Minggu, 05 April 2009

Membudayakan Penghargaan untuk Mendongkrak Motivasi Belajar Anak

Membudayakan Penghargaan untuk Mendongkrak Motivasi Belajar Anak
Oleh : Marjohan, M.Pd
SMAN 3 Batusangkar

Dalam buku L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial, diedit oleh Didiot Beatrice (2001) dilaporkan bahwa menjelang tahun 2000 posisi human indicator index atau tingkat Sumber Daya Manusia Indonesia menempati peringkat 102, negara Vietnam yang merdeka lebih akhir dibanding Indonesia satu digit lebih baik dari Indonesia, yaitu 101. Kemudian dalam buku The State of The World Atlas, ditulis oleh Dan Smith (1999) memaparkan bahwa posisi SDM Indonesia menempati peringkat 88 di dunia dan Negara Turkmenistan yang baru merdeka tahun 1991, lepas dari Uni Soviet, posisi SDM nya juga lebih baik satu digit dibandingkan Indonesia, yaitu posisi 87. Dibandingkan level SDM pada laporan terdahulu, maka laporan dalam buku terakhir tampaknya ada perbedaan, namun sebagai bangsa Indonesia kita belum bisa berbahagia karena angka dalam laporan terakhir tetap sangat jauh dari yang kita harapkan, apalagi mengingat ukuran negara Indonesia sebagai Negara yang luas wilayahnya dan banyak penduduknya cukup membuat mata kita perih. Malah dapat dibuat pertanyaan “apakah begini kualitas bangsa ku yang jumlahnya 200 juta orang lebih itu, jumlahnya banyak namun ibarat buih di pantai- banyak tapi isinya hampa?”

Bangsa Indonesia (kita, pemerintah dan rakyat) harus merespon laporan peringkat SDM tadi dengan rasa malu karena peringkat kualitasnya sangat mengecewakan. Namun kita harus optimis dan bertanggungjawab untuk peningkatannya. Maka dalam rentang waktu sejak seputar tahun 2000 atau setelah keluarnya laporan tingkat SDM negara-negara se dunia sampai sekarang sudah ada beberapa kebijakan pemerintah terbit untuk meningkatkan mutu SDM. Diantaranya adalah dalam bentuk merevisi kurikulum, menerbitkan kebijakan baru dalam pendidikan, membentuk undang-undang pendidikan yang lebih merespon perkembangan dan pro aktif pada kemajuan zaman.

Dari semua elemen pendidikan di negara kita, mulai dari tingkat Tk sampai ke Perguruan Tinggi, merasa bertanggung jawab untuk menuntaskan dan memparbaiki kualitas SDM bangsa. Maka sebagai imlementasinya dan kebijakan untuk meningkatkan mutu, dibentuklah berbagai program peningkatan mutu guru, peningkatan mutu sekolah, peningkatan mutu bahan ajar, dan lain-lain. Namun kualitas SDM untuk dunia pendidikan tersangkut pada kualitas murid-murid/ para pelajar.

Selanjutnya bahwa kualitas murid, juga pelajar dan mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh eksistensi sekolah atau kampus belaka terhadap mereka karena lebih dari separoh waktu kehidupan mereka di habiskan di rumah bersama orang tua. Ini berarti bahwa kualitas SDM mereka juga ditentukan oleh eksistensi rumah, yaitu bagaimana campur tangan dan perhatian orang tua dalam mendidik dan membangkitkan motivasi belajar mereka. Dapat dikatakan bahwa kualitas SDM mereka menjadi naik atau turun sangat ditentukan oleh kualitas motivasi belajar mereka terutama di rumah.

Pada umumnya semua sekolah favorite, apakah namanya Sekolah Unggul, Sekolah Akselerasi, Sekolas Plus, Sekolah Percontohan, dan lain-lain, menjadi sekolah berkualitas karena di sana berkumpul anak-anak yang berkualitas, yaitu anak-anak yang memiliki motivasi belajar yang tinggi. Mereka menjadi berkualitas bukan karena sekolah tersebut, tetapi karena factor rumah- mereka berasal dari rumah dengan orang tua, kondisi dan lingkungan yang selalu mendukung dan memotivasi mereka, sehingga bisa memiliki motivasi belajar yang tinggi.

Sementara itu sekolah-sekolah yang tidak berlabel favorite- tidak memiliki kualitas unggul- dan mungkin kualitasnya amburadul, terjadi karena di sana berkumpul siswa-siswa yang sama-sama miskin dengan motivasi belajar. Mereka memiliki motivasi belajar yang rendah karena berasal dari rumah dengan orang tua, kondisi dan lingkungan yang juga amat jarang mencikaraui atau merasa peduli dengan urusan motivasi belajar anak, “bagaimana aku bisa mengurus anak sekolah, hidup saja susah”, demikian yang sering diucapkan oleh orang tua yang pesimis. Orang tua yang pesimis ini berpotensi menghancurkan motivasi belajar anak. Populasi mereka sangat banyak, mungkin jutaan, di Indonesia. Merekalah yang perlu didekati dan dibina, kalau tidak maka kualitas SDM Indonesia.

Bila posisi SDM Indonesia di dunia termasuk ke dalam kategori rendah maka dapat dikatakan bahwa tentu ada jutaan orang tua di rumah yang belum berbuat banyak dalam meningkatkan motivasi belajar anak. Kalau begitu bagaimana eksistensi motivasi itu dan bagaimana menimbulkan motivasi belajar anak yang baik, dan siapa saja yang lebih bertanggung jawab dalam membangkitkan motivasi belajar mereka ?

Tentu saja orang tua dan guru berperan amat penting dalam membangkitkan dan meningkatkan motivasi anak. Ada beberapa cara yang dapat kita- sebagai orang tua dan guru- lakukan untuk merangsang minat anak dalam belajar- yang merupakan dorongan ekstrinsik (dorongan yang datang dari luar). Di antara yang dapat kita lakukan adalah dengan cara memberii hadiah, penghargaan, pemberi tahuan tentang kemajuan dan belajar mereka.

Sementara itu yang banyak dilakukan oleh orang tua, yang katanya adalah untuk mendorong anak belajar, tetapi mereka mencela anak “hei kemana otak lu, sudah gede tapi tidak pernah tahu dengan huruf Pe”, dan dengan cara membentak anak “ Hengki….kamu nonton melulu, ayo buat Pe Er !”. Idealnya dan seharusnya orang tua dan guru perlu tahu bagaimana cara yang terbaik dalam memotivasi mereka.

“Papa…,mama…, aku memperoleh angka 100 dalam ujian Sains !” seru anak dengan penuh kegirangan begitu sampai di pintu rumah. Maka respon orang tua bisa saja bervariasi. Orang tua yang lupa cara memotivasi anak mungkin berkata “tapi kertas ujian kemaren kok kamu robek” atau “kamu dapat seratus mungkin saja kamu dapat contekan”. Respon seperti ini cendrung tidak bersahabat di hati anak, maka jangan harap lagi anak untuk termotivasi dalam belajar, namun aneh bila nanti anak kehilangan semangat belajar, yang kena tumbal- sebagai scapegoat/kambing hitam- sebagai penyebab anak malas adalah lingkungan, teman, sekolah, teknologi atau zaman global. Padahal penyebabnya adalah cara respon orang tua terhadap harapan anak.

“Mama …aku sudah hafal surat alfatihah dan tadi ulangan ku dapat angka 95 !”, Respon orang tua atas harapan anak adalah mungkin dengan memberii penghargaan. “Alhamdulillah, senang sekali hati mama…”, atau “Karena kamu pintar, papa kamu kasih kamu hadiah “. Respon positif dan memberi penghargaan tentu akan menambah motivasi belajar anak. Orang tua atau keluarga- keluarga yang sudah membudayakan penghargaan dan/ atau hadiah pada anak atas prestasi belajar dan bekerja mereka, akan mampu melahirkan mereka sebagai generasi yang memiliki harga diri dan motivasi belajar yang tinggi. Kebutuhan dan fasilitas belajar mereka juga harus disediakan dan dipenuhi.

Karakter orang tua dan lingkungan yang berpotensi dalam menghancurkan motivasi belajar anak adalah seperti kurang peduli dalam memenuhi fasilitas belajar mereka (rokok atau kaset VCD player terbeli tetapi bahan bacaan buat anak tak peduli), karakter terlalu kaku, keras dan berbahasa kasar selama mendidik anak “orang tua ku ramah, tetapi kalau menemani aku belajar jadi judes, minta ampun, sehingga otak ku buntu kalau belajar”. Karakter yang lain adalah seperti suka memaksanakan kehendak pada anak, terlalu berharap banyak, dan serba banyak melarang atau memerintah. Perilaku atau karakter orangtua yang demikian membuat anak akan merasa tertekan, anak belajar dalam kondisi tidak aman dan hati yang mendongkol.

Kemudian ada strategi lain yang diterapkan oleh guru dan orang tua untuk memotivasi belajar anak, yaitu membuat anak bersaing dalam belajar. “Besok kalian mau ujian, ayo siapa kelak yang jago nya, bisa nggak kamu mengalahkan Asrul?” Dapat dikatakan bahwa memotivasi anak dengan persaingan di antara mereka berarti “mengadu anak/ siswa dengan jalan menimbulkan pertentangan”. Kompetisi atau persaingan antara mereka berpotensi untuk memupuk perasaan marah, iri hati, cemburu, dan perasaan ingin mengalahkan orang lain. Sehingga bagi anak bahwa mengalahkan orang lain lebih penting dari pada belajar dengan tekun dan sebaik-baiknya.

Prayitno (1989) mengatakan bahwa kompetisi, termasuk kompetisi dalam belajar, menimbulkan konflik dalam diri sebahagian anak. Mereka merasa terancam karena takut kalah, atau di antara mereka timbul ketegangan yang disebabkan oleh ambisi untuk mengalahkan orang lain. Belajar dengan cara berkompetisi membuat anak mengejar nilai lebih tinggi dan lupa dengan tujuan belajar yang sebenarnya. Sehingga ini dapat mendorong mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai tinggi, termasuk dengan cara mencontek.

Memotivasi anak untuk belajar dengan cara berkompetisi hanya merangsang siswa-siswa yang pandai. Dengan adanya kompetisi dalam belajar akan menimbulkan sifat egois atau lebih mementingkan diri sendiri. Siswa yang pandai tidak mau membantu teman-teman mereka yang berkemampuan sedang dan kurang. Oleh karena itu kompetisi akan menghilangkan atau paling tidak menghalangi berkembangnya sikap sosial dalam diri siswa atau anak. Dapat dikatakan bahwa membuat anak bersaing/ berkompetisi dalam belajar bisa mendatangkan pengaruh buruk terhadap perkembangan pribadinya- mereka mudah jadi sombong dan dengki. Akan lebih baik jika dibentuk persaingan dengan prestasinya atau persaingan dengan diri sendiri.

Cara lain yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan motivasi belajar anak adalah, seperti yang telah disinggung di atas, yaitu pemberian hadiah dan hukuman. Hadiah dan hukuman bentuknya lebih kongkrit dari pada penghargaan dan pemberiaan celaan. Pemberian hadiah sebagai cara untuk memotivasi anak/siswa dapat menjadi penguat tingkah laku– reinforcement. Anak-anak yang telah melakukan pekerjaan/ belajar dengan baik diberi hadiah oleh guru atau orang tua. Hadiah atau penghargaan ada yang bersifat verbal maupun yang bersifat material. Yang penting untuk diperhatikan dalam membangun motivasi belajar adalah bentuk hadiah itu sendiri.

