I was walking into a conventional hal...
I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Senin, 09 November 2009
Rabu, 04 November 2009
Pentingnya Berjiwa Besar Bagi Guru
Pentingnya Berjiwa Besar Bagi Guru
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Profesi guru dapat dikatakan sebagai profesi pelayanan di bidang jasa, sama halnya dengan orang yang bekerja di bidang kesehatan, atau di bidang jasa lainnya. Orang orang yang bekerja dalam bidang jasa bekerja sesuai dengan moto yang dianut oleh instansi mereka, sebagai contoh “Kami melayani anda dengan senyum, kami melayani anda dengan sepenuh hati, Kepuasan pelanggan adalah komitmen kami, dan lain-lain”. Namu sebagian guru ada yang telah melupakan motto mereka-tut wuri hadayani, sebagai konsekwensinya mereka cenderung mengajar sesuka hati, atau sesuai dengan kata hati saja. Barangkali karena mereka cuma banyak berhubungan dengan manusia kecil- anak didik, yang mungkin tak perlu pelayanan.
Orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan mungkin juga berfikir demikian pula. “Wah kan cuma melayani orang sakit, pasien yang baik, tentu pasien yang patuh dan tidak banyak ngomong dan mematuhi suruhan dan larangan rumah sakit”. Namun entah mengapa secara pelan-pelan pasien menyerbu rumah sakit di Melaka, di Negara jiran. Apa alasannya “kami puas dengan pelayanan yang mereka berikan”.
Baru-baru ini ada teman baru pulang dari mengikuti program magang guru di Australia (Program magang guru MIPA-guru SBI- Propinsi Sumatra Barat) mengatakan bahwa kualitas otak guru-guru kita tidak kalah dari kualitas guru-guru di Austraia. Keunggulan atau kelebihan guru di sana adalah pelayannan mereka pada anak didik, atau prefesionalitas dalam pelayanan selama pembelajaran. .
Bila anak didik bertanya pada guru dalam suatu kelas, “Miss Nancy, I don’t understand about this subject”. Maka guru dengan serta merta segera bangkit, tersenyum dan buru buru mendatangi bangku siswa sambil berucap “ What Can I do for you”, kalau siswa mampu menyelesaikan sebuah problem, langsung member appresiasi “Oh great, how could you do that”, dan kalau siswa salah/ belum benar dalam mengerjakan soal, masih berucap hal-hal positif “ That’s oke, I am sure you can do it”.
Hal yang kontra, tanpa merendahkan kualitas guru kita sendiri, kalau ada seorang siswa yang bertanya dalam PMB maka dengan bergaya seorang Boss siswa akan dipanggi ke depan/ ke meja guru “Yang tidak mengerti mari maju ke depan”. Atau komentar lain, “Ini saja kamu tidak mengerti”. Kemudian kalau siswa melakukan kesalahan dalam menjawab soal maka kita/ guru akan berkomentar, “Wah kalau begini cara kamu lebih baik kamu turun kelas atau ikut les privat saja !”. Alhasil banyak siswa cenderung memilih bungkem dari pada di marahi atau ditertawakan guru.
Apakah ekspresi di atas terlalu mengada-ada atau tidak, namun fenomena tersebut dapat kita jumpai dengan mudah pada berbagai sekolah. Kalau begitu kenyataannya apa yang kurang bagi kita sebagai guru ? Tentu saja kita kurang berjiwa besar, kurang menyadari bahwa kita digaji atau dibayar oleh negara untuk mendidik, apalagi bagi guru yang sudah menerima imbalan sertifikasi maka sudah sewajarnya kita menunjukan pelayanan prima- excellent service- dalam PBM, dan segera menjadi guru yang memiliki jiwa besar dan berfikir positif.
Berjiwa besar dan berfikiran positif ? David J Schwartz (1996) menulis buku dengan judul “The Magic of thinking big”, yaitu tentang berfikir dan berjiwa besar. Idenya sangat bagus kita adopsi, sebagai guru, agar kita bisa meningkatakan pengabdian dan pelayanan pada anak didik. s
Kata “berfikir positif” sering diikuti oleh kata ‘berjiwa besar”. Dalam hidup banyak orang yang berbicara tentang kata atau frase tersebut. Ini menandakan kesadaran untuk menjadi manusia yang baik sudah menjadi dambaan. Orang yang memiliki pikiran positif dan sekaligus berjiwa besar sangat dihargai dan dianggap memiliki derajat yang tinggi. Menjadi orang yang berfikiran positif dan berjiwa besar dapat digapai dengan ilmu dan mengamalkan agama,
Dalam Al-Quran (58:11) dijelaskan bahwa Allah Swt meninggikan derajat orang yang beriman, yaitu orang yang diberi ilmu. Sekali lagi, bahwa untuk menjadi orang yang berfikiran positif, sangat membutuhakan ilmu pengetahuan, pembiasaan, atau latihan dan kesabaran. Berfikir positif sangat bermanfaat bagi guru sebagai pendidik. Salah satu manfaat yang kita rasakan adalah menjadi guru yang berhasil dalam mendidik.
Keberhasilan dalam hidup, apakah sebagai pebisnis, sebagai guru, wiraswasta, dan lain-lain, tidak bergantung pada besarnya otak yang kita miliki atau kecerdasan kita saat kuliah dulu, tetapi ditentukan oleh cara berfikir positif- berarti kemampuan affektif. Maka berarti bersekolah sudah tidak tepat lagi kalau hanya untuk mencerdaskan otak, namun membiarkan sikap atau kepribadian menjadi kerdil.
Harus diakui bahwa kita dan semua guru adalah produk dari cara berfikir orang di lingkungan kita- cara mereka merespon dan memberi kita stimulus sejak kecil. Coba ingat dan perhatikan cara berfikir orang tua kita, paman kita, tetangga, atau kenalan kita atau kita sendiri: “kalau badan saya cukup sehat cuma kantong saja yang sakit. Tetangga saya kerjanya cuma goyang-goyang kaki, tiba tiba kok jadi kaya mendadak…,kepala sekolah saya kerjanya mengurus proyek melulu….., Saya ingin maju tapi tidak punya waktu…!” Demikian beberapa komentar, yang terwujud dari cara berbicara dan cara berfikir kita dalam percakapan pribadi. Ini pertanda bahwa kebanyakan cara berfikir kita bisa jadi juga kerdil.
Anak-anak kita dan siswa-siswi kita menjadi orang baik atau menjadi orang buruk juga ditentukan dari cara berfikir kita. “Menurut ku, kamu adalah anak yang baik. Kamu disenangi karena sungguh jujur atau saya tidak sudi lagi menajak kamu belajar di sini, …susah saya lagi untuk percaya padamu”. Kata kata yang kita ucapkan segera kita lupakan namun selalu tertancap dalam sanubari anak, adik dan kenalan kita dan sekaligus akan mempengaruhi pribadi mereka.
Eksistensi (keberadaan) diri kita memang ditentukan dari cara kita berfikir. Apakah fikiran kita menetukan diri kita sebagai guru yang berharga atau tidak. Kalau fikiran kita mengungkapkan diri kita adalah guru yang berharga maka mari kita wujudkan ke dalam penampilan , cara berpakaian, cara berjalan, cara tersenyum dan cara berbicara, Maka kemudian beritahu orang tentang apa yang bisa kita perbuat. “Apa yang bisa saya kerjakan buat anda ?” dan kita tidak akan berucap lagi “Maaf saya tidak sanggup”. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan kalau kita sungguh-sungguh ingin menjadi guru berhati lapang (berfikiran positif) tanpa pernah membiarkan jiwa tumbuh kerdil,yaitu: menjaga kualitas human relation, mempelajari tentang bagaimana menjadi guru berhati lapang atau berjiwa besar.
Never let personality grow small
Never let personality grow small atau jangan biarkan jiwa tumbuh kerdil. Ada hal-hal yang perlu kita hindari karena berpotensi membuat jiwa tumbuh kerdil seperti kebisaaan suka berdalih, memompakan pikiran negatif pada banyak orang, anti kerja keras dan malas. Hal-hal sepele ini bisa bercokol pada diri kita dan kadang kala kita pelihara sepanjang waktu.
Tidak bagus jadi pendidik yang gemar berdalih atau mencari-cari alasan. Namun kenyataannya kita gemar melontarkan ekspresi berdalih. Ketika kita diberi amant untuk tampil kita berdalih, “Wah pak, janganlah dulu, saya belum siap…., wah pekerjaan itu terlalu mudah buat saya, atau apakah Bapak tega melihat saya berlumuran Lumpur…!”
Selanjutnya cegahlah pertumbuhan jiwa yang kerdil dengan memilki karakter suka belajar/ bekerja keras dan tekun dalam kehidupan ini. Untuk menjadi sukses, misal menjadi guru inti, menjadi kepala sekolah, menjadi wydiaswara, menjadi penulis sukses- atau sukses pada bidang lain, maka diperlukan ketekunan dan kerja keras. Ki Hajar Dewantoro, telah member model buat kita. Ia sangat tekun dan suka kerja keras sehingga motonya “ing madya mangun karso, ing ngarso sing tulodo, tut wuri handayani’ dikenang sepajang zaman. Sayang banyak guru kurang paham dengan moto ini lagi.
Human relation
Cara kita berfikir, apakah cendrung berfikir negatif atau malah berfikiran positif, terlihat dalam human relation- hubungan kita dengan manusia lain seperti dengan teman, tetangga, family. Agar guru tidak terjebak dalam gaya berfikir kerdil maka tidak pantas kalau setiap kali berjumpa dengan seseorang, kita terjebak cuma berbicara tentang kesehatan kita sendiri. “saya kurang sehat kemaren tidak bisa mengajar , sudah tiga bulan diserang asam urat… sudah pergi ke puskesmas”. Kemungkinan percakapan tentang kesehatan sendiri akan membuat orang lain bosan, sebab dapat membuat kita menjadi rewel dan terkesan egosentris.
Masih seputar human relation bahwa kualitas diri kita ada pengaruhnya dari hubungan kita dengan orang lain. Kalau teman kita (walau sebagai guru) rata-rata misalnya pencandu “penyabung ayam atau suka taruhan atas pertandingan sepak bola” pasti kita juga dinilai sebagai guru dengan pribadi negatif- guru yang gemar berjudi. Memang orang dinilai berdasarkan siapa teman-teman mereka. The bird with the same colour fly together- burung yang sama bulunya terbang bersama.
Hubungan seseorang menentukan keberhasilan mereka. Guru bergantung pada keberadaan siswa, Penjual bergantung pada pembeli, pedagang bergantung pada pembelinya, dan lain-lain. Profesi yang berhubungan dengan pelayanan lebih baik berfokus pada pemberian layanan yang prima- excellent service. Bila ini dilakukan maka pamor (nama baik), termasuk uang, akan datang dengan sendirinya.
Sebagai guru maka sangat bermanfaat bila kita memiliki hati yang hangat. Bagaimana suasanya bila seseorang yang berhati hangat datang menghampiri kita dan mengatakan “hallo”, “assalamualaikum” atau ungkapan greeting lainnya dengan mudah. Ini berarti bahwa ia sedang mengembangkan dan meningkatkan kualitas persahabatan dengan kita. Cara lain yang bisa menghangatkan persahabatan adalah dengan memberi perlakuan VIP (very important person) atau orang kelas satu pada orang lain, termasuk pada anak didik sehingga ini membuat mereka akan menyenangi bidang studi yang kita ajarkan.
Namun jika anak didik melakukan kesalahan, mengapa kita musti dengan enteng- menggunakan kekuasaan, membentak dan marah-marah pada mereka “Kamu keterlaluan pada saya…. tidak bisa menghormati saya sebagai guru”. Bukankah lebih santun kalau guru member nasehat dengan empat mata. Sebaliknya bila mereka memperlihatkan kerja keras dan hasil belajar yang bagus maka jangan lupa untuk memuji pekerjaan nya. Dalam berkomunikasi guru harus menghindari sikap sarkasme (sikap kasar), sikap sinis dan sikap merendahkan orang lain.
