Sabtu, 09 Oktober 2010

Suasana Yang Menyenangkan Untuk Meningkatkan Kreatifitas

Suasana Yang Menyenangkan Untuk Meningkatkan Kreatifitas
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Kata menyenangkan dalam Bahasa Inggris berarti “fun”. Kata fun sekarang sangat disenangi oleh banyak pebisnis dan sangat fenomena. Banyak aktivitas sosial dan aktivitas pembelajaran yang menggunakan label fun. Yaitu seperti fun bike, fun learning, fun house atau having fun. Event atau kegiatan yang menggunakan kata fun pasti menyenangkan, karena terasa menantang dan sekaligus memberi hiburan. Sebaliknya kegiatan yang jauh dari suasana fun (menyenangkan) diperkirakan bahwa suasananya akan membosankan dan menyebalkan, itu karena suasananya banyak menekan dan menyiksa perasaan.

Dapat dibayangkan bahwa aktivitas yang bernuansa fun (menyenangkan) memang akan menggairahkan. Seperti dalam kegiatan fun bike, peserta yang bercucuran keringat namun masih menebar senyum karena di sana ada suasana riang gembira. Aktivitas fun learning yaitu suasana belajar yang membuat pesertanya selalu bersemangat dalam melakukan eksplorasi intelektual. Begitu pula aktivitas dalam fun house, yang mana anggota keluarganya selalu riang gembira karena diberi kehangatan dan komunikasi yang sangat menyenangkan.

Bayangkan kalau suasana di atas jauh dari kondisi fun, maka suasana tersebut tentu akan diganti oleh kondisi yang serba membosankan- bored atau boring. Maka selanjutnya label aktifitas akan menjadi boring bike, bored learning, boring house, atau yang lain mungkin menjadi boring school, boring game, boring hospital, dan lain-lain.

Belajar sudah menjadi kebutuhan primer kita. Banyak ungkapan ungkapan yang mendorong/ memotivasi kita untuk belajar, seperti; life long education atau belajar seumur hidup, tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina, menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan.

Belajar itu sendiri tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga harus terlaksana di rumah dan dalam masyarakat. Belajar dibimbingb oleh guru, orang dewasa- instruktur dan orang tua. Para pembelajarnya adalah anak-anak atau siswa-siswi. Seharusnya suasana belajar haruslah menyenangkan atau fun in learning.

Rasa menyenangkan- feeling fun- memang sangat penting dalam semua aktivitas kehidupan. Dengan feeling fun hidup ini akan jadi berarti dan bergairah. Jilatan atau belaian seekor induk kucing pada anaknya akan membuat anak-anaknya jadi bersemangat dalam melompat dan mencengkram. Kata-kata yang menyejukan, dan kehangatan belaian ayah dan bunda membuat sang bayi dan balita jadi lincah dan selalu kreatif untuk bereksplorasi melalui pandangan, pendengaran dan jari-jarinya yang mungil. Sungguh rasa menyenangkan bisa membuat seseorang menjadi kreatif.

Banyak bukti yang menunjukan bahwa rasa senang bisa menciptakan kreatifitas. Sekali lagi bahwa bayi dan balita yang diasuh oleh orang tua yang memberikan rasa senang- menerima kehadirannya dan memberi kehangatan- akan membuatnya kreatif: menjadi lincah, riang gembira dan selalu melakukan eksplorasi. Guru guru taman kanak-kanak yang selalu memberikan rasa senang akan membuat anak didik jadi lincah dan cerdas. Tempat-tempat penitipan anak yang memberikan rasa senang akan membuat anak merasakan tempat penitipan sebagai rumah mereka sendiri. Pusat belanja- shopping center- yang memberikan rasa senang akan membuat pembeli menyerbu tempat tersebut.

Salah seorang teman penulis mengatakan bahwa banyak orang yang mampu membuat rumah mewah dan cantik, dan banyak stake holder yang mampu mendirikan sekolah dengan gedung yang indah dan megah, namun anggota keluarga enggan untuk berada dalam rumah atau atau anak didik jadi malas berlama-lama berada di sekolah. Penyebabnya adalah karena di sana tidak ada rasa senang atau feeling fun.

Benar bahwa cukup banyak orang yang bosan berada di rumah, di sekolah, di kantor, di tempat pelatihan, di tempat klub lainnya. Penyebabnya adalah karena di sana miskin dengan suasana yang menyenangkan. Rumah kayu yang sudah tua bisa terasa sangat menarik karena di sana ada rasa senang yang dikondisikan oleh pemilik rumah dari pada tinggal di rumah megah namun di sana penuh dengan keangkuhan, kemarahan dan tekanan terhadap perasaan. Sekolah megah atau pusat bimbingan belajara yang mewah tidak ada gunanya kalau di sana tidak ada keramah tamahan dan rasa senang.

Faktor manusia adalah faktor penentu bahwa rasa senang bisa hadir atau tidak. Rasa senang yang ada selanjutnya akan membuat warga atau peserta suatu kegiatan menjadi kreatif- tidak pasif. Pedagang, walaupun ia cantik atau tampan dan dibaluti oleh busana yang sangat bagus, namun berlaku kasar kepada pembeli/ pengunjung, maka tunggulah bahwa dagangannya bakal tidak laris. Guru dan pekerja sosial yang memberikan jasa- pelayanan pada orang lain- bila tidak ramah/ bersikap kasar, maka nasibnya akan sama dengan pedagang yang berkarakter kasar – yaitu menjadi guru dan pekerja sosial yang tidak disenangi oleh orang lain (anak didik atau client mereka).

Guru yang cuma mengejar target kurikulum, sekedar tugas mengajar, dan mengabaikan perasaan anak didik akan membuat guru tersebut (juga mata pelajarannya) menjadi sangat tidak menarik, kreatifitas anak didik akan tidak berkembang. Kemudian orang tua yang hanya banyak berharap agar anak bersikap manis dan patuh, namun kurang memahami perasaan anak, tentu akan menjadi orang tua yang tidak menarik dan rumah sendiri tidak pernah memberikan rasa senang, begitu pula dengan sang anak akan tidak kreatif dan suka bengong.

Rasa senang atau feeling fun- bisa diciptakan oleh orang tua, guru dan pemimpin dari suatu instansi. Pemimpin yang hanya pintar memonitor, merenacanakan program dan melakukan evaluasi serta berharap banyak tanpa mampu bersimpati dan berempati akan berpotensi dalam menciptakan kantor, perusahaan dan instansi yang sangat tidak menyenangkan. Pada akhirnya bawahannya akan tidak kreatif kecuali hanya sekedar bermental ABS- asal Bapak Senang atau karyawan yang bermental “Oke Boss”.

Sebuah instansi dengan boss yang membanggakan powernya dalam menjalankan kepemimpinannya. Kemudian membuat jarak sosial dan jual mahal untuk tersenyum dengan harapan agar bawahan jadi segan dan risih untuk mendekat. Namun apa yang diharapkan adalah bukan prestasi dan produktivitas yang tinggi tetapi yang terjadi adalah bawahan yang serba pasif dan tidak kreatifitas. Pemimpin seperti ini harus berfikir untuk segera mengundurkan diri sebagai pemimpin atau segera mengubah karakter agar bisa menciptakan rasa senang di lingkungan kerjanya.

Untuk fenomena di sekolah, sekali lagi, bahwa apakah perlu anak didik merayu dan memajang frase “senyum guru adalah oksigen bagiku”. Atau senyum guru adalah semangat belajar bagiku. Ini bisa menjadi indikasi bahwa cukup banyak ruang kelas di banyak sekolah- saat proses belajar mengajar- kurang dihiasi oleh senyum tulus guru. Kecuali senyum jengkel yang akan membuat kelas dan sekolah kehilangan rasa senang. Apa lagi kalau sekolah/ kelas juga selalu diguyur oleh tindakan menekan, tindakan mengancam dan tindakan meremehkan pribadi siswa, dimana pada akhirnya siswa menjadi malas, masa bodoh dan tidak punya kreatifitas sama sekali.

Pebisnis yang bergerak dalam menjual jasa, seperi perusahaan penerbangan, perbankan, perdagangan dan bisnis hiburan (tentu berharap keuntungan dari klien) sangat peduli dalam pemberian rasa senang terhadap kliennya. Mereka berbusana serapi mungkin, memberi senyum dan keramah tamahan setulus dan sebanyak mungkin. Maka tidak heran kalau banyak orang betah datang, duduk kebih lama dan menghabiskan uang di sana sehingga bisnis mereka juga beruntung. Sementara perusahaan atau instansi yang enggan memberi rasa senang dan ramah tamah, tetapi karena orang banyak terpaksa datang ke sana karena tidak ada alternative, akan memanen omelan dan umpatan dari klien, “wah saya kapok untuk mengurus surat ini atau akte ini lagi karena orangnya kasar dan sombong’.

Sungguh feeling fun, mudah untuk diucapkan, tetapi perlu realisasi. Feeling fun membuat suatu tempat (rumah, sekolah, kantor, klub, pabrik, dan lain-lain) akan jadi menarik. Feeling fun terbentuk oleh faktor tempat, waktu dan faktor kehangatan dan keramahan orangnya (orang tua, guru, pemimpin) dan selanjutnya feeling fun (rasa senang) akan membuat banyak anak, siswa, bawahan dan warga akan menjadi kreatif dan riang gembira selalu.

Minggu, 03 Oktober 2010

Mungkin Kita Sudah Menjadi Bangsa Pemarah

Mungkin Kita Sudah Menjadi Bangsa Pemarah
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar


Agaknya media massa di negara kita, terutama Televisi, telah mengadopsi gaya pemberitaan Barat bahwa “good news is the bad news”. Berita yang baik adalah berita yang mengabarkan tentang hal-hal yang buruk. Berita buruk yang kerap menjadi berita menarik untuk ditayangkan oleh media televisi adalah seputar kerusuhan supporter pemain bola yang membela tim idolanya, kerusuhan penonton konser music gara-gara bersenggolan saat saling bergoyang, tawuran antara pelajar gara-gara masalah sepele, kerusuhan antar warga kampung, malah juga kerusuhan antara orang cerdas yang duduk dalam lembaga negara.

