Selasa, 23 Januari 2018

Hidup Tidak Sebatas Berteori Tetapi Butuh Proses

Hidup Tidak Sebatas Berteori Tetapi Butuh Proses

Hidup Butuh Proses
            Membaca buku biografi bermanfaat untuk memperkaya pengalaman jiwa kita. Misalnya membaca biografi para tokoh politik, pendidikan, wirausaha, dll. Dengan membaca biografi mereka kita jadi tahu bagaimana proses kehidupan mereka. Yaitu apa dan bagaimana peristiwa demi peristiwa terjadi dalam kehidupan. Proses kehidupan yang baik akan membentuk pribadi seseorang jadi hebat, hidup tidak sebatas berteori tetapi butuh proses.
Saya juga menyenangi buku biografi- salah satunya adalah tentang biografi tentang Ciputra. St. Sularto (2010), memamparkan biografi Ciputra dengan gaya bahasa yang mudah buat dicerna. Dia memaparkan biografinya secara ringkas.
Ciputra memulai hidupnya dengan sebuah mimpi yang kecil, dan kemudian dia punya mimpi yang lebih besar. Saat usianya 30 tahun dia telah mewujudkan mimpinya. Dalam usia yang relatif sangat muda dia menjadi direktur perusahaan Pt. Pembangunan Jaya. Buat ukuran generasi muda zaman sekarang perjalanan hidup Ciputra sangat luar biasa.
Ciputra betul-betul mengawali jalan hidupnya dari kondisi uncomfort zone- suasana rumah yang jauh dari suasana nyaman. Suasana uncomfort zone tersebut terjadi karena cobaan hidup yang menimpa keluarganya.
Memasuki masa remaja, sekitar zaman perang dunia ke-2, saat tinggal di Sulawesi Tengah, ia kehilangan ayahnya yang tercinta. Ia menyaksikan tentara Jepang menyeret ayahnya dan memisahkan dari keluarga. Ayahnya dituduh sebagai mata-mata Belanda dan dijebloskan ke dalam penjara. Ayahnya meninggal dalam tahanan Jepang, namun hingga sekarang dia tidak mengetahui kuburan ayahnya.
            Ia tidak saja kehilangan ayah, namun juga kehilangan mata pencarian. Toko kelontong sebagai sumber rezki, sumber keuangan yang telah dirintis ayahnya buat menghidupi keluarga juga hancur. Sejak itu mereka (ia dan keluarganya) jatuh miskin. Masa remaja yang seharusnya ceria, ia lalui dengan penuh suasana suram.
            Fenomena umum adalah bahwa orang miskin jarang diperhitungkan keberadaanya. Mereka sering dilihat sebelah mata. Itu sangat dirasakan oleh Ciputra. Ia merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang miskin, karena tidak pernah atau jarang dihargai eksistensinya oleh orang lain. Inilah pemicunya bagi Ciputra untuk segera bangkit dan mematrikan tekad “Aku harus menjadi orang kaya dan sukses”.
            Untuk menjadi kaya dan sukses akan bisa diperoleh melalui jenjang akademik dan prestasi. Makanya Ciputa juga ingin berprestasi, ia harus hidup independent (mandiri), tidak bergantung pada orang lain. Malah sebaliknya ia juga ingin bisa membantu orang lain. Untuk meraih itu semua maka Ciputra menggapainya  melalui keputusan hidup. Apa keputusan hidup yang ditempuh Ciputra?
            “Yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan cara merantau atau hijrah”.
            Maka dia memutuskan untuk merantau ke pulau Jawa, pulau yang sejak dahulu SDM-nya lebih baik dari pulau-pulau lain di Indonesia. Niat utamanya pergi ke pulau Jawa adalah untuk menuntut ilmu, yaitu ingin masuk ke ITB.
            Apakah mustahil untuk bisa kuliah di ITB saat itu? Untuk orang-orang kebanyakan tentu saja mustahil. Transportasi menuju pulau Jawa di tahun 1940-an dan 1950-an belum lagi semudah dan senyaman zaman dirgantara sekarang. Saat itu orang-orang hanya mengandalkan kapal laut dengan jarak tempuh hitungan minggu. Begitu pula masuk ITB di tahun-tahun tersebut juga tidak semudah di zaman cyber sekarang, yang kadang kala juga banyak program-program yang membuat calon mahasiswa memperoleh kemudahan.
            Dengan berbagai tantangan dan keterbatasan maka Ciputra berhasil menjadi mahasiswa ITB. Akhirnya dia bisa mengikuti perkuliahan sebagaimana mahasiswa lainnya. Semester pertama berlalu dan datang semester ke dua.
Namun kehidupannya sebagai mahasiswa ITB tidak senyaman teman-temannya yang lain. Ketika duduk di tingkat dua ITB kiriman keuangan dari ibunya sudah terputus. Akibat kesulitan ekonomi, jadinya Ciputra memutar otaknya bagaimana untuk bisa mencari duit agar mampu membantu diri sendiri- menopang kehidupan sebagai seorang mahasiswa yang lagi dilanda kesulitan hidup.
            Sebagian teman-temannya mempunyai kecukupan uang dan mereka bisa hang-out, mengikuti kegiata ekskul, menekun hobby di bidang kesenian dan olahraga, atau meluangkan waktu untuk memadu janji dengan kekasihnya. Maka hal seperti itu sangat mustahil bagi Ciputra.
            Ia mencari kerja serabutan sambil kuliah. Ia pernah menjadi pedagang batik. Ia bukan menggelar dagangannya di pasar kakilima di kota Bandung. Namun ia mencari batik ke Bandung dan menjualnya sampai ke Medan. Selain itu ia juga sempat menjual meubel. Ia merancang gambar meubel  dan membayar tukang meubel untuk membuatkannya.
            Fenomena yang kita lihat dan dengar bahwa banyak orang yang baru merintis usaha (bisnis) bukan saat masih kuliah, namun setelah mereka wisuda, menjadi seorang sarjana. Sehingga merasa kesulitan untuk eksis. Namun Ciputra malah memulai usaha bisnis saat masih kuliah, itu karena desakan ekonomi- kesulitan biaya hidup. Maka bersama dengan temannya mereka mendirikan konsultan pembangunan yang mereka beri nama “PT Perentjanaan Djaja”.
Betul-betul kesulitan hidup- suasana uncomfort zone- memberi dampak motivasi yang dahsyat. Perusahaan yang mereka rancang tersebut masih beroperasi hingga sekarang. Agar kuliah tidak terganggu, maka Ciputra sangat ketat dengan pengelolaan waktu- yaitu time management yang bagus.
            Mengapa Ciputra memulai kemandirian hidup dan semangat entrepreneur sedini mungkin? Sekali lagi, bahwa itu karena faktor kesusahan hidup. Derita kemiskinan dan merasa tidak nyaman diremehkan orang akibat faktor kemiskinan dan juga faktor kesulitan keuangan saat kuliah di ITB. Ini semua telah menjadi bahan bakar buat menyalakan semangan juangnya.
            Semangat entrepreneurnya muncul karena ia lahir di tengah keluarga pedagang. Tidak heran kalau sejak kecil ia bisa bermain dan bergerak di antara barang dagangaan. Ia bertemu dan berkomunikasi dengan pelanggan toko sejak masa kanak-kanak. Orangtuanya telah berhasil menciptakan lingkungan enterpreneur buatnya. Nilai-nilai enterpreneurship tertanam sejak kecil, hingga remaja dan juga hingga dewasa.
            Seorang enterpreneur harus menghormati dan menghargai pelanggannya. Ciputra tahu dari ayah dan ibunya, bahwa seorang pedagang (enterpreneur) harus menghargai pelanggannya. Pribahasa umum dalam dunia perdangan mengatakan bahwa “pembeli itu adalah raja”. Pembeli harus dihargai dan dilayani dengan penuh etika. Keunggulan dalam pelayanan terwujud dalam bagaimana cara memuaskan pelanggan.
            “Apa saja yang dijual Ciputra pada waktu kecilnya?”
            Ia juga harus mampu menjual hasil pertanian untuk kehidupan keluarga sehari-hari.  Ia juga terbiasa membuat topi dari pandan dan menjual ke masyarakat. Ia tidak merasa malu atau enggan melakukannya. Begitulah cara Ciputra dalam mengisi masa remajanya, dan sekali lagi kebiasaan ini menubuhkan jiwa enterpreneurship  dalam dirinya.