Hadiah dalam bentuk verbal lebih baik daripada dalam bentuk benda atau angka. Namun bagi orang tua yang bisa menyisakan sedikit uang, tidak ada masalah kalau sekali-sekali memberi anak anak hadiah dalam bentuk materi atas prestasi nya- mungkin membelikan sebuah kotak pensil, buku cerita, kamus elektronik sampai kepada menghadiahkan mereka satu set laptop, bagi yang mampu membelikan. Tidak semua hadiah verbal (dalam bentuk ucapan atau tulisan) dapat menimbulkan motivasi di dalam diri untuk belajar secara efektif. Tetapi hadiah verbal yang memberikan informasi bisa membangkitkan minat anak untuk berhasil dalam belajar. Oleh karena itu dalam memeriksa tugas-tugas siswa, informasi atau komentar (hadiah verbal) harus diberikan disamping pemberian nilai.

Hukuman sebagai alat untuk memotivasi belajar siswa lebih banyak memberikan pengaruh psikologis yang negative dibandingkan motivasi yang ditimbulkannya. Memang hukuman ada kemungkinan untuk meningkatkan proses belajar siswa/ anak. Namun mereka akan berhenti belajar jika hukuman ditiadakan lagi. Hukuman dapat menimbulkan kecemasan, gangguan emosi dan perasaan bersalah di dalam diri mereka. Di dalam belajar siswa dibayangi oleh ketakutan untuk berbuat salah.

Perbuatan menghukum, mengancam, dan mencela adalah cirri-ciri guru dan orang tua yang otoriter- terlalu suka berkuasa. Akibat buruk yang terjadi dalam diri siswa akibat karakter otoriter mereka adalah anak/siswa menjadi apatis, kehilangan minat belajar, mengerjakan kegiatan sesuai dengan apa yang disuruh saja, anak kurang memiliki inisiatif, kemandirian dalam belajar mereka rendah, bersifat patuh saja, dan tidak berkembang rasa percaya diri mereka. Selanjutnya sikap otoriter yang diterapkan oleh guru dan orang tua berpotensi dalam mematikan kreatifitas dan daya spontanitas anak, sehingga mereka tidak mampu dalam mengambil keputusan- padahal kemampuan ini amat penting kelak bila mereka tumbuh dewasa.

Anak yang besar dalam suasana otoriter akan tumbuh menjadi orang yang agresif, berkarakter kasar dan kurang ramah dan kurang mampu bertegur sapa. Saatnya kini kita harus punya pradigma baru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak dan siswa kita. Kita tidak sudi lagi bila mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkualitas hampa. Menumbuh-kembangkan motivasi belajar mereka adalah tugas kita sebagai orang tua atau guru. Saatnya kita harus membuang cara banyak mencela, mengancam dan kekerasan- menerapkan karakter otoriter. Salah satu cara yang tepat adalah dengan memberi mereka penghargaan atas karya dan prestasi kerja/ belajar mereka. Dengan cara ini motivasi belajar mereka akan tetap tumbuh dan terpelihara.

Catatan : 1) Dan Smith (1999) The State of The World Atlas, The Unique Visual Survey of Political, Economic and Social Trends.London: Penguin Reference. 2) Didiot, Beatrice. (2001) L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial. Paris: La Decouverte. 3) Prayitno, Elida. (1989). Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi.
. .

Membudayakan Penghargaan untuk Mendongkrak Motivasi Belajar Anak

Membudayakan Penghargaan untuk Mendongkrak Motivasi Belajar Anak
Oleh : Marjohan, M.Pd
SMAN 3 Batusangkar

Dalam buku L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial, diedit oleh Didiot Beatrice (2001) dilaporkan bahwa menjelang tahun 2000 posisi human indicator index atau tingkat Sumber Daya Manusia Indonesia menempati peringkat 102, negara Vietnam yang merdeka lebih akhir dibanding Indonesia satu digit lebih baik dari Indonesia, yaitu 101. Kemudian dalam buku The State of The World Atlas, ditulis oleh Dan Smith (1999) memaparkan bahwa posisi SDM Indonesia menempati peringkat 88 di dunia dan Negara Turkmenistan yang baru merdeka tahun 1991, lepas dari Uni Soviet, posisi SDM nya juga lebih baik satu digit dibandingkan Indonesia, yaitu posisi 87. Dibandingkan level SDM pada laporan terdahulu, maka laporan dalam buku terakhir tampaknya ada perbedaan, namun sebagai bangsa Indonesia kita belum bisa berbahagia karena angka dalam laporan terakhir tetap sangat jauh dari yang kita harapkan, apalagi mengingat ukuran negara Indonesia sebagai Negara yang luas wilayahnya dan banyak penduduknya cukup membuat mata kita perih. Malah dapat dibuat pertanyaan “apakah begini kualitas bangsa ku yang jumlahnya 200 juta orang lebih itu, jumlahnya banyak namun ibarat buih di pantai- banyak tapi isinya hampa?”


Bangsa Indonesia (kita, pemerintah dan rakyat) harus merespon laporan peringkat SDM tadi dengan rasa malu karena peringkat kualitasnya sangat mengecewakan. Namun kita harus optimis dan bertanggungjawab untuk peningkatannya. Maka dalam rentang waktu sejak seputar tahun 2000 atau setelah keluarnya laporan tingkat SDM negara-negara se dunia sampai sekarang sudah ada beberapa kebijakan pemerintah terbit untuk meningkatkan mutu SDM. Diantaranya adalah dalam bentuk merevisi kurikulum, menerbitkan kebijakan baru dalam pendidikan, membentuk undang-undang pendidikan yang lebih merespon perkembangan dan pro aktif pada kemajuan zaman.


Dari semua elemen pendidikan di negara kita, mulai dari tingkat Tk sampai ke Perguruan Tinggi, merasa bertanggung jawab untuk menuntaskan dan memparbaiki kualitas SDM bangsa. Maka sebagai imlementasinya dan kebijakan untuk meningkatkan mutu, dibentuklah berbagai program peningkatan mutu guru, peningkatan mutu sekolah, peningkatan mutu bahan ajar, dan lain-lain. Namun kualitas SDM untuk dunia pendidikan tersangkut pada kualitas murid-murid/ para pelajar.


Selanjutnya bahwa kualitas murid, juga pelajar dan mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh eksistensi sekolah atau kampus belaka terhadap mereka karena lebih dari separoh waktu kehidupan mereka di habiskan di rumah bersama orang tua. Ini berarti bahwa kualitas SDM mereka juga ditentukan oleh eksistensi rumah, yaitu bagaimana campur tangan dan perhatian orang tua dalam mendidik dan membangkitkan motivasi belajar mereka. Dapat dikatakan bahwa kualitas SDM mereka menjadi naik atau turun sangat ditentukan oleh kualitas motivasi belajar mereka terutama di rumah.


Pada umumnya semua sekolah favorite, apakah namanya Sekolah Unggul, Sekolah Akselerasi, Sekolas Plus, Sekolah Percontohan, dan lain-lain, menjadi sekolah berkualitas karena di sana berkumpul anak-anak yang berkualitas, yaitu anak-anak yang memiliki motivasi belajar yang tinggi. Mereka menjadi berkualitas bukan karena sekolah tersebut, tetapi karena factor rumah- mereka berasal dari rumah dengan orang tua, kondisi dan lingkungan yang selalu mendukung dan memotivasi mereka, sehingga bisa memiliki motivasi belajar yang tinggi.


Sementara itu sekolah-sekolah yang tidak berlabel favorite- tidak memiliki kualitas unggul- dan mungkin kualitasnya amburadul, terjadi karena di sana berkumpul siswa-siswa yang sama-sama miskin dengan motivasi belajar. Mereka memiliki motivasi belajar yang rendah karena berasal dari rumah dengan orang tua, kondisi dan lingkungan yang juga amat jarang mencikaraui atau merasa peduli dengan urusan motivasi belajar anak, “bagaimana aku bisa mengurus anak sekolah, hidup saja susah”, demikian yang sering diucapkan oleh orang tua yang pesimis. Orang tua yang pesimis ini berpotensi menghancurkan motivasi belajar anak. Populasi mereka sangat banyak, mungkin jutaan, di Indonesia. Merekalah yang perlu didekati dan dibina, kalau tidak maka kualitas SDM Indonesia.


Bila posisi SDM Indonesia di dunia termasuk ke dalam kategori rendah maka dapat dikatakan bahwa tentu ada jutaan orang tua di rumah yang belum berbuat banyak dalam meningkatkan motivasi belajar anak. Kalau begitu bagaimana eksistensi motivasi itu dan bagaimana menimbulkan motivasi belajar anak yang baik, dan siapa saja yang lebih bertanggung jawab dalam membangkitkan motivasi belajar mereka ?


Tentu saja orang tua dan guru berperan amat penting dalam membangkitkan dan meningkatkan motivasi anak. Ada beberapa cara yang dapat kita- sebagai orang tua dan guru- lakukan untuk merangsang minat anak dalam belajar- yang merupakan dorongan ekstrinsik (dorongan yang datang dari luar). Di antara yang dapat kita lakukan adalah dengan cara memberii hadiah, penghargaan, pemberi tahuan tentang kemajuan dan belajar mereka.


Sementara itu yang banyak dilakukan oleh orang tua, yang katanya adalah untuk mendorong anak belajar, tetapi mereka mencela anak “hei kemana otak lu, sudah gede tapi tidak pernah tahu dengan huruf Pe”, dan dengan cara membentak anak “ Hengki….kamu nonton melulu, ayo buat Pe Er !”. Idealnya dan seharusnya orang tua dan guru perlu tahu bagaimana cara yang terbaik dalam memotivasi mereka.


“Papa…,mama…, aku memperoleh angka 100 dalam ujian Sains !” seru anak dengan penuh kegirangan begitu sampai di pintu rumah. Maka respon orang tua bisa saja bervariasi. Orang tua yang lupa cara memotivasi anak mungkin berkata “tapi kertas ujian kemaren kok kamu robek” atau “kamu dapat seratus mungkin saja kamu dapat contekan”. Respon seperti ini cendrung tidak bersahabat di hati anak, maka jangan harap lagi anak untuk termotivasi dalam belajar, namun aneh bila nanti anak kehilangan semangat belajar, yang kena tumbal- sebagai scapegoat/kambing hitam- sebagai penyebab anak malas adalah lingkungan, teman, sekolah, teknologi atau zaman global. Padahal penyebabnya adalah cara respon orang tua terhadap harapan anak.


“Mama …aku sudah hafal surat alfatihah dan tadi ulangan ku dapat angka 95 !”, Respon orang tua atas harapan anak adalah mungkin dengan memberii penghargaan. “Alhamdulillah, senang sekali hati mama…”, atau “Karena kamu pintar, papa kamu kasih kamu hadiah “. Respon positif dan memberi penghargaan tentu akan menambah motivasi belajar anak. Orang tua atau keluarga- keluarga yang sudah membudayakan penghargaan dan/ atau hadiah pada anak atas prestasi belajar dan bekerja mereka, akan mampu melahirkan mereka sebagai generasi yang memiliki harga diri dan motivasi belajar yang tinggi. Kebutuhan dan fasilitas belajar mereka juga harus disediakan dan dipenuhi.


