Sabtu, 21 Mei 2016

Malpraktek Dalam Pendidikan



Malpraktek Dalam Pendidikan
Indikasi “Malpraktek” kemungkinan banyak terjadi di sekolah-sekolah. Selama ini kita tahu bahwa malpraktek hanya terjadi di rumah sakit dan dilakukan oleh dokter yang kurang bertanggung jawab dan ilmu kedokterannya masih mentah. Ternyata malpraktek juga terjadi dalam dunia pendidikan, seperti di dalam kelas. Bentuk malpraketnya adalah seperti: Teacher Talking Time, Kurang Terampil menjadi MC (Master Ceremony) Dalam Kelas  dan Kebiasaan Suka Memberi Label (labelling) Pada Siswa  
1. Teacher Talking Time
Malpraktek atau kesalahan praktek pertama seorang guru adalah hanya mengisi proses pembelajaran secara monoton dengan “Talking- atau ngomong melulu”. Ceramah terlalu banyak. Pembelajaran hanya berjalan satu arah dari guru ke siswa. Padahal, pembelajaran adalah proses transfer ilmu dua arah antara guru sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi.
Guru mengajar dan siswa belajar adalah dua proses atau jalan yang berbeda. Proses pertama guru mengajar atau memberikan presentasi. Proses kedua siswa belajar atau siswa beraktivitas. Ketika guru mengajar, belum tentu siswa ikut belajar. Proses transfer pengetahuan ini akan berhasil apabila waktu terlama difokuskan pada kondisi siswa beraktivitas, bukan pada kondisi guru mengajar.
Keberhasilan pembelajaran akan lebih terwujud apabila proses transfer dilaksanakan dengan suasana yang menyenangkan dan mengaktifkan siswa. Tidak melulu menyampaikan dengan ceramah yang membosankan. Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, itu sebabnya guru harus selalu berusaha menjadi pendengar yang baik ketimbang “obral bualan” di kelas sepanjang waktu.
Guru harus mengetahui bahwa modalitas belajar atau kecenderungan cara informasi masuk dan disimpan kedalam memori otak melalui pengolahan indera oleh siswa adalah berbeda-beda. Terdapat 3 macam modalitas, visual (citra penglihatan), auditorial (pendengaran), dan kinestetik (gerak, aktivitas tubuh). Untuk memaksimalkan ingatan mengenai Informasi yang disimpan kedalam memori jangka panjang di otak adalah dengan cara menyampaikannya mengikuti aturan sebagai berikut: terkait dengan keselamatan hidup, memiliki muatan emosi yang kuat terhadap seseorang, memberikan penghargaan terhadap eksistensi diri, dan mempunyai frekuensi yang tinggi (sering diulang).
2. Kurang Terampil menjadi MC (Master Ceremony) Dalam Kelas
Guru bisa disamakan dengan actor atau pembawa acara dalam sebuah concert. Concert akan menjadi lebih menarik atau malah membosankan, itu sangat ditentukan oleh oleh kualitas MC nya.
Ada kalanya guru ketika mengajar, apa yang diajarkannya tidak menarik perhatian dan minat siswa karena apa yang diajarkan merupakan hal yang tidak bermakna bagi mereka. Kebanyakan siswa akan kesulitan dan merasa jenuh ketika diharuskan menghapal rumus-rumus rumit karena mereka tidak paham bagaimana dan apa pentingnya mempelajari hal tersebut. Para siswa tidak mengetahui kegunaanya didalam kehidupan sehari-hari.
Siswa akan lebih termotivasi dan mudah memahami apabila belajar merupakan kegiatan bermakna dan sesuai dengan kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, kemanfaatan ilmu dalam kegiatan sehari-hari harus dijelasakan di awal pembelajaran oleh guru (apersepsi).
Seorang guru harus kreatif dalam memberikan penjabaran mengenai pemanfaatan ilmu yang diajarkannya kepada siswa. Proses pembelajaran juga harus disampaikan secara bertahap, dari hal yang paling mudah kepada hal yang dianggap lebih kompleks. Untuk mengetahui tingkatan tahapan ini kita bisa melihat dalam penjabaran yang diuraikan dalam Taksonomi Blooms. Intinya adalah ketika memberikan pembelajaran materi yang disampaikan alangkah lebih baiknya memberikan gambaran umumnya atau gambaran besarnya terlebih dahulu baru kemudian lebih mendetail kedalam gambaran yang lebih spesifik dan khusus.
