Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah Kadaluwarsa
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Saat kakek - nenek kita, yang berusia 60 atau 70 tahun (di tahun 2009), masih berusia muda, kemungkinan mereka tidak mengenal istilah “pengangguran”. Demikian juga dengan generasi yang lahir sebelum mereka. Saat itu orang cuma lazim belajar di SR (Sekolah Rakyat) atau Sekolah Dasar, sekedar bisa berhitung, membaca dan menulis.
Tamat dari SR, tidak banyak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, karena faktor sekolah yang amat jarang dan jarak yang jauh dari rumah.Mereka tidak patah semangat dan mereka berintegrasi dengan alam sebagai sekolah mereka. yang gurunya mungkin orang tua (ayah dan ibu), kakek, nenek, paman, bibi, tetangga atau kenalan yang memotivasi mereka untuk belajar tentang arti kehidupan. Mereka terlibat langsung dalam bertani, berternak, pergi jadi nelayan, berdagang, jadi montir, sampai kepada menjadi buruh kecil, atau ikut merantau untuk jadi pedagang. Sehingga tersebutlah saat itu bahwa orang Minang sangat piawai dalam berdagang.
Saat itu memang tidak ada orang yang menganggur, mengenal istilah kata-kata “jobless, unemployment, job seeker dan job creator”. Karena saat itu lapangan pekerjaan banyak dalam bentuk pekerjaan non formal. Tidak memerlukan ijazah atau surat lamaran yang rumit. Saat itu yang ada cuma orang yang pemalas, namun mereka bisa dibina dan dimotivasi untuk berpartisipasi- beraktifitas- dalam pekerjaan informal: bertani, beternak, bertukang, montir atau berwirasusaha kecil kecilan.
Zaman selalu berganti dan kemajuan selalu bertambah. Variasi ilmu pengetahuan dan pendidikan juga bertambah. Maka dibutuhkan banyak sekolah. Di sana-sini dibangun sekolah. Orang makin ramai memerlukan pendidikan formal, dari SD, SLTP dan SLTA. Orang tua juga makin peduli dengan pendidikan. Mereka berlomba memotivasi anak agar berhasil. Namun sebahagian ada yang salah sikap dan mengekspresikan harapanya, “Nak, fokuskan saja fikiranmu pada pelajaran, jangan fikirkan yang lain, kami tidak perlu dibantu asal kamu rajin belajar”. Demikianlah banyak orang tua yang sekedar peduli dengan kata “pendidikan” namun tidak memahami hakekatnya, karena telah membebaskan anak untuk tidak terlibat dalam beraktifitas di rumah. Ini adalah bentuk pemanjaan yang tdak mendidik. Dimana pada akhirnya lahirlah anak-anak yang manja yang cuma sekedar tahu pergi ke sekolah, tetapi tidak tahu cara membantu diri apalagi untuk membantu orang tua serta membantu lain.
Saat pendidikan mayoritas orang hanya sekedar tamat SLTA (SPG, SMEA, STM, dan lain-lain), yang saat itu mereka anggap sebagai pendidikan tertinggi. Merekapun cuma lulus dengan nilai “sekedar lepas makan” saja, memiliki kompetensi atau kecakapan hidup yang rendah maka mereka terdaftar sebagai perintis kelompok pengangguran. Mula-mula mereka disebut sebagai pengangguran PTT (Pengangguran Tingkat Tinggi). Mereka adalah para pemuda yang malas untuk menyinsingkan lengan baju dan lebih suka suka kongkow-kongkow, luntang lantung, dan duduk-duduk sepanjang hari dengan bibir dihiasi kepulan asap rokok.
Lagi zaman terus bergulir. Animo dan kesadaran masyarakat untuk belajar setinggi mungkin semakin meningkat. Mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Orang tua tetap merespon aspirasi anak-anak nya dengan kerja keras. Kapan perlu mereka harus menjual harta, emas perak, yang melingkar di leher sang bunda, atau menjual sawah dan ladang asal anak bisa kuliah di universitas.
Tiap semester perguruan tinggi meluluskan ribuan atau puluhan ribu sarjana baru di negeri ini. Sebagian bisa memperoleh pekerja karena beruntung dalam taruhan (test) pada perusahaan swasta, BUMN dan CPNS. Yang tidak beruntung dalam mencari kerja kantoran ya terpaksa menjadi sarjana yang kebingungan. Mereka kemudian ikhlas untuk diberi gelar “pengangguran intelektual”.
Pengangguran intelektual menggantikan istilah “pengangguran tingkat tinggi”. Pengangguran intelektual adalah gelar yang menyedihkan yang disandang oleh sarjana yang baru tamat dari Perguruan Tinggi dan berstatus sebagai “job seeker”(pencaker- pencari kerja), bukan sebagai “job maker atau job maker”- pencipta atau pembuat lapangan kerja.