Karakter orang tua dan lingkungan yang berpotensi dalam menghancurkan motivasi belajar anak adalah seperti kurang peduli dalam memenuhi fasilitas belajar mereka (rokok atau kaset VCD player terbeli tetapi bahan bacaan buat anak tak peduli), karakter terlalu kaku, keras dan berbahasa kasar selama mendidik anak “orang tua ku ramah, tetapi kalau menemani aku belajar jadi judes, minta ampun, sehingga otak ku buntu kalau belajar”. Karakter yang lain adalah seperti suka memaksanakan kehendak pada anak, terlalu berharap banyak, dan serba banyak melarang atau memerintah. Perilaku atau karakter orangtua yang demikian membuat anak akan merasa tertekan, anak belajar dalam kondisi tidak aman dan hati yang mendongkol.


Kemudian ada strategi lain yang diterapkan oleh guru dan orang tua untuk memotivasi belajar anak, yaitu membuat anak bersaing dalam belajar. “Besok kalian mau ujian, ayo siapa kelak yang jago nya, bisa nggak kamu mengalahkan Asrul?” Dapat dikatakan bahwa memotivasi anak dengan persaingan di antara mereka berarti “mengadu anak/ siswa dengan jalan menimbulkan pertentangan”. Kompetisi atau persaingan antara mereka berpotensi untuk memupuk perasaan marah, iri hati, cemburu, dan perasaan ingin mengalahkan orang lain. Sehingga bagi anak bahwa mengalahkan orang lain lebih penting dari pada belajar dengan tekun dan sebaik-baiknya.


Prayitno (1989) mengatakan bahwa kompetisi, termasuk kompetisi dalam belajar, menimbulkan konflik dalam diri sebahagian anak. Mereka merasa terancam karena takut kalah, atau di antara mereka timbul ketegangan yang disebabkan oleh ambisi untuk mengalahkan orang lain. Belajar dengan cara berkompetisi membuat anak mengejar nilai lebih tinggi dan lupa dengan tujuan belajar yang sebenarnya. Sehingga ini dapat mendorong mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai tinggi, termasuk dengan cara mencontek.


Memotivasi anak untuk belajar dengan cara berkompetisi hanya merangsang siswa-siswa yang pandai. Dengan adanya kompetisi dalam belajar akan menimbulkan sifat egois atau lebih mementingkan diri sendiri. Siswa yang pandai tidak mau membantu teman-teman mereka yang berkemampuan sedang dan kurang. Oleh karena itu kompetisi akan menghilangkan atau paling tidak menghalangi berkembangnya sikap sosial dalam diri siswa atau anak. Dapat dikatakan bahwa membuat anak bersaing/ berkompetisi dalam belajar bisa mendatangkan pengaruh buruk terhadap perkembangan pribadinya- mereka mudah jadi sombong dan dengki. Akan lebih baik jika dibentuk persaingan dengan prestasinya atau persaingan dengan diri sendiri.


Cara lain yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan motivasi belajar anak adalah, seperti yang telah disinggung di atas, yaitu pemberian hadiah dan hukuman. Hadiah dan hukuman bentuknya lebih kongkrit dari pada penghargaan dan pemberiaan celaan. Pemberian hadiah sebagai cara untuk memotivasi anak/siswa dapat menjadi penguat tingkah laku– reinforcement. Anak-anak yang telah melakukan pekerjaan/ belajar dengan baik diberi hadiah oleh guru atau orang tua. Hadiah atau penghargaan ada yang bersifat verbal maupun yang bersifat material. Yang penting untuk diperhatikan dalam membangun motivasi belajar adalah bentuk hadiah itu sendiri.


Hadiah dalam bentuk verbal lebih baik daripada dalam bentuk benda atau angka. Namun bagi orang tua yang bisa menyisakan sedikit uang, tidak ada masalah kalau sekali-sekali memberi anak anak hadiah dalam bentuk materi atas prestasi nya- mungkin membelikan sebuah kotak pensil, buku cerita, kamus elektronik sampai kepada menghadiahkan mereka satu set laptop, bagi yang mampu membelikan. Tidak semua hadiah verbal (dalam bentuk ucapan atau tulisan) dapat menimbulkan motivasi di dalam diri untuk belajar secara efektif. Tetapi hadiah verbal yang memberikan informasi bisa membangkitkan minat anak untuk berhasil dalam belajar. Oleh karena itu dalam memeriksa tugas-tugas siswa, informasi atau komentar (hadiah verbal) harus diberikan disamping pemberian nilai.


Hukuman sebagai alat untuk memotivasi belajar siswa lebih banyak memberikan pengaruh psikologis yang negative dibandingkan motivasi yang ditimbulkannya. Memang hukuman ada kemungkinan untuk meningkatkan proses belajar siswa/ anak. Namun mereka akan berhenti belajar jika hukuman ditiadakan lagi. Hukuman dapat menimbulkan kecemasan, gangguan emosi dan perasaan bersalah di dalam diri mereka. Di dalam belajar siswa dibayangi oleh ketakutan untuk berbuat salah.


Perbuatan menghukum, mengancam, dan mencela adalah cirri-ciri guru dan orang tua yang otoriter- terlalu suka berkuasa. Akibat buruk yang terjadi dalam diri siswa akibat karakter otoriter mereka adalah anak/siswa menjadi apatis, kehilangan minat belajar, mengerjakan kegiatan sesuai dengan apa yang disuruh saja, anak kurang memiliki inisiatif, kemandirian dalam belajar mereka rendah, bersifat patuh saja, dan tidak berkembang rasa percaya diri mereka. Selanjutnya sikap otoriter yang diterapkan oleh guru dan orang tua berpotensi dalam mematikan kreatifitas dan daya spontanitas anak, sehingga mereka tidak mampu dalam mengambil keputusan- padahal kemampuan ini amat penting kelak bila mereka tumbuh dewasa.


Anak yang besar dalam suasana otoriter akan tumbuh menjadi orang yang agresif, berkarakter kasar dan kurang ramah dan kurang mampu bertegur sapa. Saatnya kini kita harus punya pradigma baru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak dan siswa kita. Kita tidak sudi lagi bila mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkualitas hampa. Menumbuh-kembangkan motivasi belajar mereka adalah tugas kita sebagai orang tua atau guru. Saatnya kita harus membuang cara banyak mencela, mengancam dan kekerasan- menerapkan karakter otoriter. Salah satu cara yang tepat adalah dengan memberi mereka penghargaan atas karya dan prestasi kerja/ belajar mereka. Dengan cara ini motivasi belajar mereka akan tetap tumbuh dan terpelihara.


Catatan : 1) Dan Smith (1999) The State of The World Atlas, The Unique Visual Survey of Political, Economic and Social Trends.London: Penguin Reference. 2) Didiot, Beatrice. (2001) L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial. Paris: La Decouverte. 3) Prayitno, Elida. (1989). Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi.
. .

Sabtu, 21 Maret 2009

Komunikasi Penentu Iklim Sekolah, Sebagai Penjara atau rumah yang kedua

Komunikasi Penentu Iklim Sekolah, Sebagai Penjara atau rumah yang kedua

Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Ada pituah Minang- filsafat tua- yang masih sering diucapkan orang dalam pergaulan yang berbunyi; hewan diikiek jo tali, manuisia diikek jo kato-kato- hewan diikat dengan tali, manusia diikat dengan kata-kata. Atau ungkapan lain seperti; jagalah mulut mu, harimau mu, yang akan menerkam dirimu. Begitu pula dengan ungkapan dalam agama kita (agama Islam) yang mengatakan bahwa yang lebih tajam dalam kehidupan ini adalah pena dan lidah.

Kata-kata, mulut, lidah dan pena semuanya adalah sarana untuk berkomunikasi. Memang komunikasi dalam hidup sungguh sangat penting bagi semua makhluk, terutama bagi manusia. Nilai atau kualitas komunikasi anatara dua orang, dua kelompok, dua instansi atau dua bangsa- pengirim dan penerima komunikasi- menentukan kualitas hubungan mereka, apakah cenderung menjadi baik atau buruk, harmonis atau kurang harmonis, patah hati atau bergembira, dan seterusnya.

Hidup dan aktivitas manusia memang diwarnai dengan gaya berkomunikasi. Sepasang remaja bisa jatuh cinta karena diawali oleh komunikasi. Suami- istri yang terancam perceraian disebabkan oleh jeleknya kualitas komunikasi mereka. Unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh pabrik, atau karyawan suatu perusahaan adalah bisa disebabkan oleh kualitas komunikasi. Dan perdamaian dua negara yang bertikai dapat terlaksana oleh peran komunikasi.

Dunia pendidikan, sekolah, juga diwarnai oleh kualitas komunikasi. Sering kualitas komunikasi dapat menjadi penentu keadaan suasana atau iklim sosial di sekolah disebabkan oleh gaya dan cara berkomunikasi pimpinan pada bawahanya, dan cara berkomunikasi mayoritas guru-guru pada anak didiknya.

Gaya berkomunikasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin, orang tua, guru, dan seseorang pada locutor (teman berbicara) apalagi pada bawahannya ada dua macam yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah adalah komunikasi yang datang dari atasan, pimpinan, pada bawahan, karyawan, atau guru pada anak didiknya. Komunikasi seperti ini cendrung dalam bentuk memberii perintah, arahan dan nasehat. Bentuk komunikasi yang begini cukup bagus, effisien- hemat waktu- kalau jelas dan menyenangkan hati penerima. Namun kalau bentuk komunikasi satu arah ini dipakai oleh seseorang, sudah menjadi gaya hidupnya, akan membuat penerima pesan menjadi gerah dan bosan.

Komunikasi satu arah pada satu keluarga akan mewarnai suasana rumah seperti neraka dunia, sepi, gersang dan membosankan. Ayah memonopoli hak bersuara dan yang lain harus dan terpaksa mendengar dan mematuhinya. Dapat diyakini bahwa oknum atau pemberi komunikasi yang begini berkarakter otoriter, demam berkuasa, jaga image atau karena seribu alasan lain.
Komunikasi dua arah, komunikasi yang berlangsungdan setara antara karyawan dengan pimpinan, presiden dengan rakyat, guru dengan anak didik, dan orang tua dengan anak, tentu akan memberiikan suasana yang demokrasi. Rumah tangga atau sekolah yang diwarnai dengan komunikasi dua arah/ demokrasi begini, tentu dapat membuat warganya merasa betah dan nyaman hidup di dalamnya.

Bahasa sebagai sarana dalam berkomunikasi mempunyai fungsi sebagai interactional dan directional. Fungsi bahasa sebagai interactional berarti sebagai sarana untuk berbagi ide/ opini, dan perasaan yang disampaikan dalam dua arah yaitu sender dan receiver- pengirim pesan dan penerima pesan. Sementara peran bahasa sebagai sarana directional yaitu untuk menyampaikan ide/ opini, dan perasaan dalam bentuk satu arah. Mungkin dalam bentuk permintaan, dan larangan. Ke dua dua fungsi bahasa ini terpakai dalam kehidupan secara berimbang.

Kualitas berkomunikasi seseorang ditentukan oleh pola atau gaya berkomunikasinya. Kalau di rumah, apakah orang tua berkomunikasi dengan gaya satu arah, atau lebih dominan gaya berkomunikasi dua arah. Komunikasi satu arah dalam rumah tangga dapat digambarkan sebagai kebiasaan orang tua yang banyak memberi perintah, melarang, menghardik dan mengomel sendirian ke arah anak.