Gambaran di atas, dan juga fenomena yang diperoleh dari dari tayangan televisi, terkesan bahwa bangsa kita sudah menjadi bangsa yang suka kerusuhan, kemarahan, dan tawuran, “Isi beritanya banyak yang seram-seram: criminal, perampokan, perekelahian dan tawuran”. Sementara itu banyak cerita-cerita dan pernyataan yang datang dari luar mengilustrasikan bahwa bangasa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah. Sekarang mana yang benar, apakah kita masih bangsa yang ramah tamah atau memang menjadi bangsa yang suka melakukan tawuran dan suka marah ?

Wilayah georafi Indonesia memang sangat luas dan penduduknya juga sangat banyak. Kemudian kedua bentuk karakter ini- karakter pemarah dan ramah tamah- memang selalu ada. Suasana ramah tamahan masih terasa kental bila kita berada di daerah atau di pelosok. Begitu juga di perkotaan bagi warga yang masih menjungjung tinggi nilai sopan santun dan ramah tamah. Berita yang ditayangkan oleh televisi , tentang kerusuhan dalam konser musik dan sepak nola, tawuran antara dua kubu preman, tawuran antar pelajar sampai kepada perbedaan pendapat orang orang cerdas yang lepas kendali yang berada dalam instansi negara juga sudah menjadi fenomena.

Kita sekarang sedang berada di atas dunia dan bukan berada dalam soraga. Berada di dunia berarti bahwa kita akan tetap mendengar “bad news sebagai good news”. Sejak dulu tentang “bad news” seperti peperangan, perkelahian, kerusuhan, tawuran dan kemarahan memang selalu ada. Bad news yang menjadi good news sebagai versi berita media masa sekarang boleh saja ada. Namun kalau boleh frekuensi dan porsinyanya janganlah terlalu gede sebagaimana ada sekarang ini.

Dalam realita bahwa bisa jadi porsi karakter kemarahan kita makin bertambah. Coba simak tentang berita TV dan surat kabar, yang mana porsi berita kriminal- pembantaian, perampokan, penipuan, korupsi dan kekerasan- juga semakin meningkat. Kalau ini semua adalah gambaran superficial- gambaran permukaan- maka bagaimana keadaan bagian dalamnya ? Gambaran superficial bisa jadi berasal dari masalah dan karakter yang juga tumbuh di dalam kepribadian bangsa ini. Patut kita pertanyakan sekarang bahwa, apakah keramah tamahan bisa menjadi barang yang langka kelak di negara ini ? Apakah kemarahan, kekerasan dan tawuran akan menjadi karakter kita, sebagai penggantinya ?

Pasca masa balita, seorang anak akan memasuki masa bersekolah dan dimulai dengan belajar di bangku SD, terus ke bangku SMP dan SLTA (SMA, MA dan SMK). Memasuki usia belajar berarti mereka harus mampu memahami konsep mata pelajran. Apakah mereka masih merasakan indahnya belajar bersama guru TK dan PAUD- penuh pujian dan dukungan motivasi ketika di SD, SMP dan SLTA ?. Bisa jadi “ya” dan bisa pula “tidak” dan mereka merasakan pembelajaran di sekolah ibarat berada dalam pusat rehabilitasi jiwa dan penjara. Ini bisa terjadi bisa sang pendidik (guru) lebih banyak memberikan porsi kemarahan dan kejengkelan.

“Wah kamu sulit sekali mengerti dengan konsep yang saya ajarkan, kesabaran saya jadi habis ?”.Kalimat begini bisa jadi pemandangan umum bagi kita. Namun perlu dipertanyakan bahwa apakah banyak guru yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan kurikulum walau siswa mengerti / tidak mengerti dan segera memaksakan kehendak agar mereka bisa tenang dan mengikuti pembelajaran dengan tatapan mata yang kosong atau memprioritaskan pencapaian belajar siswa. Pembelajaran yang hanya sekedar mengejar target kurikulum, memaksa siswa untuk patuh , tidak boleh banyak bergerak dan saling mengganggu, “lipat tangan dan duduk yang manis” sungguh membelenggu kreatifitas anak. Metode enteng ini memang membuat anak patuh dan tenang, namun serba pasif dan juga agresif. Suasana yang penuh menekan berpotensi menciptakan anak jadi agresif dan menjadi pemarah kelak.

Kehidupan sosial dalam dunia anak-anak kerap sering bercorak kehidupan ala rimba, “yang kuat itulah yang akan menjadi pemenang, yang kuat akan menguasai yang lemah”. Tidak percaya ? Mari perhatikan suasana bermain anak-anak. Mereka yang bertubuh kuat dan berbadan gede merasa jagoan, mereka bergerak leluasa sambil menyenggol dan mendorong teman-teman yang bertubuh kecil dan bertubuh lemah, sehingga satu- dua anak sengaja menghindar karena ketakutan. Akhirnya mereka yang berotot kuat dan bertubuh gede menjadi jago, disegani dan ditakuti. Fenomena seperti ini perlu mendapat pehatian dari orang dewasa- guru dan orang tua. Sebab ini adalah cikal bakal dari karakter premanisme di dunia anak-anak..

Kekerasan mudah terbentuk di bangku SD dan SLTP (SMP dan tsanawiyah). Fenoma prilaku bullying (menggertak dan menakuti teman) ada di sekolah ini. Anak anak pintar sering memperoleh ancaman dari teman yang bertubuh gede dan otot kuat (namun pemalas dan bodoh) agar bisa member bantuan/bocoran selama ujian. Anak baik-baik dan lugu sering menjadi permainan bagi mereka yang merasa jago. “awas kalau kamu tidak kasih saya dalam ujian, kamu akan ku jitak”. Sungguh sekolah yang budaya belajar dan bersosialnya kurang kondusif akan subur dengan karakter gertakan dan ancaman, sehingga anak anak tertentu akan kehilangan rasa aman dalam belajar.

Karakter bullying pada anak anak perlu untuk diatasi, bila tidak mereka berpotensi menjadi trouble maker dalam masyarakat. Di sekolah yang suasana pembelajaran sangat miskin- ekstrakurikuler tidak berjalan dan tidak ada pemodelan dari figure guru (karena guru hanya bersembunyi dalam menara gading/ kantor majelis guru)- akan melahirkan siswa yang gemar keluyuran dan melakukan hal iseng- mengganggu orang lain. Kalau begitu sekolah sekolah yang perpustakaanya terkunci sepanjang masa dan sekolah yang siswanya miskin dengan aktivitas positif perlu untuk mengubah performent sekolah tersebut.

Populasi penduduk Indonesia makin bertambah. Kerumunan orang dalam ruangan (dalam kota , dalam rumah, dalam kantor, dalam gedung) juga makin bertambah. Akibatnya orang akan mudah menjadi stress, apalagi jumlah pengangguran juga meningkat. Tersenggol sedikit bisa membuat orang jadi bentrok, salah omong dan salah lihat orang bisa jadi marah. Dalam hal ini, kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki.

Adaptasi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu kemampuannya dalam menerima dan memahami kekurangan temannya. Ia harus memahami apakah sang teman punya karakter “talk active, hyperactive, pembosan, easy going, ceroboh” dan mereka harus bisa saling memahami dan bisa hidup berdampingan. Kemampuan bersimpati juga bisa meningkatkan keharmonisan dalam bergaul. Simpati adalah kemampuan memahami apa yang sedang dirasakan oleh teman/ orang lain, sehingga ia kemudian bisa hidup berdampingan bersama.

Kemampuan bersimpati dan beradaptasi mutlak diperlukan dan dimiliki oleh seseorang. Kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki oleh orang dewasa terahadap remaja dan anak, dari pemimpin terhadap bawahan, oleh guru terhadap murid, oleh orang tua terhadap anak dan dari orang yang melayani (aparat pemerintah) terhadap masyarakat (orang yang dilayani), kalau tidak maka mereka- orang dewasa, guru, orang tua, dan stakeholder/ pemilik kekuasaan akan leluasa untuk mengumbar kemarahan- menggunakan kekuasaan mereka sebagai sumber untuk memarahi orang yang berada dalam posisi bawah.

Karakter suka marah juga bisa tumbuh subur dalam suasana yang pengap- sempit, ramai, tidak ada pembagian kerja, tidak ada manajemen rumah tangga dan miskin toleransi. Rumah rumah yang begini cukup banyak, apalagi sejak migrasi ke kota sudah jadi budaya. Umumnya banyak keluarga yang hanya mampu membuat atau mengontrak rumah dengan ruangan kecil dan dihuni oleh anggota keluarga yang cukup ramai. Bagaimana kalau di sana juga tidak ada house management ?.

Rumah tangga yang tumbuh tanpa manajemen akan cenderung jatuh pada kebiasaan “gali lobang tutup lobang”, yang maksudnya adalah meminjam uang untuk menutup hutang sebelumnya. Kemudian rumah tangga yang kurang jelas dalam job description sehingga anggota keluarga yang laki-laki kebingungan dalam mencari kegiatan dan kaum wanita kelebihan beban kerja. Soalnya dalam pola keluarga berciri tradisionil, pekerjaan mencuci, memasak, mengasuh/ mendidik anak dianggap pekerjaan feminin dan pria merasa maskulin merasa jatuh harga dirinya kalau kebetulan ikut serta. Akibatnya maka berlipat gandalah beban kerja kaum wanita- dan akhirnya stress, depresi dan meledak dalam bentuk kemarahan. Ini kemudian akan menjadi bagian dari hidupnya.

Anak yang tubuh bersama ibu yang pemarah dan ayah yang masa bodoh, tentu juga kurang memiliki pribadi yang kurang stabil- mereka juga pemarah, mudah menarik diri dan juga kurang punya pribadi yang stabil karena mereka melihat tokoh di rumah- ayah dan ibu- juga demikian. Dikatakan oleh orang bijak bahwa anak belajar dari kehidupan- anak yang diberi cinta dan kasih sayang akan juga menyayangi, anak yang tumbuh dengan cercaan dan amarah akan menjadi orang yang suka mencerca dan marah-marah.