Istilah “pengangguran intelektual” sangat menyesatkan. Apakah mungkin seorang intelektual kok bisa menjadi penganguran ? Jangan-jangan yang menganggur itu adalah para sarjana yang justru intelektualnya rendah, dan bahkan tidak memiliki intelektual sama sekali. ‘Memang Pak sekarang banyak sarjana yang lulus dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) di atas 3.00 dan malah ada yang memperoleh predikat cumlaude”. Ini menunjukan bahwa banyak sarjana yang cuma cerdas di atas kertas, cerdas otaknya, namun menjadi penganggur gara-gara mereka tidak memiliki kreatifitas, kemampuan untuk berinovasi dan juga tidak memiliki jaringan komunikasi dalam sebuah komunitas yang sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari di perguruan tinggi, yang pada akhirnya memperoleh cuma selembar kertas yang bernama “ijazah”.
Mengapa pengangguran intelektual bisa terjadi ? Penyebabnya tentu saja banyak. Salah satu penyebabnya adalah karena pendidikan yang kita terapkan pada sang anak belum menyentuh atau salah sasaran. Karena seorang siswa didik oleh orang tua dan guru, maka pengangguran intelektual disebabkan oleh faktor salah pendidikan (mal edukasi) yang salah sasaran di rumah dan di sekolah.
Mal-edukasi di rumah
Secara instink bahwa semua anak yang berbadan sehat sejak dilahirkan sampai berusia balita (berusia lima tahun) terlihat lincah dan lucu. Namun semakin meningkat usia mereka, semakin besar pula perbedaan kualitas mereka. Orang tua yang kurang merangsang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak akan menciptakan anak-anak yang pasif- anak yang pemalas.
Ada beberapa karakter orang tua yang berpotensi yang menghambat kecerdasan anak, yaitu seperti orang tua yang tidak peduli dalam menyediakan fasilitas beraktifitas anak- belajar dan bermain. Alasanya bisa jadi mereka tidak punya uang untuk membeli fasilitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa tidak ada gunanya karena dapat membuat rumah sembrawut- alhasil buang buang duit saja. Tetapi patut diingat bahwa fasilitas berkreatifitas tidak harus berharga mahal- bisa jadi majalah loakan, komik dan buku cerita loakan. Kemudian orang tua bisa menyediakan cangkul kecil, sapu kecil, bangku kecil dan pisau tumpul agar anak tidak bengong sepanjang hari di rumah.
Juga banyak orang tua yang tidak merespon ayat pertama Al-Quran (96:16) yang berbunyi : “ikraq bismirabbilazi khalaq- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”. Seharunya orang tua merespon ayat ini dengan menyediakan sarana belajar dan perpustakaan bagi anak/ anggota keluarga agar terbisaa membaca dan belajar. Namun dalam kenyataan orang tua lebih peduli untuk memelihara keramik dan cendra mata (souvenir) dari berbagai propinsi atau dari negara lain. Sampai-sampai harus menyediakan lemari khusus, dipajang di ruang tamu agar memperoleh persepsi “wah inilah gambaran dari keluarga maju dan modern itu”. Atau orang tua sangat peduli untuk sarana hiburan. Begitu peduli untuk membuat home theatre di rumah: , ada TV set besar, VCD player, sound system, LCD yang diputar siang malam sehingga rumah jadi hingar bingar, susah untuk mendengar lawan bicara apalagi untuk berkosentrasi bagi anak-anak dalam belajar dan bekarya. Pada akhirnya orang tua berhasil menciptakan anak yang bermimpi menjadi artis sinetron , presenter, selebriti dan paling kurang menjadi pengamen dalam bis kota.
Hilangnya budaya yang melibatkan anak ikut bekerja dalam merapikan rumah- meringankan beban pekerjaan orang tua- juga berpotensi menciptakan anak yang kelak menjadi sarjana yang kebengongan. Fenomena bahwa orang tua dengan keluarga kecil, keluarga berencana, telah membuat anak cenderung tidak punya lahan pekerjaan di rumah gara-gara tidak dilibatkan dalam beraktifitas. Semua pekerjaan dari A sampai Z telah diborong oleh sang ibu dan ayah, “Wah kasihan mereka kan masih kecil-kecil”. Rasa kasihan yang memanjakan membuat anak memiliki pribadi yang lemah. Coba lihat sekarang, apakah masih banyak anak yang bisa untuk memasak, mencuci, menyapu, mencangkul, memasukan air ke dalam irigasi, menghalau itik pulang ke kandang, membuka dan menutup warung, sampai bagi anak petani untuk masuk ke dalam sawah atau bagi anak nelayan- ikut berlayar di lautan, agar kelak mereka bisa menjaga laut dan ikan-ikan tidak dicuri oleh bangsa lain.
