Rabu, 07 Oktober 2015

Saatnya Siswa Kita Bisa Cerdas Level Internasional



Saatnya Siswa Kita Bisa Cerdas  Level Internasional
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

            Kata-kata “smart” sangat diburu oleh banyak orang. Orang tua ingin anak mereka menjadi smart kid dan bersekolah di smart school. Banyak masyarakat yang memburu tempat kursus yang punya label “smart”. Kemudian juga muncul istilah smart book dan smart street.
            Banyak orang tahu bahwa kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas buku, maksudnya kalau di sekolah seorang siswa mampu melahap semua buku teks dengan tuntas. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam fikirannya. Sementara itu, smart street berarti cerdas di jalanan, maksudnya seorang siswa pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri. Orang yang smart street adalah orang yang memiliki life skill.
            Anak anak kita yang belajar di sekolah unggulan, pada umumnya sudah memiliki smart book. Namun suatu kali saya pergi menemati mereka buat studi tour ke pulau jawa, mereka tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam yang menunggu cukup jauh. Mereka cukup kehilangan akal, meski butuh waktu cukup lama buat membantu mereka. Ini terjadi dalam akibat mereka minim dengat smart street dan bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata.
            Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah lain yang tidak punya label unggul atau label smart. Malah mereka sedikit terkenal nakal, tentu saja kenakalan yang masih bisa diberi tolerasi, saat terjebak di jalan buntu dan sepenggal masal social. Mereka bisa mencari solusi. Itu karena mereka memahami jalan atau street, sehingga mereka cukup tahu dengan smart street.  
            Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua negara yang cukup berbeda, ibarat berbedanya timur dan barat. Kedua negara ini berbeda dalam kemajuan system pendidikan, kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan banyak hal. Praktek pelaksaan mendidik di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sekolah di Indonesia. Saya menulis hal ini bukan untuk maksud menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu saya cintai.
            Di Indonesia semua anak di dorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Meski dalam urusan mendidik banyak orang tua sekedar pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu. Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus.
            Di negara ini banyak anak yang hanya belajar dan terbelenggu oleh urusan kognitif semata. Meski sudah ada pemaham kea rah konsep afektif/ sikap dan praktek, tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya belum menyentuh dasar keberanian anak.
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga datanglah usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu anak- anak pintar dikirim lagi ke tempat bimbel atau bimbingan belajar. Cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam kamar akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan letih dan lesu menjelang senja tiba. Dan seperti itulah fenomena anak anak unggulan a’la Indonesia.
            Memang belajar pada Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena bagi anak-anak cerdas dan orang tua mereka punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dibikn dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan anak anak cerdas. Agar bisa menjadi menariki maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan tentor yang memiliki pribadi menarik dan performance anggun, semuanya menjadi belajar dengan mentor pilihan.
            Tentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari guru- guru mereka sendiri di sekolah mereka yang kadang kala berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik. Ya ini adalah fenomena, bahwa pribadi tentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak mereka bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorite. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan merkarir di tempat yang basah, kapan perlu banjir dengan duit.
            Yang mereka telah lihat dan ditayangi video bahwa bagi yang memiliki skor akademik, bakalan di jurusan terbaik dan universitas favorite. Pada akhirnya rententan karir- karir cemerlang sudah menunggu. Ini memang adalah motivasi terbaik buat menggenjot minat belajar.
            Orang tua di rumah juga sudah memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat untuk meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorite. Orang tua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang bangsa kita dan apalagi anak anak muda senang dengan merek atau label. Mereka selalu mencari pakaian mereka, sebagai contoh. Sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “satu juta perak” namu pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”.
            Seorang family yang baru pulang dari Amerika Serikat, setelah mengikuti program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” tindak henti henti berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life mereka dan way of life kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di Indonesia secara umum, pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin untuk melahap rumus- rumus pelajaran. Pagi hingga awal sore belajar di sekolah dan dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah dan pulang bimbel membuat badan sudah tersa capek dan pengen tidur saja atau nonton saja lagi, dan mana ada waktu lagi buat menolong mama di rumah.  