Fikiran positif berasal dari kualitas fikiran
Otak adalah pabrik fikiran yang sibuk menghasilkan produk fikiran setiap waktu. lingkungan dan orang-orang sekeliling kita adalah ibarat laboratorium humaniora bagi diri kita. Kita sendiri adalah ahlinya untuk mengamati labor tadi. Kita dapat mengamati mengapa ada orang yang bisa punya banyak teman atau punya sedikit teman. Mengapa ada orang bisa berhasil atau gagal, atau biasa-biasa saja. Maka pilihlah dua orang yang berhasil dan dua orang yang gagal, cobalah mengobservasi dan menganalisanya. Maka akan kita temui dua contoh orang yang berfikiran postif dan berfikiran negatif. Mengembangkan pribadi yang pro berfikir positif tentu perlu strategi. Untuk itu ada strategi yang perlu kita lakukan dan hal-hal yang perlu kita hindari.
Guru yang merasa dirinya tidak penting berarti sedang menuju kehidupan yang biasa-biasa saja, “Wah buat aku arus belajar keras, bidang studi yang aku ajar bukan bidang studi untuk UN (ujian nasinal). Sehausnya kita menanamkan dalam fikiran bahwa kita dan bidang studi/ profesi kita adalah juga penting.
Hal lain yang perlu kita hindari, kalau di sekolah ada guru yang santai mencemooh guru-guru yang smart dan bersemangat, Seolah olah berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya untuk jadi guru yang tekun dan rajin, “Wah sok rajin, dunia ini tidak akan selesai oleh usaha kita sendiri”. Maka abaikan saja komentar guru atau teman yang berfikiran negatif tersebut.
Menjadi guru berhati lapang- berjiwa besar tidak boleh memonopoli percakapan. Namun coba pula menjadi pendengar, dan dapatkan teman untuk banyak belajar. Menjadi guru yang berhasil berarti harus tidak memiliki kebisaaan “suka menunda waktu, banyak nonton TV dan kebisaaan bergossip”. Namun rencanakan kerja tiap hari- pada malam harinya. Biasakan suka memberi appresiasi pada orang-termasuk pada anak didik,dan memberi komentar serta respon positif. Hindari memperlakukan manusia (anak didik) sebagai mesin, untuk diperintah dan diotak-atik. Sangat tepat memperlakuka anak didik sebagai manusia- yang juga perlu dihormati, dibantu dann dipuji secara pribadi.
Tindakan lain untuk menjadi guru yang berjiwa besar.
Bagaimana tindakan lain yang perlu kita terapkan untuk menjadi guru yang dianggap bisa berjiwa besar ? Setiap guru harus menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang memerintahkan kita untuk mengembangkan kualitas pribadi. Apakah kita mau berkembang atau tidak, tertinggal atau bergerak maju. Ini ditentukan oleh ketekunan pribadi kita dan membutuhkan waktu, kerja keras dan pengorbanan yang seius. Guru perlu menajamkan fikiran dengan membaca majalah professional pada bidang studi yang kita geluti, dan membaca buku lain seperti buku filsafat, komunikasi, agama, pedagogi untuk meningkatkan kualitas profesi dan pribadi kita sendiri.
Untuk itu mari kita putuskanlah untuk membeli satu buku yang mendorong semangat tiap bulan dan berlangganan majalah dan jurnal untuk menajamkan gagasan. Nanti akan kita rasakan betapa indahnya menjadi guru yang berjiwa besar. Semoga.
Catatan: David J Schwartz. (1996). Berfikir dan Berjiwa Besar (The Magic of Thinking Big). TErjemah, Fx Budiyanto. Jakarta : Binarupa Aksara
Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar.
Minggu, 01 November 2009
Saatnya Belajar Dengan Cara Yang Menyenangkan
Saatnya Belajar Dengan Cara Yang Menyenangkan
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Dalam abad ke 21 ini sudah ada ribuan atau puluhan ribu sekolah, di persada ini, mulai dari tingkat rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi, dibangun sebagai tempat untuk untuk mendidik generasi muda agar mereka bisa menjadi bangsa yang bermartabat. Sekolah itu sendiri coraknya ada tiga, yaitu sekolah formal, informal dan non formal. Sementara rumah itu dengan eksistensi ayah dan ibu juga dapat dianggap sebagai sekolah pertama bagi anak dalam memahami kehidupan dan menguasai life skill (keterampilan hidup). .
Kemudian bagaimana cara pandang anak-anak yang belajar di sekolah tersebut ?, Tentu saja juga bervariasi. Ada anak yang memandang sekolah sebagai tempat penyiksaan, karena mereka dipaksa melakukan latihan demi latihan dengan ancaman dan tekanan dari bapak dan ibu guru di sekolah. Ada yang memandang sekolah sebagai penjara, karena terpenjara dari pagi hingga sore sehingga kehilangan waktu untuk menjelajah di sawah dan dimkebun. Kemudian juga ada yang memandang sekolah sebagai pabrik otak. Karena disana ada unsur input/ masukan, proses dan output atau produk, dan anak anak didik dipandang sebagai benda dan siap untuk dilatih dan dilatih melulu tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat belajar itu sendiri. Idealnya semua anak musti memandang sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk transfer ilmu agar berubah menjadi manusia yang lebih beradab. .
Rasa senang dalam belajar adalah masalah suasana hati. Ini diperoleh melalui perlakukan guru dan orang tua melalui dorongan dan motivasi mereka. Sebenarnya yang diperlukan oleh anak-anak dalam belajar adalah rasa percaya diri. Maka tugas orang tua dan guru tentu saja menumbuhkan rasa percaya diri mereka.. Dari pengalaman hidup, kita sering menemukan begitu banyak anak yang ragu-ragu atas apa yang mereka pelajari, sehingga mereka perlu didorong dan diberi semangat lewat kata- kata dan perlakuan.
Agar setiap anak bisa belajar dengan senang dan memperoleh hasil yang optimal, maka orang tua sebagai pengasuh di rumah dan guru dari balik dinding sekolah perlu memperkenakan tentang keterampilan belajar, kemampuan dalam berkomunikasi dan memperoleh lingkungan yang menyenangkan. Ternyata belajar juga memerlukan keterampilan. Agar seorang siswa tidak terjebak dalam kebosanan gaya belajar yang monoton (belajar cuma sekedar mencatat perkataan guru dan menghafal melulu) maka mereka perlu tahu bagaimana cara membaca , cara mencatat, cara mengolah suasana hati yang jitu, cara mengolah lingkungan dan cara berkomunikasi dengan guru dan teman teman selama pembelajaran.
Kemampuan dalam berkomunikasi juga menentukan apakah suasana belajar menyenangkan atau tidak. “Bukankan hidup kita juga ditentukan oleh suasana komunikasi atau seni berbahasa”. Berbahasa ? Tentu saja cara berbahasa itu ada 2 macam yaitu: yang menyenangkan atau cara berbahasa yang mengecewakan. Guru maupun orang tua, walaupun katanya selalu mendorong anak agar jadi pintar dalam belajar namun kadang kala cara berbahasa kurang pas menurut pribadi sang anak. “Aku tidak senang belajar dengan guru itu…. Atau tidak suka dengan suasana di rumah ?”. Tentu saja karena gaya berbahasa yang kasar, cerewet, banyak mengomel, suka membentak, banyak memperolok-olokan sang anak, meremehkan harga diri dan ada belasan cara berbahasa negatif lainnya.
Dua orang yang sedang jatuh cinta bisa hubungan mereka bisa segera putus gara-gara berbahasa yang tidak simpatik menurut pandangan partnernya. Sebaliknya cinta mereka bisa langgeng karena “cara berbahasa yang menarik” selalu mempertahan cara berbahasa yang sopan, santun dan lembut. Suasana berbahasa yang menyenangkan (bernuansa positif: bahasa yang penuh pujian, dorongan/ motivasi dan penghargaan) dan diikuti oleh lingkungan yang menyenangkan tentulah akan membuat potensi belajar anak akan meningkat.. Suasana lingkungan rumah yang kerap membuat anak tidak nyaman adalah kondisi rumah yang sempit, pengap, sembrawut dan ruangan rumah yang hiruk pikuk oleh suara elektronik (lagu dan tayangan televise) yang cedrung membuat kita sendiri susah berkomunikasi apalagi berkonsentrasi dalam belajar.
Secara umum mengapa pembelajaran anak kecil lebih sukses dibandingkan pembelajaran yang dilakukan oleh orang dewasa ? Sehingga ada pribahasa yang mengatakan bahwa “Belajar diwaktu kecil ibarat menulis di atas batu (akan selalu berbekas) dan belajar di waktu dewasa ibarat melukis di atas air (apa yang dipelajari akan cepat jadi sirna)”. Penyebabnya adalah selain faktor pertumbuhan otak, masa anak-anak dan remaja disebut sebagai the golden age- masa pertumbuhan otak yang pesat, adalah juga karena anak kecil cenderung melalui instink belajar secara global. Global learning atau belajar secara menyeluruh, ya ibarat bayi atau anak kecil yang meneliti lingkungan lewat mulut, tangan, dan mata untuk mengeksplorasi apa saja apa yang dapat dijangkau.
Beruntunglah bayi dan anak kecil yang memiliki orang tua yang peduli dalam merangsang mereka dalam global learning- menyediakan sarana bermain dan belajar, kertas untuk dicoret atau untuk digunting, bunyi-bunyian, dan benda-benda lain untuk digengagam dan dilempar. Tanpa diikuti oleh kebiasaan orang tua yang terlalu banyak menolong, mengeritik dan serba banyak melarang. Selanjutnya bahwa untuk membuat suasana belajar bisa menjadi nyaman, sangat dipengaruhi oleh respond dan rangsangan (stimulus) lingkungan serta bagaimana tekhnik belajar/ mencatat dan pengalaman pribadi anak atau kita sendiri.
Respon dan stimulus lingkungan
Tiap hari anak memperoleh dua macam komentar dari teman, orang tua, dan lingkungan yaitu komentar positif dan komentar negatif. Komentar yang sering terucap berhubungan dengan belajar bisa jadi berupa serangkaian kata-kata pujian atau cacian. “Kamu memang hebat, kamu memang pintar, kamu memang jenius, kamu memang disiplin atau yang negatif: kamu sungguh kurang ajar, kamu betul-betul bodoh, otak mu mungkin sudah penuh dengan pasir, kamu memang idiot, dan ada lagi sejuta kalimat negatif lain yang sangat ampuh dalam menyayat perasaan sang anak”.
Sangat berbahaya bila sang anak atau sang siswa terlalu banyak memperoleh komentar negatif. Sebab semangatnya bisa jadi melorot. “Percuma saja aku rajin belajar atau rajin bekerja karena toh aku tidak akan pernah dihargai sebagai manusia”. Kalau begitu mengapa kita terbiasa gencar membombardir anak-anak atau orang- orang yang posisinya berada di bawah kekuasan kita dengan stimulus negatif. Mungkin gara-gara merasa sok berkuasa atau sok punya power yang membuat orang merasa mudah melemparkan kritikan dan komentar negatif.
Ada anak yang secara sekilas dipandang sangat beruntung karena tinggal dengan orang tua yang berpenampilan sangat gagah dan fasilitas hidup cukup mewah- punya mobil, disuruh ikut les ini dan les itu. Namun sang anak malah bermimpi bahwa alangkah indahnya kalau bisa pindah rumah. Ada apa gerangan ? ternyata Ia (anak) sering kena ancam atau tidak ada contoh,, “Kamu sudah aku masukan les privat sains dan les privat matematik, kalau masih rendah nilai mu, kau pindah saja sekolah ke kampung”. Itulah karena kebiasaan mengancam dan kritikan negatif, maka kecerdasan anak pada akhirnya akan mandek pada usia sekolah.