Pengangguran intelektual juga karena akibat anak miskin dengan pemodelan dari orang tua. Suatu hari seorang bapak menolak untuk memilik pembantu rumah tangga, karena berpotensi menciptakan anak-anak yang pemalas di rumah. “saya keberatan untuk punya pembantu walaupun kita sibuk bekerja di luar rumah. Lebih baik semua pekerjaan rumah diberesin oleh ayah, ibu dan melibatkan semua anggota keluarga untuk memasak, mencuci, merapikan pekarangan, mengurus usaha sampingan keluarga dan lain-lain. Lebih baik anak ikut terlibat dan juga melihat orang tua mereka juga beraktifitas. Anak-anak yang terbiasa melihat orang tua mereka santai, ogah ogahan, karena semua pekerjaan rumah telah diborong oleh pembantu, cenderung memiliki jiwa yang pemalas dan kurang semangat juangnya”.
Mal-edukasi dari Sekolah
Faktor dari sekolah bisa jadi akibat dari gaya PBM (Proses Belajar Mengajar) yang terjadi sejak dari bangku SD, SMP dan SLTA belum tepat sasaran. Sekarang dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) seharusnya membuka ruang dan kebebasan untuk terciptanya kreatifitas, membutuhkan kemampuan memecahkan persoalan hidup dan mengatasi masalah dengan cerdas. Namun sekolah sekolah sekarang menyelenggarakan PBM lebih berorientasi kepada UN (Ujian Nasional) agar bisa menjaga nama baik sekolah dengan skor UN yang tinggi. Maka kerja guru dan siswa hanya mempreteli Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralis.
Terlihat kebijakan pendidikan sekarang seperti yang diamanatkan oleh pemerintah adalah untuk membuat siswa sekadar terampil menjawab soal pilihan ganda. Ini dilakukan sebagai usaha meraih mutu pendidikan tinggi bagi pendidikan, berubah menjadi obsesi kompulsif akan standar. Maka guru sekarang mengajar hanya sekadar membuat siswa bisa lulus UN. Bagi mahasiswa, belajar atau kuliah hanya sekedar mencari IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, walau diperoleh lewat cara-cara kurang halal, seperti mencontek. Jika selama menjadi siswa dan mahasiswa, seseorang tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami pengalaman hidup, mempunyai motivasi dan minat belajar yang tinggi maka jangan pernah berharap bahwa kita bisa melihat para pemuda (sarjana) memiliki semangat berusaha dan kemandirian dalam hidup- berwirausaha.
Bapak rektor, Bapak dekan dan para dosen cobalah turun ke lapangan, dan temuilah apa saja aktivitas para mahasiswa di tempat kost mereka “ sungguh tidak kreatif”. Sebahagian mereka cuma tidur, bergitar, main domino, main HP, main game, begadang malam dan tidur siang sampai kepada yang gemar menonton clip porno. Nanti bila mereka menjadi sarjana pengangguran, itu gara-gara IPK tinggi yang diperoleh sekedar menghafal atau lewat contekan dan skripsi yang kadang kala lulus lewat transaksi, maka yang dapat getah adalah Perguruan Tinggi yang bersangkutan sebagai pabrik pencetak “intelektual pengangguran”.
Sekali lagi bahwa kebijakan UN yang berlaku sejak dari tingkat SD sampai SLTA dewasa ini, hanya menyiapkan siswa yang hanya mampu menjawab soal- soal ujian perlu untuk ditinjau ulang. Bukankah sangat tepat kalau para siswa belajar dengan learning by doing, learning by exploring, learning by experimenting dan beberapa metode dan strategi belajar yang member pencerahan.
Agaknya mengukur tingkat kualitas pendidikan antar Propinsi, Kabupaten dan antar sekolah melalui skor UN sudah sangat kadaluarsa. Sebab belajar hanya demi skor UN cendrung bersifat instant, “sekarang skor tinggi bulan depan belum tentu menjadi siswa yang cerdas lagi”. Mengapa tidak mengukur tingkat mutu pendidikan di negeri yang tercinta ini berdasarkan konsumsi bacaan siswa persekolah atau per Kabupaten, begitu juga dengan prestasi sekolah/ siswa yang berskala besar, misal “Propinsi X, atau kabuten Y, memiliki kualitas pendidikan peringkat satu karena rata rata siswa mengkonsumsi buku sastra 25 judul persemster dan guru yang menulis di media masa 20 judul per tahun”.
Juga, karena sekarang kita sudah berada dalam zaman ICT (Information Communication Technology) dimana mengakses dan belajar lewat internet sudah menjadi kebutuhan maka seharusnya ada usaha assessor yang kreatif untuk mengukur / mengklasifikasikan peringkat kualitas pendidikan berdasarkan penciptaan blogger atau webblog, misal “Sekolah A memperoleh peringkat terbaik di Indonesia karena siswa dan guru memiliki 40 Blogger yang berkualitas, Sekolah B terbaik di Propinsi karena sangat produktif menciptakan alat elektronik per tahun”. Apakah kini skor UN yang sering penuh dilemma masih menjadi acuan untuk mengukur kualitas pendidikan kita ? Wallahu alam bissawab.