Badan mereka lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya anak anak kita telah merasa sebagai warga modern dengan mengkonsumsi jajanan cepat saji, makanan dan minuman yang kaya dengan racun- racun kimia. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minumah dalam labelmewah namun tidak menjanjinkan kesan ikut mendorong anak berperilaku hidup tidak sehat dan mengadoppsi life style mewah. Pokoknya asupan gizi yang kurang hewat membuat mereka juga kurang sehat. Mana mungkin tubuh dan fikiran terasa bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu.
“Ya demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup mereka. Gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin semata”
Di negara Paman Sam sana, dikatakan bahwa bahwa anak-anak belajar secara alami saja, tidak begitu demam bimbel betul. Tempat bimbel itu tetap ada. Belajar di sekolah saja itu mereka rasa sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi harus ikut bimbel.
Guru- guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikannya dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim layanan prima: look smile, greed, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi.  
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan”.
Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, hingga main karate. Mereka menekuninya bersungguh- sungguh- sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional atau internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada midang music dan seni, mereka pada menyerbu theater. Ada yang mendalami music jazz, music pop, biola, key board, mendalami ballet hingga seni lainnya. Mereka juga menekuni hobi ini hingga pada akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theter professional.  
Bagaimana dengan urusan akademik ? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuni. Walau mereka pada umumnya tidak beragama Islam, namun mereka berbuat sesuai dengan konsep agama kita “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Orang tua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang anak. Orang tua di negara kita memahami bahwa setiap anak perlu memahami dan menguasai akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak mereka yang telah menghabiskan waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi dan kelak kuliah di tempat yang favorite (?).  Setelah itu seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang datang dengan mudah.
Makanya orang tua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik dan mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan social di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Jadinya anak tidak kenal dengan pengalaman memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orang tua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game online atau hanyut dengan facebook, twitter, bbm, dan media social lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, tidak melebur dengan tetangga atau lingkungan social maka lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan social.  
Kita mendidik dengan salah konsep, anak korban tekhnologi dan hiburan, hingga rumah-rumah dan sekolah kita yang menciptakan anak yang hanya cerdas akademik namun buta dengan lingkungan- tidak punya life skill- kurang mampu dalam mengurus diri. Pendidikan kita telah menciptakan anak- anak yang sekedar “rancak di labuah”  yang sekedar cakep pada penampilan, smart book but poor life skill.
Hal yang berbeda dengan orang tua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orang tua yang memahami konsep parenting. Perkawinan di sana punya sarat bahwa semua calon pengantin sebelum menikah musti mengikuti kursus parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Hampir semua orang tua di sana tahu dengan peran mereka. Orang tua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orang tua sebagai educator akan menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam social. Hingga sekolah dan rumah- rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.
Anak- anak di Indonesia berlomba-lomba buat belajar smart agar kelak mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang miskin smart street dan tidak punya life skill akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Mereka berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” tahun berikutnya atau mengirim lamaran demi lamaran ke daerah yang jauh darim kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan masa hingga usia merangkak tua.
Anak- anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sekedar ikut-ikutan atau gengsi- gengsian. Di sana tidak ada fenomena memfavoritekan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di Perguruan Tinggi telah menggiring anak- anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak- anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.
Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa- biasa saja mendidik anak menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak- anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional.
(Marjohan, M.Pd- Guru SMA 3 Batusangkar- Peraih Predikat Guru Berprestasi Nasional)