Sebaliknya, sekali lagi, beruntunglah anak yang memperoleh rangsangan dan respon positif. Anak anak yang memperoleh kaya rangsangan akan bisa menjadi pelajar yang sukses. Dengan kata lain bahwa lingkungan yang miskin rangsangan dan dan dibombardir dengan respon negatif berpotensi menciptakan anak menjadi pelajar yang lamban.
Mengapa guru dan orang tua kok senang dengan misbehave atau salah bersikap ? Jika anak merasa kurang percaya diri, maka bantulah dia. Coba menemukan hal hal positif pada dirinya dan pujilah dia agar rasa percaya dirinya bisa datang. Komentar-komentar positif dapat membangkitkan percaya diri mereka.
Orang belajar memang tergantung pada faktor fisik (suasana lingkungan), faktor emosional (suasana hati) dan faktor sosiologi atau lingkungan teman, guru, orang tua dan budaya sekitar. Maka berilah suasana pencerahan pada lingkungan, suasana hati dan suasana sosiologi anak.
Tekhnik menctat dan pengalaman pribadi
Cara belajar dan pengalaman pribadi juga menentuka apakah belajar itu nyaman dan menyenangkan atau tidak. Karakter orang belajar memang sangat bervariasi. Ada yang senang belajar dengan cahaya terang atau agak redup, ada yang belajar dengan berkelompok atau sendiri, ada yang senang belajar pakai musik atau suasana sepi, dan ada yang senang belajar dengan suasana berantakan atau rapi. Maka guru, juga para orang tua, perlu memahami variasi mereka dalam belajar dan jangan pernah terlalu mencampuri variasi belajar mereka - kalau akibatnya membuat anak kurang nyaman dan kurang senang dalam belajar.
Bobbi De Porter dan Hernacki (2002) mengatakan bahwa variasi belajar atau modalitas (cara menyerap informasi) juga bervariasi pada setiap orang. Ada orang atau anak yang mengandalkan kekuatan visual yaitu membaca, karakter orangnya adalah cara berbicara cepat. Ada yang bersifat auditorial atau mendengar, karakter orangnya adalah suka bicara sendiri dan kecepatan berbicara sedang, Kemudian ada orang berkarakter kinestetik atau banyak gerakan. Orangnya susah untuk tenang atau duduk diam dan berbicaranya lambat.
Perlu diingat bahwa dalam belajar, supaya anak juga perlu aktif dalam mencatat. Mencatat dalam belajar bermanfaat untuk meningkatkan daya fakir mereka. Ada dua macam cara mencatat: mencatat dengan membuat peta konsep (menulis poin-poin penting dan membuat hubunganya) dan mencatat tulis susun, atau menulis poin poin penting secara bersusun saja. Kiat tambahan dalam mencatat adalah mencatat untuk mendengar secara aktif, misal dalam seminar, pidato, ceramah.. Usahakan duduk paling depan.
Percaya atau tidak bahwa kita semua adalah penulis. Dorongan untuk menulis itu sama besar dengan dorongan untuk berbicara yaitu untuk mengkomunikasikan fikiran dan pengalaman kita. Selanjutnya milikilah dan perkayalah pengalaman hidup. Milikilah pengalaman pribadi yang banyak dan beragam dengan cara banyak bergaul dan melakukan perjalanan . Sebab orang yang mempunyai koleksi pengalaman pribadi yang banyak akan lebih kreatif dalam belajar dari pada orang yang kurang pengalamannya.
Selain membiasakan mencatat selama belajar maka anak juga perlu mempunyai minat membaca dan mengetahui cara-cara membaca yang tepat. Perlu untuk diketahui tentang kecepatan membaca. Ada kecepatan membaca yang regular atau kecepatan biasa-biasa saja. Skimming atau membaca dengan melihat cepat, misal membaca buku telepon dan mencari kata dalam kamus. Scanning yaitu membaca sekilas, misalnya membaca headline pada Koran atau melihat daftar.
Agar kita, anak, siswa dan siapa saja bisa merasakan suasana belajar yang menyenangkan maka musti membiasakan untuk berfikir kreatif. Hidup ini indah atau susah memang ditentukan oleh suasana hati dan fikiran. Berfikir kreatif, bukanlah masalah kerja lebih keras, tetapi berfikir dengan banyak alternatif. Orang yang kreatif senang selalu mencoba, melakukan petualangan dan bermain-main dengan tantangan. Salah satu latihan kreatif adalah bercerita tentang kejadian sehari-hari. “Ibu guru, bapak guru dan ayah-ibu di rumah perlu untuk menyisihkan sedikit waktu agar bisa sharing dan berbagi cerita tentang indah dan mudahnya hidupm ini dengan anak”. Last but not least (akhir kata) bahwa siswa/ anak perlu untuk mengulang materi pelajaran akan meningkatkan daya ingat dan pemahaman, sehingga belajar itu akhirnya memang bias jadi asyik, nyaman dan menyenangkan.
Sabtu, 31 Oktober 2009
Bila Bersekolah Hanya Untuk Untuk Mencari “Ranking Satu”
Bila Bersekolah Hanya Untuk Untuk Mencari “Ranking Satu”
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dewasa ini banyak orang tua telah memperlihatkan partisipasi mereka dalam memajukan pendidikan atau Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara mendukung pendidikan anak-anak mereka. Pemerintah juga mendukung peningkatan kualitas pendidikan melalui lembaga pendidikan atau sekolah, mulai dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi, mendirikan sarana pendidikan, merenovasi sekolah yang kurang layak, melatih guru-guru dan aparat pendidik, menyediakan fasilitas dan beasiswa untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Banyak orang tua yang sudah menunjukan kepedulian terhadap kualitas pendidikan. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk memilih sekolah yang berkualitas bagi putra dan putri mereka. Sekolah sekolah berlabel seperti “sekolah unggul, sekolah internasional, sekolah akselerasi, sekolah percontohan, sekolah plus, dan label lain” pasti diserbu dan daftar tunggu untuk tahun berikutnya sudah dicarter, terutama bagi mereka yang berduit dan peduli pula pada pendidikan bermutu.
Orang tua yang anak-anaknya cuma belajar di sekolah biasa-biasa juga mendukung kualitas dan keberhasilan akademik anak-anak mereka. Namun mayoritas dukungan orang tua hanya baru sebatas sugesti. Kalau mereka berjumpa dengan anak-anak yang masih duduk di bangku SD, SMP atau SLTA maka secara spontan akan terucap suatu ekspresi: “Dapat juara berapa kamu di sekolah ? Mengapa kamu tidak juara….?”. Bila pas musim ujian datang maka orang tua juga akan menebarkan simpati dan bertanya, “Dapat angka berapa kamu dalam ujian ?”.
Memang simpati dan empati orang terhadap dukungan semangat dalam mendidik baru sebatas menanyakan apakah ada juara atau menanyakan skor yang diperoleh anak lewat ujian. Ada kalanya orang tua sangat bangga begitu memiliki anak yang yang malas belajar, namun setiap kali ujian selalu memperoleh nilai tinggi, atau tiap kali menerima rapor, sang anak memperoleh ranking satu dalam kelasnya. “Aku punya super bandel, malasnya luar biasa….., tidak pernah belajar, jarang uat PR (Pekerjaan Rumah), tapi kalau setiap semester selalu memperoleh ranking satu dalam rapornya. Kalau ujian nilainya ya selalu 90 atau 100”. Demikian celoteh sang ayah atau sang ibu yang mungkin kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.
Namun apakah bapak dan ibu, sang orang tua yang memiliki konsep pendidikan berorientasi ranking satu atau nilai tinggi semata, sadar dan tahu bagaimana cara mereka (anak anak didik) memperoleh nilai atau ranking yang bagus? Anak-anak cerdas dan rajin, selalu belajar keras, mempunyai hak untuk memperoleh skor tinggi dalam ujian dan juara satu dalam rapor pada akhir semester. Namun para orang tua perlu berfikir dan mencari tahu “kok anak pemalas, sering membolos, malas membuat tugas sekolah, bisa juara satu ?”. Atau ada sekolah dengan anak didik yang suka keluyuran saat jam pelajaran dan guru-guru dalam mengabdi penuh kelesuan, tiba-tiba tercatat sebagai sekolah hebat, karena skornya melejit mengalahkan sekolah yang sudah teruji kualitasnya.
Nilai 100 yang diperoleh anak pemalas pasti diperoleh lewat cara-cara tidak halal, kemungkinan “anak tersebut memang jago dalam mencontek”. Demikian pula tentang sekolah yang kualitasnya lewat kertas bisa disulap lewat rekaya saat ujian dan tipuan-tipuan jitu untuk mencari pamor sekolah yang penuh kepalsuan. Apalagi yang sering terpantau tentang proses penilaian atau proses asessmen yang dilakukan oleh tim penilai hanya berkutat mencatat dan seratus persen mempercaya data yang ada pada selembar kertas di suatu sekolah. Idealnya mereka mengadopsi kinerja penilaian yang sudah valid dan terpecaya.
Semua orang di dunia tahu bahwa Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Jerman dan Cina adalah Negara yang hebat. Namun dalam penempatan ranking negara-negara yang memiliki SDM terbaik, ternyata bukan negara tersebut yang menempati posisi ‘satu, dua, tiga dan empat”. Dalam indicateur du develepoment humain(IDH) atau indikator tingkat SDM negara yang menempati posisi “satu, dua, tiga dan empat, adalah Norwegia , Australia , Kanada dan Swiss”. Penempatan ranking SDM untuk ukuran dunia begitu cermat dan hati-hati (Francisco Vergara dalam Didiot Beatrice (2001). Sementara penempatan ranking yang dilakukan oleh tim penilai untuk sektor pendidikan di negara kita, seringkali membuat kita “tertawa terbahak bahak” dalam arti kadang kala adalah sangat tidak logika, miskin indicator dan tidak reliable.
Suatu ketika ada orang tua murid bertanya tentang apakah anak penulis juara satu di kelas atau tidak. “Maaf, anak-anak tidak terlalu saya tuntut untuk jadi juara, kalau juara itu diperolehnya lewat mencotek, atau karena factor saya memberi hadiah pada bapak dan ibu guru nya di sekolah. Yang penting dalam belajar, orang tua selalu memompakan motivasi, menyediakan fasilitas dan memberikan model tentang belajar dan anak-anak pun sudah terbiasa belajar serta merasakan belajar; membaca dan menukis sebagai kebutuhan primer mereka. Apa gunanya anak juara kelas namun tidak betah membaca, mengeluh kalau disuruh belajar… dikhawatirkan bahwa juaranya diperoleh lewat jalan yang tidak benar, atau sang anak menjadi juara karbitan”
Sekali lagi tentang fenomena mencari ranking dan nilai dalam ujian. Bahwa memperoleh ranking di sekolah sebagian diperoleh dan dilakukan dengan cara-cara gentlement atau penuh tanggung jawab – karena sang siswa memang cerdas, tekun dan disiplin dalam belajar. Namun sebahagian yang lain memperoleh dan berjuang mencari nilai dengan cara culas- merendahkan harga diri. Karena malas belajar hingga tidak mengerti maka terpaksa mencontek, melihat catatan agar nilai ujian tinggi dan supaya bisa juara satu (agar orang tua merasa bangga karena sang anak juara). Sebab kalau tidak juara maka anak akan kena bentak “percuma saja kamu rajin belajar, ikut les itu dan ini namun tidak juara. Lihat si Didi santai santai saja tetapi bisa juara”.
Terlihat bahwa proses perekrutan- atau penerimaan- siswa baru pada banyak sekolah di negeri ini, setiap tahun, betul-betul belum professional. Hanya berdasarkan pada porto folio yang datanya susah untuk dipercaya- rapor penuh dengan nilai kasihan atau nilai pergaulan, skor dan ranking kelas diperoleh lewat perjuangan penuh contekan. Memang sebagian nilai porto folio- nilai ijazah, nilai rapor, nilai UN (ujian nasional) sebagian bisa merefleksikan potensi anak, namun tidak jarang juga merefleksikan penuh kepalsuan atas penyelenggaran pendidikan di sekolah sekolah sebelumnya.
