Sabtu, 27 Oktober 2007

Guru Perlu Kreatif untuk Meredakan Kebosanan

Guru Perlu Kreatif untuk Meredakan Kebosanan
Oleh
Marjohan
marjohanusman@gmail.com

Cukup banyak guru-guru mengatakan merasa capek atau lesu apabila harus segera masuk kelas untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam pengontrolan absensi, hampir setiap hari ada surat-surat guru yang datang mengabarkan halangan mereka untuk tidak datang ke sekolah.
Pada umumnya alasan serius atau alasan berpura-pura guru dalam suratnya sehingga berhalangan untuk tidak hadir di sekolah karena sakit. Sering alasan lain adalah untuk memohon izin karena ada urusan keluarga yang sangat mendesak. Kalau kita fikirkan siapakah orang di dunia yang luput dari urusan keluarga. Tetapi rasanya tidak logis kalau seorang guru sempat dalam satu bulan membuat alasan sepele dan berhalangan untuk mengajar sebanyak sekian kali. Dan alasan sepele ini cukup banyak dilakukan oleh guru-guru.
Dapat dikatakan, buat sementara, bahwa keabsenan guru-guru dari sekolah alasan, berpura-pura dalam alasan, karena rasa tersandung oleh bosan selama proses belajar mengajar. Kemalasan guru-guru yang lain sering terekspresi dalam bentuk kelesuan setiap kali harus menaikkan kewajiban dalam PBM. Meskipun bel tanda masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu namun masih banyak guru-guru yang ingin menyelesaikan gosip-gosip ringan sesama guru. Malah ada sebagian guru ada yang sengaja hilir-mudik atau berpura kasak-kusuk dalam mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sampai akhirnya selalu terlambat tiba di kelas dan kemudian sengaja pula agak cepat untuk meninggalkan kelas.
Kebosanan dalam PBM disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari guru dan faktor yang berasal dari murid.
Pengabaian kedua faktor ini akan menyebabkan masalah dalam PBM tidak teratasi. Untuk memuluskan PBM maka kedua faktor ini harus dipahami dan diatasi.
Rata-rata guru merasa enggan untuk memasuki kelas-kelas dengan siswa mempunyai daya serap rendah atau bodoh. Gairah mengajar guru untuk mengajar kerap kali terpancing karena di dalam kelas ada beberapa orang siswa yang cukup pintar.
Namun sejak keberadaan kelas unggul di setiap sekolah maka siswa-siswa yang memiliki daya serap tinggi terkonsentrasi ke dalam satu kelas saja. Maka gairah guru untuk melaksanakan PBM hanya lebih tertuju untuk kelas unggul.
Sedangkan untuk kelas-kelas non unggul yang jumlahnya cukup banyak dengan kemampuan siswa rendah terpaksa dimasuki oleh guru dengan rasa lesu dan letih. Tentu tidak semua guru yang menunjukkan gejala yang demikian.
Pada umumnya penyebab melempemnya daya serap siswa di sekolah adalah karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca sehingga mereka lambat dalam menganalisa.
Kebiasaan dalam belajar cuma menghafal melulu. Dapat diamati bahwa siswa yang telah terbiasa dalam budaya membaca tidak mengalami kesulitan dalam PBM.
Tidak banyak siswa yang terbiasa dengan budaya membaca sehingga akibatnya adalah tidak banyak pula siswa yang memiliki daya serap tinggi. Daya serap yang tinggi selain disebabkan oleh faktor IQ juga ditentukan oleh pelaksanaan agenda kehidupan atau pemanfaatan waktu. Seringkali orang tua yang ikut campur dalam masalah waktu anak dan gemar “mencikaraui” anak akan menjadikan anaknya sebagai siswa yang memiliki daya serap tinggi di sekolah.
Faktor yang datang dari guru cukup bervariasi. Dulu menjadi guru memang serba dihormati dan tentu saja menyenangkan. Tetapi belakangan ini, bahkan terlalu banyak korban perasaan apalagi semenjak remaja banyak mengalami emosi moral.
Karena terus terang saja, siswa-siswanya terdiri dari anak-anak yang kebanyakan tidak diwarisi nilai agama yang mantap oleh orang tua. Ada juga siswa yang merupakan anak-anak pejabat yang kaya-kaya dan anak orang berada sedangkan guru-gurunya miskin.
Faktor yang menyebabkan guru merasa bosan dalam PBM mungkin karena kelelahan. Barangkali ia memiliki jumlah jam yang terlalu banyak.
Walau pada sekolah pengabdiannya hanya mengajar beberapa jam saja, tetapi karena tuntutan hidup ia menjadi guru sukarela pula pada suatu atau dua sekolah lain. Atau bisa jadi karena kelelahan fisik setelah menjadi guru selama puluhan tahun. Sering kita lihat para guru-guru tua yang belum sudi untuk pensiun merasa segan untuk melakukan PBM.