Untuk menyelesaikan sebuah puzzle berupa gambar pesawat terbang dengan serakan potongan gambar yang kecil-kecil, agar mudahnya kita harus mengetahui terlebih dahulu gambar pesawat terbang tersebut secara keseluruhannya. Barulah kita dapat dengan mudah menyusun potongan gambar kecil tersebut menjadi gambar utuh sebuah pesawat terbang yang besar. Artinya, gambaran umum terlebih dahulu barulah gambaran khususnya (hal ini disebut sebagai logika deduksi, penjabaran dari umum ke khusus) barulah induksi (pejabaran dari khusus ke umum). Selanjutnya penggunaan kedua logika ini dilakukan secara proporsional.
3. Kebiasaan Suka Memberi Label (labelling) Pada Siswa
Pengelompokan siswa dan dan pemberian label (labeling), misalnya berdasarkan kemampuan kognitifnya. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh Munif Chatib (2012) dalam bukunya “Sekolahnya Manusia”. Dikatakan bahwa dengan mudahnya kadang seorang guru melabeli siswanya dengan “cap pintar atau bodoh” berdasarkan tingkat kognitifnya. Kita harus menyadari bahwa kecerdasan adalah jamak. Memang benar, dalam kasus tertentu mungkin seorang siswa memang tidak cakap dalam hal tertentu, akan tetapi itu bukan lantas melabelinya dengan cap bodoh. 
Semua siswa apapun bentuknya merupakan makhluk yang cerdas. Kecerdasan setiap siswa berbeda-beda, ada yang pandai bermusik, menari, menggambar, melakukan perhitungan matematis, menghapal dan sebagainya. Pada umumnya dalam pendidikan formal, kita terjebak kedalam bentuk kecerdasan kognitif. Siswa dipandang pandai atau cerdas apabila sesuai dengan kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan praktik persekolahan seperti membaca, menulis, mengingat dan berhitung. Padahal kecerdasan manusia lebih luas lagi dari itu.
Siswa dengan kecerdasan menonjol di bidang tertentu dapat pula menguasai bidang lainnya. Misalnya siswa dengan bakat musik bukan berarti juga tidak dapat belajar atau diajari matematika. Semua siswa dapat belajar apapun, namun cara mereka belajar harus disesuaikan dengan kemampuan yang menjadi daya tarik dan bakatnya masing-masing. Misalnya siswa dengan kecerdasan dominan musik akan lebih mudah memahami belajar matematika dengan strategi menyanyi atau yang berhubungan dengan kecerdasan musikalnya. Oleh sebab itu penting bagi guru untuk mengajar dengan berbagai macam pendekatan, model dan strategi pembelajaran yang dapat mengoptimalkan kemampuan siswanya.
Ternyata perkembangan psikologi dan kompetensi seorang siswa pandai yang masuk dalam kelas khusus anak pandai (secara perhitungan IQ) atau kelas akselerasi mempunyai resiko kemunduran tingkat kecerdasan. Karena menimbulkan ketegangan dan memenjarakan siswa dalam dikotomi menang kalah. Siswa yang tertinggal sejengkal saja akan frustasi dan murung, sangat buruk terhadap perkembangan psikologis anak tersebut. 
3) Reformasi Proses Pembelajaran
Melihat dan menyadari bahwa pendidikan kita selalu tertinggal, malah nyaris lari ditempat, maka reformasi pendidikan adalah solusi yang selalu didengungkan, termasuk reformasi cara megajar guru- guru yang kebanyakan melakukan malpraktek dalam mengajar.
Reformasi pendidikan memang sangat dibutuhkan. Tidak hanya reformasi birokrasi, reformasi pendidikan nasional sangat diperlukan untuk memajukan pendidikan bangsa. Tujuan reformasi pendidikan adalah untuk menciptakan pendidikan berkualitas, merata, dan terjangkau. Sementara, reformasi sistem pembelajaran dilakukan dalam bidang isi, metodologi, dan evaluasi hasil pembelajaran.