Pada suatu sekolah SMP yang agak favorite terpantau nilai sains dan nilai mata pelajaran sosial anak didik berkisar antara 80 dan 90 (sangat luar biasa). Namun dalam PBM (proses belajar mengajar) telah ditebar kekecewaan demi kekecewaan. Angka tinggi dalam ijazah belum mencerminkan kebodohan anak “Wah bagaimana cara guru guru kamu saat di SD memberi nilai, kok nilai kamu 80, 90 dan 100, dalam kenyataaan kamu sendiri tidak tahu dua tabah dua sekarang alias bloon”. Gerutu seorang guru penuh rasa kesal.
Inilah fenomena di lapangan bahwa agar nilai siswa bisa tinggi, maka guru melatih siswa untuk menyelesaikan soal soal ujian lewat program bimbel (bimbingan belaja). Kalau perlu di datangkan guru yang dianggap berbobot dari luar. Namun ada pula sekolah atau guru merekayasa tempat duduk siswa selama ujian (karena biaya bimbel amat mahal dan bias mencekik leher orang tua) agar mereka bisa saling bekerjasa sama- melegalkan budaya contekan. Inilah sekarang sebuah patologi edukasi (penyakit dalam dunia pendidikan) yaitu melegalkan pembohomgan, melegalkan rekayasa, menilai tidak professional dan mendidik tidak sepenuh hati. Orang tua dan masyarakat mungkin heran bahwa anak atau sekolah yang proses pendidikannya tidak sempurna- biasa biasa saja, tiba tiba prestasinya melejit tinggi. Sang anak kemudian di sanjung atau kepala sekolahnya dan guru guru disebut sebut sukses (walau dalam kepalsuan) dalam mendidik siswa mereka.
Program dan budaya mengejar ranking satu dan ujian untuk mencari nilai tinggi tidak ada salahnya asal dikelola dengan jujur, professional dan bertanggung jawab. Namun Syofyan Djalil, Menteri Negara BUMN pada Kabinet Indonesia Bersatu periode pertama (www.nuonline. com) kurang sependapat. Ia mengatakan bahwa system ranking menciptakan generasi pintar namun anti atas kritikan. Dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih melanggengkan sistem ranking di kelas sehingga para pelajar yang “masuk ranking” tumbuh menjadi manusia yang merasa dirinya pintar, egois dan tidak bisa menerima kritikan.
Di negara kita anak-anak diberi ranking. Akibatnya anak-anak pintar menjadi sangat tidak menarik pribadinya. Akibat sistem ranking ini, para siswa yang juara padahal kemampuannya biasa biasa saja akan merasakan dirinya sebagai “winner” atau jagoan. Anak anak yang sebenarnya pintar tapi karena penilaian tidak reliable- guru kurang fair dalam menilai- membuat mereka sebagai loser” atau pecundang dan kondisi psikologis ini bisa meruntuhkan rasa percaya diri yang sangat penting tersebut.
Produk sistem pendidikan nasional yang menghasilkan anak-anak pintar namun tidak bisa menerima kritik ini telah dirasakan dampaknya oleh sejumlah lembaga pemerintah dan non pemerintah. Sebagai contoh, Sofyan Djalil menyebutkan sejumlah diplomat senior Departemen Luar Negeri RI tentang karakter sejumlah diplomat muda yang sekalipun pintar namun “sangat egois” dan “tidak bisa menerima kritikan”. Kekeliruan lain dari sistem pendidikan kita selama ini adalah kurang berkembangnya kreativitas anak didik.
Kini pemerintah, sekolah dengan unsur gurunya, kepala sekolah, komite sekolah dan para alumni, dan juga masyarakat perlu bahu membahu untuk memantapkan kualitas pendidikan dan membina karakter anak anak didik. Adalah patut untuk berfikir dan meninggalkan konsep pendidikan yang terlalu berorientasi kepada berharap nilai dan ranking tinggi, dan tanpa usaha yang professional. Kemudian sangat layak kalau kita membudayakan belajar dengan memberikan penghargaan pada proses pembelajaran yang matang, meningkatkan manajemen dan penilaian, serta menumbuh kembangkan kreativitas dan kesediann menerima kritikan demi kemajuan. Tentu saja bukan asal kritik yang menyedihkan namun kritikan yang santun dan bijaksana.
(Catatan: Beatrice, Didiot. 2001. L’etat Du Monde: annuaire economique geopolitique mondial. Paris : Editions La Decouverte & Syros .)
Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar
Jumat, 30 Oktober 2009
Mendidik dan Membina Karakter Anak Sejak Dini
Mendidik dan Membina Karakter Anak Sejak Dini
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Bagaimana karakter bangsa Indonesia di mata bangsa-bangsa di dunia ? Pasti umumnya mereka mengatakan bahwa bangsa Indonesia ramah-tamah dan suka tolong -menolong, gotong royong. Sekaligus bahwa adalah ciri khasnya. Namun coba baca dan ikuti berita yang ada pada elektronik dan media massa cetak dewasa ini. Ternyata banyak orang kita yang suka berkelahi, korupsi dan saling memaki. Malah kadang-kadang ada siswa dan mahasiswa yang senang tawuran. Ini menandakan pendidikan dan pembinaan karakter di rumah dan di sekolah, prosesnya, kurang memperoleh perhatian penuh. Sebelum deteriorasi- pemburukan- karakter terjadi, maka guru dan orang tua musti peduli untuk mendidik dan membina karakter anak.
Membina dan mendidik karakter, dalam arti untuk membentuk “positive character” generasi muda bangsa ini. Agar positive character terbentuk, maka anak perlu dilatih melalui pembiasaan “mandiri, sopan santun, kreatif dan tangkas, rajin bekerja, dan punya tanggung jawab”.
Melatih anak mandiri perlu pembiasaan sejak usia dini. Ada anak yang sudah menunjukan tanda-tanda kemandirian saat usia kecil, misalnya mereka menolak untuk disuapi dan ingin makan sendiri. Tanda kemandirian yang lain adalah seperti mencuci tangan, makan, dan memakai sepatu sendiri, sekali lagi bahwa ini adalah awal untuk mandiri dan itu perlu dipupuk. Namun karena orang tua ingin buru-buru dan ingin serba cepat, maka mereka cendrung mengambil alih aktivitas kemandirian anak tersebut.
Seharusnya, demi pendidikan masa depan anak, maka mereka musti melatih kemandirian. Untuk itu biarkan anak berbuat dan biarkanlah salah sampai batas tertentu. Kontrol yang berlebihan dari orang tua dan sikap yang membesar-besarkan kesalahan akan membuat anak jadi ragu dan malu. “Hei jangan begitu…., sandal terbalik terus….!”, Teriakan-teriakan begini berpotensi mematikan kemandirian mereka.
Bagaimana melatih anak agar tahu tentang sopan santun ? Guna mendorong anak supaya bertingkah laku yang penuh dengan kesopanan, maka orang tua memberi model- uswathun hasanah terlebih dulu. Misalnya orang tua mulai dengan mengucapkan terima kasih dan mengekspresikan pujian dan berterima kasih pada siapa saja, “Terima kasih atas batuan mu telah memasukan sandal papa ke dalam rumah, ……kamu anak yang bagus….!”. Yang harus diingat dalam melatih anak adalah bahwa jangan berharap anak berusia empat tahun bertinggah seperti anak usia tujuh tahun.
Kreatifas dan ketangkasan anak juga perlu dipupuk- dimotivasi terus. Kreatifitas yang dimiliki seseorang/ anak sebenarnya berasal dari imajinasi, sebagai kumpulan dari ide-ide mereka. Imajinasi dapat memuat mereka menjadi kreatif. Kreatifitas anak sangat tergantung pada kesempatan yang diberikan lingkungan. Kreatifitas harus dirangsang sedini mungkin- sejak usia kecil- usia dua atau tiga tahun dalam suasana bermain. Orang tua perlu merangsang kreatifitas mereka lewat proses interaksi dan menyediakan fasilitas bermain. Untuk membuat anak kreatif, pendidik (guru dan orang tua) harus menerima eksistensi anak apa adanya dan tidak cepat memberikan kritik pada tingkah laku dan kebebasan mengungkapkan perasaan.
Membiasakan anak untuk rajin bekerja adalah cara lain untuk mendapatkan anak yang berkarakter positif. Untuk itu orang tua musti membolehkan anak untuk memilih pekerjaan atau tugas rumah yang paling disukainya dan jangan berharap agar ia bekerja sempurna. Agar pekerjaan anak meningkat kualitasnya, maka orang tua perlu memotivasi dan sering memberi penghargaan atas keberhasilan kerja yang mereka lakukan.
Tampaknya anak yang ideal, karena memiliki karakter positif, juga perlu menyukai olah raga. Mereka perlu diajar untuk berolah raga agar otot-otot, paru-paru dan jantungnya kuat. Anak-anak yang gemar berolah raga, tubuh mereka tampak tegap dan kekar- tidak lemah atau lunglai.
Selanjutnya tentang melatih tanggung jawab pada anak. Perlu kita ketahui bahwa tanggung jawab tidak terpasang sejak lahir. Ia perlu dilatih setiap hari, dan melibatkan anak-anak dalam kegiatan di rumah. Bentuk pelaksanaanya adalah dengan memberi mereka pekerjaan yang tetap. “menyiram bunga dan menyapu teras adalah tanggung jawab Nadilla, menyapu rumah dan membuang sampah adalah tanggung jawab Fakhrul, memasak nasi, membersihkan dapur dan kamar mandi adalah tugas Kak Hafiza……!”. Demikian cara orang tua menanamkan tanggung jawab melalui pembagian tugas. Barangkali pada mula memperkenalkan pembagian tugas atau tanggung jawab ini, sebagai disiplin kerja, mungkin terlihat sedikit dalam sikap yang agak otoriter (agak tegas) agar anak bisa menurutinya.
Tiap anak berpotensi terjebak ke dalam karakter negative, maka orang tua pun perlu untuk memahaminya. Beberapa bentuk karakter negative seperti anak suka berbohong , pemalu, anak merasa minder, bersifat agresif, suka membangkang, dan kebiasaan bertengkar. Karakter negative tentu ada pemicunya dan orang tua tentu perlu bersikap bijak dalam menghdapinya..
Mengapa anak suka berbohong ? Penyebabnya adalah karena orang tua yang terlalu gemar memberikan hukuman, membentak anak, sehingga jadi berbohong. Berbohong karena mereka takut diberi hukuman atau sebagai strategi untuk menutupi rasa malu. Adalah sangat bijak bila orang tua lebih gemar memberi pujian- penghargaan- dari pada gemar menghukum dan membentak sang anak- kecuali memberikan hukuman yang lebih menyentuh/ bersifat educatif.
Bagaimana strategi orang tua dalam menghadapi anak yang penakut ? Maka terlebih dahulu orang tua musti memahami penyebab timbulnya rasa takut pada anak. Jangan remehkan perasaan takut anak kecil. Terimalah ungkapan takut anak, tetapi jangan membesar-besarkan ketakutan itu. Menghilangkan rasa takut dengan membujuk dan mendekatkan anak pada objek yang ditakuti perlahan-lahan. Orang tua perlu tahu bahwa rrasa takut dapat hilang berangsur-angsur, bukan dalam sekejap mata.
Dalam hidup ini selalu ada anak yang berani dan anak yang pemalu. Sifat pemalu timbul karena anak yang kurang suka bergaul dengan orang lain, tidak mudah mencari teman, pendiam dan dicap sebagai anak pemalu. Perlu untuk dipahami bahwa anak pemalu biasanya juga bersifat pendiam dan suka memilih-milih teman. Namun bila ia sudah terbiasa dengan teman atau lingkungan sosial tertentu maka karakter malunya akan tanggal/ lepas.