Home Schooling Sebagai Alternatif buat Sukses



Home Schooling Sebagai Alternatif buat Sukses
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

Untuk bisa menjadi cerdas setiap orang perlu belajar. Belajar itu penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Ada dua jenis cara belajar yaitu belajar dengan bimbingan dan belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bimbingan atau belajar sendiri (Self Learning).
Sebetulnya self learning telah dilaksanakan oleh setiap orang dalam kehidupannya. Saat usia kecil, dengan gigih sebagai bentuk naluri kecerdasan ia berlatih untuk belajar berjalan secara mandiri. Kelak setelah agak besar jugabelajar sendiri untuk menyuap nasi, memasang pakaian, hingga belajar sepeda. Anak-anak yang diberi kesempatan untuk belajar secara mandiri akan tumbuh menjadi lebih cerdas melalui pribadi yang mandiri.
Konsep belajar mandiri yang kerap kita lakukan baru sebatas menguasai keterampilan atau kecakapan hidup harian seperti belajar bersepeda, belajar main layang-layang, belajar berenang. Sementara kecakapan hidup yang lebih spesifik, sebagaimana yang dilakukan oleh Titik Puspa yang menjadi penulis syair lagu dan penyanyi tanpa melalui universitas. Gayatri (almarhumah) seorang siswa dari Ambon yang menguasai 14 bahasa dunia, Haji Agus Salim, pahlawan nasional, yang menguasai 9 bahasa asing, politik dan ilmu sosial budaya tanpa pergi ke perguruan tinggi. 
Self learning akhirnya juga menjadi sebuah teori pembelajaran yaitu “automous learning”. Autonomous learning adalah pembelajaran yang menitik beratkan pada aktivitas peserta didik, baik secara individual maupun kelompok dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam memilih substansi yang akan dipelajari. Sinonim dari “self learning  adalah otodidak (autodidact).
Otodidak berasal dari bahasa Yunani yaitu autodidaktos yang artinya belajar sendiri. Istilah self learning tentu saja istilah dalam Bahasa Inggris, sementara istilah otodidak lebih kita kenal di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh hebat Indonesia, yang jadi hebat melalui otodidak. Orang otodidak tidak membutuhkan figur seorang guru atau pembimbing untuk mempelajari satu hal. Tanpa bantuan dari orang lain seseorang yang belajar secara otodidak mampu mempelajari hal-hal dasar dari ilmu yang sedang mereka pelajari.
Orang yang sukses karena otodidak dikagumi karena mereka mampu mempelajari sesuatu dengan baik dan dibarengi oleh prakteknya, sebagian dari mereka mampu mengungguli kemampuan orang yang belajar ilmu yang sama dengan cara dibimbing. Misal, seorang jago music yang pintar karena otodidak dan jago musik karena belajar melalui kuliah.
Sang otodidak jago dalam praktek, sementara yang jago lewat universitas hanya tahu dengan teori, dan kualitas musiknya sering tidak begitu menarik. Bidang yang paling banyak dihuni sama orang-orang otodidak ini adalah bidang seni, sastra, kerajinan tangan, pokoknya bidang-bidang yang menghasilkan sebuah karya seperti bermusik dan akting juga termasuk.
Sekarang istilah “home schooling” lebih dikenal luas dari pada otodidak atau self learning. Home schooling menurut Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki) adalah metode pendidikan alternatif yang dilakukan di rumah, dibawah pengarahan orangtua atau tutor pendamping, dan tidak dilaksanakan di tempat formal lainnya seperti di sekolah negeri, sekolah swasta, atau di institusi pendidikan lainnya dengan model kegiatan belajar terstruktur dan kolektif.
Home-schooling bukanlah lembaga pendidikan, bukan juga bimbingan belajar yang dilaksanakan di sebuah lembaga. Tetapi home-schooling adalah model pembelajaran di rumah dengan orang tua sebagai guru utama dan bisa juga mendatangkan guru pendamping atau tutor untuk datang ke rumah. home-schooling juga bukan berarti kegiatannya selalu dilaksanakan di rumah, siswa dapat belajar di alam bebas baik di laboratorium, perpustakaan, museum, tempat wisata, dan lingkungan sekitarnya. Tetapi inti dari home-schooling tetap yaitu model pendidikan yang dilaksanakan di rumah dengan orang tua sebagai guru utama.