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa malpraktek dan krisis pendidikan menyerang umumnya banyak sekolah. Biasanya krisis pendidikan terlihat bila event pendidikan berskala besar yang namanya “Ujian Nasional” yang diselenggarakan dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Papua) untul jenjang SD hingga SLTA. Bila UN berakhir maka akan terlihat masalah. Memang banyak pihak yang bertanggung jawab bila kualitas pendidikan rendah, utamanya guru, pihak sekolah, orang tua hingga Dinas Pendidikan. Guru merupakan ujung tombak utama yang perlu dipuji atau dikritik saat SDM naik atau turun.
Adalah fenomena bahwa  kualitas guru banyak yang belum mengembirakan dan kesungguhan guru dalam menjalankan tugasnya belum berjalan maksimal dalam menciptakan kondisi kondusif dalam kegiatan belajar mengajar anak.
“Ada guru yang mengajar hanya sebatas melaksanakan tugas. Ini sangat berpengaruh terhadap prestasi yang akan dicapai anak didik”.
Karena itu pendidik (para guru) harus mempersiapkan diri secara matang, mengubah paradigma berpikir peserta didik yang lebih aktif dan kreatif terhadap berbagai disipilin ilmu dan ketersediaan anggaran benar-benar dimanfaatkan untuk peningkatan mutu.
Dalam rangka reformasi “proses pembelajaran”, maka kita- para guru, khusunya guru- guru di Aceh, bisa belajar dari para guru dari negara tetangga seperti Australia dan Singapura. Bagaimana keberadaan pendidikan di negara tetangga, seperi Australia, sebagaimana yang sempat saya lihat dalam dua kali kunjungan ke sekolah- sekolah di Melbourne dan Sydney (dan juga seperti ditulis oleh Zubaidah Ningsih (2009) dalam artikelnya: What I've learned from Australia.
Beda budaya cara mendidik kita (Indonesia) dengan Australia, adalah cara pendekatan kita dalam mendidik. Bagi kita, posisi guru sebagai “orang yang serba tahu dan lebih pintar”. Jadinya para “guru, ustadz atau kyai” sebagai pusat segala ilmu, maka di Australia (dunia barat ini) guru hanyalah sebagai “fasilitator- penyedia sarana dan kesempatan belajar dan sekaligur memberikan motivasi belajar yang terus menerus”. Jadinya di lingkungan sekolah kita para siswa menjadi tidak mandiri dalam menggunakan otak.
Kita mengajar membuat anak didik susah ngomong, sehingga siswa jarang menjadi berani dan takut berbeda pendapat- taku salah, takut dicela dan ditertawakan oleh teman- teman.
Konsep yang dikembangkan dalam metode pembelajaran di kelas  adalah dengan membiarkan anak didik mengekspresikan makna obyek tertentu dalam proses belajarnya. Dan yang lebih menarik lagi guru bisa mengembangkan daya kritis anak dengan membantunya terus bertanya tentang obyek tersebut. Learning through questions adalah konsep yang bisa dikembangkan untuk mengembangkan daya kritis anak sekaligus membangun pengetahuan seorang anak akan suatu obyek yang dekat dalam kesehariannya. Proses belajar ini bisa membawa anak mempertanyakan hal-hal dalam kesehariannya yang tentu saja sangat membantunya memahami lingkungan di sekitarnya.
Selain konsep learning through questions ini, juga ada metode pembelajaran yang bernama Show and Tell . Metode ini banyak dikembangkan di sekolah-sekolah dasar di sini. Dalam program ini anak didik diharapkan membawa sebuah benda dan berbagi cerita tentang benda ini di depan teman-temannya. Dia bisa mengekspresikan pendapatnya akan benda tersebut sekaligus berbagi informasi mengenai benda ini. Keuntungan dari dua program ini adalah adanya pengembangan self actualization (aktualisasi anak didik) dan appreciation value (penghargaan pada anak didik).
Dua program ini berdampak pada pola pikir anak didik maupun pola pikir guru atau orang tua. Sudah saatnya kita mengembangkan paradigma (pemikiran) bahwa guru atau orang tua tidak lagi menjadi satu-satunya pusat informasi tetapi menjadi fasilitator yang diharuskan lebih menghargai, memberi ruang dan tentu saja lebih open minded. Orang tua dan guru diharapkan tidak egois, mau mengakui kekurangan dan terus mendukung anak-anak dalam proses pembelajaran ini.  