Rasa malu dapat diakibakan oleh kurangnya rasa Pe-de (percaya diri). Percaya diri terganggu karena kebiasaan orang tua yang suka membanding-bandingkan anak, anak kurang bergaul, atau orang tua terlalu melindungi anak sehingga anak jadi kurang mandiri dlam bergaul- mencari teman. Untuk mengatasi sikap malu- maka orang tua jangan menggelari anak-anak sebagai “pemalu” dan biasakan untuk menghargai anak, rangsang anak untuk mengekspresikan perasaan serta pendapatnya di rumah.
Cukup banyak anak yang berprilaku agresif. Karakter agresif bisa merugikan eksistensi mereka dalam bergaul, karena banyak orang kurang menyukai karakter agresif. Dalam bahasa Minang anak agresif juga disebut sebagai “anak yang lasak”, atau terkesan suka mengganggu atau usil. Karakter agresif terbentuk pada mulanya karena anak dalam keadaan lelah atau sakit, dan mereka mudah jadi agresif.
Anak yang sedang bersedih atau sedang takut juga mudah agresif. Anak yang tidak punya permainan bisa menjadi bersedih dan selanjutnya menjadi agresif. Sebaiknya orang tua memberikan kesan yang tenang dan tidak emosi terhadap anak yang agresif. Untuk menyalurkan agresif anak, ya dengan melakukan olah raga dan olah otot.
Karakter suka membangkang, ini terbentuk karena orang tua suka bersikap keras dan mendikte. Untuk itu orang tua seharusnya menghadapi anak-anak yang pembangkang dengan tenang dan wajar saja. Agar anak tidak membangkan maka tidak usah terlampau sering menyuruh anak mengerjakan ini dan itu. Biarkan ia mengenakan dan memakai baju dengan cara sendiri.
Bertengkar kadang kadang atau malah sering mewarnai kehidupan rumah, sekolah dan sosial. Kalau pertengkaran antar anak terjadi di rumah maka orang tua tidak perlu mengusut siapa yang salah atau benar. Lebh baik anjurkan anak supaya berdamai dan alihkan perhatikan mereka.
Bagaimana kalau yang bertengkar bukan anak, tetapi malah adaltah dan ibu itu sendiri ? Bila ada beda pendapat, pertengkaran, antara ayah dan ibu maka tidak dibenarkan ayah dan ibu untuk menyalahkan pasangan di depan anak anak dan mereka harus menahan emosi. Membesar besarkan kekurangan anak, atau kekurangan seseorang hanya menimbulkan perselisihan belaka.
Pertengkaran juga bias disebabkan dari cara berkomunikasi yang tidak cocok, terlalu suka meledek, suka bercanda yang menyinggung pribadi, tidak menghiraukan pembicaraan orang. Pertengkaran ayah dan ibu di depan anak dapat mengganggu psikoseksuil dan watak anak. Ibu yang sering menjelek-jelekan ayah didepan anak laki-laki, berpotensi membuat anak laki laki kurang maskulin, dan sukar jatuh cinta dengan lawan jenis.
Some do’s dan some don’t’s untuk orang tua, some do-s, berarti beberapa anjuran, dan some don’t’s, berarti beberapa larangan bagi orang tua terhadap anak dan berpotensi dalam menumbuh-kembangkan karakter positif mereka. Beberapa anjuran terhadap orang tua dalam membina karakter anak adalah seperti melowongkan waktu untuk melakukan traveling, berkomunikasi, menumbuhkan sikap ingin tahu dan meningkatkan aktivitas untuk menumbuhkan potensi kognitif anak. Sementara orang tua disarankan agar tidak terlalu memanjakan anak dan jangan terjebak dengan kebiasaan “asal serba melarang”.
Aktivitas traveling sangat bermanfaat untuk menumbuhkan kecerdasan anak dalam memahami alam dan lingkungan. Seharusnya bila keluarga melakukan kegiatan traveling maka jadikanlah anak bagian dari rencana traveling orang tua. Kalau melakukan traveling maka sediakan kesibukan untuk anak supaya mereka tidak rewel atau bosan; dengan menyediakan mainan, bacaan, makanan dan minuman.
Komunikasi adalah sarana untuk menyatukan hati atau emosi semua anggota keluarga. Komunikasi harus dipelihara sejak anak-anak masih kecil, sampai mereka remaja dan dewasa. Disamping berkomunikasi, orang tua juga perlu untuk bekerja sama dengan anak. Komunikasi yang baik dimulai dengan menjadi pendengar yang baik. Orang akan terbuka kalau fikiran dan ide-ide mereka diperhatikan.
Agar memiliki anak yang cerdas dan punya karakter positif maka orang tua perlu untuk menumbuhkan sikap ingin tahu. Sikap tidak buru buru dalam mencampuri privacy- hak pribadi anak- adalah salah satu cara untuk menumbuhkan rasa ingin tahu mereka. Dalam menanamkan pengaruh pada anak, orang tua lebih efektif lewat contoh atau model langsung, daripada melalui ceramah, khotbah atau penjelasan secara lisan. Karena penjelasan secara lisan akan mudah dilupakan. Namun pengalaman yang nyata cendrung akan diingat sepanjang hayat.
Bermain juga bisa merangsang rasa ingin tahu anak. Oleh sebab itu tidak ada gunanya memarahi anak kecil yang tengah asyik bermain. Orang tua perlu menyediakan waktu untuk mengamankan benda kesayangan atau benda yang membahayakan dari jangkauan anak. Jika orangtua merangsang sifat ingin tahu anak, kemungkinan besar inteligensinya dan daya cipta mereka akan meningkat.
Rasa ingin tahu anak juga tumbuh melalui pergaulan. Pengalaman bergaul sangat besar pengaruhnya bagi proses perkembangan anak, baik pengalaman pahit maupun pengalaman yang manis, dan kedua-dua bentuk penglaman tersebut sama pentingnya.
Orang tua juga perlu untuk menumbuh kembangkan kognitif, otak, anak. Kecerdasan kognitif bisa memberi dampak pada pembentukan karakter positif Aktifitas yng lain untuk kognitif seperti menggambar, musik, dan menyediakan buku bacaan.
Sejak usia kecil anak-anak suka coret coretan- namun orang tua yang gemar melarang, berpotensi membunuh kreatifitas anak. Beruntunglah anak yang punya orang tua menyalurkan aktifitas ini. Aktifitas lain yang disenangi anak adalah menggambar. Kegiatan menggambar dapat mebantu anak untuk memahami dunia sekitar mereka.
Musik merupakan konsumsi jiwa. Ia dapat memberikan perasaan tenang, rasa sedih, senang dan gembira. Bagi kehidupan anak dan remaja, tidak ada instrument yang lebih baik daripada musik. Akhirnya, anjuran yang patut untuk dilakukan orang tua pada anak adalah menyediakan buku bacaan untuk anak.
Betapa besarnya peran buku dalam kehidupan anak. Banyaknya seorang anak dibacakan buku atau diberi dongeng dalam usia dini/ atau usia muda sangat menentukan suksesnya kelak mereka di sekolah. Anak yang kurang suka buku karena buku tidak menarik, atau orng ua agak terlambat memperkenalkan buku, atau juga kurang memberi rangsangan untuk membaca pada anak. Bila kemampuan membaca anak sudah bagus, maka selipkanlah buku non fiksi. Buku adalah karcis untuk pergi ke mana-mana dan membaca adalah cara terbaik untuk mengisi jiwa dan otak.
Akhir kata ada dua hal yang perlu untuk ditinggalkan oleh orang tua, yaitu terlalu memanjakan anak dan kegemaran serba melarang. Anak terlalu manja- memenuhi segala keinginan anak dan serba dilindungi- akan sulit untuk melepaskan diri dari orang tua. Ia sudah merasa aman dalam perlindungan orang tua dan takut menghadapi dunia luar. Tidak perlu terlalu memenuhi perhatian anak yang butuh perhatian, cuekan saja. Ini berguna agar ia dapat mandiri dalam hal emosi. Sebab rasa sayang tidak berarti menuruti semua keinginan anak. Berjuta anak di dunia menjadi rusak karena dimanja dan terlalu dilindungi.
Jangan asal melarang, orang tua tidak perlu asal melarang anak. Tetapi tanpa melarang seorang anak mungkin kehilangan arah dan keseimbangan jiwa. Jangan melarang kegiatan yang dibutuhkan anak untuk perkembangan dan pertumbuhannya. Dalam melarang orang tua tidak perlu mengomel atau memaki yang tidak karuan . Ini dapat membuat anak merasa benci pada orang tua. Maka kini agar bangsa Indonesia dan generasi muda Indonesia tetap memiliki karakter terpunyi maka guru dan orang tua perlu mendidik dan membina karakter mereka secara total,
Kamis, 22 Oktober 2009
Mengoptimalkan Pendidikan Di Rumah
Mengoptimalkan Pendidikan Di Rumah
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Pendidikan adalah kata yang amat sering diperbincangkan orang di seluruh dunia, Itu karena pendidikan sangat menyentuh dan menentukan nasib dan kualitas bangsa itu sendiri. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa pendidikan itu adalah tanggung jawab sekolah. Maka kalau ada kata pendidikan, lantas yang terbayang adalah gedung sekolah- TK, SD, SMP, SMA, MAN, SMK, terus Akademi, Universitas dan perguruan tinggi lainnya. Anak-anak yang pintar di sekolah berasal dari rumah yang orang tuanya sangat peduli dengan pendidikan. Maka pendidikan di rumah dengan orang tua sebagai pendidik dan motivator sangat menentukan kualitas pendidikan bangsa yang besar ini.
Demikianlah, orang tua memegang peran yang sangat penting dalam memajukan bangsa lewat mendidik dan memajukan anak-anak mereka sendiri. Orang tua tidak perlu harus tahu dengan matematik, bahasa asing (Inggris, Arab, Jepang), akuntansi, fisika dan lain-lain, namun mereka mampu menciptakan generasi yang bernas melalui model, motivasi dan semangat yang mereka pompakan pada anak sepanjang waktu. Mereka juga perlu belajar bagaimana menjadi orang tua yang cerdas terhadap anak-anak mereka sendiri. Mereka perlu, terlebih dahulu memahami mengapa dan bagaimana anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Tidak memahami pertumbuhan dan perkembangan anak telah membuat jutaan orang tua di dunia ini menjadi salah didik. Maka agar tidak salah didik, carilah informasi tentang mendidik anak.
Alex Sobur (1986) menulis buku dengan judul “Anak Masa Depan”. Buku itui membahas banyak hal. Orang tua perlu memahami eksistensi anak dalam keluarga, tentang pendidikan moral dan agama anak, mendorong motivasi anak, tentang peran orang tua dan anggota keluarga yang lain dalam mendidik anak.
Eksistensi posisi urutan anak dan pendidikan moral.
Adalah sangat perlu memahami eksistensi perkembangan anak. Karakter anak adakalanya dipengaruhi oleh posisi urutan kelahiran anak. Urutan anak menurut kelahiran adalah seperti, anak sulung, anak bungsu, anak tunggal dan anak urutan yang ke sekian. Setiap urutan anak memperlihatkan karakter yang khas. Anak sulung memperlihatkan sikap ingin menguasai dan mengatur adik. Umumnya orang tua lebih santai terhadap anak yang ke dua atau urutan selanjutnya. Anak bungsu bisa berkembang tanpa banyak mengalami kesulitan, Ia banyak yang menolong. Namun orang tua secara tidak sadar biasanya memperlakukan anak bungsu sebagai anak kecil. Karakter anak bungsu kadangkala ingin menang sendiri dalam perhatian. Anak bungsu cenderung menjadi anak yang paling ambisius.
Barangkali anak tunggal adalah anak yang agak unlucky-kid karena ia tidak mengalami persaingan dengan saudaranya dan sukar untuk berbagi perasaan. Tetapi ia dapat bersaing dengan teman sebayanya. Plusnya buat anak tunggal adalah bahwa ia dianggap mampu belajar mandiri dan punya rasa percaya diri yang lebih besar. Kadang kala anak tunggal diperlakukan sebagai raja kecil, namun lain kali sebagai budak- bekerja sendirian. Anak tunggal penuh perlindungan dan ia pun mudah putus asa, lebih pemalu dan egois.