Proses Menjadi Enterpreneur
            Bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang dalam menumbuhkan jiwa enterpreneurnya? Tentu ada banyak cara yang bisa mereka lakukan. Ya utamanya dalam bentuk membaca buku-buku tentang wirausaha, juga menghadiri seminar tentar kewirausahaan. Kebanyakan yang diperoleh hanya sebatas teori demi teori tentang cara berwirausaha. Mereka umumnya buta untuk melangkah, atau juga belum punya percaya diri yang kuat untuk terjun sebagai seorang wirausahawan muda. Tetapi that is oke dari nggak pernah tahu tentang kewirausahaan sama sekali.
Lebih bagus adalah sejak usia anak-anak hingga remaja, seseorang yang ingin berwirausaha musti rajin-rajin untuk bertandang (berkunjung) ke pusat-pusat  wirausaha agar mereka keciprat semangat wirausaha. Membangun wirausaha saat masih kuliah, ini adalah awal sukses bisnisnya Ciputra. Ya saat para temannya asyik menggeluti hobby, maka Ciputra telah memulai merajut mimpinya dengan serius. Yakni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dibelit kesusahan finansial.
“Saya harus menjadi arsitek yang berjiwa enterpreneurial. Hasrat inilah yang akhirnya membawa keputusan saya untuk mendirikan PT Penbangunan Jaya bersama pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha nasional. Saya bukan pasif lagi menunggu pekerjaan, tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain”.  Demikian papar Ciputra dalam meneguhkan dirinya.
Hidup perlu punya visi dan kita harus selalu bermimpi untuk mencapai visi tersebut. Itulah prinsip hidup Ciputra. Dalam tahun 1960-an ia mendirikan Jaya Group, dan selanjutnya tahun 1970-an ia mendirikan perusahaan Metropolitan Group bersama kawan-kawannya dari ITB. Kemudian pada tahun 1980-an ia mendirikan Ciputa Group, bukan bersama teman-temannya, namun bersama anak-anaknya sendiri.
Saya yang lagi menulis artikel ini lagi merasa bersimpati kepada seseorang yang baru saja meraih gelar sarjananya dari jurusan teknik. Ia lulusan universitas terkemuka dengan nilai sangat bagus yang telah membuat bahagia orangtuanya. Namun setelah itu ia terlihat kebingungan hendak bagaimana lagi dan hendak mau diapakan ijazah sarjananya.
Terasa kalau hanya bangga dengan nilai yang tinggi itu adalah kebanggaan yang semu. Nilai yang tinggi tak lebih hanylah sebagai hiasan pada selembar ijazah. Sarjana baru ini terlihat sangat tidak berdaya dan barangkali sarjana baru ini adalah gambaran dari sebagian sarjana baru di Indonesia yang hanya sebatas jago atau cerdas dengan kertas. Setiap hari waktunya habis dengan merunduk mengotak atik gadgetnya dan ia tidak jauh berbeda dengan anak-anak SMP dan juga anak SMA yang sedang mabuk dengan gadgetnya.
Ya sarjana baru ini hanya sebatas cerdas kertas, cerdas dengan teori. Ibarat orang yang ingin pintar main bola maka dia sudah terlalu banyak membaca buku teori bagaimana cara main bola. Yang dia butuhkan bukan teori tetapi dia butuh langsung berlatih menendang bola. Semakin banyak ia berlatih menendang bola maka akan semakin hebat ia untuk menjadi pemain profesional. Jadi yang dibutuhkan mahasiswa baru ini adalah sebuah action lagi-lagi bahwa hidup tidak sebatas berteori tetapi butuh proses.
Cukup banyak orang, lembaga, dan komunitas yang hanya sebatas  kaya dengan informasi, tetapi miskin dengan karya nyata. Hanya masyarakat yang suka bekerja yang mampu membina para remaja (generasi muda) untuk bekerja keras dan tekun. Kita harus punya cita-cita yang konkrit, dan kita perlu punya cita-cita. Cita-cita tersebut adalah visi dalam kehidupan. Dalam membangun cita-cita kita lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman dan orang lain dari pada orangtua kita sendiri (Torsten Husen, 1995).   
Sarjana baru yang bermental penakut ini tidak perlu lagi pendidikan, dengan arti kata belajar sebatas teori. Yang dia butuhkan adalah keberanian mental dan latihan demi latihan. Ia membutuhkan ratusan kali latihan di lapangan kerja yang nyata.
Maka berinteraksi dengan banyak orang, utamanya yang satu visi dengan kita. Kita tidak perlu merasa alergi atau merasa lebih hebat dengan orang-orang yang bukan tamatan universitas, karena bisa jadi mereka lebih hebat lewat pengalaman lapangannya. Indonesia sangat membutuhkan orang-orang yang rajin melakukan proses, berevolusi untuk meningkatkan kualitas.
Semua anak muda dan terutama para sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi, harus banyak melakukan proses bukan sebatas terpaku pada teori. Sekarang memperoleh pekerjaan amat sulit, namun kesempatan buat berwirausaha sangat terbuka lebar. Ciputra menyatakan bahwa wirausaha harus dimulai dari pendidikan yang bukan asal-asalan. Karena kunci utama perubahan manusia ada pada diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain kunci utama mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan adalah dengan mendidik dan “melatih diri, dan melakukan pratek langsung sebanyak mungkin”.
Maka manusia seperti inilah yang kita sebut sebagai manusia enterpreneur. Manusia enterpreneur tidak akan jadi beban masyarakat, ia malah bisa menciptakan pekerjaan bagi orang lain. Ia akan mampu mengubah kekayaan alam dan budaya Indonesia menjadi produk yang dibutuhkan dunia. Kalau boleh jiwa enterpreneur harus dimulai lebih dini agar tumbuhnya dalam jiwa lebih kuat, kalau diperkenalkan saat sudah dewasa maka dampaknya sedikit saja. Pendidikan Amerika Serikat, misalnya, meberikan pengalaman dan latihan enterpreneurship lebih dini yakni sejak dari pendidikan dasar, dan enterpreneur memperkaya kurikulum mereka. Jadinya enterpreneur mereka lebih sukses. Kita di Indonesia juga harus berbuat demikian agar kita semua juga bisa lebih sukses, semoga.

Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas

Long Life Education Untuk Menggapai Hidup Berkualitas

Belajar Sepanjang Umur
            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Saya juga sempat mendengar frasa ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah frasa ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para remaja agar mereka bisa menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education” sebagai konsep untuk meningkatkan kualitas hidup kita.
            Konsep long life education juga dideklarasikan oleh badan pendidikan dunia- Unesco (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Unesco memotivasi agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan cara memiliki ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            “Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu memimpin di depan amal dan amal akan mengikutinya.”
Berbarengan dengan ungkapan long life education (pendidikan seumur hidup) juga ada ungkapan long life learning (pembelajaran seumur hidup). Kedua ungkapan ini sama maknanya. Konsep long life learning sangat relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Konsep ini menyentuh semua generasi, dan kultur sosial-budaya. Untuk mewujudkan konsep belajar seumur hidup maka warga dunia musti mengaktifkan literasi melalui pendidikan formal dan informal, serta mempromosikan konsep demokrasi (Caroly Medel dan Anonuevo, 2002).

Pengalaman Belajar Warga Dunia
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga dunia, terutama di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupannya. Saya membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, saya berkenalan dengan Dr Francois Brouquisse, Dr Anne Bedos dan Dr Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman saya hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan saya terutama dalam mempelajari kultur, sosial budaya dan Bahasa Perancis. Saya jadi memahami apa dan bagaimana “prinsip otodidak” dan motivasi untuk belajar sepanjang umur atau long life education.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang yang berbeda, namun punya minat pada zoology. Kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi saya dari figur mereka bertiga adalah konsep hidupnya sesuai dengan moto “long life education”. Belajar sepanjang hayat ini sudah menjadi kebutuhan hidup mereka.
Mereka menghabiskan waktu liburannya di Sumatera untuk studi tentang konservasi hutan tradisionil dan zoology. Mereka melakukan eksplorasi, menyandang tas besar di punggung. Di dalam tas penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang sains, juga ada tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Saya sering mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleologie. Yaitu melakukan eksplorasi kedalam hutan dan ke dalam goa- mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa, yaitu goa “ngalau indah” di Nagari Pangian, Kec. Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Saya juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Ternyata mereka bertiga juga manusia yang polyglot- yaitu orang-orang yang mampu berbicara dalam banyak bahasa. Anne Bedos dan Louis Deharveng menguasai bahasa Perancis, Inggris, dan tahu bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, Vietnam, dan China.
Francois Brouquisse, seorang ahli manajemen perairan, juga  memahami Bahasa Inggris, Arab, Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China, serta bahasa ibunya- bahasa Perancis. Ia sendiri pendukung NGO Palestine D’Action di Perancis. Yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendukung perjuangan bagsa Palestina.
Francoise adalah seorang pembaca yang hebat. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Saya sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh Francois Brouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” atau “learning by direct practicing”  hingga saya dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita saya, Muhammad Fachrul, rewel dan menangis maka ia menenangkan balita saya dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. 
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Untuk menjadi warga dunia yang berkualitas maka dia mengadopsi prinsip hidup belajar seumur hidup secara naturalis. Saya pernah duduk bareng dengan Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse sambil makan buah-buahan tropis- jambu, mangga, duku dan belimbing. Saya melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jambu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan saya sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu?”
              “Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu semua sangat alami, tidak masalah biar saya makan semua semut.” Anne Bedos dan dua teman Perancis tadi adalah guru saya secara langsung. Dari mereka saya jadi tahu cara belajar bahasa asing yang lain, seperti bahasa Perancis, melalui strategi berbuat atau learning by doing. Saya belajar bahasa Perancis dengan cara menuliskan semua pengalaman haris menggunakan bahasa Perancis.