Secara mayoritas guru kelihatan kurang termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Mereka tidak banyak membaca, walaupun sebatas membaca koran dan majalah, sehingga jadilah ilmu pengetahuan mereka sempit dan dangkal. Kebanyakan guru-guru sehabis mengajar ya habis begitu saja. Begitulah kegiatan rutin mereka hari demi hari sampai akhirnya rasa bosan menyelinap ke dalam fikiran.
Ada guru yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas dan cukup hangat dalam bergaul bersama siswa. Namun juga sering mengeluh bosan untuk melakukan PBM sehingga mengajar secara serampangan dengan metode kuno sepanjang hari. Guru yang seperti ini sebaiknya harus segera melakukan introspeksi diri dan kemudian memutuskan apakah karir sebagai guru cocok baginya atau tidak. Tetapi pada umumnya mereka tetap bertahan mengajar dalam kebosanan karena tidak mampu mencari pekerjaan jenis lain yang cocok bagi diri, maklum banyak orang terserang sindrom pegawai negeri dengan alasan jaminan untuk hari tua.
Setiap guru banyak terdengar keluhan guru-guru. Ada yang mengeluhkan badan kurang enak karena sakit kepala, sakit gigi, perut terasa kembung atau badan terasa pegal-pegal dimana ini semua adalah kompensasi dari bentuk rasa bosan. Mereka bosan untuk menunaikan tanggung jawab. Dan penyebab lain dari rasa bosan ini adalah karena umumnya guru-guru kurang kreatif sehingga mereka jarang yang menjadi guru profesional.
Memang secara umum guru-guru terlihat kurang kreatif dan sebagian kecil tentu ada yang kreatif. Rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan dalam penguasaan ilmu siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun. Penanganan masalah yang ditemui selama PBM pun juga secara tradisional. Kalau murid bersalah musti diberi nasehat dan kebanyakan sistem pemberian nasehat dalam bentuk komunikasi satu arah, dimana yang sering terlihat ketika guru bertutur kata adalah siswa menekur atau tidak boleh menjawab. Tetapi sekarang entah guru-guru banyak yang tidak bertuah dalam bertutur kata karena kesempitan ilmu dan wawasannya atau karena penghargaan murid semakin berkurang karena kurang diwarisi nilai agama oleh orang tua maka sekarang seakan melebar jurang dalam komunikasi.
Kreativitas guru pun terlihat lemah dalam PBM. Presentasi pengajaran sudah terlihat semakin basi karena menggunakan metode itu ke itu juga. Gema hasil mengikuti penataran, apakah dalam bentuk MGMP, sekali sekali dalam bentuk aplikasi. Kecuali yang terlihat adalah setelah guru mengikuti MGMP guru cuma semakin tertib dalam menulis satuan pelajaran tetapi belum bentuk aplikasi.
Diantara guru-guru yang belum lagi mampu memperlihatkan kreativitas, kita juga melihat guru-guru yang kreatif. Meski mengajar banyak, namun karena kreatif mereka tetap tampak ceria dan segar dalam mengajar.
Kreatifitas seseorang, juga guru, sangat ditentukan oleh keleluasaan dan kedalaman pengetahuan dan wawasan. Oleh sebab itu menjadi guru ideal haruslah selalu membiasakan untuk membelajarkan diri. Adalah sangat tepat bila seorang guru selain memahami bidang studinya juga mendalami pengetahuan umum lainnya sebagai khazanah dirinya. Guru yang luas wawasan dan ilmu pengetahuannya akan tidak pernah kehabisan bahan dalam proses belajar mengajar. Kalau sekarang ada ungkapan yang mengatakan bahwa mengajar itu adalah seni, maka mustahillah guru yang kering akan ilmu dan sempit wawasan dapat mengaplikasikannya sebagi seni.
Mengikuti program penyegaran dalam bentuk kegiatan penataran, musyawarah kerja, dan program peningkatan kualitas lain sungguh tepat. Sayang selama ini terlihat kegiatan-kegiatan penyegaran yang ada belum dikemas secara profesional. Dengan arti kata selama mengikuti program penyegaran, guru-guru hanya terlihat secara pasif dan paling kurang bertindak sebagai pendengar abadi. Itulah dampaknya setiap kali seorang guru selesai mengikuti MGMP dan penataran lain, misalnya, seolah-olah tidak membawa perubahan dalam proses belajar mengajar. Terasa seakan-akan apa yang diperoleh selama mengikuti penataran-penataran digambarkan dengan ungkapan “masuk telinga kiri keluar telinga kanan saja.”
Melatih diri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dalam bentuk berpidato atau berceramah untuk masyarakat dan menyempatkan diri untuk menulis artikel-artikel adalah bentuk lain dari pengembangan kreativitas guru.
Mendalami psikologi remaja sehingga guru dapat memahami meningkatkan kreativitas guru dalam bertindak. Rata-rata guru yang kreatif adalah guru yang kaya akan ide-ide dan menerapkan bentuk nyata. Dalam realita tampak bahwa kreativitas dapat mengatasi rasa bosan.

Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan
(rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

PERANG MELAWAN SAMPAH SECARA TOTAL

Perang melawan sampah secara total Mulai dari Diri dan lingkungan Sendiri


Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Unggulan Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP


Di mana - mana sekarang banyak orang membicarakan tentang lingkungan hidup. Topik lingkungan hidup dijadikan bahan pembicaraan dalam berbagai seminar,simposium, dan diskusi di berbagai tempat mulai dari level sederhana sampai ke ruangan konvensi berharga mahal. Namun setelah itu hasilnya hanya cukup sebagai agenda dan bahan berita pada media cetak dan media elektronik yang bertajuk lingkungan hidup. Lingkungan hidup yang dibicarakan itu eksistensinya tak akan lebih baik kalau tidak diikuti oleh aksi perbaikan lingkungan di lapangan.
Dalam membahas masalah lingkungan hidup tidak salah kalau kita juga meminjam ungkapan internasional yang berbunyi sebagai berikut ”think globally and act locally”. Ungkapan ini berarti bahwa berfikirlah secara luas dan bertindaklah secara lokal. Pengaplikasian ungkapan ini bahwa secara global kita tahu bahwa kondisi lingkungan hidup dunia saat ini juga menjadi pembicaraan orang - orang yang duduk di tingkat antar negara. Sekarang masalah global yang dirasakan adalah seperti pemanasan bumi, masalah kekurangan pangan, kemiskinan, dan berbagai multi krisis lainnya.
”Act locally” atau bertindaklah secara lokal. Saat ini bila kita berpergian di pulau Sumatra ini dan khususnya di Sumatera Barat, mari kita lemparkan pandangan ke depan dan ke alam sekitar. Bila kita arif maka kita akan melihat bahwa alam atau lingkungan hidup tidak lagi seharmonis lingkungan hidup di masa silam atau beberapa puluh tahun yang lalu. Dulu dalam foto dan dari pengalaman masa kecil, bila kita berpergian ke luar kota maka kita masih bisa melihat dan menemui banyak pohon-pohon raksasa yang berdaun rindang, air sungai mengalir dengan warna bening, kicauan burung, langit yang biru dan udara dengan aroma alam yang bebas dari asap kendaraan. Tapi sekarang hal- hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang mahal dan langka untuk ditemui.
Kita bersyukur bahwa pemerintah dan sebagian masyarakat sudah mengelola dan mengatasi kehancuran alam dan mencegah terjadinya ”illegal logging”. Kita masih punya harapan untuk bisa bermimpi untuk memiliki lingkungan hidup dengan alam yang indah pada masa mendatang.
Mengembalikan kualitas alam seperti kualitas alam (lingkungan hidup) seperti pada beberapa puluh tahun yang silam, alam yang hijau dan bersih terhampar ibarat permadani atau ibarat susunan permata zamrud seperti yang didendangkan oleh lagu-lagu lama. Ini tidak mungkin diperoleh secara ”top down” atau menunggu perintah dari atas turun ke bawah semata untuk kembali menata alam ini. Mengembalikan alam yang lestari dan harmoni adalah sangat tepat lewat prosedur ”bottom up”, yaitu kebijakan yang tumbuh dari masyarakat atau dari ”grass root level”. Kebijakan bersifat ”top down” tidak akan bertahan lama kalau orang orang di tingkat ”grass root level” atau rakyat biasa bersikap masa bodoh.
Dalam kenyataan kita temui bahwa banyak orang yang berada di tingkat ”grass root level”, dan orang itu bisa jadi adalah juga kita sendiri, cendrung bersifat masa bodoh atas masalah kebersihan lingkungan hidup. Bila tidak percaya dan untuk membuktikan pernyataan ini, cobalah berdiri di tempat di mana banyak kendaraan lewat dan kita dapat melihat bahwa akan ada tangan imut-imut sampai ke tangan yang dibaluti emas dan intan berlian dengan senang hati melemparkan secuil sampah bungkus makan instant untuk mengotori jalan raya yang asri.
Kebiasaan melemparkan sampah nampaknya sudah menjadi budaya bangsa kita. Atau kalau tidak sudi dengan pernyataan ini, maka kita bisa membuat pernyataan bahwa membuang sampah adalah bagian dari gaya hidup kita sendiri. Kepedulian kita atas topik sampah baru sebatas kepedulian akan masalah kebersihan di lingkungan rumah semata-mata. Memang banyak orang dan kita sendiri yang sudah peduli untuk membersihkan dan merapikan rumah dua kali sehari dan merapikan lingkungan rumah sekali dalam seminggu. Namun sampahnya bagaimana ?