Terus kalau ditelusuri ke dalam dunia institusi- kantor, PNS, swasta, BUMN, dan usaha lain bahwa adakalanya orang yang menempati posisi atas menunjukan powernya terhadap yang berada dibawah. Power tersebut mereka perlihatkan kadangkala dengan suasana amarah. Itulah fenomena hidup bahwa yang merasa berkuasa leluasa untuk memarahi yang dikuasai, yang merasa kuat leluasa untuk menekan dan memarahi yang lemah. “Kenapa kok menonjolkan kekuasaan dan amarah bisa menjadi fenomena ?, Mengapa tidak kita tidak menonjolkan kompromi dan persuasive, serta mempengaruhi orang lain (partner dan teman). Sekali lagi mari kita pertanyakan bahwa apakah kita memilih menjadi bangsa pemarah ataukah menjadi bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai ramah tamah ? Setiap orang tentu akan punya jawaban tersendiri.

Selasa, 28 September 2010

Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari profil Oki Murasa dan Revalin Herdianto)

                                                  Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor
                                    (Inspirasi dari profil Oki Murasa dan Revalin Herdianto)
Oki Muraza et Famille
Revalin et Famille

                                                               Oleh: Marjohan, M.Pd
                                                             Guru SMAN 3 Batusangkar


Suatu hari penulis berjumpa dengan seorang teman baru yang diperkirakan bahwa ia adalah lulusan dari Universitas terbaik di Indonesia seperti UI, ITP, UGM, atau Universitas di Pulau Jawa yang sudah dikenal luas. Universitas tersebut pada umumnya terkenal dengan lulusan atau alumni yang cukup cerdas, punya wawasan, punya motivasi dan semangat kompetisi yang tinggi. Penulis bertanya apakah ia juga lulusan dari salah satu perguruan tinggi tersebut. “Saya cuma lulusan Perguruan Tinggi di daerah dan sukses itu ada di mana-mana. Di desa pun orang juga bisa sukses”, jawab teman baru tersebut. Pernyataan tadi telah memberi inspirasi atas judul artikel ini bahwa siswa dari daerah kampung/ desa- seperti daerah Lintau di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat- juga bisa jadi Doktor.

Pengalaman menjadi guru (walau bukan di sekolah perkotaan) di daerah atau desa. Bahwa Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar seputar tahun 1990-an mungkin masih dianggap sebagai daerah yang bersuasana desa atau kampung. Itu karena pada masa itu fasilitas transport masih terbatas. Banyak siswa yang cerdas dan berbakat belum banyak yang terprovokasi untuk memilih sekolah di luar kecamatan- yang mereka anggap unggul atau berkualitas. Ternyata bahwa mereka merasa sangat senang belajar di sekolah daerah ini. Setelah lebih dari lima belas tahun penulis juga mendengar bahwa cukup banyak alumni (siswa yang belajar dari sekolah di daerah ini) yang menjadi orang- memperoleh posisi kerja yang sangat bagus.

Face Book pernah jadi fenomena unik dan sangat membantu. Meski pernah muncul pros and cons bagi santri pesantren- facebook itu dinyatakan haram. Ini tentu tergantung pada cara memandang dan menggunakan kacamata warna apa ? Dalam kenyataan bahwa Facebook malah memberi manfaat positif sebagai jejaring sosial- menemukan teman yang hilang atau yang terputus komunikasi. Lewat Facebook penulis sendiri berjumpa kembali dengan banyak teman lama dan bekas murid di tahun 1990-an. Memang ternyata mereka banyak yang menjadi orang- berhasil dalam karir. Ada dua bekas murid yang paling berkesan dalam memori penulis, nama mereka adalah “Revalin Herdianto dan Oki Murasa”. Dahulu kedua-duanya juga belajar di sekolah desa (Kecamatan Lintau Buo yang saat itu masih terasa seperti kampong yang damai dan terisolir- karena transpor mobil umum terbatas sampai jam 14.00 siang), namun murid murid ku yang istimewa tersebut sekarang mampu meraih gelar Doktor. Profil mereka pun memberi inspirasi atas tulisan ini.

Revalin Herdianto (nama kecilnya adalah DEDI), ia dapat dikatakan sebagai figure yang berhasil dalam menggapai mimpinya dalam bidang akademik. Di awal tahun 1990-an ia hanya belajar di SMAN 1 Lintau, sekolah yang masih bersuasana kampong saat itu. Ia tidak pernah mengikuti bimbel (bimbingan belajar) seperti lazimnya anak-anak sekarang. Ia hanya banyak belajar sendirian dan telah menjadi siswa yang mandiri dalam belajar.

Kelas 2 SMA jurusan fisika, ia pernah sakit campak- dan tidak bisa ujian. Penulis sebagai guru bahasa Inggris berdoa atas kesembuhannya, ia adalah yang super/ cemerlang dalam mata pelajaran bahasa Inggris dan ia berhak memperoleh nilai paling tinggi. Meski ia tidak bisa ikut ujian, nilai angka 90 buatnua sudah penulis serahkan pada wali kelas. meski ia datang ke penulis (guru bhs Inggrisnya) dan ia hanya ikut ujian sebagai formalitas saja.

Penulis menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahnya dan mengenal sosok ibunya yang sangat mandiri dan penyabar. Penulis punya catatan tentang karakter/ pribadi revalin bahwa aOkigaknya ia tidak membutuh komando orang tua dan guru dalam belajar. Orang tuanya tidak akan berteriak teriak menganjurkanya dalam belajar. Ia dan teman-teman (kelompok belajarnya) sudah punya kebiasaan belajar sebagai kebutuhan.

Bukan berarti ia harus terpaku pada meja belajar sepanjang hari dan membenamkan kepala di atas tumpukan buku-buku sepanjang hari. Sebagai warga sosial, Revalin juga melibatkan diri dalam berbagai aktifitas masyarakat di kampong. Ia ikut ke ladang, ikut gotong royong membangun jalan desa, dan juga ikut menjelajah alam bersama teman-teman. Saat di SMA, kemampuan belajar Revalin biasa-biasa saja- namun ia duduk di kelas unggulan. Pada saat duduk di perguruan tinggi ia memperoleh strategi belajar yang tepat dan kemampuan akademiknya melejit.

Ada prinsip belajar yang ia jalani yaitu “study while studying and play while playing- belajarlah saat belajar dan bermainlah saat bermain. Banyak siswa sekarang kurang menerapkan prinsip belajar yang begini. Mereka malah mengadopsinya menjadi prinsip belajar yang berbalik arah yaitu “play while studying dan study while playing- bermainlah saat belajar dan di sini bearti kurang ada keseriusan dan konsentrasi dalam belajar.

Belajar di sekolah berarti harus terjadi komunikasi dua arah antara guru dan murid. Anak-anak yang berasal dari rumah yang punya komunikasi dua arah maka di sekolah akan terbiasa juga dengan komunikasi dua arah. Di rumah, Revalin juga terbiasa dengan suasana komunikasi dua arah. Orang tuanya tidak sekedar menyuruh dan melarang. namun orang tua/ keluarganya juga melibatkan fikiran dan tenaga Revalin dalam menjalankan kegiatan harian di rumah.

Ia memperoleh beasiswa penuh untuk mengikuti program master ke Australia. Pelamar beasiswa ke luar negeri harus bisa memperoleh standar TOEFl- Test Of English as Foreign Language yang disaratkan oleh program, mungkin skornya 500 atau lebih. “Apa rahasia agar kita bisa memperoleh TOEFl yang tinggi ?”

Ada tiga hal yang diuji dalam TOEFL yaitu kemampuan membaca, mendengar dan tata bahasa (structure). Cara yang terbaik untuk meraih TOEFL tinggi adalah dengan berlatih dalam mengerjakan soal-soal. Kemudian membiasakan diri dalam membaca teks bacaan yang agak panjang. Sementara untuk meningkatkan kemampuan listening kita harus tahu strateginya- apakah pertanyaan dalam listening menanyakan tentang informasi umum, informasi tersirat, informasi rinci, menanyakan tujuan dari reading dan yang paling penting adalah banyak latihan mendengar.

Ia bisa menyelesaikan program master tepat waktu dan sekarang juga sedang menyelesaikan program post-graduatenya (program Doktoral). Setiap orang, termasuk siswa yang bearasal dari kampung bisa mencari beasiswa untuk program master dan program doctoral dalam negeri, maupun dari luar negeri. Revalin Herdianto sendiri merampungkan program graduate melalui beasiswa IALF- Indonesia Australia Language Foundation yang punya kantor di Bali dan Surabaya.

Di awal tahun 1990-an penulis juga sempat berbincang-bincang dengan seorang pelajar cerdas yang bernama Oki Murasa- seorang siswa SMP yang punya fenomenal dengan peringkat NEM (Nilai Ebtanas Murni ) paling tinggi di Kabupaten Tanah Datar saat itu. Daya serap belajar Oki Muraza sangat bagus- daya rekamnya ibarat mesin fotokopi. Ternyata Oki bisa menjadi siswa yang fenomenal dengan peringat nilai tertinggi bukan lewat pemanjaan. Karena orang tuanya tidak memberikan pemanjaan, namun ia memberikan kasih sayang, perhatian, tanggung jawab dan penghargaan kepada Oki. Pemanjaan berarti mengikuti semua kemauan anak tanpa pengontrolan. .

Oki Muraza- Oki Muraza adalah murid seorang guru Fisika yang bernama Emi Surya (Istri Penulis). Di rumah Emi Surya selalu memberi good news: "Uda...aku punya murid...anaknya bersih...ganteng...cakep...alim....baik...rajin....cerdas...dan memorinya ibarat mesin fotokopi". Kalimat ini kami bahas terus dan penulis jadi penasaran hingga akhirnya bisa berjumpa dengan seorang siswa yang amat cakep...pintar...baik...dan alim.