Membaca Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup
            Craig Pentland, dan saudaranya John Pentland, adalah pemuda Australia yang berjumpa dengan saya secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun-tahun berikutnya ia (Craig Pentland) sering mengunjungi kami di Sumatra Barat. Ia juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh dan pernah juga menjelajah ke dalam  sebuah lembah dekat Indarung- Padang.
Dalam ranselnya juga terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah seorang pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca. Saya juga termotivasi dan jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Ada kalimatnya yang saya selalu ingat, katanya:
Reading is important for having personal quality, do reading,please  don’t read all the book. See the natural phenomenon and read the book on them.Membaca sangat penting dalam membentuk kualitas diri, lakukanlah banyak membaca, namun jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Demikian kata teman saya Craig dan saya selalu ingat kalimat ini. Bulan September 2017 kemaren kami bertemu lagi. Dia mengatur untuk berjumpa lagi di Novotel Hotel Bukittinggi. Dia dan istrinya Norjana datang lagi. Craig Pentland sudah menyelesaikan pendidikan Doktoralnya. Saya sempat membaca disertasinya dengan judul “Behavioural ecology of the black-flanked rock-wallaby, Petrogale lateralis (Craig Pentland, 2014)”.
Dalam kunjungan di bulan Oktober 2014, dia membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam kunjungan ke Batusangkar, Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku untuk dibaca selama libur.
Jadi membaca buku bukan merupakan beban belajar buatnya, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual dan pikiran yang lapar. Maka bagi orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu pikiran mereka dalam keadaan lapar.
Saya dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris dari SMAN 3 Batusangkar, setiap semester merancang program “English Home Stay” sebagai ekskul. Ekskul itu berguna untuk menggenjot kemampuan berbahasa Inggris para siswa kami. Beberapa resort yang sering kami pilih buat  Home Stay ini adalah daerah Danau Singkarak, Danau Maninjau, Mifan Padang Panjang, Danau Diateh di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru, dan juga Resort Mandeh di Painan.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa beberapa villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang juga native speaker sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para bule tersebut.
Australia, negara tetangga Indonesia, merupakan negara yang menyediakan bantuan pendidikan internasional, termasuk negara kita dalam bentuk program “Australia Volunteering International.” Program ini menyediakan bantuan pembelajaran dan sumber belajar bagi guru-guru. Selain itu juga berbagi pengalaman budaya (Maureen Cane, 2015).
Tahun lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para siswa beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Saya memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan waktu senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda dengan eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Namun kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat hanya sebatas tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sebatas  bacaan saja untuk berharap pahala semata, belum lagi untuk diapplikasikan. Sebenarnya perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka bukan Islam. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education sebagai kebutuhan hidup dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia? Tentu saja tidak. Teman saya, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru senior dari Swedia yang saya jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosir, di Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga saya di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka akhirnya memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah saya di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education di negaranya, Swedia.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education. Semua warga negara mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga dalam musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.

Otokritik
Saya terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Bila para guru belum menjadi model yang baik dalam gerakan literasi membaca, maka tentu akan berdampak pada minat literasi membaca siswa (Mahmood Khalil dan Zaher Accariyal, 2016).
Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time.
Ini merupakan sebuah otokritik. Sebagai guru juga perlu memberi kritik yang membangun buat profesi guru. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, workshop. Itu hanya sebatas hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.   
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM mereka.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sebatas membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.

Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dan juga long life learning  sebagai prinsip hidup kita semua. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini. 