Satu praktek menarik di Australia adalah bahwa sebuah sekolah mempunyai motto yang menarik. Motto ini diharapkan bisa mewarnai sikap anak didiknya. Motto ini misalnya honesty, integrity, responsible and getting along. Nilai-nilai ini akan selalu dikembangkan dalam segala proses belajar mengajar. Pengikutsertaan orang tua dalam program- program  sekolah juga menjadi satu kunci penting berhasilnya proses penanaman nilai-nilai ini.
Apa yang diharapkan warga dari sebuah sistem pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah setidaknya kurikulum yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan biaya murah, jika bisa. lingkungan sekolah yang kondusif, daya saing yang tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah. Tampaknya hal itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya.
Dari sekolah dasar hingga universitas, misalnya, siswa sudah dipantau dan diarahkan untuk mendapatkan pendidikan yang cocok untuknya. Jadi, tidak semua warga layak atau bebas masuk universitas di Singapura. Sementara pendidikan kita terkesan “ala kadarnya dan tidak begitu terpatau perkembangan kualitas SDM anak didik dari SD hingga Universitas, sehingga saat duduk di bangku SMA terlihat galau atau bengong kemana hendak menyambung studi.
Ruang kelas, perpustakaan, kantin sekolah, dan tempat bersantai juga tersedia. Ruang kelas ditata secara bersih dan membuat murid bisa melihat guru atau dosen dan sebaliknya dosen atau guru bisa memantau semua anak didiknya. Kelas diperlengkapi dengan peralatan yang memudahkan guru melakukan presentasi lewat slide yang sudah melekat di setiap ruang sekolah sehingga tidak perlu repot setiap kali melakukan presentasi.
Guru di Singapura juga tidak kalah profesionalnya. Dengan gaji yang tergolong memadai, orang- orang terangsang menjadi guru. Yaitu orang- orang yang talenta di dunia pendidikan.
Jadi, selain mendapatkan ilmu, para siswa dan guru juga diberi pencerahan dengan menghadiri seminar-seminar gratis tetapi sangat berkualitas. Tentu saja presentasi seminar tidak membuat bosan dan mengantuk.
Guru dan siswa sering kali mendapatkan kesempatan untuk melakukan studi tur dengan menjelajah daerah lain buat melihat kemajuan dan menimba pengalamannya. Melakukan banyak eksplorasi- kunjungan- dan mengundang orang/ tokoh lain ke sekolah otomatis membuat warganya terbiasa bergaul secara luas ketika masih berada di sekolah. Sehingga warganya tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung.

4) Pengalaman Tentang Proses Pembelajaran di Negara Tetangga
            Pepatah dari daerah Minang yang berbunyi “alam takambang jadi guru”- alam yang terbetang bisa dijadikan guru. Pribahasa ini juga dipakai di negara- negara Barat, “the nature is teacher”. Kebetulan penulispunya kesempatan mengobservasi kemajuan pendidikan Australia di kota Melbourne sebanyak dua kali yaitu di Norwood Secondary College dan Box Hill Institute. Juga salah seorang kepala SD (Zulfahmi, saat itu sebagai mahasiswa pascasarjana UNP dan kepala SD 09 Pauh kota Padang) yang melihat proses pembelajaran di “Gibbs Street Primary School Perth, Australia. Begini hasil kunjungan kita:

a) Tujuan Kunjungan
            - Melihat bagaimana guru membuat rencana pembelajaran, kapan, dimana dan dengan siapa mereka bekerja ?
            - Bagaimana guru mengelola kelas dan membelajarkan siswa ?
            - Bagaimana cara guru melaksanakan assesmen (penilaian berbasis portofolio), evaluasi dan melaporkan hasil belajar kepada orang tua ?
            - Bagaimana filosofi penddikan setiap guru dalam mengajar dan melaksanakan tugas –tugas di sekolah?

b) Memahami Kondisi Pendidikan kita di Indonesia
            - Indonesia telah melakukan sejumlah perubahan kurikulum- 1968, 1974, 1984, 1994,  2004, kurikulul KTSP dan sekarang Kurikulum 2013.
            - Umumnya kegiatan pembelajaran di kelas tetap sama, yaitu dalam bentuk ceramah, menulis dengan kapur atau board marker pada papan tulis tetap mendominasi proses pembelajaran di kelas.
            - Masih relatif sedikit gerak buat menuju perubahan.