Orang tua juga punya peran besar dalam pengembangan pendidikan agama dan moral anak. Kuaitas agama anak (seseorang) ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihannya pada masa kecil dan saat iaremaja. Orang yang tidak pernah mendapat didikan agama pada waktu kecil (sampai remaja) maka ia tidak merasakan pentingnya beragama pada waktu dewasa.
Bagaimana dengan moral anak ? Moral anak perlu dikembangkan sejak usia dini. Eksistensi moral mereka saat masih kecil, misal pada masa prasekolah tergantung pada reward dan punishment. Kualitas reward dan punishment dari orang tua punya peran, perlu untuk dicatat bahwa dalam mengembangkan moral anak agar lebih banyak mengekspos “reward atau pujian”. Namun fenomena dalam mayarakat, ditemukan bahwa banyak orang tua lebih gemar memberi punishment atau hukman saat anak melakukan kesalahan dan kikir memberi pujian saat anak berkarakter terpuji. Adalah sangat tepat bila anak pandai menyapu rumah atau merapikan kamar, maka orang tua seharusnya buru buru memberi pujian “terimakasih , bapak/ ibu senang karena kamu anak yang rajin”, pastilah saat berkata demikian anak merasa sebagai orang yang sangat berarti.
Perkembangan moral anak juga ditentukan oleh kualitas interaksinya dengan sosial, terutama dengan teman-teman sebaya. Lewat interaksi atau pergaulan ia bisa membuat penilaian “mana karakter yang baik dan mana yang buruk”, cara berteman yang baik, cara mencurahkan kasih sayang, sopan santun dan tolong menolong.
Kemudian bagaimana tentang pemahaman anak tentang Tuhan ? Gambaran tentang Tuhan bagi anak sering bercampur dengan beberapa pengalaman. Pengalaman itu punya faedah untuk menanamkan kesan baik dalam fikiran mereka. Sangat penting untuk memperkenalkan dan menerangkan tentang Tuhan pada nya sejak usia kanak-kanak. Selain dari orang tua, anak juga memperoleh informasi tentang Tuhan dari orang-orang sekitar.
Ternyata tanpa kita sadari bahwa anak meniru karakter kita (orang tua mereka). Sejak usia dini, usia 3 – 6 tahun , anak mulai meniru orang tua, yaitu watak dan prilaku kita. Ini terlihat melalui bermain peran. Orang tua yang lembut, mengajarkan tentang Tuhan itu Maha Lembut, dan orang tua yang keras mengajarkan tentang Tuhan itu Maha Keras.Pandangan anak tentang konsep Tuhan dipengaruhi oleh figur ayah, yang meliputi unsur-unsur emosi seperti rasa cinta, kepercayaan, rasa kagum dan ketakutan. Anak yang sedikit atau jarang mendengar Tuhan dibahas dalam rumah maka tentu tidak memiliki konsep tentang Tuhan.
Peran orang tua dan anggota keluarga lain pada anak.
Ibu adalah orang yang utama dan pertama punya peran dalam mengukir kepribadian anak dan bagaimana gambaran mereka kelak. Peran ibu yang besar adalah dalam menanakan rasa cinta pada “sang buah hati”. Ibu perlu memperlihatkan rasa cinta dan tulusnya pada anak. Dalam hidup ini cukup banyak anak-anak yang menjadi rusak emosinya karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah, terutama bagi ibu egois yang sangat mementingkan karir dan jabatan dalam untuk mencari kehormatan yang kadang kala penuh kepalsuan. Bila anak merasa kurang perhatian orang tua, terutama dari sang ibu, maka ia akan menjadi gelisah dan kurang puas. Setelah ibu, maka dituntut peran dan tanggung jawab dari ayah.
Anak selalu butuh kualitas perhatian ayah dan ibu (orang tua) melalui kehangatan hubungan mereka. Hubungan orang tua dan anak yang kaku, penuh permusuhan maka kelak membuat anak suka melawan. Ini penyebab awal dari tipe individu dan anti sosial. Figur Ayah sangat penting dalam pembentukan pribadi anak. Ayah merupakan tokoh identifikasi disamping figur ibu. Pribadi ayah menjadi tolok ukur bagi pembentukan prilaku anak. Bila ayah punya peranan dalam keluargadan masyarakat maka anak akan punya kepribadian yang mantap. Sebaliknya bila ayah kurang berperan dalam keluarga, apalagi tidak aktif dalam masyarakat, serta dalam kehidupan anak, maka anak akan kehilangan pegangan atau figur ayah.
Idealnya ayah harus aktif dan puya agenda atau kegiatan hidup. Tidak pantas ayah menjadi raja kecil yang senang serba mengatur, bengong dan senang menganggur atau kongkow-kongkow, duduk membuang waktu. Sebab anak akan kurang pengalaman bila ayahnya kurang aktif. Apalagi bila anak tumbuh tanpa kehadiran ayah yang aktif dan kreatif disampingnya atau di rumah. Ayah musti melowongkan waktu untuk bermain dan bergaul dengan anak Ayah seharusnya juga menjadi pendidik, tidak hanya mengandalkan pada peran ibu, namun ayah tidak boleh menjadi pendidik yang keras atau otoriter.
Dlam masyarakat yang menganut system keluaga besar, extended family, dimana selain kehadiran kekuarga inti (ayah, ibu dan anak) juga ada kakek dan nenek. Tentu saja kakek dan nenek juga memberi peran dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun Kakek dan nenek harus ingat bahwa yang berkuasa atas anak adalah orang tuanya. Inilah kadang kala penyebab orang tua dan kakek-nenek agak cekcok. Gara-gara berebut lahan dalamm mempengaruhi sang cucu. Apalagi bila kakek-nenek merasa lebih pintar.
Pendidikan dan sekolah anak.
Di akhir masa balita (usia lima tahun) maka anak perlu mengenal lingkungan sekolah. Kalau anak punya kakak yang sudah bersekolah. Maka ia sudah punya bayangan tentang sekolah. Masa awal bersekolah, terutama di SD, merupakan masa penyesuaian diri yang cukup berat. Cukup banyak anak yang mulai mengenal stress pertama dalam hidupnya gara-gara berada di sekolah yang tidak bias memenuhi egosentrisnya sebagai raja kecil. Sehingga sang ibu atau yah terpaksa agak repot menenangkan emosi dan menemani mereka. Tetapi anak yang sudah bersekolah di TK akan tidak begitu canggung masuk sekolah yang baru (SD) karena ia sudah bisa berpisah dengan rumah. Ibu, ayah, dan anggota keluarga yang lain ada baiknya sebelum anak bersekolah, membawa anak main-main ke sekolah.
Kelas I SD merupakan loncatan dari dunia permainan ke dunia yang lebih komplek dan serius. Ia mulai berkenalan dengan tata tertib, disiplin , tugas dan tanggung jawab dan harus bisa untuk bangun pagi dan membuat PR yang teratur.
Sejak dari bangku TK, anak mulai tahu dengan kosakata baru, yaitu “Rapor”. Rapor yaitu catatan presrasi akademi anak secara kognitif, afektif dan psikomotorik (kecerdasan logika, sikap dan keterampilan). Rapor punya eksistensi yang pending dalam mencatat nilai atau perkembangan anak. Tanpa adanya rapor atau penilaian maka tidak akan ada rangsangan untuk mencapai keberhasilan.
Walaupun di sekolah anak memperoleh bimbingan dari guru namun anak lebih banyak belajar dari contoh (model langsung) dari pada petunjuk orang tua atau khotbah-khotbah . Orang tua perlu selalu memompakan semangat dan dorongan dalam belajar. Sekali lagi bahwa lebih pas kalau orang tua juga memberi model. “walaupun sudah tua ayah juga selalu belajar seperti kamu”, kata seorang ayah pada anaknya sambil membaca biografi atau buku tentang filsafat kehidupan.
Dalam membimbing anak agar dapat tumbuh dan berkembang, orangtua perlu punya hubungan dengan guru di sekolah. Kontak akrab dan hangat antara guru dan orang tua sangat besar manfaatnya bagi pertumbuhan, perkembangan dan prestasi anak. Guru dapat mengemukakan keluhan mengenai perkmbangan kemampuan anak. Kunjungan guru ke rumah orang tua juga penting, (dan tentu butuh pengorbanan dari pihakguru). Ini berguna untuk mengetahui latar belakang kehidupan siswa/ anak di rumah. “Lakukanlah komunikasi guru- siswa- orang tua di sekolah secara teratur”.
Membina motivasi dan prestasi belajar anak
Motivasi untuk berprestasi bagi anak perlu dikembangkan. Anak-anak orang yang berhasil dalam akademik dan non kademik adalah anak yang punya motivasi. Motivasi dapat tumbuh dalam suasana yang bebas, merdeka, tanpa ketegangan dan tuntutan yang berlebihan dan anak perlu merasa dihargai dan diterima apa adanya.
Anak perlu punya prestasi. Tingkah laku berprestasi adalah anak cenderung untuk selalu menyelesaikan tugas, dan punya rasa kompetisi terhadap diri. Prestasi yang baik adalah hasil dari belajar yang baik pula. Tetapi sering orang tua baru memberikan perhatian pada pelajaran anak, setelah rapor anak sangat jelek, banyak tinda merah atau angka mati. Orang menyebut dengan istilah rapor yang “kebakaran”. Prestasi buruk tidak berarti anak bodoh, untuk itu orang tua perlu introspeksi diri.
Sikap dan pribadi orang tua dapat mewarnai motivasi dan prestasi anak yang juga terrefleksi dalam kepribadiaannya. Agar orang tua bisa berpengaruh dalam menanamkan motivasi dan prestasi belajar, saratnya tentu musti ada keakraban, kehangatan dan komunikasi antara orang tua dan anak.
Prestasi dan motivasi anak juga ditentukan oleh bakat dan intelligent quotient (IQ) anak. Perlu diketahui bahwa anak berbakat merupakan interaksi – kemampuan di atas rata-rata, kreatif, cemerlang berfikir dan bertanggung jawab. Kemudian tentang IQ, bahwa anak yang ber IQ tinggi ada kalanya egois, namun ada kalanya mandiri, hangat dalam bergaul, imajinasi kreatif dan memiliki rasa humor. Kelemahannya adalah kadang kala malas, tak sabar, sering gelisah dan sering mengganggu.
Selain anak ber IQ tinggi, ada lagi istilah “anak berbakat”. Anak yang berbakat lebih suka bermain dengan anak yang lebih tua usianya, dan adakalanya menjadi pemimpin kelompok. Untuk merangsang potensi anak berbakat maka orang tua perlu menyediakan lingkungan yang kaya imajinasi, dan membiarkan anak untuk menyelidiki lingkungan tanpa banyak diusik.
Mendorong minat belajar anak.
Orang tua perlu menjaga semangat belajar anak agar tidak luntur dan rusak, karena belajar bukanlah proses jangka pendek. Ia perlu dorongan moral dan suasana, membiasakan anak membuat PR dan belajar di rumah.
Orang tua harus tahu bahwa anak perlu membuat jadwal belajar di rumah, tetapi berimbang antara belajar, membantu orang tua, hobi dan bermain. Anak tidak harus belajar terlalu lama sebab akan mengancam semangat belajar, biar belajar 30 menit untuk satu mata pelajaran, yang penting teratur dan sering. Orang tua sedapat mungkin menemani anak SD dalam belajar. Dan jangan membentak bentak anak-anak bila belum mengerti. Sikap kasar tidak akan membantu anak, sebab anak bias jadi gelisah dan takut.
Tentang PR (Pekerjaan Rumah), sebaiknya orang tua ikut melihat pelajaran yang telah diperoleh anak di sekolah dan ajaklah anak untuk belaja dengan teratur di rumah. Bila PR selesai, sebaiknya orang tua perlu untuk menelitinya lagi. Waktu mengerjakan PR anak tidak boleh diganggu oleh waktu bermain dan pergaulan sosial, agar PR tidak jadi masalah- bermainlah saat bermain dan belajar saat belajar. .