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan

Pentingnya Cerdas Buku Dan Cerdas Di Lapangan

Berburu Label “Smart
Kata “smart” sudah begitu familiar di telinga para  remaja. Karena mereka sering menemukan banyak kegiatan yang memakai kata smart seperti: smart kid, smart group, smart house, smart mom. Kegiatan yang menggunakan kata smart sangat disenangi oleh masyarakat luas, terutama para orangtua. Mengapa demikian?
Karena  mereka ingin anak-anak mereka bisa untuk menjadi anak-anak yang cerdas (smart kids) dengan demikian mereka memburu label-label smart. Masyarakat luas juga banyak yang memburu tempat-tempat yang punya label “smart”, seperti: smart English, smart math, smart dance, smart music, dll.
Benar-benar kata smart sudah tersemat di hati. Kata ini malah menjadi branding yang fenomena  dalam dunia bisnis, dunia edukasi, dan aktivitas dalam kehidupan sosial lainnya. Jadinya bermunculan berbagai frase seperti: smart book, smart phone, smart technology,  smart street, think smart and work hard, dll.
            Kata smart berarti cerdas. Smart book berarti cerdas dengan buku. Seorang siswa yang mampu melahap semua buku teks dengan tuntas maka dia adalah orang yang smart book. Apa saja yang dibaca bisa semua masuk ke dalam pemahamannya. Bila mengikuti ulangan harian (UH) maka ia mampu memperoleh skor yang tinggi.
Sementara itu, smart street bukan berarti cerdas di jalan raya. Smart street berarti seseorang yang pintar-pintar dalam hidup, tahu menempatkan diri, mampu memahami perasaan orang lain, mampu berkomunikasi, dll. Remaja yang smart street adalah remaja yang memiliki life skill atau kecerdasan hidup.
            Para remaja yang belajar di sekolah kalau hanya sebatas terfokus dengan bidang akademik maka mereka dikatakan hanya sebatas menjadi smart academic atau juga sebagai smart book. Ya hanya sebatas  jagoan dengan buku-buku. Fenomena begitu sangat banyak di dunia pendidikan. 
Ini adalah pengalaman seorang tour leader yang berhubungan dengan para siswa yang hanya sebatas smart  book dan juga smart street. Pemandu wisata ini memimpin perjalanan wisata satu grup siswa dari sebuah sekolah favorit. Para siswanya terkenal sangat cerdas, nilai akademik mereka sangat bagus, bila ada lomba maka mereka sering menyabet hadiah. Jadinya mereka diberi label “rombongan siswa yang smart book.”
Perjalanan wisata mereka cukup jauh, dari Sumatra terus ke pulau Jawa. Melintasi berbagai kota di pulau Jawa dan suatu ketika mereka berhenti di sebuah  rest area dan setelah itu pergi shopping  di sebuah mall megah-dengan bangunan besar berlantai enam .
Namun para siswa yang hanya sebatas smart book tersesat dalam mall yang gede dan tidak tahu bagaima harus keluar buat berkumpul ke dalam bis wisata yang telah menunggu cukup lama. Mereka menjadi panik- dan kehilangan akal. Tentu saja tour leader butuh waktu cukup lama untuk membantu mereka agar bisa keluar dari mall dan berkumpul dalam bis wisata. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ya tentu saja karena mereka punya nyali yang kecil, kurang bisa mengambil keputusan sendiri karena sering serba diarahkan. Mereka juga minim dengan pengalaman di luar rumah, kurang memahami liku-liku jalan di alam ini atau kurang paham dengan smart street sehingga bermasalah dalam sepenggal kehidupan nyata. Bila liburan mereka lebih suka berkurung di rumah dan larut dengan gadget saja. 
Sementara itu teman teman mereka yang berasal dari sekolah yang tidak begitu populer juga pernah melakukan kunjungan wisata. Rombongan wisata siswa tersebut juga pernah dibawa tour leader yang sama, dan juga bekerja sama dengan sekolah mereka.
Tour leader juga mendesain paket wisata, mereka melewati rute yang sama, berhenti pada sebuah rest area dan mengunjungi sebuah mall besar buat shopping. Namun tidak satu orang pun yang menelpon karena merasa tersesat jalan. Semua mampu mengembara dalam mall dan keluar mall. Namun mereka juga tidak mematuhi peraturan perjalanan, karena mereka tidak sempat membaca peraturan. Dan mereka adalah para siswa yang kurang bersahabat dengan buku, banyak bermasalah dengan tugas-tugas sekolah. Jadinya mereka keluyuran dan susah buat berkumpul dalam bis wisata. Ini pula problem dengan para siswa yang sebatas smart street.
Negara kita yang sangat luas ini tidak hanya membutuhkan generasi muda yang hanya sekedar  smart book namun juga tidak begitu butuh dengan yang sekedar smart street. Yang dibutuhkan adalah para generasi yang memiliki kecerdasan yang berimbang, smart book dan smart street.

Perbedaan Kultur Berkomunikasi
            Pendidikan negara maju (seperti Amerika Serikat) dan pendidikan negara berkembang (seperti Indonesia) proses belajar-mangajarnya punya perbedaan. Perbedaan tersebut terbentuk oleh perbedaan kultur. Jalaluddin Rakhmat (1998) mengatakan perbedaan kultur dua bangsa sebagian bersifat stereotipe atau pendapat masyarakat umum yang sudah digeneralisasi. Bagaimana perbedaan kultur orang Amerika dan orang Indonesia dalam berkomunikasi?. 
Orang Amerika sejak kecil diajar untuk berkepala dingin, roman muka keras dan pikiran tenang. Dalam belajar di Amerika para siswa (mahasiswa) menghormati guru (dosen) mereka, mereka boleh memiliki pikiran sendiri, malah kadang- kadang juga boleh berdebat dengan guru atau dosen untuk menguji gagasannya. Namun dalam pergaulan antara mahasiswa dan dosen atau antara guru dan murid bersikap santai dan ramah. 
Sementara di Indonesia yang orang-orangnya terkenal ramah-tamah dalam bersosial cenderung menggunakan visualisasi dan indirect language-bahasa yang tidak langsung ke pokok permasalahan. Dalam proses belajar mereka menghormati dosen atau guru, mereka tidak terbiasa untuk berdebat karena dosen dan guru dianggap ahli, dan mahasiswa atau siswa terbiasa mencatat sebanyak mungkin. 
Kedua negara ini jadi berbeda dalam kemajuan sistem pendidikan, mutu kualitas SDM masyarakatnya, budayanya, dan dalam banyak hal. Praktek pelaksaan pendidikan  di sekolah Amerika juga sangat berbeda dengan sebagian sekolah di Indonesia. Saya menulis tentang hal ini bukan bermaksud untuk  menyanjung Amerika Serikat setinggi langit, dan merendahkan wibawa Indonesia, negara yang selalu kita cintai.
            Adalah fenomena bahwa di Indonesia semua anak didorong buat belajar dan membaca membaca sebanyak mungkin, agar mereka menjadi smart book. Kemudian campur tangan orangtua dalam mendidik yang mana mereka hanya sebatas pintar memerintah, menyuruh dan kapan perlu melarang dan marah- marah, dan berpangku tangan setelah itu.
Di sekolah anak-anak belajar, berkompetisi buat memahami dan melahap isi semua buku teks. Kapan perlu mereka juga harus menghafal semua teori, tanpa melewatkan titik dan koma-nya. Al-hasil penguasaan kognitif atau akademik mereka signifikan cukup bagus. 
            Di sebagian sekolah kita banyak remaja yang belajar cukup lama. Pagi hingga siang belajar di sekolah dan setelah pulang sekolah pergi lagi ke tempat bimbel. Mereka terbelenggu oleh urusan akademik semata. Dalam kurikulum lama- kurikulum satuan pendidinkan (Kurikulum KTSP)- dikatakan bahwa siswa belajar untuk memahami tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Meski sudah ada pemaham kearah konsep afektif (sikap) dan praktek (psikomotorik), tetapi itu hanya sebatas basa-basi. Maksudnya perhatian pada pengembangan kecakapan hidup dan kecakapan sosial anak didik-atau afektif dan psikomotorik-tidak begitu banyak terasah, kecuali bagi mereka yang melebur dengan Osis.

