Untuk
zaman sekarang, bahwa seseorang yang hebat bukan hanya harus memiliki IQ (inteligent quotient) yang bagus, namun
juga harus peka dan peduli dengan eksistensi EQ (emotional quotient)dan SQ (spiritual
quotient). Dia harus memiliki komponen kecerdasan yang berimbang, yaitu EQ,
SQ dan IQ.
Dengan IQ yang bagus, akan
menjadi syarat mutlak untuk berkompetisi. EQ yang bagus menjadi syarat untuk
mencapai prestasi puncak dan SQ menjadi syarat untuk mencapai tujuan dunia dan
akhirat. Kesuksesan kita ditentukan oleh IQ, dan kebahagiaan kita ditentukan
oleh IQ dan SQ. Maka inilah hakekat untuk melejitkan kecerdasan yang berimbang.
Agus
Nggermanto (2003) menjelaskan tentang bagaimana cara melejitkan IQ, EQ dan SQ
secara harmonis. Salah satunya adalah melalui accelerated learning atau percepatan belajar. Percepatan belajar
bagi siswa dengan IQ yang mantap bisa dilakukan melalui membaca cepat, membaca
yang cepat, dan berpikir kreatif.
Rata-rata
kita memiliki IQ yang standard dan kita perlu mengasah IQ kita. Kebiasan yang
bisa kita lakukan untuk mengasah IQ
adalah melalui membaca cepat, menghafal yang cepat, berpikir kreatif,
berhitung cepat dan, mencatat yang cepat- misal melalui mind mapping.
Menghafal
yang cepat dapat kita lakukan dengan menggunakan semua indera yang berhubungan
penyerapan informasi seperti audio (pendengaran), visual (penglihatan) dan
kinestetik atau gerak. Intensitas dan pengulangan pokok pikiran dengan cara
membaca bersuara atau melalui peta pikiran juga menentukan kualitas hafalan.
Menggunakan unsur emosional, seperti bernyanyi (memakai musik) dan melakukan
gerakan juga menentukan kualitas hafalan. Bergerak dapat membangkitkan
semangat.
Membaca
cepat adalah kebutuhan dasar manusia. Membaca telah dianjurkan oleh Allah
Swt seperti yang dapat kita baca dalam
alquran. Membaca merupakan kunci untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Untuk mengatasi masalah membaca adalah dengan mempercepat kemampuan
membaca. Untuk itu kita harus membiasakan banyak membaca.
Bobbi
De Porter dan Mike Hernacki (2002: 178) menjelaskan tentang menulis dan
mencatat, kita semua adalah penulis. Dorongan untuk menulis itu sama besar
dengan dorongan untuk berbicara, yaitu untuk mengkomunikasikan pikiran dan
pengalaman kita.
Tentang mencatat, bahwa
mencatat berguna unuk meningkatkan daya pikir kita. Ada 2 cara mencatat yang
dapat kita terapkan yaitu dengan cara membuat peta pikiran atau mind mapping dan yang lain dengan bentuk
catat tulis susun. Kiat-kiat tambahan dalam mecatat berguna untuk membuat kita
menjadi pendengar yang aktif.
Seseorang kalau mendengar
ceramah, pidato dan seminar, kalau hanya sebatas mendengar maka daya tahan atau fokusnya tidak
begitu lama. Setelah itu dia akan merasa bosan dan mengantuk. Maka mendengar
aktif perlu dilaksanakan, yaitu mendengar dan mencatat ide-ide penting. Maka
saat mendengar ceramah, pidato dan seminar, duduklah dibagian depan dan
mendengar sambil mencatat poin-poin penting. Maka rasa kantuk akan hilang dan
kualitas konsentrasi bertambah.
Tentang korelasi
multi-intelegensi (kecerdasan berganda) dengan IQ, SQ dan EQ. Yang termasuk
kecerdasan intelektua (IQ) meliputi kecerdasan logis dan linguistik atau
numerikal dan verbal. Kecerdasan emosional (EQ) meliputi kecerdasan
intrapersonal (memahami dan menguasai diri) dan interpersonal (bergaul dan
beradaptasi dengan orang lain), kemudian
kecerdasan spiritual (SQ) meliputi kecerdasan substantial (zat) dan kecerdasan
ekistensial (memahami keberadaan hidup dan penciptaan kehidupan). Bentuk
kecerdasan yang lain (quotient lain) adalah kecerdasan kinestetik (psikomotorik
atau kecerdasan tubuh) dan kecerdasan
musik.
Melejitkan kecerdasan yang
berimbang, yaitu antara kecerdasan IQ, EQ dan SQ perlu diusahakan. Kalau kita
hanya sebatas cerdas dengan IQ, kita memang mampu bersaing dalam hidup, namun
kita akan susah untuk mencapai karir puncak karena karir puncak dilalui lewat
tangga sosial atau kecerdasan emosional (EQ). Kemudian hidup juga terasa kosong
dan miskin dari nilai-nilai kehidupan, karena kita lemah dalam kecerdasan
spiritual (SQ).
Sebelumnya kita sudah
memaparkan cara meningkatkan potensi IQ, maka berikut adalah cara buat
meningkatkan potensi EQ dan SQ. Emotional quotient kita bisa berkembang
melalui:
- Bergaul dengan banyak
orang, dengan cara demikian kita akan memiliki
pengalaman yang kaya dengan berbagai jenis
emosi orang.
- Sudi untuk mengambil
tanggungjawab.
- Mendengar dengan cara
berempati, utamanya pada anak dan murid, dan
juga pada orang yang lebih muda usianya.
- Mengungkapkan suasana
hati.
- Membantu untuk menemukan
solusi lewat curhat (curah hati atau curah
perasaan).
- Dengan cara menjadi
modeling atau teladan bagi orang sekitar. Seseorang
suka melihat atau meniru contoh daripada
diceramahi atau digurui.
Tentang spiritual quotient, bahwa banyak orang
yang sukses ditinjau dari ukuran dunia, namun mereka merasa kering dan gersang
pada rohaninya. Itu terjadi karena mereka kurang memahami substansial zat diri
dan penciptanya, dan juga kurang memahami eksistensi atau keberadaanya.
Menurut ajaran Islam bahwa
setiap manusia harus punya hubungan yang berimbang antara “ hablul minallah wa hablul minannas-
berhubungan dengan Allah Swt (Tuhan) dan juga berhubungan dengan manusia”.
Untuk meningkatkan kualitas spiritual
quotient atau kecerdasan spiritual, maka kita harus punya ilmu pengetahuan
tentang agama, kita mampu menerapkan atau mengamalkan ilmu tersebut. Kemudian
kita harus memiliki komunitas atau jamaah dimana disana kita dapat saling
bercermin diri atau melakukan refleksi serta introspeksi diri.