Ketika itu ia belajar di SMP (di Lintau Buo) malah tinggal hanya dengan orang tua tunggal- ibu kandung yang memperoleh pendidikan sarjana di Universitas Sriwijaya. Ibunya juga memberi Oki tanggung jawab untuk mandiri dalam belajar, namun juga ikut meringankan pekerjaan ibunya- mengupas kelapa, mencat pagar, mencuci piring atau mungkin pekerjaan lain. Aktifitas ini penting untuk memperkaya anak dengan pengalaman hidup- life skill. Sukses dalam bidang akademik di bangku SMP/ SMA tentu akan memberikan kemudahan bagi siswa untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi melalui jalur bea-siswa. Bagi Oki sendiri ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke sekolah SMA Taruna Nusantara, sekolah unggulan yang paling diminati oleh lulusan SMP se Indonesia, dan sejak tahun 1993 penulis tidak mendengar banyak tentang Oki Muraza.

Setelah 17 tahun tidak mendengarnya maka Penulis di tahun 2010 ini mengetahuinya sebagai Doktor Oki Murasa. Lagi-lagi ia menjadi inspirasi bagi penulis untuk menulis tentang siswa kampung juga berhak jadi Doktor. Facebook lagi-lagi memberi kemudahan bagi penulis untuk tahu banyak tentang dia secara langsung. Oki juga memiliki blogger.

Melalui blognya (http://murazza.multiply.com) penulis juga bisa mengetahui tentang kisah sukses dan perjalanan hidupnya. Dalam usia muda (30 tahun) Oki bisa menjadi Doktor dan bekerja sebagai tenaga peneliti di Abu Dhabi, United Arab Emirates. Dan sebelumnya ia bekerja di beberapa institute di Eropa. Meski berada jauh dari kampung (Indonesia), namun kecintaannya terhadap tanah air masih tergores.

Pendidikan Oki dalam menggapai mimpi menjadi Doktor adalah, setelah menyelesaikan pendidikan SMP Negeri 1 Lintau, ia melanjutkan pendidikan ke SMA Taruna Nusantara di Magelang. Selanjutnya ia memilih studi di ITB Bandung, kemudian program masternya pada Chemical Engineering, Technische Universiteit Delft, Delft, the Netherlands dan selanjutnya untuk doctoral (PhD) pada Chemical Engineering, Technische Universiteit Eindhoven, Eindhoven, the Netherlands. Ia mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing mutlak diperlukan untuk studi yang lebih tinggi, apalagi kalau di luar negeri.

Oki Muraza juga memperoleh “honor and award” dalam menggapai mimpi menuju Doktoral, yaitu seperti dari NIOK (Netherlands Institute for Catalysis Research- Institut Belanda untuk Riset Catalysys). Oki memperoleh nilai tertinggi saat menyelesaikan program Doktoralnya. Ia memperoleh berbagai beasiswa dan termasuk beasiswa yang disponsori oleh Unesco- Belanda.

Anak anak yang sekarang sedang belajar di SMP dan SLTA (SMK dan SMA) di kampung atau di pedesaann juga bisa sukses, menjadi Doktor seperti halnya Revalin Herdianto dan Oki Muraza. Yang suka bersantai saja tentu saja tidak akan berhasil, namun yang bisa banting stir- paling kurang seperti pola dan gaya hidup Revalin dan Oki kemungkinan bisa juga menjadi Doktor. “Bagaima karakter anak-anak desa/ kampung yang diperkirakan bakal sukses kelak ?”

Ya mereka harus menjadi siswa yang mandiri dalam belajar. Jangan pernah butuh komando/ diperintah orang tua dan guru untuk memulai belajar, “Belajar lagi nak….buat Pe-er nya segera….!” Orang-orang yang telah sukses dalam profesi mereka, saat belajar di bangku SMP dan SMA bukan berarti mereka harus terpaku pada meja belajar sepanjang hari. Namun mereka juga melibatkan diri dalam berbagai aktifitas masyarakat. Mereka serius dalam belajar, belajarlah saat belajar dan bermainlah saat bermain. Mereka memiliki komunikasi dua arah di rumah (yaitu antara anak dan orang tua) dan di sekolah (antara siswa dan guru). Mereka juga ikut serta/ berpartisipasi dalam mengurus diri dan mengurus rumah. Mereka bisa sukses (karena rido dari Allah Swt). Kemudian juga memiliki kemampuan bahasa Inggris dan meraih skor TOEFl- Test Of English as Foreign Language yang disaratkan oleh program mungkin seputar 500 atau lebih. Selanjutnya mereka juga memiliki mental yang tangguh, tidak cengeng, tidak gemar minta bantuan- tapi mereka terbiasa dengan “help your self terlebih dahulu, gampang beradaptasi dan bergaul dengan berbagai macam karakter dan pola fikir orang.

Akhir kata bahwa mereka juga terbiasa punya tanggung jawab atas diri sendiri dan dalam membantu orang lain. Revalin Herdianto dan Oki Muraza telah menjadi inspirasi bagi penulis dan juga pembaca blog ini dimana saja berada.

Selasa, 21 September 2010

Timbang Rasa Penting Dalam Mendidik

Timbang Rasa Penting Dalam Mendidik
Oleh; Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Sebahagian orang mungkin sudah lama tidak mendengar kata kata “timbang rasa” lagi. Seharusnya kata-kata ini masih diucapkan oleh teman-teman, anak-anak muda dan malah juga generasi tua sebagai tanda bahwa mereka masih peduli dengan “bertimbang rasa” dalam menjaga kualitas kounikasi. Kalau dulu orang tua sering berpesan, member pituah, pada anak-anak mereka “Anak ku…jagalah perasaan orang apabila kamu bergaul, mengangalah dulu sebelum berbicara”. Hingga suatu hari ternyata penulis masih menemukan kata-kata “timbang rasa’ tertera sebagai merek sebuah home industry di kawasan kota Payakumbuh.

Timbang rasa berarti menimbang perasaan orang dalam berkomunikasai. Timbang rasa sangat penting, karena ia adalah bumbu yang membuat pergaulan dan komunikasi terasa enak. Orang yang punya timbang rasa dalam berkomunikasi jadi menarik dan pergaulannya sangat disenangi. Timbang rasa , kalau begitu sangat perlu untuk dimiliki oleh siapa saja- tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin dan apa saja bangsa dan agamanya.

Berkumpul bersama anggota keluarga sambil menonton TV atau acara-acara kekeluargaan- makan bersama, traktiran dan sampai pesta kecil kecilan sekedar melepas kangen, sudah menjadi kebutuhan banyak orang. Apalagi bagi mereka yang jauh dari kampung halaman. Kadang kala dalam suasana kebersamaan ini terjadi guyon dan ledek meledek. Pada mulanya memang bisa untuk menambah keakrapan, namun salah guyon dan salah membuat ledekan malah bisa menjadi bisul untuk menebar rasa sakit hati dan perpecahan.

Banyak orang (kakek, nenek dan ayah- ibu) berfikir bahwa anak-anak kecil belum punya pikiran, hingga mereka butuh arahan dan didikan. Sebagian dalam bertindak dan berkata kepada mereka juga kurang memperhatikan hati (emosi) mereka. “Wah kamu ini bloon, udah berkali kali diberi peringatan namun tidak juga mengerti, dasar bebal atau muka tembok”. Bagaimana kira kira perasaan anak atas komentar tadi ?

Banyak orang yang kurang mempertimbangkan perasaan anak. Sebagian orang tua rata-rata hanya bersikap lembut terhadap bayi, balita dan anak-anak yang berusia hingga masuk SD, ya saat mereka masih terlihat lucu dan patuh. Namun begitu anak terlihak mulai agresif, sudah punya banyak kawan dan sibuk mengembangkan gerak dan melakukan eksplorasi. Mereka telah diberi label sebagai anak bandel oleh karena itu mereka (anak-anak) mulai berhubungan dengan sejuta suruhan dan larangan dari orang tua.

Menghargai perasaan anak sangat pentig dalam mendidik.Namun dalam kenyataan jarang terealisasi. Ini juga menjadi kebiasan dari pasanagn kakek- nenek yang tinggal di rumah kecil, di sebuah kota di Pulau Sumatera. Mereka tidak ada pekerjaan, kecuali hanya sekedar mengurus kebun kecil dan kucing piaraan. Selebihnya hari-hari mereka terisi dengan kegiatan nonton TV dan rebutan untuk mengomentari hal hal kecil. Kebiasaan gemar mengomentari hal-hal kecil terbawa-bawa terhadap cucunya yang hanya datang sekali setahun untuk berlibur.

Punya kakek dan nenek itu sangat indah. Anak-anak biasanya membayangkan tokoh kakek-nenek ibarat tokoh dalam buku cerita dan tokoh dalam kartun. Orangnya sangat baik dan penyayang. Namun dalam kenyataan tidak demikian dalam ilusi Rido dan Anita. Sebagai anak-anak yang masih duduk di bangku SD dan SLTP, mereka tentu punya segudang kegiatan, yang sering dianggap sebagai kenakalan bagi orang tua/ kakek dan nenek.

Mereka melompat, berlari, mendorong perabot dan berteriak-teriak dalam rumah. Kakek- nenek yang tidak terbiasa dengan suasana ini pasti akan menjadi jengkel. Tiba-tiba tertumpah air ke lantai. Ini hal biasa namun komentar dan kemarahan kakek-nenek meledak melebihi hal yang sebenarnya. “Kamu sangat usil dan nakal ya.., membuat keributan…, mendorong dorong…, ibumu sudah salah didik…!”. Suasana begini sering terjadi dan bagi orangtua muda yang tidak sabaran terhadap omelan kakek-nenek akan segera berkemas kemas. Memutuskan kembali untuk , berangkat pulang. “Good bye…kakek…., good bye nenek…..lebih aku pulang kembali, karena rumah ini bukan sweethome bagi cucu cucumu.”. Hal seperti ini juga tidak harus terjadi.