Eksistensi Bimbingan Belajar
            Urusan akademik memang selalu nomor satu, dari pagi hingga sekitar jam tiga sore- hingga usai jam belajar buat pulang ke rumah. Setelah itu para siswa cerdas tadi pergi lagi ke tempat bimbel (bimbingan belajar).
“Cukup melelahkan pak.” Keluh seorang remaja, namun orangtuanya masih memaksa agar dia tetap belajar ekstra agar bisa memperoleh passing grade yang tinggi. Agar dia bisa jebol di jurusan yang bergengsi dan di perguruan tinggi favorit.
Ya begitulah sebahagian anak (remaja) mengeluh karena cukup lama mereka dibelenggu atau terpenjara dalam ruangan akademik. Hingga mereka pulang ke rumah dengan rasa letih dan lesu setelah senja tiba. Dan seperti itulah fenomena konsep belajar para remaja cerdas di seputar kita.
            Menambah porsi belajar melalui Bimbel sudah menjadi sebuah fenomena, terutama bagi para remaja cerdas. Apalagi ada dukungan orangtua yang punya duit cukup. Bimbel itu sendiri gedungnya sudah bertebaran di mana-mana, malah sudah dirancang ke dalam franchise education atau bisnis pendidikan. Bimbel telah menjamur dan tinggal memilih mana yang terbaik dan cocok menurut selera.
            Saat saya berusia remaja sekitar 30 tahun yang lalu, saya sering melihat orang pergi les atau kursus. Bukan untuk mengikuti kursus mata pelajaran seperti yang dilakukan oleh para siswa zaman sekarang, namun dalam bentuk les atau kursus vokasional atau kursus keterampilan seperti les menjahit, les memasak kue yang diselenggarakan oleh keluarga Tionghoa.
Juga ada les otomotif, les merangkai elektronik, hingga les main piano, biola, gitar, les menjahit dan lain-lain. Les atau kursus seperti itu membuat para remaja lebih cerdas secara non akademik. Namun kursus-kursus seperti itu sekarang sudah sangat langka, tidak terlihat lagi.
Yang menjadi femonena adalah kursus yang berhubungan dengan bidang studi UN (Ujian Nasional), yaitu  mengolah soal- soal mata pelajaran yang pokok dalam ujian nasional. Kursus dikemas dalam sebuah nama yang kita kenal dengan “bimbingan belajar”. Sekali lagi bahwa sekarang bimbingan belajar sudah melimpah dan coraknya monoton yaitu sebatas kursus buat tujuan akademik melulu.
            Antara satu Bimbel dengan Bimbel yang lain juga ada kompetisi dalam memperebutkan para siswa yang cerdas. Agar bisa meraih siswa sebanyak mungkin maka pemilik bimbel mendesain interior dan eksterior gedungnya seapik mungkin. Kapan perlu pakai spray pengharum pada ruang cantik penuh AC. Ruang belajar bimbel dengan mentor yang memiliki pribadi menarik dan performance yang anggun, semuanya bisa belajar dengan mentor pilihan.
            Para mentor bimbel yang ramah tamah, bersahabat dan pribadi hangat sering lebih mereka idolakan dari pada  guru- guru mereka sendiri di sekolah. Bisa jadi sebagian mereka sering menjumpai guru-guru mereka berwajah sewot dan berbahasa yang kurang simpatik.
Fenomena dapat terjadi pada berbagai sekolah. Bahwa pribadi mentor dan proses pembelajaran pada bimbel telah mengalahkan PBM di kelas yang kusam dengan guru yang kadang-kadang ada yang nggak bersahabat.
            Singkat cerita bahwa untuk urusan akademik atau kognitif seorang siswa menghabiskan waktu sebanyak 10 jam per hari. 8 jam di sekolah dan 2 jam di luar sekolah. Mereka sangat percaya bahwa pencapaian akademik adalah visi dan tujuan belajar mereka. Yang mereka yakini adalah kalau mereka mampu memperoleh skor akademik yang tinggi maka kelak bisa memilih jurusan yang bagus, kuliah di tempat favorit. Setelah kuliah dan wisuda mereka akan tersenyum karena bakalan berkarir di tempat yang basah, dan banjir dengan duit.
            Orangtua di rumah hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu belajar kuat dan bersemangat agar bisa meraih skor dan rangking setinggi langit. Anak perlu memiliki prestasi akademik yang bagus. Jadinya anak-anak musti bisa belajar di sekolah favorit. Orangtua memilihkan sekolah berlabel unggul buat mereka. Mereka menyerbu sekolah berlabel unggul, sekolah model, sekolah perintis, sekolah percontohan, sekolah multi-talenta, dll.
            Memang jadi fenomena dalam masyarakat bahwa mereka senang dengan merek atau label. Sebagai contoh, mereka selalu mencari pakaian atau hal-hal yang berlabel yang hebat. Bahwa sehelai baju kaos berharga 50 ribu  perak yang ada merek “Foot Ball of Europe” lebih dikagumi dan diminati dari pada sehelai baju kaos berharga “seratus ribu perak dan kapan perlu berharga satu juta perak” namun  pada punggungnya ada tulisan “Club Sepak Bola Bintang Kecil”, ya tulisan yang labelnya tidak begitu ngetop.