            - Proses pembelajaran yang miskin dengan action guru.
            - Ruang kelas belum bisa sebagai agen perubahan sosial

c) Hasil Kunjungan Pendidikan Ke Sekolah Bermutu (di Australia)
            - adalah hal yang keliru bila kita menyimpulkan bahwa kemajuan pendidikan Australia karena mereka punya uang cukup atau karena kelengkapan fasilitas.
            - Uang dan fasilitas hanya merupakan sata faktor dan bukan domain yang utama, kata kuncinya terletak pada “sikap mental, mindset/ pola pikir, kreatifitas guru, dan kreativitas kepala sekolah”.
- Ternyata media belajar mereka terbuat dari barang- barang bekas.
            - Perencanaan guru sangat matang, semua guru membuat perencanaan guru untuk 10 minggu,  perencanaan mengajar  dalam bentuk utuh, meliputi seluruh kebutuhan siswa dan guru (LKS, alat peraga, media pendidikan, alat pendukung dan team teaching).
            - Penyusunan rencana mengajar guru kelas bekerja sama dengan guru bidang study, guru pembimbing, wakil, kepala sekolah dan orang tua.
-  PBM di Australia untuk SD dimulai pukul 09.00 s.d 15.00. Namun pukul 07.30 semua guru sudah di sekolah untuk menyempurnakan berbagai keperluan mengajar. Kemudian setelah lonceng pulang guru tidak langsung pulang, tetapi memeriksa PR siswa pada hari itu juga.
- Tiga atau empat PR siswa terbaik dipajang di kelas, selebihnya disimpan dalam file/ portofolio.
- Kegiatan morning news yang mengagumkan, bahwa lima belas menit sebelum pelajaran pertama dimulai, 5 orang siswa secara bergiliran selama 3-4 menit menyampaikan morning news di depan kelas, siswa yang lain mendengarkan, bertanya dan menaggapinya.
- Orang tua sering datang ke sekolah, bahkan ikut mengajar di kelas.
- Suasana kelas sangat menarik dan menyenangkan, siswa terlibat seara psikomotorik, intelektual dan emosional.
- Pembelajaran bahasa melalui kegiatan: menulis surat kepada orang tua, menulis kembali berita yang pernah didengar dan dibaca dengan bahasa sendiri, dan membuat komentar/ taggapan yang kegiatan ini sudah dimulai sejakkelas 1 SD.
- Pendidikan inklusif sudah berjalan sedeikian rupa, guru tidak lagi berbicara sebatas konsep PAKEM atau  life skill, namun konsep tersebut terlihat langsung terpadu dalam pembelajaran kelas.
- Anak- anak tidak diajari tentang “sikap dan prilaku” sebagaimana anak belajar KWN, tetapi setiap kelas membiasakan dan telah menjalankan dalam bentuk “class rule” atau peraturan kelas. Class rule ini adalah aturan kelas yang disepakati bersama siswa dan guru.
            Laporan hasil belajar siswa siswa dibuat dalam bentuk portofolio, lebih bersifat deskriptif, tiap pekerjaan siswa dikomentari dan direward seperti “very good, excellent, atau fantastic. Tidak menggunakan ungkapan yang menyudutkan.
- Siswa merasa tidak sedang dipenjara, karena siswa menjalankan proses: learning to do (belajar dengan mengerjakan), learning to how (belajar untuk mengetahui), learnig together (belajar bersama). Dan siswa asyik menikmati belajar karena guru dan siswa bercanda dan tertawa bersama.
Maka sebagai renungan bagi kita:
- Apakah saya sudah menjalankan tugas sebagai seorang guru dengan baik ?
- Apakah saya megejar hanya sekedar melepaskan tanggung jawab ?
- Apakah gaji yang saya terima sudah setimpal dengan pengorbanan yang saya lakukan dalam mengajar.
- Persiapan mengajar, apakah ada?
- Materi mengajar, apakah sesuai ?
- Metode mengajar apakah sudah tepat ?
- PR siswa apakah selalu diperiksa ?
- Soal ujian, apakah sudah disusun dengan benar ?
- Media pembelajaran apakah selalu digunakan ?
- Apakah saya ikhlas menjadi guru ?
- Apakah saya sering memarahi siswa ?
Apakah kelas saya selalu menyenangkan ?