Perubahan gaya mengasuh berpotensi menimbulkan gap (jurang pemisah) antara generasi sekarang- orang tua dengan kakek-nenek. Seharusnya kakek- nenek zaman sekarang harus menjadi generasi tua yang lebih terdidik dan makin bijak sana. Ibu dan ayah muda juga perlu mengenal karakter yang tidak disukai oleh generasi tua. Dalam berbagaimsuasana, timbang rasa sangat dibutuhkan. Kakek-nenek yang punya timbang tasa akan menjadi figure yang disayangi oleh cucu dan anak anaknya.

Timbang rasa perlu dibawa terus, kapan saja dan di mana saja termasuk saat pulang lebaran. Sebagaimana berlebaran , dengan fenomena exodus lebaran, sudah menjadi fenomena dalam masyarakat kita. Coba lihat suasana bila lebaran mau datang- arus transportasi menjadi super sibuk.. Di sana terjadi arus migrasi masal menuju kampung. Sekali lagi bahwa orang luar negeri akan melihat fenomena ini sebagai exodus besar-besar. “Ini memang exodus, ya happy exodus”.

“Apa yang diharapkan dari kedatangan orang orang dan family yang datang dari rantau ?”. Sebahagian berharap untuk silaturahmi dan melepas rasa kangen, namun dibalik itu ada juga mengharapkan “ oleh oleh atau yang dikenal dengan THR- tunjangan Hari Raya” dari mereka. THR biasanya dibagi-bagikan tiap lebaran datang, di hari lain mungkin namanya traktiran ‘traktir dong om….traktir dong tante”.Cukup banyak orang memprovokasi anak-anak kecil untuk minta oleh oleh- atau namanya uang tip, uang traktiran atau parsel (bingkisan) yang datang dari om, tante, abang, kakak sampai kepada opa-oma, “Hei itu om mu….ayo minta uang untuk beli sepeda”. Sehingga dari kebiasaan, akan tumbuh anak-anak dan generasi muda yang gemar minta traktiran. Asal ada orang baru datang maka yang mereka harapkan cuma oleh-oleh, dan uang traktiran, atau cendera mata.

Kebiasan mengharap cedera mata dan oleh-oleh atau traktiran dari karib kerabat dan family yang datang telah membuat cukup banyak dari mereka yang enggan untuk pulang kampong atau bersilaturahmi. Soalnya takut diserbu dengan uang traktiran. “Kampungnya kan dekat, kenapa jarang pulang kampung, apa tidak kangen dengan orang tua..?”. Rasa kangen kepada orang tua dan adik kakak selalu memang selalu ada. Namun yang membuat kaki berat untuk melangkah ke sana adalah kebisaan orang-orang sekeliling, mulai dari yang kecil sampai ke yang besar mengharapkan traktiran - sekeping uang untuk dibagi-bagikan. Kalau jumlah mereka satu atau dua orang tdak msalah, namun bila jumlah mereka cukup besar bisa-bisa mengganggu keuangan. Ya solusinya adalah tidak usah pulang kampung atau hentikan budaya berharap uang traktiran dari siapa saja yang datang.

Hal lain yang membuat seseorang menjadi enggan untuk menemui family/ kerabat atau kenalan yang lain juga karena kurangya timbang rasa dalam bentuk lain. Hidup ini penuh dengan orang-orang berkarakter unik. Ada orang punya karakter yang suka ngobrol tentang dirinya melulu, yang lain cuma jadi pendengar. “Aku kemaren dapat ini… aku kemaren buat ini rasanya enak…, anakku kemaren jadi hebat….suamiku kemaren ganti mobil….rumah ku kemaren direnovasi…”.

Pembicaraan yang terlalu banyak “aku” atau terfokus pada pembicaraan tentang diri akan membuat orang jadi males datang bersilaturahmi untuk kali berikutnya. Sudah jelas jumlah telinga itu “dua” melebihi jumlah mulut (satu mulut) namun kita kadang-kadang terlalu doyan banyak bicara yang tidak terlalu penting daripada mendengar pembicaraan teman dengan sepenuh hati.

Kemampuan dalam bertimbang rasa jauh lebih penting dari pada kebiasaan pamer kekayaan, pamer kehebatan anggota keluarga dan kebiasaan monopoli dalam ngobrol. Ini pulalah yang dialami Upik (bukan nama sebenanya) yang diajak oleh salah seorang paman untuk datang ke rumahnya. “Ayolah Upik datang ke rumah paman, penting banget buat mu”. Setelah tiba di sana ternyata Upik tidak menjumpai hal yang penting. Kecualinya Sang Paman sibuk mempromosikan rumahnya yang berharga mahal, tipe minimalis dan dilengkapi dengan perabot pilihan yang harganya cukup mahal. “Lemari ini kemaren Paman beli di Bukittinggi harganya hampir sepuluh juta, loteng rumah ini mirip dengan rumah dokter di Kebayoran Baru, besok Paman akan merenovasi garasi untuk tiga mobil”. Dalam kenyataan apa sih yang dirasakan Upik saat itu ?

Selanjutnya bahwa timbang rasa juga perlu hadir di sekolah, mulai dari bangku SD, SMP, SMA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi. Murid kelas satu SD, seperti yang dikatakan oleh salah seorang teman penulis, akan menjerit ketakutan terhadap guru yang mereka anggap tidak punya timbang rasa. “Tukar gurunya….aku takut dengan guru itu, dia galak” Atau malah ada murid yang sampai ngompol dalam celana dan menggigau dalam tidur gara gara pengalaman seram mereka di siang hari- harus belajar bersama guru yang mereka anggap tidak tahu tentang bertimbang rasa dengan bocah-bocah kecil.

Begitu pula untuk siswa tingkat SLTA, ternyata ada siswa yang melarikan diri dari kelas, dari sekolah setelah punya pengalaman buruk belajar bareng dengan guru yang kurang memiliki timbang rasa. “Tiap kali belajar dengan saya, kok kamu ngelamun melulu” Timbang rasa bukan berarti harus tidak punya disiplin, harus mengikuti kehendak siswa. Namun timbang rasa disini adalah kemampuan guru untuk menimbang perasaan siswa- bersimpati dan berempati. Tidak melecehkan potensi, apalagi harga diri siswa. “Ah percuma saja kamu juara kelas, tapi kok egois sama kawan-kawan”.

Saatnya kata-kata timbang rasa musti dipopulerkan lagi dan saatnya timbang rasa diaplikasikan dalam hidup. Pedagang yang punya timbang rasa, banyak bersabar dan tidak suka mengomel terhadap pembeli yang gemar menawar, bakal menjadi pedagang yang laris manis. Rumah sakit dengn dokter dan perawatnya yang mengutamakan timbang rasa atau pelayanan prima terhadap pasien, akan membuat pasien bisa sembuh lebih awal. Rumah sakit yang yang mengutamakan timbang rasa akan membuat pasien betah berobat ke sana dan tentu tidak perlu berfikir untuk pergi berobat sampai ke negeri jiran segala.

Timbang rasa juga penting hadir di rumah. Suami yang punya timbang rasa terhadap istri akan memperoleh panen cinta dari istri dan sebaliknya. Istri penting mengutamakan timbang rasa pada suami agar perkawinan langgeng terus. Kemudian ada sebuah umah yang selalu dikunjungi banyak anak anak dan remaja. Semua anggota keluarga betah berada di rumah. “Itu karena anggota keluarga, terutama anak-anak, memperoleh kasih sayang dan juga diberi pembagian kerja. Di rumah mereka dihujani dengan banyak kata maaf dan rasa aman- bebas berekspresi. Akhirnya mereka tidak perlu lagi pergi ke luar rumah untuk mencari kasih sayang”. Kesimpulanya adalah hadirkanlah selalu rasa timbang rasa setiap saat di mana saja berada.

Jumat, 17 September 2010

Pola Asuh Yang Kaku Menciptakan Pribadi Yang Kacau Balau

Pola Asuh Yang Kaku Menciptakan Pribadi Yang Kacau Balau
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Banyak orang merasa hidup kurang beruntung. Mereka merasakan dunia ini tidak indah- terasa suram, sempit dan kurang berpihak kepada mereka. Hal ini terjadi gara-gara mereka dibesarkan di rumah- di lingkungan- dengan orang tua (keluarga) yang mengasuh anak tanpa memberikan rasa aman dan rasa tenang. Suasana ramah tamah dan komunikasi yang penuh dengan kelembutan menjadi sesuatu yang mahal untuk diperoleh.

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua (juga pengganti orang tua) yang bersifat kaku- banyak menonjolkan unsur kekerasan dan amarah- sangat berpotensi menjadikan anak sebagai manusia yang pribadi kacau balau. Karakter mereka juga bisa jadi kasar, emosional, beringas, mahal senyum- hingga juga cenderung menjadi skizoprenia (pribadi yang terbelah) atau juga disebut dengan gila.

Perubahan pola asuh yang dilalui seseorang dalam hidupnya, terutama selama masa anak-anak dan remaja- yang begitu kontra sangat berpotensi melahirkan mentality-shocked (kejutan mental) pada diri seseorang. Hendro mengalami mentality shocked saat masih berusia muda. Itu gara-gara perobahan pola asuh. Betapa sebelumnya ia merasa bahagia karena dibesarkan oleh ibunya sendiri yang penyabar dan lembut. Ibunya sendiri punya karakter sangat pencemas dan berprasangka bahwa lingkungan bisa menjadi sumber kerusakan moral bagi anaknya.

Sang ibu khawatir kalau Hendro menjadi anak nakal/ bandel. Maka mulailah ia memberikan sejumlah larangan. “Tidak boleh menonton film sembarangan dan acara TV yang dipandang jorok, tidak boleh bergaul dengan anak tetangga, tidak boleh pulang terlambat, tidak boleh berbohong”. Jadinya aktivitas Hendro hanya terfokus di dalam rumah semata.

Suatu ketika musibah datang. Ibu tercintanya terkena serangan jantung dan meninggal. Untuk selanjutnya, Hendro pindah ke dalam asuhan Bude (kakak mama), seorang janda dengan enam orang anak. Ia berkarakter tegas. Apakah si kecil Hendro bisa beradaptasi dengan pola asuh bude yang sangat kontra dengan ibunya sendiri ?