Konsentrasi anak,
Akhir kata adalah tentang konsentrasi anak. Untuk bisa berkosentrasi, anak perlu untuk punya motivasi. Hal-hal yang mengganggu konsentrasi anak anak adalah seperti faktor luar dan factor dalam. Rangsangan luar dapat mengganggu kosentrasi anak, demikian pula bila ada konflik dalam rumah tangga. Konflik antar anak-anak; anak- orang tua, dan orang tua-orang tua. Kosentrasi bisa buyar karena perhatian teralih oleh sesuatu yang lebih menarik.
Jangan mengganggu anak yang asyik bermain, asyik dengan hobi, dan sedang asyik membaca. Bila anak sering terganggu kosentrasi, ia mudah kehilangan gairah belajar. Kurangnya gerak badan dapat mempengaruhi konsentrasi. Berikan anak waktu untuk berkosentrasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
Mengangkat harga diri bangsa ini kini tidak saja tanggung jawab sekolah, dengan unsure guru, dan lingkungan sekolah tetapi sekarang juga tanggung jawab rumah dengan ayah dan ibu sebagai guru utama anak. Yang sangat diperlukan untuk membuat anak cerdas dan terdidik dari pihak orang tua adalah dari segi atau sentuhan motivasi. Memaksimalkan peran dalam mndidik- menemani dan memfasiltasi anak dalam belajar adalah peran terpenting dari orang tua.
(Catatan: Alex Sobur. 1986. Anak Masa Depan. Bandung: Angkasa).
Sabtu, 17 Oktober 2009
Prinsip Percepatan Pembelajaran Untuk Mengejar Ketertinggalan
Prinsip Percepatan Pembelajaran Untuk Mengejar Ketertinggalan
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Sikap kurang sabar dan suka terburu-buru adalah bahagian dari karakter anak muda secara umum. Termasuk karakter pelajar dan remaja. Di jalan raya prilaku ini terlihat dalam kebiasaan ngebut dan mengambil jalan pintas. Melihat prilaku yang agresif dan suka terburu buru ini mungkin ada orang nyelutuk dan berkata “wah anak muda sekarang, kalau di jalan suka ngebut tetapi kalau belajar suka lambat”.
Pelajar, guru, orang tua dan semua orang sudah tahu bahwa bahwa kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara maju (Singapura, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Perancis, dan lain-lain) masih jauh tertinggal. Maka agar bangsa ini bisa maju dan tidak tertinggal terus maka sudah saatnya semua warga Indonesia untuk memacu kualitas diri. Salah satu cara yang mungkin untuk diterapkan adalah dengan melakukan program percepatan pembelajaran.
Percepatan pembelajaran adalah terjemahan dari accelerated learning. Dave Meier (2002) menulis buku dengan judul “The Accelerated Learning Handbook”. Ia mengatakan bahwa untuk percepatan pembelajaran maka diperlukan keterlibatan total dalam pembelajaran itu sendiri. Belajar haruslah berpusat pada aktifitas dan bukan pada presentasi atau kehadiran semata.
Percepatan pembelajaran seharusnya tidak hanya konsumsi untuk siswa SMA dengan program akselerasinya. Apalagi kalau program akselerasi tersebut hanya berupa pemaksaan dari orang tua, memenuhi ego orang tua agar merasa bangga mempunyai anak yang dicap jenius dengan cara bergabung dalam program akselerasi. Apalagi program akselerasi atau percepatan untuk mempercerdas anak hanya untuk bidang sains dan matematika, pada hal kelak masa depan mereka yang pas belum tentu berada dalam koridor sains dan matematika, mana tahu pada bidang, olah raga, seni atau bahasa.
Suasana pembelajaran pada banyak sekolah, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA masih banyak bersifat teacher centered. Walaupun sudah banyak guru yang mengetahui jenis-jenis metode pembelajaran, namun mereka tetap merasa senang dengan metode konvensional atau metode beceramah, mencatatkan, mendiktekan atau metode bank- menyuruh siswa menghafal semua ucapan guru dan mengujinya pada hari berikutnya. Pemandangan umum adalah bahwa siswa selalu berkutat dengan kegiatan mencatat, menghafal dan mengerjakan lusinan latihan sehingga jari pegal-pegal. Sesungguhnya belajar bukanlah sejenis olah raga untuk ditonton, tetapi menuntut peran semua pihak.
Orang awam berpendapat bahwa belajar adalah aktivitas verbal dan kognitif. Namun yang lebih tepat untuk mengatakanya adalah bahwa belajar paling baik dengan melibatkan unsur emosional, seluruh tubuh, seluruh indera dan segenap pribadi. Untuk memantapkan daya serap saat belajar maka suasana belajar perlu bersuasana gembira. Ini bisa menjadi penentu utama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar.
Kegembiraan dalam belajar bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan hiruk pikuk. Kegembiraan dalam belajar berarti bangkitnya minat belajar anak. Maka guru dan orang tua perlu menjaga rasa dan suasana gembira pada saat anak belajar, karena rasa gembira bisa mempercepat proses pembelajaran. Sebaliknya orang tua dan guru perlu menghindari rasa negatif, kebiasaan marah-marah dan mengomel pada anak, karena rasa negatif dapat memperlambat dan menghentikan pembelajaran itu sendiri. Sekali lagi bahwa guru dan orang tua perlu untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari stress dan menjadikan pembelajaran itu bersifat sosial.
Belajar yang baik adalah belajar dengan kontek atau belajar dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Misal, belajar berenang dengan berenang, belajar bernyanyi dengan bernyanyi , bukan dengan menyuguhkan sekeranjang teori melulu, kemudian belajar menjual dengan menjual, belajar bahasa asing dengan menggunakan bahasa. Dengan belajar dalam konteks maka akan diperoleh pengalaman kongkrit. Pengalaman kongkrit atau pengalaman nyata dapat menjadi guru terbaik- karena kita terjun langsung, mendapat umpan balik dan terjun kembali.
Pengalaman tentang cara terbaik, atau tentang pengalaman hidup, dapat diperoleh melalui pengalaman orang-orang sukses- mendatangi orang sukses yang ada di seputar kita- atau membaca biografi orang-orang sukses itu sendiri di perpustakaan atau di internet. Cara belajar yang terbaik bukanlah dengan mendengarkan ceramah atau memandang layar komputer melulu. Namun belajar yang terbaik adalah dengan mengalami dan melakukan pekerjaan itu sendiri.
Cara dan prilaku belajar anak laki dan perempuan juga perlu untuk dipahami. Anak laki-laki belajar dalam cara yang berbeda dengan karakter anak perempuan. Anak laki-laki atau pelajar laki-laki mungkin akan lebih sukses belajar dengan cara bersaing, menggunakan logika dan bersifat dominant-atau menguasai. Sementara itu anak perempuan dan juga pelajar perempuan merasa lebih cocok kalau belajar dengan cara kerja sama, melibatkan perasaan dan prilaku mereka bersifat mengasuh.
Colin Roze dan Malcolm (2003) juga berbicara tentang percepatan pembelajaran. Ia mengatakan dalam bukunya “Accelerated Learning For the 21st Century, Cara Belajar Cepat abad 21” bahwa belajar harus dimulai sedini mungkin dan tidak boleh berhenti sampai tua, atau sampai manusia meninggal dunia. Demi pendidikan maka tidak relevan lagi kalau kita bertanya pada siswa atau pada anak; “Ingin jadi apa kalau kamu besar nanti ?”. Tetapi pertanyaan Yang lebih tepat adalah, “Apa yang dapat kamu kerjakan kalau kamu sudah besar nanti ?”.
Berarti untuk menjadi maju dan untuk mengajak anak menjadi maju, maka tentu musti ada perubahan. Untuk menguasai perubahan maka diperlukan “cara belajar cepat” atau percepatan dalam pembelajaran. Percepatan pembelajaran sangat berguna untuk menyerap dan memahami informasi yang cepat. Percepatan pembelajaran , sekali lagi, tidak mutlak hanya untuk konsumsi sekolah sekolah mewah. Sekolah apa saja bisa menerapkan program percepatan pembelajaran. Percepatan pembelajaran dapat terjadi dengan cara mengubah ruang kelas secara total, gunakan permainan, rancang berbagai aktivitas, masukan suasana emosi, ada unsur musik, ada dekorasi dan proses belajar mengajar (PBM) yang bebas dari tekanan demi tekanan.
Percepatan pembelajaran juga perlu dukungan orang tua di rumah. Pada beberapa sekolah yang memiliki program akselerasi- anak dipacu belajar dan melahap semua mata pelajaran yang ada sekarang dan mata pelajaran untuk kelas yang lebih tinggi. Anak anak yang masuk dalam program akselerasi di sekolah, seharusnya juga memperoleh respond dan dukungan atas program percepatan pembelajaran tersebut. Namun orang tua dan kondisi rumah jarang yang memberi dukungan. Seharusnya orang tua menyediakan kondisi rumah yang kaya stimulasi dan bebas stress agar anak dapat tumbuh mandiri (bukan berarti anak tidak perlu mengenal stress, namun jangan memberi stress sepanjang hari). Dalam menerapkan percepatan pembelajaran, para pendidik- guru dan juga orang tua, dihimbau untuk melibatkan diri, memasukan unsur emosional (suasana yang hangat), keceriaan dan kebahagiaan, dan menggunakan latihan relaksasi.
Guru sebagai pendidik dan orang tua sebagai pengasuh harus memahami bahwa tidak guna terlalu mudah menjadi bad tempered, mudah marah-marah dan mencerca anak saat mendampingi mereka dalam belajar, walau tujuannya untuk membuat anak disiplin, “Hei… nanti ku jewer kuping mu, jangan banyak canda belajar sajalah … !!”. Ya demikianlah, cukup banyak orang tua dan guru terbiasa menggunakan kekuasaanya untuk membentak, memukul, menjewer anak atau anak didik. Pada hal belajar yang diikuti dengan cara-cara kekerasan, cercaan, dan bad mood (suasana hati guru dan orang tua yang jelek) akan membuat belajar itu sendiri menjadi beban dan mendatangkan stress. It is not good, maka cobalah belajar dan menemani anak belajar dengan cara yang baru ; pemberian pujian, hadiah atau reward. Sudah saatnya ada perubahan dalam mendorong anak belajar, sekali lagi, mendampingi anak belajar dengan tepuk tangan dan penghagaan.
Menyelenggarakan program percepatan pembelajaran, apakah untuk konsumsi diri, untuk anak di rumah, atau program akselerasi di sekolah, maka musti tahu dengan prinsip belajar yang menyenangkan. Prinsip-prinsip belajar yang menyenangkan, sekali lagi, adalah; ciptakan suasana rileks dan keceriaan, ada humor, ada unsur musik, ada dekorasi, ada reward atau upah dan menggunakan semua unsur indera yaitu mata, mulut, telinga dan gerakan. Ini memang mirip dengan pembelajaran di taman kanak-kanak (dalam arti mempertahankan suasana keceriaan dan motivasi dari guru). Bukan dengan suasana penuh tekanan, kekerasan, ancaman yang berpotensi membuat anak takut, dan kehilangan minat serta motivasi belajar.
Pertahankanlah prinsip pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan adalah dengan memperhatikan bagaimana anak anak kecil di Taman Kanak-Kanak belajar, bukan berarti kita harus kekanak-kanakan. Mereka adalah pembelajar yang hebat karena mereka mereka menggunakan seluruh unsur tubuh dan semua indera tubuh dalam belajar. Tanpa kita sadari bahwa ternyata anak kecil belajar dengan menggunakan unsur somatic- belajar dengan berbuat/ bergerak, auditory- belajar dengan berbicara dan mendengarkan, visual- belajar dengan mengamati dan melihat, dan intelektual- yaitu belajar dengan memecahkan masalah dan berdasarkan pengalaman.