Mayoritas, dari fenomena sosial, ditemui bahwa banyak anak-anak yang suka membisu walau mereka berkumpul bareng-bareng dengan teman sebaya. Hal ini disebabkan karena mereka punya kesulitan dalam mengekspresikan fikiran, idea atau opini dalam berdialog. Ini bisa sebagai pertanda bahwa pola komunikasi mereka di rumah cenderung lebih dimonopoli oleh orang tua atau oleh orang dewasa lainnya. Anak kecil mungkin dianggap sebagai anak bawang- makhluk yang tidak perlu banyak tahu dan banyak ngomong. Dan ini adalah efek jangka panjang dari rumah tangga dengan gaya komunikasi satu arah, bukan ?

Ada harapan bahwa kekurangan dan kesulitan anak dalam berkomunikasi- mengekspresikan fikiran dan perasaan akibat pola didikan di rumah yang kurang berhasil dalam menumbuh kembangkan kognitif, afektif dan psikomotorik anak dalam berkomunikasi akan dapat diatasi oleh bimbingan, bantuan, didikan, melalui sekolah/ guru-guru. Namun bagaimana realitanya?

Pada saat jam PBM (Proses Belajar Mengajar) kita dapat menemukan banyak anak-anak sekolah (SMP, SMA, MAN atau SMK), siswa sekolah negeri atau swasta yang keluyuran di jalan-jalan kota, juga di jalan-jalan di kota kecil dan kecamatan, menyerbu tempat untuk rileks- play station, internet atau kafe untuk makan , minum dan menghisap rokok- karena merokok juga menjadi gaya hidup mereka, mungkin terinspirasi oleh guru perokok di sekolah dan karena iklan rokok yang memang sudah melimpah ruah. Untuk di kota, sekolah musti berterima kasih pada keberadaan satpol PP untuk menjaring anak didik yang keluyuran saat PBM. Namun bagaimana untuk anak didik yang pemalas- suka keluyuran, yang tidak dapat dijangkau oleh Satpoll PP, apakah mungkin tidak perlu dijaring ?

Kenapa mereka membolos dari sekolah. Ini tentu dapat ditelusuri penyebabnya (?). Penyebab utama adalah karena mereka memiliki motivasi belajar, minat belajar dan semangat belajar yang sangat rendah. Mereka beranggapan bahwa tidak ada gunanya bersekolah kecuali sebagai penjara dan tempat yang sangat menyiksa. Penyebab yang lain adalah karena faktor komunikasi dari pihak sekolah yaitu dengan sekolah- guru, kepala sekolah, pengawas sekolah dan komite sekolah tidak ada atau kurang menarik. Mungkin gaya berkomunikasi guru-guru kurang pas dengan harga diri mereka, mungkin mereka sering dihardik, kena marah oleh guru, guru menghakimi siswa dan sampai kepada gaya guru yang menjaga jarak atau malas berkomunikasi dengan anak didk yang sudah terlancur dianggap sebagai anak bandel dan pemalas.

Sementara itu semua siswa yang kurang beruntung dalam hidup dan terlahir ke dunia sebagai anak dengan motivasi dan minat belajar yang rendah tetap membutuhkan gaya berkomunikasi guru dan orang dewasa yang berkualitas. Mereka membutuhkan komunikasi dua arah dan plus sentuhan jiwa- sentuhan psikologi dan paedagogik untuk membangkitkan semangat hidup mereka- yang sempat hilang dalam pengalaman hidup mereka. Orang bijak mengatakan bahwa anak nakal akibat motivasi hidup yang rendah mengalami penyakit skin hunger yaitu kulit yang haus disentuh oleh sosok orang tua dan guru dengan penuh kasih sayang.

Sungguh beruntung siswa-siwa yang ceria dan bersemangat dalam belajar, akibat terlahir dari rumah dan lingkungan yang hangat dan selalu mendorong dan memelihara motivasi serta semangat belajar mereka. Mereka adalah anak didik yang tumbuh dan berkembang melalui komunikasi yang hangat- memperoleh banyak penghargaan, menjadi anak didik yang punya harga diri. Apalagi bagi mereka yang diberi kesempatan untuk banyak mencoba- bekerja, belajar dan mengembangkan hobi. Anak-anak yang terkondisi dengan pola komunikasi yang bagus di rumah dalam realita akan memperoleh sosial applause- tepuk tangan sosial oleh guru-guru mereka di sekolah. Mereka memperoleh keberuntungan berganda- motivasi belajar tinggi, semangat dan minat belajar tinggi, penghargaan dan pelayanan yang diberikan oleh guru juga tinggi.

Di kelas- kelas atau di sekolah-sekolah dengan PBM yang bersemangat akan dijumpai iklim belajar/ iklim sekolah yang menyenangkan. Semua siswa menghias dan merawat kelas dengan senang hati, karena di sanalah istana atau rumah ke dua mereka untuk menuntut ilmu dan tempat bersenang-senang bersama pengetahuan baru, karena belajar tanpa tekanan. Ditemani dan dibiming oleh guru yang ramah-ramah- menebarkan senyum dan kehangatan pada mereka setiap saat. Dalam berbicara selalu memilih kosa kata dan konteks yang hangat sehingga menyenangkan hati anak didik.

Namun jumlah sekolah dan kelas kelas yang hangat begini tidak banyak, tidak sebanyak populasi sekolah tadisionil yang berdiri di pelosok persada ini. Di sana siswa belajar dengan fasilitas minim, iklim atau suasana sekolah yang membosankan karena miskin komunikasi- guru guru mengurung diri dalam ruangan majelis guru sebagai menara gading- menjauhi diri untuk berkomunikasi, kecuali berbicara hanya seperlunya saja , misal nya untuk menyampaikan instruksi demi instruksi, larangan dan ancaman “awas kalau tugas rumah tidak selesai, kamu akan memperoleh angka mati, kalau buku tidak disampul tidak akan diterima, ,kalau kamu terlambat harus berdiri kaki itik atau push-up sepuluh kali didepan, mencontek selama ujian kertas akan saya robek, membolos tiga kali kamu dipulangkan ke orang tua mu !kalau guru mu tidak dating belajarlah di perpustakaan”. Beginilah kira-kira isi dan warna komunikasi satu arah dari kebanyakan sekolah-sekolah tradisional.

Sekolah-sekolah yang siswanya merupakan kumpulan dari anak-nak yang memiliki motivasi dan semangat belajar rendah cenderung membuat suasana sekolah juga kurang bergairah, sehingga guru-guru juga kehilangan gairah untuk mengajar. Mereka mengajar hanya asal membayar tugas saja atau hanya untuk memacu target kurikulum. Agar ini terlaksana maka mereka memasang wajah angker dan gaya berkomunikasi yang keras- kadang kala kurang ramah. Mereka punya assumsi bahwa menghadapi siswa pemalas- bermotivasi belajar rendah- kalau dengan ramah tamah dan lembut tidak berguna, akan dibawa lalu saja. Karena bahasa dan prilaku keras adalah konsumsi mereka sehari-hari dari rumah dan dilanjutkan oleh guru di sekolah ? apakah memang betul demikian.

Dalam pengalaman hidup, banyak orang orang yang kurang beruntung saat belajar di bangku SD sampai bangku SMP dan SLTA tetapi menjadi sukses menyatakan bahwa mereka bisa demikian- jadi bangkit dari kemalasan, kelengahan dalam hidup- adalah karena peranan guru yang punya budi bahasa baik saat di bangku SLTA dulu. Sentuhan yang mereka berikan lewat komunikasi yang kebapakan atau keibuan pada anak didiknya- pada siswa yang bermasalah dalam belajar- bias membuat nya bangkit dan bergairah dalam hidup. Komunikasi dilakukan bukan saat PBM, tetapi di luar PBM. Mungkin mereka berjumpa dan ngobrol degan guru di luar sekolah- di jalanan, di rumah guru atau di suatu tempat sehingga terjadilah dialog tanpa menggurui dari hati ke hati.

Bila ada banyak guru yang bisa berbuat hal yang sama terhadap anak didik mereka, melowongkan waktu tidak hanya terbatas selama saat PBM maka tentu akan lebih banyak lagi siswa yang bangkit dari tidur panjang- motivasi dan semangat belajar yang rendah. Sekolah dengan guru-guru yang commit untuk melayani anak didik mereka dengan prima, bahasa yang lembut, santun dan berahabat, komunikasi dua arah, memberi mereka simpatik, dan tidak banyak marah marah dan mencela, maka sekolah demikian bisa menjadi rumah kedua bukan ? komunikasi yang kurang berkualitas- dengan gaya otoriter dan menghakimi anak didik, ditambah beban belajar yang dipaksakan, akan membuat sekolah ibarat penjara dan sebaliknya, sekolah dengan guru guru yang bertutur bahasa sejuk dan menyentuh, memahami anak didik dan memberi pendikan dan pelayanan yang prima akan membuat anak betah di sekolah dan merasakan bahwa “sekolah ku adalah istana tempat belajar ku”

Minggu, 15 Maret 2009

Pendidikan Butuh Model Bukan Khotbah

Pendidikan Butuh Model Bukan Khotbah
Oleh : Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar

Ternyata masyarakat, dari sudut pandang sosiologi, terkotak-kotak menurut tingkat pendidikan, keuangan dan status sosial lainnya. Dibandingkan dengan negara yang sudah maju dengan warga negaranya yang banyak tamatan sarjana dan pascasarjana, maka rata-rata tingkat pendidikan bangsa kita baru tingkat sekolah menengah, SMP dan SLTA.

Kalau begitu bahwa umumnya orang tua siswa kita baru berpendidikan SMP dan SMA atau SLTA. Masyarakat yang dianggap sebagai orang terdidik sekarang cendrung untuk memiliki satu atau dua orang anak. Mereka juga sangat peduli dengan pendidikan anak/keluarga, mereka ikuut mempersiapkan masa depan anak sebaik mungkin. Sebahagian dari mereka menerapkan atau memilih strategi atau pola yang sesuai dengan selera dan pendapat berbeda. Ada yang mendidik keluarga berdasarkan konsep pendidikan yang mereka peroleh lewat sekolah, seminar, pelatihan. Ada yang memperolehnya dari buku, majalah dan sumber-sumber elektronik (internet) dan ada yang mendidik anak dengan cara meniru pola pendidikan orangtua mereka atau pengalaman rekan-rekan mereka. Selanjutnya, juga ada yang tidak begitu peduli- tidak banyak memikirkan tentang pendidikan anak (cukup asal jadi orang yang berguna saja) dan punya moto “biarkan hidup ini mengalir seperti air”.

Prilaku orangtua terhadap kehadiran anak juga cukup bervariasi. Sebagian bersikap bisaa-bisaa saja dan yang lain sangat peduli. Mereka mengikuti perkembangan anak dan aktif memberiikan stimulus- rangsangan pengalaman- untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka. Orang tua juga meluangkan waktu untuk menemani generasi barunya- mengendong, bermain dan melepaskan anak untuk main-main di taman atau playground yang aman. Sebagian orang tua muda sengaja menyisakan uang- namun konsep mendidik belum cukup- dan cendrung menghujani anak dengan sarana hiburan- game multi dimensi dan tontonan audio visual seperti memutarkan film-film kartun atau memilihkan program anak-anak dari berbagai stasiun televisi. Sering permainan dan tontonan ini disuguhkan agar anak tidak rewel dan tidak mengganggu orang tua. Namun umumnya anak punya kebisaaan cepat bosan, mereka cendrung beralih ke hiburan , kegiatan dan dan melakukan gerakan lain. Mereka senang melompat, berlari, memanjat dan melempar-lempar.