Para orangtua memiliki sejumlah alasan yang membuat mereka memilih model pendidikan home-schooling untuk anak-anak mereka. Tiga alasan yang kebanyakan dipilih oleh orangtua di Amerika Serikat adalah masalah mengenai lingkungan sekolah, untuk lebih menekankan pengajaran agama atau moral, dan ketidaksetujuan dengan pengajaran akademik di sekolah negeri atau sekolah swasta.
Home-schooling tidak hanya ditujukan buat anak- anak, malah juga bisa dilakukan oleh remaja dan orang-orang dewasa. Atau dilakukan oleh seseorang sejak dari usia yang sangat muda, terutama di masa lalu. Di masa lalu sekolah belum dianggap orang sebagai satu-satunya opsi pendidikan untuk anak-anak. Di masa lalu sekolah tidak wajib, orang tua masih sadar sepenuhnya bahwa bersekolah adalah pilihan, bukan kewajiban. Orang tua masa lalu masih sadar bahwa belajar tidak harus di sekolah karena mereka masih sadar dunia di luar tembok sekolah tidak selebar daun kelor.
Zaman sekarang home-schooling dianggap sebagai pendidikan alternatif yang tidak efektif, kurang sosialisasi, dan sebagainya. Apakah betul tanpa sekolah, anak-anak tidak mungkin sukses? Sejarah membuktikan bahwa tanpa memilih sekolah pun, jika orang tua memfokuskan memfasilitasi pendidikan pada kelebihan anak-anaknya, sukses tidak akan berada jauh dari anak-anak yang mempunyai hambatan belajar dan juga dari mereka yang tidak cocok dengan pengkondisian di sekolah.
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya home-schooling. Cukup banyak tokoh-tokoh dunia dari berbagai bidang seperti penulis, penemu, fotografer, penyair, composer (penulis lagu) hingga Presiden belajar secara home-schooling atau otodidak untuk bidang yang mereka minati. Jumlah mereka sangat bayak, beberapa di antaranya adalah seperti:
1). Penulis yaitu Agatha Christie dan Laura Ingalls. Agatha Christie (1890-1976), penulis novel dengan nuansa detektif. Novelnya cukup laris sepanjang masa. Figure novelnya adalah Hercule Poirot dan Miss Marple. Waktu kecil dia sangat pemalu sehingga ibunya memutuskan mendidiknya sendiri di rumah meskipun kedua saudara kandungnya disekolahkan di sekolah swasta. Keputusan ibunya tersebut terbukti tepat karena anak pemalu itu tumbuh menjadi penulis yang terkenal melewati masa hidupnya.
Laura Ingalls Wilder (1867-1957) adalah penulis bacaan anak dan guru dari Amerika. Penulis menonton filmnya berdasarkan novelnys ysng berjudul “Little House on the Prairie”. Ia tidak bersekolah sampai keluarganya menetap di Daerah Teritori Dakota- Amerika Serikat. Ia sendiri menjadi guru sekolah ketika usianya baru 15 tahun. Buku-bukunya yang menceritakan kehidupan sehari-hari keluarga pionir di masa itu sangat terkenal hingga saat ini, membuktikan kesuksesan pendidikannya ber-home-schooling.
2). Penemu yaitu Alexander Graham Bell dan Thomas AlvaEdison. Alexander Graham Bell (1847-1922, penemu dan pendidik dari Amerika kelahiran Skotlandia, penemu telepon (1876) ). Ibunya mendedikasikan hidupnya untuk mendidiknya tanpa sekolah sampai sang ibu kehilangan pendengaran. Ibunya mengilhami dia untuk meneliti bunyi dan suara.
Thomas Alva Edison (1847-1931, penemu bola lampu dari Amerika). Dianggap bodoh dan selalu melamun oleh guru sekolahnya sehingga ibunya menarik dia keluar setelah hanya tiga bulan. Pada masa kini Edison mungkin didiagnosis mengidap ADD (Attention Deficit Disorder). Ibu Edison bukan jenius dan bisa dibayangkan bahwa sebentar saja kecerdasannya telah terlampaui oleh anaknya. Namun kelebihan home-schooling adalah keluwesannya sehingga Edison tumbuh menjadi penemu besar.
3). Fotografer yaitu Ansel Easton Adams (1902-84) dari Amerika, pionir dalam penelitian teknologi dan teori. Belajarnya hanya lewat homeschool dengan ayahnya setelah usia 12 tahun karena dia tidak bisa diam dan pernah menghina gurunya. Didikan ayahnya tidak sia-sia karena ia menjadi fotografer berbakat dan terkenal.
4) Penyair yaitu Robert Lee Frost (1874-1963), seorang penulis puisi Amerika, karyanya A Boy’s Will- Suatu Keinginan Anak Laki-Laki (1913). Ia tidak tertarik dengan sekolah dan sampai-sampai selalu merasa  sakit kalau harus pergi ke sekolah. Untung dia belajar lewat home-schooling, tidak dipaksa sekolah. Kalau sekolah terus, mungkin dia jadi ‘biasa-biasa saja’, tertekan jiwanya, dan dunia tidak bisa menikmati puisi-puisinya.