Percepatan pembelajaran bisa jadi program yang penting untuk memacu ketertinggalan kita. Program ini tidak mutlak dikonsumsi oleh program sekolah dengan program akselerasi, namun bisa diterapkan untuk keperluan pribadi atau percepatan pembelajaran anggota keluarga di rumah. Belajarlah secara total, dengan melibatkan unsur panca indera dan belajarlah dengan kontek. Yang penting untuk diingat adalah bahwa suasana percepatan pembelajaran harus bersikap ceria dan terfokus pada siswa.
Catatan : 1) Colin Roze dan Malcom J. Nicholl. (2003). Accelerated Learning For the 21st Century, Cara Belajar Cepat abad 21. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. 2). David Meier,(2002). The Accelerated Learning Handbook. Bandung: Kaifa.
Oleh : Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Sikap kurang sabar dan suka terburu-buru adalah bahagian dari karakter anak muda secara umum. Termasuk karakter pelajar dan remaja. Di jalan raya prilaku ini terlihat dalam kebiasaan ngebut dan mengambil jalan pintas. Melihat prilaku yang agresif dan suka terburu buru ini mungkin ada orang nyelutuk dan berkata “wah anak muda sekarang, kalau di jalan suka ngebut tetapi kalau belajar suka lambat”.
Pelajar, guru, orang tua dan semua orang sudah tahu bahwa bahwa kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara maju (Singapura, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Perancis, dan lain-lain) masih jauh tertinggal. Maka agar bangsa ini bisa maju dan tidak tertinggal terus maka sudah saatnya semua warga Indonesia untuk memacu kualitas diri. Salah satu cara yang mungkin untuk diterapkan adalah dengan melakukan program percepatan pembelajaran.
Percepatan pembelajaran adalah terjemahan dari accelerated learning. Dave Meier (2002) menulis buku dengan judul “The Accelerated Learning Handbook”. Ia mengatakan bahwa untuk percepatan pembelajaran maka diperlukan keterlibatan total dalam pembelajaran itu sendiri. Belajar haruslah berpusat pada aktifitas dan bukan pada presentasi atau kehadiran semata.
Percepatan pembelajaran seharusnya tidak hanya konsumsi untuk siswa SMA dengan program akselerasinya. Apalagi kalau program akselerasi tersebut hanya berupa pemaksaan dari orang tua, memenuhi ego orang tua agar merasa bangga mempunyai anak yang dicap jenius dengan cara bergabung dalam program akselerasi. Apalagi program akselerasi atau percepatan untuk mempercerdas anak hanya untuk bidang sains dan matematika, pada hal kelak masa depan mereka yang pas belum tentu berada dalam koridor sains dan matematika, mana tahu pada bidang, olah raga, seni atau bahasa.
Suasana pembelajaran pada banyak sekolah, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA masih banyak bersifat teacher centered. Walaupun sudah banyak guru yang mengetahui jenis-jenis metode pembelajaran, namun mereka tetap merasa senang dengan metode konvensional atau metode beceramah, mencatatkan, mendiktekan atau metode bank- menyuruh siswa menghafal semua ucapan guru dan mengujinya pada hari berikutnya. Pemandangan umum adalah bahwa siswa selalu berkutat dengan kegiatan mencatat, menghafal dan mengerjakan lusinan latihan sehingga jari pegal-pegal. Sesungguhnya belajar bukanlah sejenis olah raga untuk ditonton, tetapi menuntut peran semua pihak.
Orang awam berpendapat bahwa belajar adalah aktivitas verbal dan kognitif. Namun yang lebih tepat untuk mengatakanya adalah bahwa belajar paling baik dengan melibatkan unsur emosional, seluruh tubuh, seluruh indera dan segenap pribadi. Untuk memantapkan daya serap saat belajar maka suasana belajar perlu bersuasana gembira. Ini bisa menjadi penentu utama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar.
Kegembiraan dalam belajar bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan hiruk pikuk. Kegembiraan dalam belajar berarti bangkitnya minat belajar anak. Maka guru dan orang tua perlu menjaga rasa dan suasana gembira pada saat anak belajar, karena rasa gembira bisa mempercepat proses pembelajaran. Sebaliknya orang tua dan guru perlu menghindari rasa negatif, kebiasaan marah-marah dan mengomel pada anak, karena rasa negatif dapat memperlambat dan menghentikan pembelajaran itu sendiri. Sekali lagi bahwa guru dan orang tua perlu untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari stress dan menjadikan pembelajaran itu bersifat sosial.
Belajar yang baik adalah belajar dengan kontek atau belajar dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Misal, belajar berenang dengan berenang, belajar bernyanyi dengan bernyanyi , bukan dengan menyuguhkan sekeranjang teori melulu, kemudian belajar menjual dengan menjual, belajar bahasa asing dengan menggunakan bahasa. Dengan belajar dalam konteks maka akan diperoleh pengalaman kongkrit. Pengalaman kongkrit atau pengalaman nyata dapat menjadi guru terbaik- karena kita terjun langsung, mendapat umpan balik dan terjun kembali.
Pengalaman tentang cara terbaik, atau tentang pengalaman hidup, dapat diperoleh melalui pengalaman orang-orang sukses- mendatangi orang sukses yang ada di seputar kita- atau membaca biografi orang-orang sukses itu sendiri di perpustakaan atau di internet. Cara belajar yang terbaik bukanlah dengan mendengarkan ceramah atau memandang layar komputer melulu. Namun belajar yang terbaik adalah dengan mengalami dan melakukan pekerjaan itu sendiri.
Cara dan prilaku belajar anak laki dan perempuan juga perlu untuk dipahami. Anak laki-laki belajar dalam cara yang berbeda dengan karakter anak perempuan. Anak laki-laki atau pelajar laki-laki mungkin akan lebih sukses belajar dengan cara bersaing, menggunakan logika dan bersifat dominant-atau menguasai. Sementara itu anak perempuan dan juga pelajar perempuan merasa lebih cocok kalau belajar dengan cara kerja sama, melibatkan perasaan dan prilaku mereka bersifat mengasuh.
Colin Roze dan Malcolm (2003) juga berbicara tentang percepatan pembelajaran. Ia mengatakan dalam bukunya “Accelerated Learning For the 21st Century, Cara Belajar Cepat abad 21” bahwa belajar harus dimulai sedini mungkin dan tidak boleh berhenti sampai tua, atau sampai manusia meninggal dunia. Demi pendidikan maka tidak relevan lagi kalau kita bertanya pada siswa atau pada anak; “Ingin jadi apa kalau kamu besar nanti ?”. Tetapi pertanyaan Yang lebih tepat adalah, “Apa yang dapat kamu kerjakan kalau kamu sudah besar nanti ?”.
Berarti untuk menjadi maju dan untuk mengajak anak menjadi maju, maka tentu musti ada perubahan. Untuk menguasai perubahan maka diperlukan “cara belajar cepat” atau percepatan dalam pembelajaran. Percepatan pembelajaran sangat berguna untuk menyerap dan memahami informasi yang cepat. Percepatan pembelajaran , sekali lagi, tidak mutlak hanya untuk konsumsi sekolah sekolah mewah. Sekolah apa saja bisa menerapkan program percepatan pembelajaran. Percepatan pembelajaran dapat terjadi dengan cara mengubah ruang kelas secara total, gunakan permainan, rancang berbagai aktivitas, masukan suasana emosi, ada unsur musik, ada dekorasi dan proses belajar mengajar (PBM) yang bebas dari tekanan demi tekanan.
Percepatan pembelajaran juga perlu dukungan orang tua di rumah. Pada beberapa sekolah yang memiliki program akselerasi- anak dipacu belajar dan melahap semua mata pelajaran yang ada sekarang dan mata pelajaran untuk kelas yang lebih tinggi. Anak anak yang masuk dalam program akselerasi di sekolah, seharusnya juga memperoleh respond dan dukungan atas program percepatan pembelajaran tersebut. Namun orang tua dan kondisi rumah jarang yang memberi dukungan. Seharusnya orang tua menyediakan kondisi rumah yang kaya stimulasi dan bebas stress agar anak dapat tumbuh mandiri (bukan berarti anak tidak perlu mengenal stress, namun jangan memberi stress sepanjang hari). Dalam menerapkan percepatan pembelajaran, para pendidik- guru dan juga orang tua, dihimbau untuk melibatkan diri, memasukan unsur emosional (suasana yang hangat), keceriaan dan kebahagiaan, dan menggunakan latihan relaksasi.
Guru sebagai pendidik dan orang tua sebagai pengasuh harus memahami bahwa tidak guna terlalu mudah menjadi bad tempered, mudah marah-marah dan mencerca anak saat mendampingi mereka dalam belajar, walau tujuannya untuk membuat anak disiplin, “Hei… nanti ku jewer kuping mu, jangan banyak canda belajar sajalah … !!”. Ya demikianlah, cukup banyak orang tua dan guru terbiasa menggunakan kekuasaanya untuk membentak, memukul, menjewer anak atau anak didik. Pada hal belajar yang diikuti dengan cara-cara kekerasan, cercaan, dan bad mood (suasana hati guru dan orang tua yang jelek) akan membuat belajar itu sendiri menjadi beban dan mendatangkan stress. It is not good, maka cobalah belajar dan menemani anak belajar dengan cara yang baru ; pemberian pujian, hadiah atau reward. Sudah saatnya ada perubahan dalam mendorong anak belajar, sekali lagi, mendampingi anak belajar dengan tepuk tangan dan penghagaan.
Menyelenggarakan program percepatan pembelajaran, apakah untuk konsumsi diri, untuk anak di rumah, atau program akselerasi di sekolah, maka musti tahu dengan prinsip belajar yang menyenangkan. Prinsip-prinsip belajar yang menyenangkan, sekali lagi, adalah; ciptakan suasana rileks dan keceriaan, ada humor, ada unsur musik, ada dekorasi, ada reward atau upah dan menggunakan semua unsur indera yaitu mata, mulut, telinga dan gerakan. Ini memang mirip dengan pembelajaran di taman kanak-kanak (dalam arti mempertahankan suasana keceriaan dan motivasi dari guru). Bukan dengan suasana penuh tekanan, kekerasan, ancaman yang berpotensi membuat anak takut, dan kehilangan minat serta motivasi belajar.
Pertahankanlah prinsip pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan adalah dengan memperhatikan bagaimana anak anak kecil di Taman Kanak-Kanak belajar, bukan berarti kita harus kekanak-kanakan. Mereka adalah pembelajar yang hebat karena mereka mereka menggunakan seluruh unsur tubuh dan semua indera tubuh dalam belajar. Tanpa kita sadari bahwa ternyata anak kecil belajar dengan menggunakan unsur somatic- belajar dengan berbuat/ bergerak, auditory- belajar dengan berbicara dan mendengarkan, visual- belajar dengan mengamati dan melihat, dan intelektual- yaitu belajar dengan memecahkan masalah dan berdasarkan pengalaman.
Percepatan pembelajaran bisa jadi program yang penting untuk memacu ketertinggalan kita. Program ini tidak mutlak dikonsumsi oleh program sekolah dengan program akselerasi, namun bisa diterapkan untuk keperluan pribadi atau percepatan pembelajaran anggota keluarga di rumah. Belajarlah secara total, dengan melibatkan unsur panca indera dan belajarlah dengan kontek. Yang penting untuk diingat adalah bahwa suasana percepatan pembelajaran harus bersikap ceria dan terfokus pada siswa.
Catatan : 1) Colin Roze dan Malcom J. Nicholl. (2003). Accelerated Learning For the 21st Century, Cara Belajar Cepat abad 21. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. 2). David Meier,(2002). The Accelerated Learning Handbook. Bandung: Kaifa.
Langganan:
Postingan (Atom)
Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"
SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...
-
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan Oleh. Marjohan M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah....
-
Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari pr...
-
Naskah Buku The Inner Changing-Perubahan Dari Dalam Diri Ditulis oleh : MARJOHAN M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Kab. Tanah Datar, S...