Banyak orang yang suka punya kebiasaan buruk mereka membuat dan menjaga lingkungan rumah sendiri menjadi bersih namun bersikap masa bodoh terhadap kebersihan lingkungan orang. Secara masa bodoh mereka menumpuk sampahnya ke lahan orang lain. Dan bila ada papan peringatan dengan tulisan ”dilarang membuang sampah di sini” maka mereka dengan senang hati menumpuk sampah ke tempat yang dimana mereka suka tanpa memikirkan efek selanjutnya terhadap alam dan terhadap orang lain.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan, seperti pernyataan di atas tadi, bahwa membuang sampah sembarangan sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang desa dan orang kota. Untuk kondisi rumah tangga di desa, masalah membuang sampah dan penumpukan sampah tidak begitu masalah karena di sana mungkin masih ada lahan untuk menguburkan sampah. Namun untuk kebersihan lingkungan hidup seperti di tempat keramaian dan di sepanjang jalan. Sampah seolah-olah sudah menjadi dekorasi sepanjang pinggir jalan raya mengalahkan indahnya dekorasi alam dengan tanaman dan tumbuhan bunga yang warna warni.
Bagaimana dengan lingkungan perkotaan ? Adalah sesuatu yang memalukan untuk dideskripsikan. Kita akan sulit membedakan antara mana pasar dan mana kandang kerbau (maaf) kita sering susah payah kalau berjalan untuk mencari tempat yang akan kita injak. Karena lumpur bercampur kompos, sampah yang membusuk, sudah menjadi aspal di areal pasar. Begitu pula dengan para penghuni wilayah perkotaan, mereka itu, sekali lagi, adalah bisa jadi kita semua sebagai orang-orang yang sudah menjadikan membuang sampah sebagai gaya hidup. Di sana cukup banyak orang yang yang sudi mengotori dan mencemari lingkungan hidup perkotaan. Tidak percaya ? Coba lihat air yang mengalir dalam got dan sungai (di dalam kota), betapa kualitas airnya sudah memberi isyarat bahwa tidak ada lagi kehidupan biota air di dalamnya. Kemudian bagaimana dengan kualitas udara dan pohon-pohonan ?
Kebiasan membuang sampah yang sudah menjadi budaya jelek atau bahagian dari hidup kita, agaknya sulit untuk dikikis habis kalau ajakan untuk mengobah kebiasaan ini hanya ”bersifat ajakan atau cuma sekedar semboyan”. Himbauan, semboyan dan peringatan yang hanya tertulis pada sekeping papan. Seribu kali seminar dan diskusi untuk mengatasi masalah sampah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup akan tidak berarti apa-apa tanpa ada aksi dan contoh atau model dari figur- figur bagi generasi yang lebih muda.
Untuk bisa berubah ke arah yang baik atau ke arah yang kurang baik, maka model atau ”suri teladan” punya peran yang cukup penting. Kalau sekarang kita lihat gaya hidup dan prilaku anak-anak muda sekarang cenderung berubah dan tampak aneh dimata famili dan orangtua. Itu semua karena mereka terinspirasi dan mengikuti model yang mereka lihat- mungkin dalam media elektronik atau cetak dan bisa jadi figur yang mereka pungut langsung di jalanan raya sebagai panutan hidup. Syukur bila bila figur atau model yang mereka pungut tersebut bermental, berakhlak, berpribadi dan berwawasan baik.
Adalah contoh atau model untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan berasal dari pribadi orangtua, kakak, guru, pejabat pemerintah dan lain-lain. Pendek kata figur-figur yang demikian itu adalah kita semua.
Sering pelajaran yang diperoleh di sekolah kenyataannya berbeda dari fakta yang diperlihatkan oleh para figur model lewat prilaku dan gaya hidup mereka. Di sekolah kita diajarkan agar kita ”tidak boleh merokok dan harus hidup disiplin”. Tapi dalam kenyatan orang yang menjadi panutan hidup ini model bagi kehidupan kita melanggar aturan ini. Di sekolah ibu guru dan bapak guru mengajarkan agar kita harus membuang sampah pada tempatnya. Begitu pula dari buku bacaan yang kita baca di rumah agar kita mesti menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Namun fakta, ayah, ibu dan paman kita melempar sampah ke tengah jalan atau ke dalam got seenaknya.
Alangkah bingungnya anak anak yang dididik dan diajar agar bisa mencintai kebersihan dan menjaga lingkungan hidup ini. Namun dalam realita, mereka melihat bahwa begitu banyak orang dewasa, guru, orangtua dan tetangga mereka dan apalagi orang orang yang mereka anggap terdidik tidak berbuat seperti yang mereka baca dan mereka pelajari. Akhirnya mereka juga berbuat seperti hal demikian. Akhirnya adalah lazim bila lingkungan ini menjadi kotor dan tidak rapi karena tangan orang-orang mulai dari usia muda sampai berusia tua, dari orang biasa sampai orang yang menganggap dirinya terdidik dan elit dan dari orang orang desa sampai kepada orang orang kota. Melihat kebersihan di daerah daerah lain di Indonesia dan juga negara tetangga, mereka bisa menjadi negara yang bersih dan asri, ini karena di sana sudah ada sistem dan sistem kebersihan itu sudah berjalan.
Ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk membuat alam atau bumi ini menjadi lestari, bersih dan harmoni. Kebijakan itu bisa bersifat ”top down” dan ”bottom up”. Kota Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Bukittinggi dan sekarang kota Batusangkar juga berbenah diri dan berbagai kota di Sumatera Barat, begitu juga dengan berbagai kota dan kabupaten lain di Indonesia, bergerak menuju kota dan daerah bersih adalah melalui kebijakan ”top down”- pemerintah bersama pemuka masyarakat telah mengumandangkan terompet ”jaga kebersihan dan jangan membuang sampah sembarangan”. Seruan ini kemudian diikuti dengan melakukan aksi melibatkan berbagai unsur dan lapisan masyarakat dan mendorong bagaimana agar sistem kebersihan ini bisa berjalan.
Namun bila diamati secara seksama bahwa sistem kebersihan bisa terganggu oleh sikap dan kebiasaan orang orang- mereka bisa jadi anak sekolah, pejalan kaki, pegawai, buruh, pedagang dan lain-lain- melempar puntung rokok, kulit permen, bungkus makanan dan beraneka macam pembukus terbuat dari plastik, sampah atau material lainnya berjatuhan mengotori bumi. Dan orang lain merasa tidak peduli atas keberdaaan alam yang bersih berubah menjadi ”amburadul” ini. Jalan raya telah menjadi ”tong sampah yang terpanjang dan terbesar di dunia” karena pengguna jalan raya dan pemilik kendaraan bermotor tidak punya perasaan sensitif dan tega untuk mencemari kebersihan ini. Coba lihat sekarang bila anda berpergian. Arahkanlah pandangan dan kita akan menjumpai ribuan sampai jutaan keping sampah bertebaran mengganti indahnya tanaman bunga. Namun apakah masih ada perasaan risih mereka (dan kita) melihat kenyataan ini.
Bila perasaan sensitif sudah hilang atas masalah kebersihan. Maka adalah tugas kita, sebagai figur model, untuk kembali mengembalikan perasaan ”sense of sensitive” dan kita patut mengajak dan memberi contoh masyarakat ”groot grass level” dan juga masyarakat yang berpendidikan tinggi tapi berhati kurang sensitif untuk memiliki rasa peduli kepada lingkungan. Pada mulanya usaha untuk mengembalikan rasa peduli ini bisa bersifat”bottom up”. Dengan meminjam istilah ungkapan seorang Kyai Indonesia, yakni ”memulai usaha pelestarian lingkungan hidup” dan menjaga kebersihan dan ”tidak membuang sampah sembarangan” dari diri sendiri dan sekarang ini juga. Ini dimulai dari rumah tangga, sekolah, pemerintah dengan kantornya, pemilik usaha ekonomi dengan toko-tokonya dan para pemilik kendaraan dan pengguna jalan raya agar memahami bagaimana pentingnya makna kebersihan dan kebersihan alam itu sendiri.
Merenungkan kembali, seperti yang kita nyatakan di atas tadi, bahwa sungai yang dulu berair bening sekarang berubah menjadi sungai dengan tumpukan sampah. Pinggir jalan raya dan taman-taman yang dulu hijau oleh tumbuhan serta rerumputan dan sekarang kotor dan semraut oleh tebaran sampah botol minuman sampai sampah bungkus makanan. Itu semua disebabkan oleh perbuatan orang orang yang datang kesana dan para pengguna jalan. Dimana yang bertebaran itu bersumber dari sampah yang mereka bawa dari rumah atau sampah yang sumbernya dan dari toko-toko untuk kemudian mereka lemparkan ke bumi seenaknya. Maka figur yang amat bertanggung jawab atas penggotoran bumi ini adalah para pemilik toko, pemilik warung, pengguna jalan raya, pengusaha transportasi, orang tua dan guru dan orang-orang yang merasa dirinya sebagai orang terdidik.
Untuk mencegah agar setiap orang tidak membuang sampah seenaknya maka sangat diperlukan seribu sampai sejuta lagi spanduk yang bertuliskan ”jangan buang sampah” agar di pasang dan diukir di berbagai tempat mulai dari rumah, sekolah, kampus, pasar, persimpangan jalan, rumah ibadah, di desa dan di kota sampai ke tempat keramaian dan diikuti oleh perbuatan atau prilaku. Para figur harus melakukan agar bisa menjadi model bagi anak-anak dan generasi yang sedang sibuk menjadi figur atau model dalam usia indentifikasi diri mereka. Kemudian diperlukan pula agar kita menyediakan seribu sampai sejuta tong sampah. Namun jangan biarkan tong sampah itu tergeletak penuh dengan tumpukan sampah untuk jangka waktu lama apalagi bila menumpuk sampai sampai bertahun-tahun tindakan ”top down” amat dibutuhkan. Mimpi kita bisa terwujud untuk menjadikan daerah ini, negara ini agar bebas dari sampah lewat gerakan ”perang melawan sampah secara totalitas” sekarang ini juga dan mulai dari diri sendiri, sekolah sendiri, rumah sendiri, lingkungan sendiri.

Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Program Layanan Keunggulan
(rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar

Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri


Oleh : Marjohan *)
marjohanusman@yahoo.com


“Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan judul buku Almarhum A.A Navis sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di seputar hidup kita.
Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang sekarang untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil sekarang, perlu telaah lebih lanjut.
Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.
Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.
Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.
Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman sosial dari dunia bermain yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang harus berkompetisi.
Keluarga Junior dengan jumlah anak yang hanya rata-rata 2 orang sebagian cendrung bersifat terlalu posesif sehingga punya kesan banyak “serbanya” yaitu serba melarang, serba melarang, serba membantu anak dan lain-lain. Sehingga terkesan menjadi serba memanjakan anak dan serba membelenggu kebebasan untuk berkresi , berekspressi dan melakukan kreatifitas. Sikap possesif keluarga junior ini agaknya didorong oleh rasa khawatir yang berlebihan. Khawatir atau takut anak terjatuh dan cedera. Sehingga semua gerak-gerik anak selalu diawasi dan dicemasi. Hal ini membuat anak menjadi serba ditolong dan serba dilindungi. Akibatnya anak kurang aktif dan kreatif dan kurang melaksanakan ekplorasi dalam dunianya ini berarti anak akan miskin dengan pengalaman hidup.
Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil kehidupan. Disini tidak ada kecendrungan kita untuk mengatakan bahwa keluarga senior atau keluarga dengan banyak anak jauh lebih baik. Namun disini tersirat sebuah penekanan bahwa orang tua dati keluarga kecil, sebagai keluarga berencana, perlu untuk menjadi arif dan lebih matang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Mereka perlu untuk selalu menimba ilmu dari buku dan pengalaman hidup, malah kalau perlu menimba pengalaman hidup, mendidik anak, dari keluarga senior tadi.
David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1996) mengatakan bahwa lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman, berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.
Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam mendidik dan memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan pendidikan mereka.
Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang tidak tahu hendak kemana pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai. Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya.
Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak ,lulusan SMA, yang kebingungan karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.
Kebingungan bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri. Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan , kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri. Kekurangan-kekurangan ini ,seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.
Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman, sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai emosi sendiri dan lain-lain.
Anak-anak yang rajin diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak mengurung diri di seputar rumah saja.
Untuk membebaskan anak dari kebingungan dan tanpa cita-cita dalam hidup maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus memberi contoh tentang, budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin. Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif dan over-protektif (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua) perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.
Anak-anak dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan spiritual serta kreatif dan mandiri adalah anak yang sangat kita harapkan. Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.