Selama tinggal bersama Bude, Hendra hampir tidak pernah memperoleh senyuman, kelembutan kata-kata dan juga kesempatan bertutur kata- berbagi cerita dengan siapa saja dalam rumah. Barangkali karena beban hidup yang pelik dan anak-anak yang banyak membuat Budenya juga sulit untuk tersenyum dan beramah tamah. Lengkap sudah Bude menjadi figur ibu pengganti yang kaku dan dingin.

Gaya komunikasi (gaya bahasa) Bude dengan Hendro cukup kaku, hanya sebatas memberi perintah dan larangan. “Selama tinggal di rumah ini, tugas kamu adalah ini…, ini… dan ini…,(membersihkan kamar mandi, menjaga air bak mandi tetap penuh dan juga menjaga pekarangan rumah bebas sampah sepanjang hari), kemudian kamu dilarang melakukan ini ….dan itu…” Usai melaksanakan tugas yang diberikan Bude, maka Hendro mengurung diri dalam kamar. Ia tidak berani untuk banyak ngobrol dengan Bude yang mudah galak (pemarah). Sementara itu ia kurang punya pengalaman dalam pergaulan.

Hari-hari terasa panjang. Hendro menyibukan diri dengan membaca dan dengan fikirannya sendiri. Di sekolah, ia juga tidak punya teman akrab. Ia malah cenderung menyendiri, ini disebabkan karena kurang mengenal seni bergaul yang baik.

Hendro hanya mampu bertahan hidup bersama budenya dengan fikiran normal selama tiga tahun. Tahun keempat ia terlihat depresi. Ia tidak mampu lagi menatap wajah orang, kalau dilihat maka ia mengalihkan pandangannya atau berjalan merunduk. Selanjutnya ia menjadi acuh terhadap penampilannya, rambut awut-awutan, muka jerawatan dan gigi tidak terurus. Barangkali itulah awal gejala skizoprenia- alias pribadi yang terbelah.

Kemudian ada figur yang bernama Garin. Ia lebih beruntung karena tinggal bersama kakak-adik dan ke-dua orang tuanya. Ia dibesarkan oleh orang tua sendiri, namun mengapa ia bisa jadi depressi ?

Sejak kecil hingga akhir masa remaja, Garin terlihat normal seperti halnya anak-anak lain. Ia bisa bergaul secara normal di sekolah dan di rumah. Ia mengikuti kegiatan sepak bola dan ikut bergabung dengan klub sepak bola. Namun dalam hal berkomunikasi, Garin cuma bertutur kata/ berbagi cerita dengan teman-teman sebaya. Di rumah sendiri ia memilih banyak diam. Itu karena kakak dan kedua orang tuanya tidak mengembangkan pola kebersamaan. Di rumah jarang terjadi canda dan tawa. Yang ada malah suasana marah dan bahasa yang bernada memerintah dan melarang. Kakak-kakak cuek dan ibu bapa berkarakter masa bodoh. Pola komunikasi di rumah memang terasa kaku dan dingin.

Garin tidak memiliki cita-cita di masa depan. Tamat dari SMA ia mengalami kebingungan dan tidak tahu dengan siapa harus berbagi rasa- curhat. “Dengan kakak, takut diejek dan dengan orang tua juga tidak ada respon”. Mereka juga tidak mengerti dengan hakekat masa depan. Jadilah Garin beranjak dewasa tanpa cita-cita, selanjutnya ia membenamkan diri dalam kamar. Masa depannya suram, diri terasa tidak berguna dan emosinya mudah meledak. Garin mengalami putus asa, stressed dan depresi dan butuh pil penenang setiap saat. .

Zamri dan Eriko, dua orang anak muda yang tumbuh dengan kondisi mental porak pranda sebelum dijemput oleh kematian dalam usia sangat muda. Derita kemiskinan yang dialami oleh orang tua mendorong Zamri untuk memilih sekolah SMK sebagai jalan pintas, dengan harapan pendidikan bisa cepat selesai dan cepat pula dalam memperoleh pekerjaan. Itu berarti cepat pula ia untuk bisa berbakti kepada orang tua.

Zamri menjadi anak yang sangat diharapkan orang tua agar bisa mengubah hidup. Ternyata Zamri yang miskin dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang tidak memadai merasa terbebani oleh harapan orang tua yang sangat berlebihan. Zamri hanya mampu bermimpi dan berandai-andai. Sekali lagi bahwa ia sendiri tidak punya banyak pengalaman hidup- life skill- untuk mewarnai kehidupan ini. Zamri merasa bahwa sekolah hanya bisa memberi mimpi dengan segudang teori dan bukan solusi.

Tamat dari SMK, Zamri mencoba untuk mengadu untung di metropolitan. Dengan modal nekad dan selembar ijazah, ia berangkat menuju ibu kota. Ia terdampar dan tidak tahu untuk berbuat apa maka ia dipulangkan oleh Dinas Sosial ke kampung halaman. Merasa hidup gagal dan juga kepribadian yang lemah membuat zamri jadi depresi, kesehatan yang memburuk terus membuatnya menutup mata di usia muda.

Hal yang sama juga dialami oleh Eriko. Ia anak yang tumbuh ibarat rumput liar- tumbuh sendiri dan tidak banyak memperoleh sentuhan lembut orang tua dan sanak saudara. Peran orang tua hanya sebagai pemberi makan, minuman dan pakaian. Tidak begitu peduli tentang urusan pendidikan. Bila ia melakukan kesalah sebagai seorang anak kecil- berkata jorok dan mencuri hal hal kecil milik saudaranya, maka Eriko segera memperoleh corporal punishment- hukuman fisik- seperti tendangan, pukulan dan cambukan.

Bisa jadi ayahnya salah memahami pribahasa yang berbunyi ”saya dengan kampung ditinggalkan dan sayang dengan anak dilecuti”. Atau orang tuanya pernah berteori bahwa supaya karakter anak tidak menjadi-jadi maka ia perlu disakiti. Cara mendidik/ pola pengasuhan yang demikian membuat Eriko merasa “tidak ada rasa aman dan rasa damai di rumah lagi”.

Pola asuh yang keras dan kasar terjadi karena gaya kepemimpinan orang tua yang otoriter, berpotensi membuat anak berkarakter keras dan jahat, Eriko agaknya juga berkarakter agresif terhadap teman-teman. Pada akhir masa remaja, ia merasa kesepian. Teman-teman sebaya sudah pergi merantau atau mencari jodoh dan pekerjaan. Ia kurang mampu beradaptasi dan bergaul dengan banyak orang. Dalam keluarga ia merasa ditolak dan dengan teman teman juga merasa tidak diterima. Ia merasakan dunia begitu kelabu, sempit dan tidak bersahabat. Ia banyak mengurung diri dan sibuk membenamkan diri dalam illusi, jadi depresi dan berakhir dengan kematian juga di usia dua puluhan.

Pola asuh yang kaku berpotensi membuat seseorang berkarakter kaku pula. Pola asuh ini membuat seseorang menjadi miskin dengan pengalaman emosional dan bersosial sehingga susah untuk mengekspresikan perasaan. Gejala ini dialami oleh Miss.Eti dan Bernard.

Miss Eti terlahir sebagai putri- anak kedua- dari tujuh orang bersaudara. Kematian sang ayah membuat ibu menjadi janda, tanpa keterampilan hidup yang memadai. Maka anak-anak terpencar-pencar berpindah ke dalam pengasuhan orang lain. Miss Eti jatuh ke dalam pengasuhan sebuah keluarga tanpa nak dan kurang memiliki pengalaman tentang membesarkan anak.

Agar Miss Eti tidak menjadi gadis yang berandal menurut versi fikiran ibu asuh, maka ia memberikan sejumlah aturan dan sejumlah larangan. “Dilarang bergaul dengan anak-anak tetangga yang diperkirakan nakal, dilarang mengenal laki-laki, dilarang pulang terlambat, dilarang bersenang-senang agar tidak jadi pemalas”. Maka Miss Eti diperlakukan mirip sebagai pembantu oleh ibu asuhnya.

Miss Eti memang bisa beradaptasi dan ia tumbuh menjadi gadis yang patuh dan tidak suka protes. Hidupnya terlihat sunyi, mungkin ia tidak mengenal betapa indahnya jatuh cinta. Over protektif dan banyak larangan membuat Miss Eti susah untuk bisa tersenyum apalagi untuk beramah tamah. Ia sempat menikah, namun karena tidak belajar mengenal pria membuatnya ketakutan dalam perkawinan. Untung sang suami bisa menerimanya sebagai istri apa adanya- kehilangan percaya diri. Ia sendiri sering menjadi bad mood dan berucap “Apakah aku masih cantik ?”

Kesulitan hidup dan perceraian dengan suaminya membuat Ibunya Bernard menyerahkan pola pengasuhan Bernard kepada pamannya. Namun Bernard dalam pengasuhan tidak memperoleh banyak sentuhan emosi- ungkapan kasih sayang. Ia hanya diberi tugas memelihara ternak, bila ada kesalahan “ya dibentak dan dimarahi”. Ia melalui hari-hari yang juga tidak indah, namun mampu beradaptasi dengan kehidupan yang keras ini melebihi dua puluh tahun. Hingga akhir usianya sudah di atas kepala tiga (usia 35 tahun). Pihak keluarga segera memintanya untuk mengakhiri masa lajang, namun ia berkata “Bagaimana aku bisa menikah karena aku tidak bisa mencintai wanita dan mengatakan I Love You”.

Di saat persoalan hidup makin sulit dan makin rumit. Tekanan hidup dari luar makin bertambah, maka apakah masih layak bagi kita yang hidup di zaman moderen ini mengadopsi pola pengasuhan yang kaku terhadap orang-orang dan anak-anak yang berada dalam pengasuhan kita. Sangat bijak bagi kita menyingkirkan karakter kaku tersebut. Yang tepat untuk kita terapkan adalah memberikan suasana aman, damai dan penuh kasih sayang. Kita perlu menjauhan orang yang berada dalam pengasuhan dari kata-kata kasar. Karena manusia itu unik, setiap orang tentu punya karakter tersendiri. Kita perlu beradaptasi dengan semua karakter yang berada dalam pengasuhan kita. Bila kita ingin merubah karakter mereka, mari pakai cara-cara yang sejuk tanpa pemaksaan dan yang persuasive. Tokoh-tokoh di atas nyata, namun nama dan settingnya sudah dimodifikasi.