Gerakan fisik yang dilakukan oleh anak sangat penting untuk pertumbuhan jasmani atau fisik- yaitu untuk menguatkam otot dan tulang. Namuntas keselamatan anak. Kekhawatiran dan kecemasan orang tua terhadap gerakan yang berlebihan ini membuat mereka secara refleksi melontarkan kata-kata serba melarang “jangan atau awas nanti kamu terjatuh”.

Kesadaran anggota masyarakat sebahagian cukup bagus. Gaya hidup bersih perlu untuk dilestarikan. Umumnya kaum wanita lebih peduli dalam memperhatikan kebersihan anggota keluarga, barangkali karena rumah mungkin lebih dekat kepada kaum perempuan daripada kaum laki-laki. Maka seorang ibu akan sangat malu kalau kebetulan, apalagi dilihat oleh orang lain, perabot rumah sembraut, lantai penuh debu dan berpasir. Begitu pula terhadap anak, mereka harus selalu dalam keadaan bersih. Orang tua beranggapan kalau anak bertubuh kotor akan dikatakan sebagai anak yang kurang terurus. Lagi-lagi dalam tahap ini- tahap bermain bagi anak, kaum ibu akan berteriak sambil memberiikan warning “bermainlah tapi awas ya kalau celana mu kotor, kalau kakimu kotor, telingamu akan ibu jewer”. Kata-kata “jangan atau awas” yang banyak diucapkan pada anak berarti memberi mereka ancaman. Akhirnya kondisi penuh mengancam akan membuat dorongan untuk melakukan eksplorasi tidak berkembang dan anak cenderung tidak kreatif dan tidak punya inisiatif. Siswa yang kurang iniasiatif dan kurang kreatif di sekolah bisa jadi akibat korban banyak larangan di rumah.

Punya anak kecil- balita atau di bawah usia lima tahun- memang merupakan masa masa yang sulit bagi orang tua karena mereka cenderung rewel apalagi bila mereka menangis saat malam tiba. Rasa kasihan muncul untuk menenangkan emosi anak- si buah hati. Biasanya cara yang praktis dilakukan orang tua bila anak rewel-agar berhenti menangis- adalah dengan cara menakut- nakutinya “jangan menangis nanti digendong hantu, jangan menangis nanti datang pocong, kuntilanak, jailangkung…!” Menakuti anak memang cara yang ampuh agar mereka tenang dan sekaligus juga berpotensi dalam melahirkan generasi yang penakut. Kelak kalau mereka diganggu atau menghadapi masalah, maka mereka akan cemas dan sulit untuk mencari solusi, karena sejak kecil pikiran mereka sudah dibelenggu oleh ketakutan.

Banyak orang di dunia mengatakan bahwa bangsa kita sebagai bangsa yang ramah tamah, suka bertegur sapa dan mudah senyum. Fenomena dalam pergaulan sosial tertangkap kesan bahwa dalam rumah tangga anak-anak atau anggota keluarga jarang terdengar mengekspresikan kata-kata “terima kasih, maafkan saya, itu bagus, kamu memang hebat- sebagai terjemah dari thank you, I am sorry, that’s good, you are great” sebagai ungkapan sehari- hari mereka. Dalam pergaulan umum orang hanya mengungkapkan kata-kata ini bila perlu saja. Membaca “assalamualaikum” saja seakan-akan hanya khusus bila hendak masuk rumah, mengetuk rumah orang, atau untuk membuka dan menutup ceramah. Pada hal penggunaan ucapan salam ini sama luasnya dengan penggunaan “good morning, good night, selamat pagi, selamat malam, dan lain-lain”.

Ucapan ucapan mulia seperti disebutkan di atas juga jarang disosialisakan di kalangan anak-anak, sehingga sebagian anak juga sulit untuk mengekspresikan kata-kata “maaf, terima kasih, dan lain-lain” secara spontan. Sehingga kata-kata toleransi mereka dalam pergaulan belum terlihat dengan sempurna. Anak- anak di daerah lain (di Negara yang maju dan ditinjau dari segi positifnya), karena taraf pendidikan dan pola berfikir maju maka mereka hidup dengan budaya tolerans yang tinggi pula. Kalau kebetulan salah seorang teman bermainnya jatuh dari sepeda maka mereka spontan datang dan memberi pertolongan serta simpati. Namun dalam pengalaman kita, sebahagian anak-anak ada yang terpantau bahwa bila melihat teman jatuh dari sepeda, mereka bukan mengatan “I am sorry to see you” atau ungkapan penyesalan lain malah disorakin ramai-ramai “malu lalu in ,baru naik sepeda udah jatuh”.

Anak anak yang masih berusia kecil dapat diibaratkan dengan pohon kecil, batangnya masih lemah dan lunak, masih bisa diarahkan ke posisi tumbuh yang tepat. Demikian pula dengan anak, pribadinya masih bisa diarahkan untuk tumbuh dan berkembang- diberi model- kea rah yang baik. Maka sebelum anak terlanjur salah tumbuh dan salah berkembang, makaorang tua perlu mengkaji ulang dan menganalisa kesalahan-kesalan yang sering terlanjur dilakukan dalam mendidik dan segera melakukan cara-cara mendidik yang benar.

Ditambahkan bahwa pola pendidikan yang dilakukan oleh keluarga yang maju pendidikan, se perti di di Eropa, infonya dapat dicari dari internet - cukup bagus untuk diadopsi. Orang tua di sana tidak membiasakan anak untuk banyak digendong. Anak ditempatkan dalam stroller, mereka membisaakan anak/ mengajak anak untuk jalan-jalan ke luar rumah dan mencari udara bersih, bila anak sudah kuat berjalan maka mereka membiasakan anak untuk banyak jalan kaki agar tubuh jadi sehat dan kuat. Tentu saja saat di malam hari tidur anak lebih nyenyak. Sebelum tidur anak anak terbisaa diberi/dibacakan dongeng.

Kebutuhan gerak anak-seperti melompak, berlari dan memanjat- seharusnya perlu untuk disalurkan agar mereka juga tidak mengalami obesitas. Sekarang banyak anak mengalami obesitas karena gerakan mereka dilarang dan perut mereka dimanja. Namun orang tua sering cemas kalau anak cedera dan terjatuh. Ini sudah instingk atau fitrahnya orang tua, tetapi tidak perlu takut dan cemas yang berlebihan bila tempat bermain anak masih aman. Namun andai kata anak terjatuh, tidak perlu memperlihatkan rasa bersalah yang berlebihan, membela anak/ terlalu bersimpati dan memukul mukul penyebab anak terjatuh. Perilaku enteng ini bias menjadi penyebab karakter anak untuk suka menyalahkan orang lain. Langkah yang tepat adalah meniup-niup saja bagian tubuh anak yang sakit tadi- “tidak apa apa nak tandanya kau akan cepat besar”. Ini adalah cara yang tepat untuk menumbhkan karakter anak yag gentlemen dan menghindari mereka sebagai manusia yang suka mencari-cari kambing hitam.

Kewajiban dan tanggung jawab orang tua yang lain dalam menumbuh kembangkan kepribadian anak adalah memberi mereka kesempatan untuk melakukan banyak pengalaman langsung seperti membiarkan anak untuk makan sendiri, tidak masalah kalau makanannya bertaburan ibarat itik makan. Juga perlu bagi orangtua untuk menyediakan peralatan serba kecil untuk anak seperti sapu kecil, cangkul kecil, pisau tumpul kecil, dan mengizinkan mereka untuk bermain serta melakukan aktivitas dengan alat-alat ini Pengalaman dalam menggunakan alat-alat tadi bisa membuat anak menjadi generasi yang memiliki life skill- pengalaman hidup. Sebagian sarjana ada yang memiliki otak yang pintar namun mungkin minim dengan life skill .sehingga begitu lulus dari dari perguruan tinggi, walau indeks prrstasi tinggi, ada yang pusing tujuah keliling atau stress karena memikirkan dimana kelak mau bekerja. Penyebabnya mungkin karena mereka minim dengan life skill , barangkali juga karena minim pengalaman sosial dan pengalaman menggunakan faslitas bekerja di waktu kecil.

Sekali lagi bahwa Barat ada yang patut dicontoh terutama untuk mendidik kemandirian anak. Misalnya orang tua di sana tidak terlalu banyak melarang anak dalam berkreatifitas. Mereka membiarkan anak-anak duduk dan bermain dengan rumput, pasir dan tanah- tidak begitu masalah kalau anak jadi kotor, mereka kan bisa dimandikan dan dibersihkan, mereka butuh untuk ber eksplorasi atau menjelajah. Maka diharapkan bahwa kelak setelah besar anak juga senang melakukan eksplorasi – dan mereka mungkin jadi ahli geologi, ahli ilmu alam, ahli pertanian. Tidak menjadi ahli yang suka memakai kerah putih- tahu teori tetapi miskin keterampilan untuk mempraktekannya.

Apakah ada orang tua yang berkarakter shopping minded, terlalu suka mengajak anak untuk shopping ke plaza ? Memang banyak orang tua yang nerbuat demikian. Mereka senang memanjakan anak dengan cara pergi ke plaza- sopping centre (ini tidak salah, tetapi kenapa juga tidak mengajak mereka ke museum, ke pelabuhan, atau ke learning centredengan porsi yang berimbang). Membuat anak untuk deman plaza, kadang-kadang membeli apa yang kurang bermanfaat, mengajak mereka ke pusat bermain yang mahal dan menyerbu pusat belanja yang memanjakan perut/selera- menyantap KFC, burger, donat, hotdog, dan fast food dengan harga mahal telah mendorong anak menjadi warga Negara yang berkarakter konsumerisme dan hedonism- mencari kesenangan duniawi semata-semata.

Saat liburan tiba, banyak anak-anak yang hanya tinggal di rumah. Akibatnya anak jadi kurang tahu bahwa alam ini begitu indah dan begitu luas. Maka orang tua perlu untuk melowongkan waktu guna bias mengajak anggota keluarga untuk jalan-jalan ke daerah (tak perlu membuang uang yang banyak) cukup pergi saja ke pedesaan, perbukitan, hutan, atau pergi ke kebun di kampung atau ke kebun di belakang rumah. Ini adalah langkah yang tepat untuk mendorong anak melakukan ekslorasi dan beraktifitas, menjadi manusia yang kreatif dan punya iniasitif. Kemudian untuk memupuk kecerdasan sosial dan sopan santun anak pada orang lain, tentu mereka perlu uswatul hasanah atau model langsung dari orang tua. Sangat tepat bagi orang tua untuk terbiasa mengungkapkan kata-kata “terimakasih, kamu memang hebat, permisi” dalam konteks yang tepat terhadap anggota keluarga. Ungkapan ungkapan demikian akan membuat komunikasi anak terasa lebih santun. Kemudian orangtua juga perlu untuk menghindari kebisaaan menakut-nakuti anak dan bila anak bertanya agar berusaha untuk menjawab pertanyaan yang masuk akal dan tidak membuat anak kehilangan curiosity – keinginan tahu nya.