- Apakah siswa merasa gelisahdan ingin cepat pulang ?
- Apakah siswa- siswa saya kreatf ?
- Apakah materi pembelajaran saya bermafaat bagi kehidupan anak ?
- Apakah pekerjaan saya selama ini saya lakukan karena terpaksa ?
Kita tetap optimis bahwa pendidikan di Aceh juga bisa akan semakin bagus. Tak benar jika bule atau daerah Pulau Jawa selalu superior pendidikannya dibanding Aceh. Pendidikan sangat krusial untuk membentuk Aceh yang lebih baik, dan anda- Para guru di Aceh- akan selalu bisa berpartisipasi di dalamnya. Be creative and together we’ll make a better Indonesia!!!

Langkah-Langkah Reformasi Proses Pembelajaran.



 Langkah-Langkah Reformasi Proses Pembelajaran.
            Reformasi pendidikan di sekolah bisa terlaksana tergantung pada kecerdasan kepala sekolah dan stakeholder dalam mewarnai dan melaksanakan manajemen sekolah. Peran para guru, sebagai unsur dari sekolah, akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Mereka- para guru, melakukan reformasi dalam proses pembelajaran mereka.
            Guru ideal perlu tahu bagaimana menata lingkungan fisik kelas yang kondusif, agar kelak proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikian rupa, sehingga dapat memfasilitasi anak didik dalam melaksanakan kegiatan belajar. Lingkungan belajar dapat merefleksikan ekspektasi yang tinggi bagi kesuksesan seluruh anak secara individual. Dengan demikian, lingkungan belajar merupakan situasi yang direkayasa oleh guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Menurut Saroni (2006) bahwa lingkungan pembelajaran terdiri atas dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Lingkungan fisik dalam hal ini adalah lingkungan yang ada disekitar siswa belajar berupa sarana fisik baik yang ada dilingkup sekolah,  dalam hal ini dalam ruang kelas belajar di sekolah. Lingkungan fisik dapat berupa sarana dan prasarana kelas, pencahayaan, pengudaraan, pewarnaan, alat/media belajar, pajangan serta penataannya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan pola interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran. Interaksi yang dimaksud adalah interkasi antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan sumber belajar, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, lingkungan sosial yang baik memungkinkan adanya interkasi yang proporsional antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Dapat diartikan disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses KBM.
Menata Lingkungan Fisik Kelas yang Kondusif
Kesuksesan hasil belajar yang dicapai siswa tidak hanya bergantung pada kemampuan guru dalam menyampaikan materi pelajaran , tetapi juga dipengaruhi oleh suasana kelas yang berlangsung. Pembelajaran yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang yang mendukung proses pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, perlu diperhatikan pengaturan atau penataan ruang kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan. Pada lingkungan kelas secara fisik perlu diperhatikan pengaturan atau penataan ruang kelas dan isinya selama proses pembelajaran berlangsung.
Lingkungan kelas perlu ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara guru dengan siswa ataupun siswa sesamanya. Tujuan penataan lingkungan kelas adalah mengarahkan kegiatan siswa dan menegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak diharapkan. Hal ini dilakukan melalui penataan tempat duduk, perabot, pajangan, dan benda-benda lainnya yang terdapat pada kelas tersebut.
Menurut Ekosiswoyo dan Maman (2000) bahwa terdapat empat prinsip yang dapat dipakai dalam menata kelas, yaitu:
a.Kurangi kepadatan di tempat lalu lalang.
b. Pastikan bahwa Guru dapat dengan mudah melihat semua anak. Sebagai manajer kelas, guru penting untuk memonitor anak secara cermat.
c.Materi Pengajaran dan Perlengkapan anak didik harus mudah diakses.
d.Pastikan siswa dapat dengan mudah melihat semua presentasi kelas.
2) Mempersiapkan suasana kelas yang kondusif.
Suasana kelas yang kondusif berhubungan dengan sosial pribadi antara guru dan siswa serta antara siswa tersebut. Keberhasilan guru dalam mengelola kelas dipengaruhi oleh karakteristik guru itu sendiri. Karakteristik yang harus dimiliki oleh guru agar terciptanya suasana kelas yang kondusif adalah:
a.Disukai oleh siswa
b.Akrab dengan siswa dalam batas hubungan guru dengan siswa.
c.Bersikap positif terhadap pertanyaan atau respon siswa.
d.Sabar, teguh, dan tegar.
Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam menciptakan iklim kelas yang berkualitas dan kondusif guna meningkatkan prestasi belajar siswa. Adapun beberapa faktor yang perlu diperhatikan tersebut antara lain (Ali Muhtadi, 2005), yaitu:
a.Pendekatan pembelajaran hendaknya berorientasi pada bagaimana siswa belajar- fokus pada siswa (student centered).
Proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada siswa yang aktif mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Dengan demikian, proses pembelajaran yang dilaksanakan hendaknya berusaha memberi peluang terjadinya proses aktif siswa dalam mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam pembelajaran. Pendekatan ini biasa disebut dengan pendekatan konstruktivistik.
Dalam pendekatan ini yang perlu dilakukan guru adalah membantu siswa membangun pengetahuan sendiri di dalam benaknya, dengan cara membuat informasi pembelajaran menjadi sangat bermakna dan relevan bagi siswa. Hal ini dapat dilakukan guru dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan sendiri ide-idenya dan mengajak siswa agar menyadari dan secara sadar menggunakan cara-cara mereka sendiri untuk belajar. Dengan pendekatan pembelajaran ini diharapkan proses pembelajaran menjadi lebih berkualitas dan bermakna bagi siswa yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan prestasi belajar siswa.
b. Guru harus mampu memberi penghargaan terhadap partisipasi aktif siswa dalam setiap konteks pembelajaran.
Hal ini akan mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya, dan berani mengkritisi materi pembelajaran yang sedang dibahas. Dengan demikian siswa akan terbiasa untuk berpikir kritis, kreatif, dan terlatih untuk mengemukakan pendapatnya tanpa adanya perasaan minder atau rendah diri. Dalam kaitannya dengan penghargaan terhadap partisipasi aktif siswa ini, hendaknya tidak sekedar dinilai dari segi keaktifannya saja, tetapi juga perlu diperhatikan sikap penghargaan siswa terhadap aktivitas teman-temannya dan kemampuannya didalam bekerja sama dengan orang lain.
Oleh karena itu, guru hendaknya mampu mengarahkan siswa untuk dapat bekerjasama dengan anggota kelompok yang lain dan selalu bersikap positif terhadap teman-temannya serta selalu berusaha sebaik mungkin dalam setiap kesempatan yang diberikan saat interaksi pembelajaran berlangsung. Partisipasi siswa yang tergolong baik dalam proses pembelajaran secara garis besar antara lain diindikasikan sebagai berikut: siswa dapat bekerjasama dengan anggota kelompok yang lain, siswa selalu bersikap positif terhadap teman-temannya dan selalu berusaha sebaik mungkin dalam setiap kesempatan.
c.Guru hendaknya bersikap demokratis dalam mengelola kegiatan pembelajaran.
Hal ini diperlukan karena kepemimpinan guru yang demokratis dalam mengelola proses pembelajaran akan dapat menjadikan siswa merasa nyaman untuk dapat belajar semaksimal mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa setting demokrasi merupakan pemberian kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar, yaitu bahwa sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Kemampuan guru dalam menanamkan setting demokrasi pada siswa sangat berpengaruh terhadap pencapaian misi pendidikan. Dengan demikian suasana pembelajaran yang disetting secara demokratis sangat penting untuk menciptakan proses pembelajaran yang kondusif, berkualitas dan bermakna.
d.   Setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran sebaiknya dibahas secara dialogis.
Hal ini diperlukan karena proses dialogis dalam interaksi pembelajaran lebih mendudukkan siswa sebagai subyek didik yang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam setiap interaksi pembelajaran. Proses dialogis juga akan mampu mengembangkan pemikiran kritis siswa dalam membahas dan menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran.
e.Lingkungan kelas sebaiknya disetting sedemikian rupa sehingga memotivasi belajar siswa dan mendorong terjadinya proses pembelajaran.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menyetting lingkungan kelas yang kondusif untuk belajar siswa yaitu dengan cara mengatur tempat duduk atau meja-kursi siswa secara variatif dan pengaturan perobot sekolah yang cukup artistik, serta pemanfaatan dinding-dinding rungan kelas sebagai media penyampai pesan pembelajaran. Pengaturan setting tempat duduk hendaknya dilakukan sesuai kebutuhan dan strategi pembelajaran yang digunakan. Pesan yang ditempel di dinding hendaknya kontekstual dengan materi pembelajaran. Oleh karena itu, icon-icon, grafis-grafis di dinding yang memuat pesan pembelajaran hendaknya selalu di perbaharui atau diganti-ganti setiap bulannya.