Selasa, 14 September 2010

Sarjana Rendah Hati Lebih Laris

                                     Sarjana Rendah Hati Lebih Laris
                                       (Gie Wahyudi atau Sriwahyudi)
                                                                                Oleh: Marjohan, M.Pd
                                                                             Guru SMAN 3 Batusangkar

Tulisan beikut juga terinspirasi oleh pribadi muridku Gie Wahyudi yang sangat terpuji, ia baik hati dan amat santun dalam bekomunikasi. Ia sempat menjadi muridku terbaik dan belajar denganku selama tiga tahun dan dia punya banyak teman akrab seperti Viko, Hani, Harum cempaka, dan lain-lain, namun tulisan ku ini adalah tentang dia, seorang sarjana yang rendah hati.
             
Dunia usaha selalu membutuhkan orang-orang yang cerdas. Orang-orang cerdas bisa jadi berasal dari keluarga cerdas dan sekolah yang hebat. Seseorang mungkin berfikir bahwa sekolah yang hebat mampu menghasilkan siswa yang hebat atau cerdas karena sekolah tersebut memiliki standard disiplin yang tinggi, guru yang tegas, berwibawa dan mahal senyum, sementara fokus aktivitas siswanya adalah selalu belajar dan berlatih. Namun dalam kenyataan bahwa kondisi pembelajaran di sekolah yang hebat, bukanlah demikian (?).

Pengalaman saat mengunjungi sekolah- sekolah berkualitas- sekolah unggulan, dengan uang sekolahnya sangat mahal- dijumpai kondisi sekolahnya yang begitu harmonis dan damai, hubungan antara guru-siswa yang rileks, berinteraksi melalui bahasa yang lembut dan santun. Sementara staff dan kepala sekolah tidak pernah memperlihatkan karakter yang berlebihan- dingin dan arrogant. Sebaliknya ada sekolah yang dipromosikan sebagai sekolah- lembaga pendidikan yang berkualitas- menerapkan disiplin yang hebat- ketat dan kaku- dalam kenyataan populasi siswanya merosot terus.

Pemilihan ketua osis (organisasi intra sekolah) yang dicampuri oleh kekuasaan sekolah biasanya akan memilih ketua osis yang yang cerdas namun dipandang berkarakter arrogant dan suka mengatur oleh sebahagian anggotanya. Demilkian pula dalam pemilihan Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan pemilihan Gubernur yang dipengaruhi oleh kekuatan dari atas biasanya juga akan memilih tokoh yang hebat dalam berpidato, namun berkarakter otoriter, arrogant dan suka mengatur. Sebaliknya pemilihan tokoh (ketua osis, Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan Gubernur) yang dipilih oleh anggota/ rakyat, mereka akan memilih tokoh/ figure yang cerdas atau hebat namun rendah hati.

“Pilihlah orang yang cerdas dan rendah hati..!” Fenomena ini juga terjadi dalam dunia usaha/ dunia kerja: perusahaan swasta, dan BUMN. Ada salah seorang sarjana lulusan Universitas di daerah bisa memperoleh posisi pekerjaan di perusahaan yang bergengsi di ibu kota ( Jakarta ). “Mengapa anda bisa memperoleh pekerjaan dengan posisi yang bagus di metro politan dan mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan hebat seperti UI, ITB, IPB, UNPAD, Gajah Mada, dan lain-lain ?” Dia menjawabnya bahwa keunggulannya yang dinyatakan selama wawancara- ia dinyatakan sebagai sarjana berkualitas yang rendah hati. Kalau ini menjadi fenomena maka sarjana cerdas namun berkarakter angkuh, arrogant, otoriter dan egoist akan tidak laku dalam dunia kerja. Namun apakah banyak mahasiswa dan para sarjana yang tahu dengan fenomena ini ? Bisa jadi “ya” dan bisa jadi “tidak”.

Sampai detik ini, cukup banyak orang tua yang memasung anak di rumah atas nama pendidikan atau kasih sayang. Mereka hanya memaksa dan memotivasi anak sekedar belajar dan mengikuti berbagai macam kursus mata pelajaran. Namun mereka tidak diberi pengalaman tentang kecakapan hidup- mengikuti kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan di luar rumah lainnya, karena dianggap sebagai buang-buang waktu dan mengganggu pelajaran. Pada akhirnya anak memang tumbuh jadi cerdas secara akademik namun mereka kurang memilki kepekaan sosial- cuek, acuh dan masa bodoh terhadap sesama.

Begitu pula dengan kodisi pembelajaran di banyak sekolah. Para guru mungkin sekedar mengejar pencapaian kurikulum. Menghardik, membentak dan mengancam agar siswa bisa tertib dan mengikuti disiplin. Ini merupakan suasana belajar dengan guru-guru yang bergaya otoriter. Dalam kenyataan bahwa gaya belajar yang memaksa, menggertak, mendikte, mengejek bisa berpotensi dalam mematikan motivasi dan semangat belajar anak didik.

Namun, saat sarjana cerdas yang rendah hati, menjadi fenomena di dunia. Orang cerdas yang rendah hati lebih disukai dari pada mereka yang cerdas namun sombong, arrogant, dan tinggi hati. Maka kini masyarakat- guru dan orang tua perlu untuk meresponnya dalam praktek edukasi di rumah dan di sekolah.

Program belajar yang diyakini bisa membuat anak bisa jadi cerdas namun rendah hati selalu diminati. Learning center yang bisa membantu anak jadi cerdas dan rendah hati juga menjadi ngetrend, walau biaya belajarnya mahal- selalu diserbu.

Ada learning center sebagai tempat belajar dan bermain, yang merancang program belajar dan bermain agar anak tumbuh cerdas dan peka terhadap sosial (www.playhousedisney-asia.com) menawarkan aktivitas seperti :let your preschooler get a headstart through fun learning in the world filled with discovery and imagination on play house, designed for kids- fun learning in a world. Tentu saja aktivitas ini berada di tempat belajar yang menyenangkan- membuat anak cerdas namun rendah hati- adalah dengan menyediakan sarana belajar dan bermain dalam kelompok teman sebaya. Di sana mereka ditemani oleh guru yang berkarakter penyayang- menyayangi dan membimbing anak-anak untuk melakukan discovery (penemuan).

Sarana belajar yang berorientasi discovery tidak perlu serba mahal. Sarana belajarnya bisa jadi berupa tanah, pasir, kerikil, rumput, serangga, hewan kecil, balok-balok, cangkul kecil, bangku kecil, pisau tumpul, dan lain-lain yang bisa digenggam oleh tangan kecil dan mengoperasikannya. Yang penting di sana tidak ada suasana menakutkan- gertakan, kemarahan guru/ orang tua, penekanan dan permusuhan. Namun yang ada musti suasana pencarian, kebersamaan, semangat eksplorasi yang diperkaya dengan pujian dan pompa semangat.

Mushola dan surau juga bisa menjadi learning center di daerah perumahaan- untuk menciptakan anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Kegiatan didikan subuh, dimana ada anak yang bertanggung jawab sebagai protokol, pembaca do’a, pembaca ayat/ bacaan sholat, juz amma, zikir dan kultum (kuliah tujuh menit) yang mengkondisikan mereka tampil di depan sesamanya. Ini cukup ampuh untuk membuat mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Selanjutnya bahwa musholla dan surau juga bisa efektif sebagai learning centre untuk daerah perumahan apabila di sana juga ada kegiatan reading society, kesenian dan olah raga.

Kini apalagi ? Ya, orang tua yang berkarakter cerewet, pemarah, dan suka menekan dalam mendidik sudah tidak zamannya lagi. Juga sudah tidak zamannya lagi bagi guru yang cuma mendidik sekedar membayar tugas. Lebih peduli terhadap kerapian dan kelengkapan administrasi/ RPP namun tidak berkarakter kreatif dan inovatif sebagai seorang guru. Apalagi bila mereka miskin dengan pengalaman paedagogi, wawasan dan informasi, serta lfe skill.

How to do and what to do ? Sri wahyudi- sekarang nama barunya "Gie Wahyudi" , salah seorang murid penulis ketika belajar di SMA, adalah cuma seorang anak pedagang es keliling yang selalu meningkatkan kualitas percaya diri. Ia ikut tampil dan ikut berbicara di depan teman-teman. Kesempatan seperti itu bisa meningkatkan rasa percaya diri. Di rumah ia juga ikut meringankan kerja orang tua. Ia juga ikut bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak tetangga- berendam air, main lumpur, mencari serangga, mengembara di sawah, namun juga serius dalam belajar dan membaca. Ia mencoba untuk berdialog dengan banyak orang dan mengunjungi banyak tempat. Setelah tamat kuliah, maka ia menjadi sarjana yang rendah rendah hati, mengikuti kompetisi bursa kerja dan segera mrmperoleh posisi kerja yang cukup punya gengsi di ibu kota.

Dari pengalaman hidup kita ketahui bahwa orang-orang cerdas yang rendah hati bukanlah orang yang memperoleh pendidikan secara karbitan. Namun mereka adalah orang yang tumbuh dari tempaan pengalaman hidup yang kaya variasinya. Mereka ikut bersosial, beribadah, meringankan beban hidup orang tua, peduli dengan aktivitas tetangga dan tidak gengsi gengsian dalam bekerja. Sarjana- orang cerdas- yang rendah hati adalah orang yang pas dengan karakter bangsa ini. Moga moga bermunculan ribuan sarjana rendah hati seperti Gie Wahyudi (https://www.facebook.com/giewahyudi)

Senin, 13 September 2010

Musibah Dalam Rumah Bisa Berakibat Fatal

Musibah Dalam Rumah Bisa Berakibat Fatal
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar



“Mujur tidak dapat diraih dan malang tidak dapat ditolak”, adalah ungkapan yang sering kita dengar, ini berlaku pada semua orang dan termasuk bagi orang tua penulis sendiri. Sejak kematian ayah penulis karena stroke tujuh tahun lalu, ibu penulis sering berucap “apakah aku masih bisa hidup dalam waktu setahun atau dua tahun ini ?”