Mendidik anak anak dengan cara memberi dorongan agar tumbuh mandiri memang memerlukan cara-cara yang benar. Orang tua dan anak perlu untk menjaga komunikasi dan interaksi, ini adalah sarana untuk menumbuh kembangkan prilaku yang positif. Mendidik anak memang membutuhkan model, sarana bermain, hiburan dan belajar , komunikasi yang berkualitas, melakukan interaksi lewat jembatan hati. Kenudian orangtua perlu tahu untuk mengurangi kecendrungan serba banyak melarang dan banyak berkhotbah (berceramah dan mendikte).

Selasa, 10 Maret 2009

Orang tua Tanpa Konsep Pendidikan Bisa Salah Didik

Orang tua Tanpa Konsep Pendidikan Bisa Salah Didik
Oleh. Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Rata-rata pendidikan orang tua di Indonesia mungkin banyak yang tamatan SMP atau SLTA, namun pada beberapa daerah malah tamat SD atau ada yang tidak tamat SD sama sekali. Kemudian mereka memutuskan untuk belajar hidup. Fokus utama yang mereka kejar adalah bagaimana agar bisa mencari duit, mereka bisaanya belajar hidup- magang atau on the job training- dengan famili atau ikut orang-orang yang masih punya hubungan dekat. Profesi yang dipilih adalah sebagai pembantu dalam berdagang, atau jadi buruh dan karyawan toko atau kegiatan ekonomi skala kecil lainnya dengan cara membuka warung, bertani, beternak dan jadi nelayan. Kemudian bila takdir datang, bertemu jodoh yang sehati, senasib dan sekarakter maka mereka memutuskan pulang kampung untuk mencari restu orang tua , membentuk rumah tangga baru.

Umumnya keluarga muda- junior family¬- tidak tahu banyak tentang hakekat menjadi orang tua. Mereka jarang memperoleh bekal tentang parenting (bagaimana menjadi orang tua) yang layak. Dari keluarga muda, yang miskin persiapan bagaimana menjadi orang tua, ini lahirlah ribuan atau jutaan bayi se Indonesia yang butuh pendidikan.

Pada umunya orang tua junior hidup di daerah rantau (migrasi), bekerja jadi buruh pabrik, karyawan toko atau swasta sampai berwiraswasta dan syukur kalau bisa menjadi PNS, pegawai BUMN dan polisi/ABRI. Kecuali Polisi dan ABRI punya asrama, yang lain tinggal memgontrak satu kamar atau tinggal di rumah kecil seukuran perumnas dengan type RSS- rumah sangat sederhana. Di sinalah bayi dan anak-anak tumbuh dan berkembang dibawah bimbingan orang tua, apakah punya persiapan sebagai orang tua, atau mengikuti pola mendidik generasi tua (ayah ibu mereka) atau malah tidak ambil pusing tentang urusan mendidik anak. Pendidikan anak di rumah- beda dengan di sekolah yang dipandu oleh kurikulum dan sentuhan tangan guru-guru yang juga sesuai dengan gaya dan karakter mereka- yang ditandai dengan interaksi demi interaksi, stimulus (rangsangan), pengalaman langsung, pemodelan dari orang tua, dan pemberian pujian serta hukuman secara langsung siang dan malam.

Masalah utama yang dialami oleh keluarga junior adalah, tentu saja tentang keuangan yang tak kunjung memberi kepuasan dan kecukupan, maka mulailah di sini timbul problema. Mereka harus tinggal di ruangan yang kecil sehingga susah membuat pola hidup yang pas untuk pendidikan. Kalau boleh memilih, lebih baik tidak punya televisi sebab si tabung elektronik ini punya potensi besar mengacaukan pola hidup keluarga. Gara-gara televisi yang menyala siang malam- kalau mati di rumah sendiri, anak hijrah untuk menonton ke rumah tetangga- mereka cendrung menjadi lengah dengan kewajiban belajar. Membuat PR, membaca buku dan menulis adalah menjadi beban yang membosankan bagi banyak anak di bangku SD sampai SMP. Di usia ini anak dan orang tua selalu bentrok gara-gara anak tidak tertarik untuk belajar. Kalau begitu merosotnya minat dan motivasi belajar sudah dimulai pada tahap ini.

Pengalaman hidup dari tetangga, agaknya bisa dipetik sebagai pelajaran. Semua orang tahu bahwa lama waktu tidur anak-anak lebih banyak dari pada orang dewasa. Seorang bayi musti tidur 18 jam sehari-semalam dan waktu bangunnya digunakan untuk makan, minum susu dan belajar bersosial serta berkomunikasi. Anak anak yang sudah agak besar jumlah waktu tidurnya juga semakin berkurang. Mereka yang duduk di kelas satu atau kelas dua Sekolah Dasar (berumur 6 sampai 8 tahun) bisa jadi tidur jam 20.00 malam (pukul 8 malam) dan bangun jam 6 pagi. Itu sudah membuatnya tidur nyenyak dan pulas, maka ia tak perlu lagi tidur siang dan bisa menggunakan waktu siangnya untuk belajar bersosiasial/ berteman, mengerjakan hobi, melakukan permainan kreatif bersama teman dan anggota keluarga serta mengembangkan kebisaaan belajar. Anak yang kurang dicikaraui atau dibantu mengatur jadwal tidur (tidur sampai larut malam mengikuti pola tidur ayahnya) cendrung bermasalah dengan disiplin waktu. Rata-rata siswa yang tidak disiplin untuk tidur, cendrung mengantuk di sekolah dan bermasalah dengan guru selama PBM- ia dianggap sebagai siswa yang kurang tertarik untuk mengikuti PBM. Lagi- lagi masalah belajar berasal dari tidak disiplin waktu di rumah, dan orang tua tidak boleh berlepas tangan seenaknya.

Ukuran atau besarnya ruangan rumah bisa menjadi sumber masalah dan merembes ke masalah di sekolah. Bayangkan sebuah keluarga dengan dua orang anak yang duduk di bangku sekolah SD, SMP atau SLTA menempati rumah berukuran kecil, tanpa punya ruang tidur dan ruang belajar yang memadai, ditambah lagi dengan suasana yang hiruk pikuk- acara sinetron televisi yang menarik datang silih berganti, hiburan dari CD player, dering ringtone dan clip film dari handphone, serta lantunan karaoke dari rumah tetangga, maka apakah masih ada mimpi untuk memiliki anak yang punya kecerdasan berganda. Apalagi suasana stress yang begini membuat orang tua kurang menarik dalam berbahasa- marah, memaki, mengumpat dan serba banyak melarang serta menyuruh. Suasan rumah seperti ini cukup mayoritas jumlahnya dan juga berpotensi melahirkan anak didik dengan minat dan motivasi belajar yang rendah.

Cukup beruntung bagi kelurga junior bila bisa memiliki- membeli atau mengontrak- ruangan atau rumah dengan ukuran yang agak memadai. Namun bila mereka kurang memiliki konsep pendidikan maka mereka juga berpotensi menciptakan generasi yang salah didik. Di daerah perkotaan orang tua junior bisa jadi berkarakter plaza-oriented, apa saja yang dimakan, diminum dan dipakai anak musti dibeli dari plaza. Mereka, karena kurang punya ilmu mendidik dan kesehatan, cendrung memanjakan anak dengan makan dan minum berkaleng penuh dengan zat-zat kimia dan makanan fast food- cepat saji- yang juga menjanjikan penyakit generative dari pada mendatangkan manfaat kesehatan. Sajian sepiring rujak- makanan tradisionil- dan sekeping singkong bakar atau singkong rebus (yang cendrung dilihat sebelah mata bagi kalangan yang merasa separo selebriti) jauh lebih sehat dari pada makanan dan minuman yang sudah meluncur dari kaleng dan botol dengan pengawet kimia. Prilaku dan gaya hidup orang tua juga ikut menciptakan anak yang berkarakter konsumerisme dan rentan dengan penyakit.

Kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak memang ditentukan oleh peranan dan campur tangan orang tua terhadap mereka. Secara awam agaknya ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Kesalahan ini disorot tentu sebagai langkah antisipasi agar tidak timbul malpraktek atau salah-asuhan dalam mendidik anak. Malpraktek dalam mendidik yang dilakukan oleh ibu-bapa dan anggota kelurga yang dewasa lainnya adalah seperti; kurang pengawasan, gagal menjadi pendengar, jarang bertemu muka dengan anak, bersikap terlalu suka berlebihan, suka bertengkar di depan anak, bersikap kurang konsisten, terlalu banyak nonton tv, mengukur segala sesuatu dengan materi, dan bersikap berat sebelah atau tidak adil.

Kurang pengawasan adalah bentuk kesalahan orang tua yang pertama. Dari fenomena sosial terlihat bahwa anak-anak terlalu banyakbergaul dengan lingkungan semu di luar keluarga, dengan orang lain dan tokoh tokoh dalam kartun, film dan sinetron. Ini adalah tragedy yang membuat orang tua kehilangan teladan- apalagi kalau pribadi orang tua kurang menarik, misal karena terlalu cerewet atau terlalu banyak mencampuri anak terlalu detailk. Idealnya adalah agar tidak membiarkan anak berkeliaraan sendirian. Anak butuh perhatian orang tua, maka rumah perlu dikondisikan, ada sarana belajar, bermain, hiburan- undang teman temannya agar anak tidak kuper (Kurang pergaulan)- dan orang tua pun melowongkan waktu untuk berbagi rasa dan berbagi cerita- berinteraksi dan berbagi pengalaman hidup.

Anak-anak dapat dikatakan sebagai kelompok manusia yang paling sibuk di dunia. Mereka punya segudang mimpi untuk diceritakan pada teman dan termasuk pada orang tua. Namun banyak orangua terlalu lelah memberikan perhatian, mereka cendrung untuk mengabaikan apa yang mau diungkapkan oleh anak. Tanpa disadari karakter orang tua yang begini melahirkan anak menjadi orang yang juga segan mendengar orang lain, termasuk mendengar gurunya di sekolah.

Adalah bijaksana menjadi orang tua yang tidak terlalu detail mencampuri dan mengarahkan anak. Juga tidak salah kalau orang tua membiarkan anak melakukan kesalahan- memainkan perangkap nyamuk sehingga ia kena sentrum lemah, misalnya. Dari hal ini ia akan jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun adalah sangat tepat kalau orang tua ikut membantu anak untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Sebahagian orang ada yang bersikap terlalu berlebihan. Itulah ruginya menjadi orang tua dengan keluarga kecil- Keluarga Berencana- dibandingkan dengan orang tua dulu yang mempunyai banyak anak. Mereka hampir-hampir tidak punya waktu untuk mendikte dan mengurus anak, anak banyak mencoba dan akan kaya dengan penglaman hidup. Orang tua sekarang dengan satu atau dua anak terlalu banyak khawatir, takut anak diganggu orang, takut anak mendapat kecelakaan, takut anak sakit dan akhirnya anak serba dibantu dan dilindungi. Akhirnya ia menjadi tumpul- miskin perngalaman hidup. Wajar bukan kalau anak sekarang serba tidak mandiri- tidak pandai mencuci kaus kaki sepatu, merapikan pakaian dan kamar sendiri, tidak tahu cara menanam biji pohon sampai kepada tidak terampil memasak goreng ikan. Kerjanya belajar sampai pintar, tetapi setelah dewasa berpotensi menjadi sarjana bengong yang hanya pintar membuat lamaran dan menjadi buruh pabrik.