5). Komposer yaitu Wolfgang Amadeus Mozart. Seorang komposer Austria, penulis lebih dari 40 simfoni, hampir 30 konserto piano, lebih dari 20 string kwartet, dan 16 opera, termasuk opera Perkawinan Figaro (1786), Don Giovanni (1787), Cosi fan tutte (1790), The Magic Flute (1791). Bayangkan kalau Mozart masuk sekolah, dunia akan kehilangan begitu banyak karya-karya musik brilian yang ditulisnya semasa kecil.
6). Presiden yaitu Woodrow Wilson, presiden ke-28 AS (1913-21). Ia juga pelopor berdirinya PBB, penerima Nobel perdamaian (1919). Ia belajar lewat home-schooling dan diajar sendiri oleh ayahnya. Dia tidak bisa membaca sampai usia 12. Namun ketika dewasa ia meneruskan pendidikannya di Universitas Princeton, dan selanjutnya ia aktif dalam bidang politik hingga bisa menjadi Presiden.
Dewasa ini belajar melalui jalur formal sudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun kualitas pendidikan melalui pendidikan formal sering  kurang kurang memberi dampak pada rasa sukses. Juga melihat realita bahwa cukup banyak orang yang berkarir tidak sesuai dengan ijazah kuliah yang ia peroleh. Ijazahnya adalah sebagai sarjana tekhnik namun bekerja sebagai pegawai bank. Atau ijazahnya sebagai sarjana Hubungan Internasional dan karirnya adalah dalam bidang kuliner.
Untuk mendukung kesuksesan maka dianjurkan agar yang tertarik untuk melakukan home schooling, misal dalam bidang olah raga, mungkin ingin menjadi atlit badminton, atlit renang, atau atlit catur yang professional. Home-school yang lain adalah mungkin ingin menjadi seorang penulis, seorang penceramah/ motivator, pemain music seperti biola, piano atau penggubah lagu. Karena home schooling dalam bidang ini bisamembuat seseorang lebih cepat sukses dan melengkapi kualitas pribadinya melalui pendidikan formal.
Siapa saja bisa melakukan home schooling untuk meningkatkan kualitas diri atau sebagai alternative belajar buat sukses. Maka mereka musti melakukannya dengan sungguh-sungguh.  Tip-tip agar sukses untuk home-schooling meliputi konsisten, target, pengumpulan materi/ buku-buku, manajemen waktu, uji coba/ latihan, dan membuat kelompok belajar.
1). Konsisten, yaitu tingkat konsistensi yang tinggi. Ini sangat berpengaruh pada hasil pembelajaran yang akan kita dapatkan.
2). Target, yaitu sebelum belajar, alangkah baiknya kalau kita menentukan terlebih dahulu target apa yang akan kita capai dan jadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk kita. Dengan adanya target, pembelajaran maka insyaallah kita akan lebih terarah.
3) Pengumpulan materi atau buku-buku, yaitu kita tentu membutuhkan bahan untuk home-schooling berupa buku-buku, kliping dari Koran dan majalah. Atau malah mendownload beberapa e-book yang menurut kita bagus dari internet. Setelah itu, kita focus untuk mempelajarinya. Misalnya pengalaman saya pribadi dalam home schooling untuk belajar Bahasa Perancis dan dalam menulis artikel dan buku-buku hingga bisa diterbitkan.
4). Manajemen waktu, ini berguna untuk lebih mengorganisir dan mengoptimalkan pembelajaran, perlu sekiranya dibuat jadwal belajar secara berkala dan jangan sampai proses pembelajaran terputus begitu saja ditengah jalan.
5) Uji coba atau latihan, tentu saja dalam belajar otodidak dalam home-schooling, kita memerlukan latihan-latihan. Dalam mendalami bidang olah raga atau music kita juga butuh latihan yang sering dan porsi yang besar. Tentunya kita tidak akan berhasil begitu saja dalam satu kali percobaan. Kita tentu mengalami banyak sekali kegagalan, namun dari sanalah secara tidak sadar ilmu Anda akan semakin bertambah.
6). Membuat kelompok belajar, kalau boleh kita mencari teman-teman yang seide untuk saling belajar bersama. Sebenarnya pembuatan kelompok belajar tidak begitu diharuskan, namun tidak ada salahnya kita juga mengajak teman lain untuk juga meningkatkan kualitas diri.
Home-schooling sangat cocok dengan ajakan agama kita (agama Islam) agar kita senantiasa belajara dalam hidup ini. Motivasi dalam afama kita yang berbunyi “tuntutlah ilmu dari ayunan hingga sampai ke liang lahat”. Juga seruan Unesco- sebuah badan pendidikan PBB agar warga dunia senantiasa melakukan prinsip “long life education atau belajar sepanjang hidup”. Home schooling juga akan berguna bagi kita sebagai alternatif untuk menuju sukses.