Pengaturan lingkungan kelas ini, jika diperhatikan akan mampu mendukung terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif dan berkualitas. Pengaturan itu hendaknya memungkinkan siswa duduk berkelompok dan memudahkan guru secara leluasa membimbing dan membantu siswa dalam belajar. Pengaturan meja secara berkelompok, akan mampu meningkatkan kerjasama yang baik antar siswa. Dengan terciptanya gairah siswa dalam belajar, tentunya akan berpengaruh pada efektifitas belajar siswa. Dan dengan terciptanya suasana belajar yang wajar tanpa tekanan tentunya akan memungkinkan munculnya daya kritis dan kreatifitas siswa.
f.Menyediakan berbagai jenis sumber belajar atau informasi yang berkaitan dengan berbagai sumber belajar yang dapat diakses atau dipelajari siswa dengan cepat.
Hal ini berarti guru bukan satu-satunya sumber belajar dalam proses pembelajaran. Siswa dapat belajar dalam ruang perpustakaan, dalam ”ruang sumber belajar” yang khusus atau bahkan di luar sekolah, bila ia mempelajari lingkungan yang berhubungan dengan tugas atau masalah tertentu. Peranan guru adalah memberi bimbingan konsultasi, pengarahan jika ada kesulitan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Selain itu guru juga dituntut untuk memberikan informasi tentang dimana sumber belajar yang harus dipelajari tersebut berada, sehingga siswa secara aktif dan mandiri dapat menemukan dan mengakses sumber belajar tersebut.
Keberadaan berbagai jenis sumber belajar yang memadai di lingkungan sekolah cukup membantu siswa untuk membangun dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Jenis sumber belajar tersebut bisa dalam bentuk: buku, modul, pembelajaran berprograma, audio, video, dan lain sebagainya. Hal ini akan mempermudah siswa untuk dapat belajar sesuai dengan kemampuan dan karakteristik gaya belajarnya masing-masing. Dengan demikian pembelajaran diharapkan akan lebih bermakna dan berkualitas.
Kelas sebagai komunitas terkecil dapat mempengaruhi suasana kelas dalam berinteraksi dan berpengaruh terhadap prestasi siwa baik dibidang akademik maupun non akademik. Kelas yang kondusif memiliki ciri-ciri:
1.Tenang
2.Dinamis
3.Tertib
4.Suasana saling menghargai, saling mendorong.
5.Kreatifitas tinggi, persaudaraan yang kuat.
6.Saling berinteraksi dengan baik dan saling bersaing sehat untuk kemajuan.
   Dalam proses pembelajaran tentunya siswa juga melakukan kegiatan yang hiruk namun terkontrol dan member manfaat bagi siwa, tentunya tidak semua guru mampu melakukannya. Alternative lain yang dapat dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif adalah:
1.Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan yang bertolak dari potensi, minat, dan kebutuhan siswa.
2.Selama kegiatan belajar berlangsung guru dapat mengembangkan sense of humor, dengan syarat harus pada etika dan tidak memojokkan siswa.
3.Kegiatan belajar hendanya diseling dengan berbagai atraksi atau game terutama dilakukan pada saat suasana kelas tidak kondusif.
4.Sewaktu-waktu ajaklah siswa melakukan kegiatan pembelajaran diluar kelas agar siswa tidak selalu terkurung dalam kelas.
5.Memberikan materi dan tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat atau tidak terlalu mudah dan menggunakan pendekatan humanistic yang bertujuan mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan baik dengan guru maupun dengan siswa.
Untuk membangun kondisi kelas yang kondusif dan mantap sebenarnya mudah kalau guru dapat mengkondisikan kelas dengan baik. Sebaliknya akan sulit jika guru kurang peduli dengan kondisi kelas. Oleh karena itu terciptanya kondisi kelas yang mantap dan kondusif bagi pembelajaran yang efektif merupakan langkah awal dalam peningkatan prestasi belajar siswa.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...