Perilaku orang tua yang paling berpengaruh dalam merusak mental anak adalah “bertengkar” dihadapan anak. Saat orang tua bertengkar di depan anak, khususnya anak laki-laki, maka hasilnya adalah akan menciptakan seorang calon pria dewasa yang tidak sensitive- yang mungkin juga kasar pada wanita- kelak ia kurang bisa berhubungan dengan wanita secara sehat. Bertengkar di depan anak perempuan, akan membuatnya berfikir bahwa susah mencari pria yang baik dan romantis. Kemudian, mungkin siswa yang kurang sensitive di sekolah bisa jadi berasal dari orang tua yang gemar bertengkar di depan mereka di rumah. Orang tua seharusnya menghangatkan diskusi di antara mereka. Wajar saja bila orang tua berbeda pendapat tetapi usahakan tanpa amarah. Jangan ciptakan perasaan tidak aman dan ketakutan pada anak.

Anak merupakan anggota keluarga yang bisa mengukur isi hati ayah-ibu nya. Anak juga perlu merasakan bahwa orang tua mempunyai peran- leader, supervisor, motivator dan educator. Jangan biarkan mereka memohon dan merengek menjadi senjata yang ampuh untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang tua harus tegas dan berwibawa di hadapan anak.

Kemudian, sekali lagi, apakah perlu menghadirkan pesawat televisi di rumah. Menonton televisi akan membuat anak malas belajar. Orang tua cenderung membiarkan anak menonton berlama-lama di depan tv dibandingkan mengganggu aktifitas mereka Orang tua sangat tidak mungkin dapat menyaring iklan negative dan tokoh tokoh sinetron yang tidak mendidik. Sekarang terserah mereka, lebih baik tidak punya televisi atau membiarka pesawat televisi tidak menyala lagi atau dibuat aturan baru.

Tidak perlu bersikap berat sebelah, beberapa orang tua kadang kala lebih mendukung anak dan bersikap memihak anak sambil menjelekan pasangannya di depan anak. Mereka akan kehilangan persepsi dan cenderung terpola untuk bersikap berat sebelah. Orang tua perlu meluangkan waktu bersama anak minimal setengah jam di sela-sela kesibukannya.
Malpraktek di rumah tangga, karena menjadi orang tua yang miskin dengan konsep pendidikan perlu untuk dicegah sedini mungkin. Orangtua perlu mengusahakan memilih rumah yang bisa memberi tempat bagi anak untuk beristirahat, belajar dan berkreasi. Tidak perlu menyediakan home theater-membuat bising suasana rumah oleh tv dan sarana hiburan lain. Orang tua perlu menjadi model dalam bergaul, beribadah, berkarya dan belajar. Beberapa kebiasaan yang bisa menjadi kesalahan dalam mendidik perlu untuk ditinggalkan, yakni seperti kurang pengwasan terhadap anak, malas menjadi pendengar, bersikap terlalu suka berlebihan, suka bertengkar di depan anak, membiarkan anak terlalu banyak nonton tv, dan bersikap berat sebelah atau tidak adil.

Minggu, 08 Maret 2009

Gaya Hidup Guru, Mengejar Penampilan Atau Mengejar Kompetensi Profesi

Gaya Hidup Guru: Lebih Mengejar Penampilan Daripada Kompetensi Profesi

Oleh. Marjohan, M.Pd

(Guru SMAN 3 Batusangkar)

Professi guru adalah professi yang sudah tua, sama halnya dengan professi berdagang, bertani, menjadi nelayan, bertukang, dan lain-lain. Professi guru memegang peranan yang sangat penting untuk mencerdaskan generasi muda bangsa ini agar bisa memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal. Apalagi untuk negara yang cukup luas dan kaya dengan sumberdaya alam yang memerlukan manusia terampil dan mempunyai SDM tinggi untuk mengelolanya.

Anehnya dan sudah menjadi fenomena pada banyak sekolah bahwa umumnya siswa siswa cerdas enggan untuk memilih professi menjadi guru. Malah ada guru sendiri yang mengajurkan anak didik mereka yang cerdas agar memilih karir selain guru. “Wah kamu cerdas, rugi kalau kalau kamu jadi guru, ambil saja kedokteran, tekhnik, ekonomi, psiklogi, atau HI (Hubungan Internasional) nanti bisa jadi Diplomat atau Duta Besar….”. Ada ribuan kalimat persuasive yang diekspresikan oleh guru SLTA (mungkin oleh guru SMA, MAN atau guru SMK) pada anak didik mereka di dalam kelas- selama PBM- atau saat senggang di luar kelas. Maka sepakatlah banyak siswa yang cerdas untuk memilih universitas dan Institut favorite di Pulau Jawa, bila kurang berhasil, karena alasan keuangan dan kemampuan otak, maka mereka baru sudi untuk memilih fakultas atau Perguruan Tinggi di Pulau Sumatra atau di Sumatra Barat bagi mereka yang berada di Sumatra Barat. Juga menjadi fenomena bahwa kalau otak dan level keuangan mereka kurang memadai maka baru memilih profesi guru- memutuskan untuk studi pada fakultas keguruan.

Banyak pemuda atau sarjana cerdas ketika di SLTA, setelah tamat dari jurusan favorite di universitas terkemuka mengalami kesulitan dalam mencari kerja. Mimpi dan iming- iming hidup indah yang dinina-bobokan oleh guru-guru saat di SLTA dulu hanyalah isapan jempol dan tidak terwujud. Takut menjadi PTT atau pengangguran tingkat tinggi, maka mereka memutuskan untuk menjadi tenaga guru honorer pada SMP, SMA, MAN dan SMK, kemudian kuliah lagi untuk mencari/ mendapatkan selembar sertifikat (AKTA mengajar) guna untuk bisa ikut test PNS pada kesempatan berikutnya- moga moga bisa lulus. Ini berarti profesi menjadi guru sebagai karir yang dipungut ditengah jalan.

Profesi jadi guru sebagai karir yang dipungut di tengah jalan ? Ada orang yang telah memutuskan menjadi guru sejak dari dini- di SMP, SLTA dan saat saat masuk Perguruan Tinggi. Namun cukup banyak orang yang terpaksa, karena berbagai pertimbangan, ikut-ikutan, iseng-iseng, memasuki profesi guru dan cukup banyak orang yang banting stir karena takut menganggur maka memungut profesi sebagai guru di tengah jalan. Karakter-karakter calon guru/ guru yang demikian tentu bisa memberikan dampak terhadap gaya mengajar dan pelayanan dalam mendidik kelak. Namun sebagai manusia tentu setiap orang bisa berubah menuju posisi yang baik dan terhormat.

Semenjak adanya fenomena bahwa mencari kerja yang mapan, pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan adalah sulit, dan ketatnya persaingan menjadi guru atau PNS- apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan sertifikasi guru dan manfaatnya serta janji pemerintah dalam mengucurkan tunjangan sertifikasi yang sudah terbukti- maka banyak lulusan SLTA memilih/ memutuskan menjadi guru kelak. Kini populasi mahasiswa keguruan- calon bapak dan ibu guru- termasuk cukup banyak/ mayoritas di Indonesia.

Menjadi mahasiswa adalah masa yang indah, mereka belajar banyak teori tentang paedagogik atau ilmu mendidik, psikologi, memahami bidang ilmu yang mereka tekuni dan mengikuti banyak kegiatan di kampus dan dalam sosial. Pada umumnya mahasiswa memiliki semangat belajar dan rasa idealis yang tinggi. Setelah menyelesaikan sejumlah mata kuliah atau SKS (satuan kredit semester) dalam jumlah tertentu dan tugas akhir maka mereka punya hak untuk wisuda dan menyandang predikat sebagai sarjana pendidikan dan berkarir pada sekolah sesuai SK (surat keputusan) yang mereka peroleh dari pemerintah.

Setelah menjadi guru dan meleburkan diri dalam kehidupan masyarakat, dari fenomena di lapangan, banyak ditemukan pemunduran kualitas- quality deterioration- pada pribadi guru. Cukup banyak guru-guru mengaminkan- mengatakan “ya”- bahwa setelah menjadi guru ilmu mereka sudah karatan, terjadi kristalisasi fikiran, pembekuan fikiran, karena mereka terhenti untuk belajar dan puas dengan ijazah keguruan yang telah mereka sandang.

Cukup banyak guru- guru yang terbiasa tidak mengkonsumsi buku lagi, begitu juga dalam membaca Koran, majalah dan jurnal (Andaikata animo membaca guru tetap tinggi maka tentu sirkulasi penerbitan lebih bergairah lagi dan perpusatakaan serta took buku akan tetap ramai dikunjungi). Mereka mengajar hanya dengan mengandalkan buku-buku teks yang dipinjam dari perpustakaan sekolah dan buku catatan usang yang digunakan selama bertahun-tahun tanpa tertarik untuk melebarkan dan meluaskan wawasan keilmuan. Malah dalam menyambut kehadiran teknologi- seperti internet, e-mail, blogspot, dan menggunakan komputer, laptop, LCD (Laser Dish Cristal), dan lain-lain banyak guru kurang bergairah dan kurang tertarik untuk ikut mengaplikasikannya. Mereka bersembunyi dibalik kata-kata “sibuk dan tidak sempat” sehingga pada akhirnya mereka menjadi guru-guru yang gatek- gagap teknologi. Karakter sebagai guru yang gatek akan bias memberi citra negative- negatve image- pada diri anak didik- ketertarikan anak didik pada guru dan profesi guru bisa menjadi sirna, “Wah Pak guru dan buk guru itu ketinggalan zaman, menghidupin computer saja tidak ngerti”, gerutu seorang siswa dalam hatinya.

Membiarkan diri jadi bodoh-tidak mengikuti perkembangan sains dan tekhnologi, bisa dikatakan menjadi karakter sebahagian guru yang statis. Karakter negative lain yang juga ada pada sebahagian oknum guru adalah “hilangnya idealism sebagai guru”. Praktek-praktek seperti mengajarkan atau membiarkan siswa mencontek saat UAN- ujian akhir nasional, sengaja pura-pura tidak melihat siswa mencontek dan saling mencontek dengan harapan agar nilai ujian akhirnya tinggi, atau bisa membantu mereka untuk lulus. Juga menjadi karakter sebahagian guru untuk malas mengajar/ datang ke sekolah lebih cepat, kecuali dating hanya bila ada jam mengajar- budaya ini bisa jadi karena terinspirasi oleh gaya mengajar dan prilaku dosen di Perguruan Tinggi yang memberi kuliah sesuai jadwalnya- telah membuat banyak guru menjadi enggan untuk berlama-lama berada di sekolah. Bila prilaku ini sudah menjadi budaya maka kapan peran guru sebagai konselor dan memberi pandangan hidup pada anak didik lewat interaksi di luar jam PBM bisa terlaksana. Miskinnya interaksi antara guru dengan anak didik telah membuat mereka tidak mengidolakan gurunya, malah cukup banyak anak didik yang juga tidak mengenal nama guru-guru mereka dan mereka hanya menyebut, “oh itu ibuk sejarah, itu bapak olah raga, itu itu ibu KWN, dan itu bapak matematika”, namun pada akhirnya tetap saja siswa disalahkan sebagai generasi yang kurang santun tidak pandai menghargai dan bertegur sapa pada guru- nama gurunya saja tidak kenal, pada hal ini tercipta karena gaya hidup guru itu sendiri.