Jangan Memaksa Anak Menguasai Semua Bidang Studi



Jangan Memaksa Anak  Menguasai Semua Bidang Studi
(Bisa Menghancurkan Kreatifitasnya)
Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SM Negeri 3 Batusangar

Judul artikel ini adalah “Tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu saja tulisan ini terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua dan lembaga pendidikan terhadap anak yang memaksa anak agar bisa bersekolah di tempat yang bermutu, mengikuti PBM dengan baik dan melahap semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang menjadi acuan dalam UJian Nasional, atau acuan untuk ujian menuju perguruan tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel agar kelak bisa memperoleh skor setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu apakah orang tua dan lembagapendidikan memahami tujuan pendidikan negara kitaini ?
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk karakter seseorang untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu orang tua dan sekolah selalu meluangkan waktu untuk juga memberi model bagai mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang beragama, maksudnya sangat peduli dengan unsure spiritual. Namun praktek dalam kehidupan bahwa kita (mereka) hanya menekankan pada intelektual saja, dengan bukti bahwa adanya UN, atau melalui Ujian atas beberapa mata pelajaran yang dianggap sakral seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Geografi dan Sosiologi. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak.
Kalau ada seseorang anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap sukses meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan juga kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam membantu orang tua. Sungguh menjadi makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif saja.
Pada hal dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor bidang studi semata-mata. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.
Tiap tahun PBB mengukur tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah dengan “human development index” dan indikator mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot melalui bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM Indonesia untuk level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana peringkat SDM negara kita di dunia[1] Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak tahun 1997 – 2007. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut:
- Pada tahun 1997, Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei). 
- Pada tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002, Indonesia berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun 2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun 2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan 62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan, umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsure akhlak atau afektif/ sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan  seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat saya ikut antri menunggu anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, saya sering mendengar orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara kelas.
Hal yang kontra sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak surat stress duluan. Saya sering mempunyai anak yang down dan menangis saat ia tidak jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan saya menghibur:
“Tidak perlu down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri. Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Di fenomena yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasih keseimbangan antara dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika saya bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel. Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman sukses yang jarang, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun bisa mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan bahwa pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata, kurikulum sekolah tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 80 pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran Ujian Nasional. Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di sekolah belajar dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur lagi dengan seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk bersosialisasi dan berinovasi.
Ini adalah sebuah kekeliruan dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua mata pelajaran. Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam menguasai mata pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik atau psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran “maha penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat menjadi atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara berlari dan cara menendang bola.
Beginilah jadinya anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua telah kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup sesuai dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh. Jadinya anak yang menonjol sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik, atletik/olah ragawan, sastrawan tidak begitu menonjol karena potensi untuk menumbuhkan mereka tidak lagi proporsional.
Sekali lagi, sesuai dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”. Anak dari orang tua yang sempat saya berbincang dengannya, hanya bersekolah pada sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun tidak sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa memilih dua atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani oleh ambisi orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang lain.
Kebetulan anaknya tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis, mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti dikatakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya berguna untuk syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak dipengaruhi oleh nilai leadership dan enterpreurship (kepemimpinan dan wirausaha). Selain itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang lain seperti: religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab.

Fenomena dunia pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.
Ini terjadi karena siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan denga afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya. SEkali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Nyatanya toh dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya.
Agaknya judul artikel ini membingungkan, namun tujuannya adalah agar orang tua tidak memaksakan ambisiusnya buat anak untuk berharap bisa memperoleh nilai tertinggi untuk semua mata pelajaran. Karena setiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda. Memaksa mereka memperoleh skor ysng tinggi tentu akan membuat merekakelelahan. Orang tua perlu tahu bahwa mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Produk dari pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah terbangunnya prilaku/akhlak yang baik. Jadi simpati dan empati orang tua sangat diperlukan buat anak-anak mereka.




[1] http://sukabaca-baca.blogspot.com/2011/11/urutan-kualitas-pendidikan-indonesia-di.html

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...