Kebebasan Berekspresi Bagi
Siswa
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel
unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya
sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau
Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus”
atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat
bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi
program sekolah Amerika.
Gaya pendidikan atau pembelajaran kita,
kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih
suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah
membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin
inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap
untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil
keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah
buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka
kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu
banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana
pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari
dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita
berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah
satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and
international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/
daya tarik untuk studi global dan internasional. Stakeholder
pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang
maju. Prinsip
pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them
play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”.
Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau
“biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk
menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang
statis.
Ciri-
ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran
di sekolah MLC (Metropolitan
Learning Center)
yang berlokasi di 1551 Blue Hills
Avenue Bloomfield, adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara
berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam
berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung
terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher
centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi
berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan
di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti
hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun
kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work
antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga
eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work
kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan
menemani warga sekolah/ anak didik untuk
merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap
anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah
budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya
tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya
sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya
adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan
tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat
orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah
membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa
sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu
pengetahuan adalah berkah yang bisa
datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika
bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi
juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka
segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf
teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri
kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu
Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa
sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan
bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan
learning center) juga ada penjurusan. Ada
siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class
(kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi
oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok
pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa
asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata
pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan
kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari
seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan
sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang
yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated
(orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata
pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling
bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di
jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam juruan di SMA di negerim kita. Ya, ibarat tiga linggaran yang hampir tidak
bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada
siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui
nilai mata pelajaran sains” Anak
anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang
semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di
SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant
berjamaah- mass arrogant, mereka sangat membanggakan jurusan IPA dan secara
tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri
lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa
yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi
karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan
hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan
kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan
fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon
positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau
begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau
guru-guru yang ilmunya tua semalam dari
siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru
guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan
tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP
(overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi
sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”. Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa
saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu
kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain
memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan
komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian
mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed,
berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau
toko-mas berjalan.
Ciri
lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu
guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu
takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan
apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara
kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu
mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan
penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain
agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya
kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan
atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let
them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan
suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu
saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best
teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC
juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok
pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket
ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah,
kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah
hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada
lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film,
klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama,
tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara
maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya
di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan
kecakapan hidup (life skill) kurang optimal. Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak
kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam.
Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub-
olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan
aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab
serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan
siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka, adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3)
saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda
saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign
out, atau ada absent masuk dan
absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang
terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event
yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa
depan. Maka bila ada pekan
raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting
untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan
olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global
travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara
lain. Tentu saja hal ini terasa sangat
mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah
membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas
mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.
Teakhir
bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori.
Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”,
orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka
sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang
banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir,
dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak
ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu
kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”.
Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.