Karakter fundamental- mendasar- yang menyebabkan terjadinya pembodohan pada anak didik adalah karena kebisaaan atau kesenangan guru untuk menerapkan metode mengajar tradisionil atau konvensional. Prilaku sosial guru yang lazim terjadi di sekolah , tentu saja tidak semua guru yang demikian, adalah duduk berkelompok di seputar sekolah, berbagi gossip, mengepulkan asap rokok bagi guru perokok, masuk kelas diperlambat saat lonceng berdering, masuk kelas dengan lesu karena membayangkan wajah siswa yang pemalas, marah-marah, memberi segudang nasehat, mendiktekan pelajaran sebagai strategi CBSA (catat buku sampai habis), berceramah, atau menyuruh siswa menjadi mesin fotokopi- mencatat dan meringkas isi buku sampai pegal tangan siswa, dan mungkin ke luar kelas agak cepat.

Tentu saja ada banyak guru yang melaksanakan tugas sebagai guru yang professional. Namun adalah tugas kepala sekolah dan pengawas sekolah untuk mengarahkan dan membina karakter guru seperti yang dibahas di atas. Namun fenomena yang dijumpai bahwa pendekatan atau strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah hanya sebatas menanyakan dan menagih perangkat pengajaran-“Mana perangkat mengajar bapak/ibuk..?” Maka banyak guru membuat perangkat mengajar hanya untuk menyenangkan hati kepala sekolah dan pengawas sekolah saja. Pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam menjalankan fungsi sebagai supervisor , sebahagian, hanya dalam bentuk menggertak guru agar rajin, mendikte dan mencari kesalahan. Maka jadilah jadwal pelaksanaan supervisi sebagai periode yang menyebalkan, menegangkan dan menimbulkan permusuhan.

Agaknya gaya hidup guru sekarang banyak yang juga senang untuk mengejar penampilan daripada meningkatkan kompetensi profesi sebagai guru. Menjadi kreditor dari sebuah bank atau took elektronik adalah juga prilaku hidup mereka. Mengambil pinjaman uang untuk membeli mobil- walaupun mobil second, adakalanya memiliki mobil belum jadi kebutuhan tetapi karena kompetisi penampilan maka mereka juga terdorong untuk memiliki. Perawatan mobil selama ber-jam jam telah menyita waktu yang seharusnya sebagai quota untuk tujuan pendidikan. Guru- guru perempuan juga berlomba untuk membeli assessories, pakaian, perhiasaan agar mereka bisa tampil menarik seperti figur-figur dalam televisi atau orang orang yang datang dari metropolitan- sebagai pembawa kultur baru, maka waktu yang dihabiskan untuk memenuhi nafsu konsumerisme juga telah menyita waktu atau quota yang seharusnya dibaktikan untuk pendidikan. Karena kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesenangan dunia, sebahagian guru cendrung kehilangan waktu untuk menyiapkan diri menjadi guru yang professional. Cukup banyak guru tak punya waktu untuk belajar, menyiapkan perangkat pengajaran, menyiapkan soal-soal ujian dan memeriksa ujian dan pekerjaan anak didik. Tetapi untuk berbagi gossip dan menonton tetap selalu ada waktu.

Tidak ada salahnya kalau guru- guru juga mengerjar dan memenuhi kebutuhan penampilan. Bukankah guru adalah juga manusia biasa, mereka juga punya kebutuhan mulai dari kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan luks. Atau mereka juga perlu memenuhi kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan psikologi sampai kepada kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tidak ada salahnya kalau guru juga bisa meluncur dengan mobil sedan, dan memiliki rumah cantik, karena guru tidak perlu lagi dipanggil dengan sebutan “Oemar Bakri” yang pergi mengajar dengan mendayung sepeda onta, seperti yang sempat dicitrakan oleh penulis naskah sinema atau telenovela dalam televisi. Namun, juga sangat tepat kalau mereka juga peduli untuk menajamkan kemampuan kompetensi mereka sebagai guru yang professional.

Ada tiga bentuk dari standar kompetensi guru yang harus dikenal dan dimiliki oleh setiap guru, yaitu kompetensi pengolahan pembelajaran dan wawasan kependidikan, kompetensi akademik/ vokasional, dan kompetensi pengembangan diri. Memang setiap guru perlu untuk melowongkan waktu dan selalu belajar untuk menuju guru professional dan bermartabat- dengan cara menerapkan ke tiga kompetensi ini.

Ada empat poin yang perlu dimiliki untuk kompetensi pengolahan pembelajaran, yaitu menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai prestasi belajar dan melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian. Namun sering ada beberapa aspek yang kurang dipahami dan diterapkan oleh sebahagian guru yaitu kurang mengaplikasikan metode pembelajaran yang sesuai, mengajar tanpa menggunakan media pembelajaran, membuka pelajaran dengan memberi ceramah dan marah-marah, miskin dengan sumber belajar, motivasi yang kurang mampu membangkitkan gairah belajar siswa, menjaga jarak sehingga miskin komunikasi dengan anak didik, melakukan penilaian tanpa memperhatikan indikator dan malas untuk memeriksa ujian secara detail.

Kemudian ada enam poin untuk sub-kompetensi wawasan kependidikan, yaitu memahami landasan kependidikan, memahami kebijakan pendidikan, memahami tingkat perkembangan siswa, memahami pendekatan pembelajaran yang sesuai materi pembelajaran, menerapkan kerja sama dalam pekerjaan, dan memanfaatkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan. Namun agaknya malpraktek- kesalahan dalam mendidik- bisa terejadi gara-gara sebahagian guru kurang memahami eksistensi kurikulum, kurang peduli bagaimana mengembangkan life skill, broad base education, competency based curriculum dan melakukan training. Hal lain yang miskin dimiliki guru adalah tentang ilmu psikologi- memahami tingkat perkembangan mental siswa, lemah dalam memanfaatkan IPTEK- tidak kenal dengan internet, e-mail, Microsoft word, excel / program komputer dan buta Bahasa Inggris untuk memahami bahasa Teknologi.

Dua kompetensi lain adalah kompetensi akademik/ volasional, yaitu menguasai keilmuan dan keterampilan sesuai materi pembelajaran. Dan kompetensi pengembangan profesi, untuk ini dibutuhkan kecakapan guru untuk menulis dan meneliti. Namun selama guru guru terjebak dalam budaya oral- kebisaaan senang ngobrol, bergossip, tidak suka membaca/ menulis dan menonton maka menulis adalah sesuatu hal yang mahal bagi mereka. Dalam kenyataan bahwa banyak guru yang mengeluh kalau menulis apalagi untuk meneliti.

Menuju guru sejati adalah tidak sulit. Begitu memutuskan mengambil karir guru sebagai profesi maka adalah tepat untuk selalu mengembangkan diri, selalu memelihara idealisme sebagai guru, melakukan longlife education, memahami dan menerapkan/ menyempurnakan kompetensi sebagai guru dan last but not least juga memberikan pelayanan prima pada anak didik. Ada resep untuk memberikan pelayanan prima yang telah dikenal dengan istilah “PAKEM”, singkatan dari “pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan”. Istilah ini kemudian mengalami penambahan menjadi “PAIKEM” yang juga merupakan singkatan dari “ pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan”. Guru musti bias menciptakan suasana pembelajaran yang bisa menimbulkan keaktifan dan kreatifitas anak didik, guru musti memahami keefektifan mengajar dan punya inovasi. Kini, sekali lagi, tidak masalah guru untuk juga mengejar performance, tetapi tidak melupakan competence sebagai guru dan memberikan pelayanan prima dalam PBM pada anak didik.

The Progress of ICT Technology and Its Impact Toward Generation

The Progress of ICT Technology and Its Impact Toward Generation

By. Marjohan, M.Pd
SMAN 3 Batusangkar


The year 2000-s is highlighted as the progress period and the awakening of ICT (Information Communication Technology) totally. During the years before ones , some of them possibly, only listened several words, such as Laptop, Infocus, Internet, Lcd (laser crystal dish), LAN (Local Area Network), Mouse, CPU (Central Process Unit), Blogspot, E-mail, Hacker, Modem, etc. But nowadays these words enrich the generation’s vocabulary. The emerge of the recent ICT products are welcomed enthusiastically by the young persons- students, teenagers and ones with high spirit, but they are welcome, possibly, by the senior ages one- such teachers, parents and ones with relaxed oriented.
It is normal to see that more students carry the ICT products along. They are with phone-cell, MP3, digital camera, and then rush their document in laptop and using their time through internet. Phenomenon that the young generation may be richer in information, science and technology, and the old ones are caught in static and knowledge crystallized- they undergo technology experience deteriorated. Person with ICT business minded welcome generation’s interest- where they know students and teenagers love internet. Then there are a lot of warnet- warung internets or café net in blooming. They fulfill the dream of internet user to roam in the invisible world.
As mentioned above students are the greedy of technology users- they chase internets and others ICT counters for having information, education and for fun or entertainment. From grand tour observation that there have been a lot of warnet or café net opened in small towns to the cities or metropolitans. These place have been the favorites for then to be visited. Several hours in morning- it is around 7.30 am- to 2.30 pm are the periods for them to stay at school. They have to interact with academic- following the process of teaching and learning under the guidance of school teachers. Nevertheless some warnets or café nets are still crowded by students and what did they do?
The present of internet- through school computer lab, house, to warnets or café net give impact toward students. As the general phenomena that there two forms of impacts, they are positive and negative. Through internet ones can have easy things to do, they may send message- instead of sending the postal letter- by using e-mail to whomever (friends, relative, school, company. Public figure and new person) in few minutes through world wide cheaply and fast). There are a lot of internet features can be used, they are film or clip tube, MSM, browsing machine, educational and information portal, and entertainment portal. Again internet-can be viewed- has a lot of positive impact and in contra, it also has a lot of negative impact for the misusing it.
Positive impact will be felt directly by ones who need the promptly information. Internet- as world wide web- connects each other with all nets in the world provides the internet users thousands or million information to be accessed at once in few second. Job seekers will be able to search a lot of job opportunities, students will be helpful to complete school work or home work. The lonely one may have friends, partnerships or soul mate through friendship site, for this thing he or she may visit www.studentsoftheworld.info . One may have personal site to save his or her writing, diary, personal experience through certain features such as blogspot, wordpress, multiply, etc. Again the internet users may exchange ideas through e-mail and contribute their ideas through other’s shouting box or personal web.
The present of internet make students or the users as the civilized world citizen. It gives the personal self-confident for the users. Internet will make generation more mature by cognitive, affective and skill or psychomotor. Furthermore internet is able to help the students or its user to have multiple intelligent.
Ones may be not satisfied with the present of internet. It also has a lot of negative impact. Why schools are abandoned and internets are rushed by students? Why the computers set with internets connection have to be placed in the high wall box in warnets or café net. There are a lot of game facilities available inside. It is more interesting than teaching and learning process, that some students are willing to do truancy and spend time and money for internet games.
There are a lot of pre age internet user peep and consume the pornography pictures- the vulgar. By using a single flash disk, insert it through CPU, he or she may download the dirty clip or film from pornography portal or tube. This enables to wash mind of the innocent students. The sexual harassment in public may contributed by the present of internet booming. Through World Wide Web, others may upload the racist, social and religious issue, this will be potential to bear the social class or public riot.
The present of internet may give bad and good impact. The good impact can be regarded as the technology blessing. It also has a lot of negative impact. The internet users should be wise for these. Parents, teachers, public stake holders, government and the internet industry holder must show their great attention and responsibility. Please set a lot of warnet or café net, never install the high box to help the students to abandon their school or consume the hardness and pornography. Please put the phrase on the wall- say no to pornography site or warning not to access the pornography sites.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...