Perbedaan Gaya Belajar
            Miftahul Khairi, salah seorang pelajar dari sebuah SMA Negeri di kota Bukittinggi, yang baru saja pulang dari Amerika Serikat memaparkan tentang pegalaman pribadinya. Dia baru saja menyelesaikan program pertukaran pelajar, YES- Youth Exchange Program” selama satu tahun. Dia senang sekali berbagi cerita dan pengalaman menarik tentang way of life orang Amerika dan way of life remaja kita. Ia mengatakan bahwa program pembelajaran di sekolahnya di Colorado- Amerika Serikat cukup berbeda dari sekolahnya yang di Bukittinggi.
Banyak teman-temannya yang sekolah di Bukittinggi,  juga siswa-siswa  di tempat lain di Indonesia pada terlalu sibuk dengan urusan akademik. Semua anak pada bersitungkin (asyik) pada satu tujuan akademik saja, yaitu melahap konsep dan rumus- rumus mata pelajaran. Dari pagi hingga siang  mereka belajar di sekolah reguler dan setelah itu dari sore hingga malam belajar lagi di bimbel. Pulang sekolah sudah telat  dan pulang bimbel juga sudah malam. Semua itu membuat badan terasa capek:
“Ah pengen tidur saja atau nonton saja lagi, tetapi takut kena damprat oleh mama dan papa karena dianggap sebagai anak malas”. Juga mana ada waktu lagi bagi mereka untuk ikut bersosial dengan tetangga di seputar rumah. 
Banyak saya dengar  remaja yang mengeluh merasa capek. Fisik mereka yang lesu karena asupan gizi yang salah dan tidak berimbang. Pada umumnya remaja telah merasa sebagai orang yang modern gara-gara telah mengkonsumsi jajanan cepat saji “Makanan dan Minuman Bermerek Internasional’.
Makanan dan minuman tersebut memiliki deskripsi yang panjang, memaparkan bahwa benda tersebut kaya dengan zat kimia/adiktif. Kemudian kebiasaan mengkonsumsi minuman langsung dari show-case, minuman dengan label terkesan  mewah namun tidak menjanjinkan kesan mendorong remaja untuk ikut berperilaku hidup sehat. Sekali lagi malah membuat mereka mengadoppsi life style yang mereka anggap mewah. Asupan gizi yang kurang berimbang membuat mereka jadi kurang sehat.
“Mana mungkin tubuh dan pikiran bisa jadi segar dan bugar dengan life style seperti itu”.
Demikianlan realita cara belajar dan gaya hidup sebahagian generasi sekarang. Yaitu gaya hidup yang hanya belajar buat menggapai cerdas akademik setinggi mungkin, namun mengabaikan kecerdasan non akademik. 
Di negara Paman Sam (Amerika Serikat), dikatakan bahwa bahwa remaja belajar cukup secara alami saja. Mereka tidak begitu dengan demam bimbel. Tempat bimbel itu tetap ada. Hanya para remaja yang merasa betul-betul butuh yang mampir ke sana. Tidak ada fenomena “Bimbel Zoom” atau deman bimbel yang biasanya terjadi di setiap akhir tahun akademik.
“Belajar di sekolah saja itu mereka rasakan  sudah cukup. Mereka tidak perlu lagi pergi ke bimbel,” kata Miftahul Khairi menambahkan.
Di sana guru-guru mereka di sekolah sudah cukup professional. Penampilan menarik, pribadi hangat, sangat menguasai bidang studi dan tahu cara menyajikan pelajaran dengan cara kreatif dan menyenangkan. Ruangan kelas dan lingkungan sekolah penuh dengan iklim excellent service atau layanan prima, yaitu: look, smile, greet, serve, and thank. Bisa jadi guru-guru di kelas Amerika sebagus kualitas guru-guru bimbel kita, atau malah lebih lagi. 
“Ya betul bahwa di sana kami tidak perlu pergi bimbel lagi. Dan bimbel memang ada, tapi hanya dikunjungi bagi yang betul- betul memerlukan layanan. Kebiasaan di sana, usai sekolah mereka pulang ke rumah dan selanjutnya pergi untuk menekuni hobi mereka. Bagi yang gemar berolah raga akan pergi ke lapangan, ada yang main badminton, menunggang kuda, main base ball, main cricket, juga ada yang menekuni badminton, hingga main karate, dan judo, dll . Mereka menekuninya bersungguh-sungguh dan sangat menikmati hobinya. Sehingga pada akhirnya banyak yang menjadi atlit nasional, bahkan juga menjadi atlit internasional beneran”.
Bagi yang gemar pada bidang musik dan seni, mereka pada menyerbu theater. Bagi yang tergila-gila dengan music jazz, music pop, biola, key board maka akan segera bergabung dengan ekskul untuk mendalaminya. Juga ada yang mendalami ballet hingga seni lainnya. Saat remaja mereka menekuni kesenian ini sebagai hobi, namun akhirnya- saat tumbuh dewasa-  mereka bisa berkarir pada bidang ini. Menjadi pemain biola, music, dan theater professional yang berkelas nasional dan malah berkelas internasional. 
Bagaimana dengan urusan akademik? Ya mereka juga selalu memahami dan menekuninya. Agama mereka mungkin selain Islam, namun mereka juga berbuat sesuai dengan konsep agama Islam; “man jadda wa jadda- barang siapa yang bersungguh akan berhasil”.
“Sekali lagi bahwa kualitas PBM di kelas di sekolah Amerika sebagus kualitas bimbel di kelas bimbel terbaik di negara kita, atau lebih baik lagi”.
Eksistensi orangtua di sana seperti ungkapan, yaitu “the man behind the gun.” Bagaimana baik atau buruknya sepucuk senjata ditentukan oleh orang yang memegangnya. Dengan arti kata bahwa mau menjadi apa seorang remaja juga ditentukan oleh peran dari orangtua.
Jadi orangtua juga punya peran penting dalam mendukung sukses kehidupan seorang remaja. Sebagian orangtua di negara kita- sekali lagi- hanya sebatas  memahami bahwa anak perlu menaklukan semua mata pelajaran, jago dengan akademik. Mereka sangat bersimpati dengan anak yang telah menghabiskan banyak waktu di sekolah dan di tempat bimbel agar bisa memperoleh skor akademik yang tinggi agar kelak mereka bisa kuliah di tempat yang favorit (?).  Setelah itu, seperti ilustrasi yang mereka peroleh bahwa karir cemerlang bisa datang dengan mudah.
Jadinya para orangtua bersimpati bahwa anak- anak mereka sudah cukup lelah oleh urusan akademik. Mereka tidak mau mengganggu anak lagi. Mereka berpiki bahwa anak tidak perlu lagi ikut cuci piring, cuci motor, merapikan ruang rumah, juga tidak perlu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tetangga.
Karena anak sudah begitu lelah, mereka perlu dibantu dan dilayani. Kalau perlu anak harus dimanjakan. Ada kesan bahwa pendidikan di rumah sekarang bahwa anak tidak perlu lagi dilibatkan. Dengan demikian anak jadi miskin dengan keterampilan hidup (life skill) karena tidak kenal dengan pengalaman harian; memasak, mencuci malah juga tidak tahu bagaimana orangtua mereka berbisnis.
Kasihan anak sudah letih, dan akhirnya anak memilih untuk bersenang- senang, bersantai, sibuk dengan gadget, terbenam dengan game on-line atau hanyut dengan media sosial; facebook, twitter, bbm, dan fitu lainnya. Karena sudah terlanjur suka dengan aktifitas sendiri, kurang meleburkan diri dengan tetangga atau lingkungan sosial maka sekarang lahir ribuan generasi yang kurang peduli dengan sosial. 
Orangtua mendidik dengan konsep yang salah, anak korban (ketagihan) teknologi dan hiburan, hingga pengalaman pendidikan di rumah dan di sekolah hanya menciptakan remaja yang hanya sebatas cerdas akademik namun buta dengan pengalaman harian- kurang punya life skill- dan juga kurang mampu dalam mengurus diri.
Pendidikan dengan cara begini telah menciptakan remaja yang hanya sebatas  “rancak di labuah- sebatas  bagus pada penampilan.” Ya hanya sebatas cakep pada penampilan, smart book but poor in life skill- cerdas dengan buku dan miskin dengan keterampilan hidup.
Hal yang berbeda dengan orangtua di Amerika- bukan bermaksud untuk memuji bangsa Amerika- mereka adalah orangtua yang telah memahami konsep parenting. Orangtua yang punya ilmu parenting bertanggung jawab dalam mendidik dan menumbuhkan anak- anak yang berkualitas.
Jadinya hampir semua orangtua di sana tahu dengan peran mereka. Orangtua sebagai educator, dan guru di sekolah sebagai the teacher. Educator berarti pendidik dan teacher berarti pengajar. Orangtua sebagai educator punya peran dalam menumbuh kembangkan prilaku dan tanggung jawab anak. Individu yang baik adalah individu yang tahu dengan tanggung jawab mereka.
Al-hasil setiap anggota keluarga tahu dengan job description (pembagian tugas) mereka. Setiap orang di rumah punya tugas dan tanggung jawab masing- masing. Ayah dan ibu ikut melibatkan anak dalam aktifitas di rumah dan mendorong anak untuk juga aktif dalam sosial. Hingga sekolah dan rumah-rumah di Amerika menciptakan anak-anak yang smart book and smart street.