Kematian dan kelahiran memang suatu hal yang ghaib. Tidak ada orang yang tahu “kapan dan dimana” ia akan mati. Bagi ibu penulis, dalam kenyataan, malah ia meninggal tujuh tahun setelah kematian sang ayah. Semua orang mungkin bisa kaget dalam menyambut kematian anggota keluarga, apalagi bila mereka tidak terbiasa dalam menyiapkan mental.


Pendidikan umum yang kita peroleh (kecuali bagi mereka yang sekolah di pendidikan jalur agama) mulai dari bangku SD, SMP, SMA dan terus ke tingkat Sarjana, Pascasarjana dan Doktoral, hanya membuat kita tahu banyak tentang ilmu duniawi semata. Kebanyakan pemahaman ilmu agama kita hanya gara-gara bekal ilmu yang kita peroleh pada saat duduk di bangku SD dan SMP saja. Beruntunglah bagi mereka yang melakukan otodidak, sehingga setelah dewasa kualitas pemahaman agama mereka tidak setara dengan anak kecil lagi.


Penulis bisa sedikit menghibur diri, karena pernah menjadi remaja mesjid/ remaja surau, sehingga sempat menambah ilmu agama- menghafal banyak do’a, ayat pendek/ juz amma, dan tata cara menyelenggarakan jenazah. Saat mobil ambulance meraung-raung menuju rumah sakit, penulis ikut di dalamnya dan berkosentrasi mengulang-ulang hafalan do’a dan shalat jenazah.


Penulis berfikir bahwa mungkin tahun ini (2010) adalah tahun kematian buat ibu. Setiap kali pulang kampung/ mengunjungi ibu, beliau selalu menyampaikan tentang kemunduran fisiknya- mata yang susah untuk melihat, fikiran yang sangat pelupa dan perasaan tubuh yang sering kurang stabil. Penulis memang melihat sorot matanya yang sering kosong dan kulit pipi yang agak gembul.


Jam satu dini hari, minggu pertama bulan puasa, ada telepon dari kampung mengatakan bahwa ibu jatuh terpeleset dan tertimpa air mendidih, “Ya Allah, mengapa ini bisa terjadi ?”. Menjaga keselamatan orang tua lanjut usia (lansia) seharusnya ibarat menjaga keselamatan anak-anak balita- jauhkanlah hal hal yang membahayakan dari keselamatan jiwanya. Sebuah petaka terjadi pada ibu penulis, saat ia ingin pergi ke kamar kecil, ia terpeleset dan terhenyak (terduduk) ke dalam wadah yang berisi air mendidih.


Malam itu adik penulis menjemput ibu dan melemparkan amarahnya atas kecerobohan family dalam menjaga ibu. “Jangan begitu…., marah-marah tidak akan mengatasi masalah dan tidak mungkin kami punya maksud jelek untuk mencederai orang tua kami sendiri”, kata salah seorang family. Itu namanya taqdir. Taqdir yaitu peristiwa buruk dan peristiwa baik yang bisa terjadi dalam kehidupan setiap orang.

Malam itu ibu penulis dijemput dan dibawa dengan mobil carteran ke rumah sakit Adnaan WD di Payakumbuh. Perawat segera memasang infuse dan pipa cateter untuk menyalurkan urine ke kantong urine. Kulit yang sudah tua terlihat lebih parah bila melepuh. Kemudian penulis dan beberapa anggota keluarga bergantian menjaga dan menemani ibu yang terbaring di dalam kamar bedah.


Terus terang penulis separoh berani melihat luka bakar yang terlihat begitu parah. Wilayah bakarnya cukup luas, mulai dari punggung terus ke panggul dan (maaf) terus ke wilayah kemaluan- perih bukan. Kadang-kadang kulitnya melengket ke kain dan berdarah bila terkelupas. Posisi ibu untuk tidur jadi serba susah, miring susah, telentang susah dan tengkurap susah, karena luka bakar melingkari bagian bawah tubuh. “Ya, ampun lebih aku wafat saja saat itu”, keluh ibu agak putus asa.


Hari itu ibu tampak bosan tidur dengan posisi tengkurap dan ia ingin berubah posisi. “Bismillahirrahmanirrahim…, one-two-three”. Kami mengangkat tubuh ibu dan ibu meraung ibarat anak kecil. Ya memang sakit karena ada lagi kulit yang melengket terkelupas dan kembali berdarah. Luka bakar lansia memang lama sembuhnya.


Aroma luka bakar ibu agak menyengat penciuman, kami menyewa orang yang terampil membersihkan, karena kami sebagai anak laki-laki (penulis) tidak tahu banyak apa yang harus dibersihkan- namun kami juga ikut membersihkan bab (buang air besarnya) nya. Setelah aroma amis ibu hilang, orang-orang tidak enggan lagi untuk mendekat.


Setelah terbaring hampir dua minggu tanpa banyak bergerak, akibatnya ibu menjadi resah dan stress. Ibu terbiasa jarang mengeluh, namun beliau terdengar ngomong sendiri- barangkali itu adalah sebagai kompensasi untuk mengatasi rasa sakit, bosan dan stress. Penulis dan family yang lain, memegang jari jemari atau mengusap dahi ibu dan mengajaknya ngobrol tentang masa lalu yang indah dan mengungkapkan betapa rasa sakit ibu juga kami rasakan bersama sama. Ibu bisa tersenyum dan jadi lega.


Akhirnya luka bakar ibu mulai mongering dan tinggal lagi masa-masa penyembuhan untuk beberapa hari lagi. Ibu sudah banyak tersenyum, dan bisa bercanda. Perawat pun melepaskan pipa infuse dari tangan ibu. Saat itu penulis memutuskan untuk pulang sebentar untuk mengontrol anak-anak yang sedang berpuasa ke Batusangkar.


Lagi-lagi telpon (Hape) bordering, “Ibu sudah meninggal dunia…!”. Mulut penulis spontan berkomat-kamit melantunkan do’a untuk menenangkan hati, sambil members-bereskan rumah dan anak-anak dan menunggu keputusan.


Keputusannya adalah bahwa jenazah ibu dimandikan dan dikafankan, juga disholatkan, saja di rumah sakit. “mengapa begitu..?’. Setelah gempa melanda daerah Padang dan Pariaman tanggal 31 September tahun lalu, itu membuat rumah-rumah kami yang di Lubuk Alung separoh hancur dan merusak dapur serta sumur. Akhirnya dari rumah sakit Adnaan WD Payakumbuh, jenazah ibu dilarikan lagi dengan ambulan dan penulis menyusul dari batusangkar. Arus mudik orang yang pulang kampung untuk berlebaran sedikit mengganggu kelancaran transportasi.


Jenazah ibu disholatkan lagi di Lubuk Alung. Sanak family semuanya hening dan mereka menunggu penulis yang terlambat datang selama satu jam. Penulis tidak sempat ikut sholat jenazah, namun penulis akan melakukan sholat ghaib sore itu atas mayat ibu tercinta.

Penulis mewakili adik-kakak dan keluarga lain dalam menyampaikan kata-kata maaf dan bela sungkawa. Penulis tidak bisa melihat siapa yang hadir, kecuali menatap tubuh ibu yang terbungkus dengan kain kafan. Penulis sempat meraba wajah ibu dari balik kafan, dengan perasan lirih. Kemudian penulis ikut menggotong ibu menuju kuburan, saat itu suasana terasa begitu sunyi.


Adik, keponakan dan bertiga dengan penulis meluncur ke dalam kuburan untuk menyambut jazad ibu yang diturunkan dari tandu. “satu…dua…tiga”, Alhamdulillah jazad ibu cukup ringan. Mungkin karena di hari hari tuanya ibu cukup rajin sholat sunat dan berzikir. Penulis ikut meletakkan jasad ibu dengan rasa hati yang pilu. Sekali-sekali penulis meraba tangan ibu terus ke pundak dan kepala ibu. Secara spontan bibir penulis bergetar dan berbisik, “ibu…..aku mencintai, menghormati dan menyayangimu sepenuh hati. Ibu…., Bila anakmu banyak khilaf dalam bertindak dan bertutur kata sehingga melukai hatimu, maka maafkanlah anakmu ini…., Ibu…ini sentuhan ku yang terakhir atas jasad mu,…selamat jalan dan maafkanlah aku ibu…!”. Tidak terasa air mata penulis pun jatuh berderai. Kuburan ibu makin padat dan penulis ke luar dengan berat hati.


Enam September itu penulis ikhlas sekali melepas kepergian ibu menuju Sang Pencipta, dari pada ibu menderita lebih lama di kamar bedah. Ternyata luka bakar ibu belum begitu sembuh, karena masih ada sedikit noda darah terpercik dari berkas lukanya yang terlihat dari kafannya. Malam itu penulis tidak bisa tidur, rasanya ingin lagi bisa bersama ibu di dunia, tetapi itu tidak mungkin. Penulis membayangkan hari hari indah- saat ibu datang ke sekolah, saat ibu memberi penulis semangat hidup jikalau sedang stress, saat penulis telah mendapatkan gadis pilihan dan minta pendapatnya, dan masih ada sejuta kenangan bersama ibu.


Memiliki ibu dan ayah yang masih hidup itu begitu indah. Andai kematian mereka masih bisa ditunda karena kita mampu merawatnya maka lebih tepat kita rawat orang tua yang telah lansia dengan penuh bijaksana. Kepada mereka yang masih punya ibu dan bapa, berbuat baik dan bermanja-manjalah selagi beliau masih hidup. Namun jauhi hal hal yang membahayakan beliau agar musibah tidak segera merenggut nyawanya.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...