Tidak Perlu Memaksa Anak Menguasai Semua Bidang Studi
(Bisa Menghancurkan Kreatifitasnya)
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SM Negeri 3 Batusangar
Judul artikel ini
adalah “Tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu
saja tulisan ini terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua dan
lembaga pendidikan terhadap anak yang memaksa anak agar bisa bersekolah di
tempat yang bermutu, mengikuti PBM dengan baik dan melahap semua mata
pelajaran, terutama mata pelajaran yang menjadi acuan dalam UJian Nasional,
atau acuan untuk ujian menuju perguruan tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan
perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel agar kelak bisa memperoleh skor
setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu apakah orang tua dan
lembagapendidikan memahami tujuan pendidikan negara kitaini ?
Pada intinya pendidikan
itu bertujuan untuk membentuk karakter seseorang untuk menjadi orang yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu
orang tua dan sekolah selalu meluangkan waktu untuk juga memberi model bagai
mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang beragama,
maksudnya sangat peduli dengan unsure spiritual. Namun praktek dalam kehidupan
bahwa kita (mereka) hanya menekankan pada intelektual saja, dengan bukti bahwa
adanya UN, atau melalui Ujian atas beberapa mata pelajaran yang dianggap sakral
seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Geografi
dan Sosiologi. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai tolak
ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti
anak.
Kalau ada seseorang
anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap sukses
meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan juga
kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam membantu
orang tua. Sungguh menjadi makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata
masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif saja.
Pada hal dalam upaya meningkatkan
kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu
pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor
bidang studi semata-mata. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational,
Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik
untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to
do (3) learning
to be, dan
(4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan
IQ, EQ dan SQ.
Tiap tahun PBB mengukur
tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah dengan “human development index” dan indikator
mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan
indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot melalui bidang
kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM Indonesia untuk
level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana peringkat SDM
negara kita di dunia[1]
Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak
tahun 1997 – 2007. Menurut hasil
survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007
pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut:
- Pada tahun 1997,
Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 1999,
Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002, Indonesia
berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 2007,
Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil
penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun
2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara
yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih
baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan
62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan,
umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana
dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE),
bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di
kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti
kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi
pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional
(UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar
kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru,
kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak
mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah
kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsure akhlak atau afektif/
sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24
jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk
mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua
sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan
psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk
unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di
sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program
ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor
yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan
melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi
sering bercampur dengan pemaksaan. Saat saya ikut antri menunggu anak pulang
sekolah, saat ia masih sekolah di SD, saya sering mendengar orang tua yang
berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau
menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara
kelas.
Hal yang kontra sebagai
fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun
mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum
pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu
diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru
kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal
maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu
mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok
target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian
sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak surat
stress duluan. Saya sering mempunyai anak yang down dan menangis saat ia tidak
jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan saya menghibur:
“Tidak perlu down
apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam
fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang
terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru.
Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi
yang berpribadi tangguh”.
orang tua
berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua
yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri.
Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk
memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada
program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun
sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan
otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius
orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan
melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Di fenomena yang begini
ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia
memasukan anaknya ke sekolah yang berbasih keseimbangan antara dunia dan
akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan
sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh
undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama
serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika saya
bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah
berlabel. Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak
yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana
akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman
sukses yang jarang, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun
bisa mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan bahwa
pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata, kurikulum sekolah
tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap
siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 80
pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran Ujian Nasional.
Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di sekolah belajar
dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur lagi dengan
seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk bersosialisasi
dan berinovasi.
Ini adalah sebuah kekeliruan
dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua mata pelajaran.
Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang
tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam menguasai mata
pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik atau
psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran “maha
penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat menjadi
atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara berlari dan
cara menendang bola.
Beginilah jadinya
anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua telah kehilangan
kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup sesuai
dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh. Jadinya anak yang menonjol
sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik, atletik/olah ragawan, sastrawan
tidak begitu menonjol karena potensi untuk menumbuhkan mereka tidak lagi
proporsional.
Sekali lagi, sesuai
dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang
studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”. Anak
dari orang tua yang sempat saya berbincang dengannya, hanya bersekolah pada
sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun tidak
sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa memilih dua
atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani oleh ambisi
orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang lain.
Kebetulan anaknya
tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa
mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis,
mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya
sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti dikatakan oleh
Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya berguna untuk
syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak dipengaruhi
oleh nilai leadership dan enterpreurship (kepemimpinan dan wirausaha). Selain
itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang lain seperti:
religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis,
rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/
komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab.
Fenomena dunia
pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya
menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para
lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang
digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya,
jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan,
betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa
kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau
menjelaskannya.
Ini terjadi karena
siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan denga
afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif
semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar
dalam arti sesunguhnya. SEkali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk
berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah
si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Nyatanya toh dalam
kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah
tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan
lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah
memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses
dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi
dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang
memberi nilai tersebut terhadap siswanya.
Agaknya judul artikel
ini membingungkan, namun tujuannya adalah agar orang tua tidak memaksakan
ambisiusnya buat anak untuk berharap bisa memperoleh nilai tertinggi untuk
semua mata pelajaran. Karena setiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus
kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda. Memaksa mereka memperoleh skor ysng
tinggi tentu akan membuat merekakelelahan. Orang tua perlu tahu bahwa mendidik
adalah proses membangun moral/prilaku atau karakter anak sementara mengajar
adalah mengajari anak dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi
bisa. Produk dari pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan
kreatif yang berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan
adalah terbangunnya prilaku/akhlak yang baik. Jadi simpati dan empati orang tua
sangat diperlukan buat anak-anak mereka.