Kritikan Kecil Buat Pendidikan Kita
Ini adalah sebuah kritikan kecil untuk proses pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Bahwa anak-anak sekolah di negara ini berlomba-lomba buat belajar ya hanya sebatas menjadi smart-book agar kelak mereka mampu menuju perguruan tinggi terbaik. Mereka sudah terbiasa dengan belajar dan belajar demi kualitas akademik- hingga mereka menjadi smart book, dan itu juga sangat penting. Namun proses kehidupan membuat mereka menjadi miskin dengan smart street atau life skill.
Karena memiliki skor akademik yang bagus, pada akhirnya mereka mampu menerobos perguruan tinggi terbaik. Mereka kemudian mengikuti proses perkualiahan hingga tamat dan wisuda. Namun semua universitas tidak memberikan sebuah jabatan dan pekerjaan yang basah buat mereka sebagai sarjana baru, kecuali hanya memberikan selembar janji dalam bentuk ijazah dan transkrip nilai.
Selepas itu bagi sarjana yang hanya sebatas  jagoan dengan akademik namun tidak begitu smart street dan kurang punya life skill. Mereka kemudian akan dilanda oleh ketidak berdayaan dan kegalauan akademik. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan setelah menyandang status sarjana, kecuali sebatas  berusaha bertahan buat menunggu datangnya “job- fair” seiap saat. Atau mengirim lamaran demi lamaran ke perusahaan, kantor-kantor dan ke daerah yang jauh dari kampung halaman. Mau pulang kampung ahhhhh enggan. Biarlah dulu menghabiskan waktu hingga usia merangkak tua.
Anak-anak di sekolah sana, saat masih di level SLTA telah punya self-determination (tujuan hidup sendiri) dan punya pilihan karir yang jelas. Pembinaan dan pilihan karir mereka sangat jelas. Jadi mereka memilih perguruan tinggi tidak secara menerabas atau hantam kromo. Memilih jurusan dan perguruan tinggi bukan sebatas ikut-ikutan atau gengsi-gengsian. Di sekolah-sekolah Amerika Serikat tetap ada jurusan yang favorit, namun disana tidak ada fenomena memfavoritkan suatu jurusan dan perguruan tinggi secara berlebihan.
Proses belajar di sekolah dan perkuliahan di perguruan tinggi telah menggiring anak-anak untuk menjadi smart book dan smart street. Kemudian semua orang yang mengerti dengan konsep parenting juga telah menjadi guru terbaik bagi anak-anak mereka, hingga juga ikut mendorong mereka menjadi generasi yang cerdas. Ya cerdas yang berimbang, cerdas dengan buku, cerdas di lapangan, berani, punya nyali dan punya rasa tanggung jawab.

Kualitas pendidikan kita di tanah air, apakah di sekolah berlabel unggul, apalagi di sekolah biasa-biasa saja juga bertujuan untuk mendidik para siswa untuk menjadi cerdas. Namun cerdas mereka mungkin baru sebatas cerdas di tingkat sekolah, tingkat, kecamatan, atau kota. Hanya segelitir saja yang cedas berkualitas propinsi apa lagi cerdas di level nasional. Sementara pendidikan di sana, juga di negara maju lainnya, seperti di Singapura, Jepang, Eropa, anak-anak belajar untuk menjadi generasi cerdas tingkat nasional, dan kapan perlu cerdas untuk tingkat internasional. 

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...