*) Marjohan, adalah guru SMA Negeri 3,program pelayanan Unggul,
Batusangkar, Kab. Tanah Datar. Sumatra Barat
(rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar

Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri

Oleh : Marjohan *)
marjohanusman@yahoo.com

“Alam takambang jadi guru” adalah sebuah falsafah hidup orang Minangkabau dan judul buku Almarhum A.A Navis sampai saat ini tetap tidak lapuk karena hujan dan lekang karena panas. Filsafat ini tetap bisa jadi pijakan hidup kita sebagai orang tua dalam kehidupan dalam masyarakat. Sekaligus filsafat ini mengajak kita untuk peka dan bercermin atas peristiwa-peristiwa yang ada di seputar hidup kita.
Sudah menjadi kecendrungan dari keluarga sekarang sekarang untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil daripada keluarga yang lebih senior usianya.Kita perlu untuk berterima kasih atas program KB yang sudah lama diluncurkan oleh pemerintah. Kalau begitu apakah anak-anak dari keluarga kecil hidup lebih beruntung dibandingkan dengan anak-anak dahulu dari keluarga besar (?). Dari segi pertumbuhan biologi bisa dijawab “ya” karena keluarga kecil bisa menyediakan kebutuhan bahan sandang dan pangan yang lebih baik. Tetapi dari segi pertumbuhan mental, emosional dan sosial ,pada sebagian keluarga kecil sekarang, perlu telaah lebih lanjut.
Dari pengalaman kita dapat melihat bahwa cukup banyak generasi muda sekarang yang hidup tanpa orientasi yang jelas, merasa masa depan mereka tidak pasti dan menjadi mudah frustasi. Kita juga dapat menemui banyak pemuda dan pemudi sekarang hidup kurang beruntung dibandingkan dengan orangtua mereka. Padahal tingkat pendidikan mereka rata-rata cenderung lebih tinggi. Tetapi mengapa mereka tampak tidak berdaya, cendrung santai, menganggur karena terbatasnya lowongan kerja yang sudah menjadi alasan klasik.
Kecendrungan kelurga dulu dengan anak banyak membuat mereka harus banting tulang untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang jumlahnya lebih besar. Malah sebagai implikasi, kadang-kadang, anak-anak pun wajib bekerja untuk meringankan beban keluarga. Keluarga senior dengan jumlah anak yang agak banyak hampir-hampir tidak punya waktu untuk “mencikaraui”, ikut campur dalam urusan pribadi anak-anak mereka.
Kecendrungan anak-anak dari keluarga besar adalah mereka mengalami dan memiliki pertumbuhan sosial dan emosional yang lebih baik daripada sebagian anak-anak keluarga kecil. Mereka sejak usia dini sudah dilepas oleh ayah-ibu yang juga sibuk untuk mencari nafkah untuk ikut mengembara, melakukan eksplorasi atau penjelajahan, bersama kakak dan teman-teman mereka.
Sejak usia dini mereka sudah memiliki segudang pengalaman hidup lewat peristiwa demi peristiwa sosial. Suka duka pengalaman sosial dari dunia bermain yang mereka alami . Mereka telah belajar untuk mengenal langsung tentang peran hidup untuk beradaptasi, berakomodasi, menerima dan mengalah dan kadang-kadang harus berkompetisi.
Keluarga Junior dengan jumlah anak yang hanya rata-rata 2 orang sebagian cendrung bersifat terlalu posesif sehingga punya kesan banyak “serbanya” yaitu serba melarang, serba melarang, serba membantu anak dan lain-lain. Sehingga terkesan menjadi serba memanjakan anak dan serba membelenggu kebebasan untuk berkresi , berekspressi dan melakukan kreatifitas. Sikap possesif keluarga junior ini agaknya didorong oleh rasa khawatir yang berlebihan. Khawatir atau takut anak terjatuh dan cedera. Sehingga semua gerak-gerik anak selalu diawasi dan dicemasi. Hal ini membuat anak menjadi serba ditolong dan serba dilindungi. Akibatnya anak kurang aktif dan kreatif dan kurang melaksanakan ekplorasi dalam dunianya ini berarti anak akan miskin dengan pengalaman hidup.
Anak yang kekurangan pengalaman hidup karena telalu banyak dilindungi , ibarat telapak kaki yang terlalu banyak dilindungi oleh sepatu menjadi amat tipis dan susah melangkah diatas kerikil-kerikil. Hidup di dunia memang penuh dengan benturan-benturan kecil sampai dengan benturan-benturan besar sebagai kerikil kehidupan. Disini tidak ada kecendrungan kita untuk mengatakan bahwa keluarga senior atau keluarga dengan banyak anak jauh lebih baik. Namun disini tersirat sebuah penekanan bahwa orang tua dati keluarga kecil, sebagai keluarga berencana, perlu untuk menjadi arif dan lebih matang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Mereka perlu untuk selalu menimba ilmu dari buku dan pengalaman hidup, malah kalau perlu menimba pengalaman hidup, mendidik anak, dari keluarga senior tadi.
David J.Scwart (dalam bukunya The magic of thinking big; 1996) mengatakan bahwa lingkungan dan orang-orang di sekeliling kita adalah ibarat laboratorium kemanusiaan . Kita adalah sebagai ahli untuk labor tadi. Kita dapat mengamati dan menganalisa mengapa seseorang bisa punya banyak teman atau sedikit teman, berhasil atau gagal atau biasa-biasa saja. Kita pun kemudian dapat memilih tiga orang yang berhasil dan tiga orang yang gagal dan kemudian menganalisa dan membandingkan kenapa mereka bisa demikian. Hasil pengamatan dan penelitian tadi bisa menjadi pengalaman berharga bagi kita.
Sebagai orangtua, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam mendidik dan memebesarkan anak. Kita harus punya konsep tentang bagaimana menjadi orangtua yang ideal bagi mereka termasuk dalam hal megurus dan mengarahkan pendidikan mereka.
Bagaimana orang tua menyikapi anak yang lulus dan mencari sekolah untuk pendidikan selanjutnya. Sebagai contoh, cukup banyak anak-anak lulusan dari SLTA yang tidak tahu hendak kemana pergi setelah itu. Kemana atau apa yang akan dilakukan setelah lulus dari SMA merupakan salah satu titik penting dalam kehidupan seseorang. Pada saat itulah tahap awal kedewasaan seseorang dimulai. Keputusan tentang langkah apa yang akan diambil memeberikan pengaruh besar terhadap kehidupan selanjutnya.
Penting untuk diingat bahwa setiap anak perlu memiliki suatu cita-cita atau tujuan spesifik yang menjadi arah dari apa yang ingin untuk dicapaianya. Namun dalam kenyataan adalah cukup banyak anak-anak ,lulusan SMA, yang kebingungan karena tidak punya cita-cita dan berfikir “harus mengapa setelah ini”.
Kebingungan bersumber dari kurangnya pengenalan minat dan kemampuan diri. Tentu saja ini akibat dari miskin atau kurangnya pengetahuan dan wawasan , kurangnya persiapan intelektual dan kurang mengenal pribadi sendiri. Kekurangan-kekurangan ini ,seperti yang telah dijelaskan, disebabkan oleh minimnya pengalaman ekplorasi dan jati diri. Penyebab lain adalah karena tidak terbiasa dengan budaya belajar dan hidup yang mandiri.
Tidak punya cita-cita dalam hidup dan kurang mengenal potensi diri adalah efek negatif dari kurang ekplorasi dan kurang punya jati diri. Untuk mengantisipasi yang demikian maka orangtua dan anak perlu untuk mengembankan dunia jelajahnya atau ekplorasi sejak dini. Setiap anak seharusnya punya banyak pengalaman, sesuai dengan konsep kepintaran berganda,punya pengalaman berteman dan berkomunikasi dengan banyak orang, banyak mengenal tempat lain, mengenal seni dan olah raga, memahami dan mengamalkan agama, berpengalaman dalam menguasai emosi sendiri dan lain-lain.
Anak-anak yang rajin diajak oleh orangtua ke berbagai tempat profesi seperti bank, universitas, pabrik, bandar udara, pusat pelatihan komputer dan lain-lain akan memiliki segudang cita-cita dibandingkan dengan anak anak yang banyak mengurung diri di seputar rumah saja.
Untuk membebaskan anak dari kebingungan dan tanpa cita-cita dalam hidup maka orangtua bertanggungjawab untuk menanamkam ,dan sekaligus memberi contoh tentang, budaya gemar belajar dan hidup mandiri sedini mungkin. Orangtua perlu untuk menyisihkan sedikit dana dan melowongkan waktu untuk keperluan belajar anak di rumah dan memberi contoh langsung tentang betapa pentingnya memebaca, belajar yang banyak dan pintar dalam membagi waktu dan pintar berkomunikasi dengan banyak orang. Selain itu orangtua perlu mendukung anak untuk mengembangkan hobi dan bersikap kreatif dalam hidup. Orangtua perlu memberi anak kebebasan untuk mencoba dan mengurangi sikap yang terlalu possesif dan over-protektif (terlalu melindungi) yang tercermin dalam sikap yang banyak serba membantu dan serba melarang anak. Di waktu lowong anak (dan orang tua) perlu untuk rekreasi yang lebih bersifat edukatif.
Anak-anak dengan pribadi yang berimbang antara intelektual, emosional dan spiritual serta kreatif dan mandiri adalah anak yang sangat kita harapkan. Untuk mewujudkan ini maka kita perlu untuk menanamkan budaya gemar belajar dan hidup mandiri dalam rumah tangga sejak dini.

*) Marjohan, adalah guru SMA Negeri 3,program pelayanan Unggul,
Batusangkar, Kab. Tanah Datar. Sumatra Barat
(rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...