Sabtu, 29 Desember 2007

Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah


Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan keunggulan)


Semua bahasa di dunia mempunyai empat aspek yaitu membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Kemudian berdasarkan ekspresi, bahasa dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk yaitu bahasa lisan (oral) dan bahasa tulisan. Orang yang suka ngobrol dapat dikatakan sebagai orang yang berbudaya lisan dan yang senang menulis dan membaca maka merek dapat dikataan sebagai orang yang senang dengan budaya tulisan.
Budaya lisan adalah budaya orang kebanyakan dan ini adalah budaya berbahasa orang grassroot level- orang awam atau orang kebanyakan. Budaya ini kerap terjadi di warung kopi, di mall, sampai kepada ekspresi berbahasa yang dilakuan oleh kaum pria dan wanita yang asyik berbagi gossip.
Budaya lisan sangat bagus untuk selalu dikembangan dan dipertahankan, apalagi kalau mempunyai manfaat untuk saling berbagi. Namun budaya tulisan – membaca dan menulis- tentu lebih tinggi kualitasnya. Untuk bangsa Indonesia- dan mungkin juga di mana mana di belahan bumi ini - budaya tulisan hanya dilakukan oleh kalangan tertentu, yaitu oleh orang- orang yang terdidik dengan baik (atau kalangan intelektual). Mereka tidak terbiasa dan tidak tertarik melakukan ngobrol ngalor ngidul-ngobrol dengan topik mengambang melulu. Pastilah orang yang memilih budaya tulisan ini akan memiliki pola berfikir yang lebih kritis dan analitis - critical thinking and analytical thinking. Sementara orang yang terjebak ke dalam budaya lisan cenderung memiliki pola berfikir mengambang- atau global thinking- dan ini tentu bukan generalisasi untuk semua orang.
Bila seseorang ingin maju maka sangat tepat bila ia mengadopsi budaya tulisan- membaca dan menulis- sebagai kebiasaan dan kebutuhannya. Kebiasaan ini- seperti disebutan di atas- akan menjadikan seseorang bersifat analitis dan kritis dalam berfikir. Orang di negara- negara maju seperti di Singapura, Jepang, Australia, Eropa dan Amerika tentu saja mereka semua terbiasa hidup dengan budaya tulisan. Membaca dan menulis sudah menjadi konsumsi hidup mereka sehari- hari. Maka adalah juga ideal bila seseorang ingin maju maka mereka harus membiasakan diri untuk banyak membaca dan menulis,dan kemudian melakukan otodidak- belajar secara mandiri- serpanjang waktu.
Soekarno, Moh Hatta, Bj Habiebie, Gus Dur, dan lain- lain tentu saja mereka menjadi orang besar bukan secara kebetulan tetapi adalah karena mereka mengadopsi budaya tulisan melalui otodidak, belajar secara mandiri, dan belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya atau berkualitas tinggi. Sementara Pramudya Anantatur, Buya Hamka, Haji Agus Salim,dan lain-lain, tidak pernah menempuh pendidian formal tinggi, namun lewat budaya tulisan secara otodidak telah tumbuh menjadi ilmuwan, budayan dan tokoh intelektual yang sangat berukalitas. Dapat dipastikan bahwa tentu saja mereka pada masa kecil tidak pernah bermimpi dan bercita- cita untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) seperti cita- cita sebahagian sarjana sekarang.
Dunia pendidikan, mulai dari SD sampai kepada Perguruan Tinggi pasti merupakan tempat yang tepat untuk membentuk setiap orang menjadi manusia yang terdidik. Agar menjadi lebih berkualitas maka mengadopsi budaya tulisan- banyak membaca dan banyak menulis. Lebih lanjut orang akan setuju untuk mengatakan bahwa dunia pendidikan dapat diidentikan sebagai pabrik otak. Di sini akan terdapat unsur- unsur seperti input, proses dan output. Proses dalam pabrik pendidikan ini berlangsung begitu lama. Pemerintah dalam hal ini meluncurkan program ”wajar”- wajib belajar- sembilan tahun. Yaitu proses pendidikan di tingkat SD dan SLTP.
Adalah merupakan suatu fenomena bahwa banyak masyarakat (orang tua) secara swadana dan swadaya menganjurkan dan mengirim anak- anak mereka ke Perguruan Tinggi. Maka proses pendidikan dalam pabrik otak bisa berlangsung selama 18 tahun. Banyak yang percaya bahwa kalau seseorang bisa sekolah lebih tinggi hingga tamat dari Universitas atau Akademi maka kehidupan mereka akan menjadi lebih baik Sertifikat atau ijazah yang diperoleh lewat Perguruan Tinggi bisa menjadi tiket mencari kerja. Menjadi karyawan di perusahaan besar, BUMN, dan menjadi PNS adalah mimpi sebahagian dari mereka saat masih kuliah dan setelah tamat dari Perguruan Tinggi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karater anak didik sampai kepada karater mahasiswa di Perguruan Tinggi, mereka masih terperangkap ke dalam budaya lisan dan budaya tulisan terasa sebagai beban. Anak didik dan mahasiswa yang cendrung terperangkap dengan budaya lisan- dimana sepanjang hari aktivitas mereka hanya mengobrol, bercanda dan berdebat kusir- cendrung menjadi orang dengan fikiran dangkal dan mengambang (floating thinking), sementara mereka yang membiasakan diri dengan budaya tulisan tentu akan lahir menjadi manusia dengan pola berfikir kritis dan analitis.
Sebahagian kaum pendidik, yaitu guru- guru yang mengajar mulai dari Tk , SD, SMP, SLTA dan malah juga ada Dosen , sebahagian ada yang terjebak dan hanyut dalam budaya lisan. Budaya lisan- ngobrol dan berceloteh- terasa mudah dan budaya tulisan- membaca dan menulis- terasa melelahkan dan membosankan. Kalaupun ada kegiatan membaca dan menulis itu hanya sebatas melakukan tugas rutinitas yang dangkal sebagai seorang pendidik. Namun apabila mereka melakukan budaya tulis secara refleksi (renungan) dan menganalisa maka tentu mereka patut diberi dua acungan jempol.
Bila seluruh kaum pendidik bisa menyenangi kebiasaan membaca dan menulis maka tentu perpustakaan dan toko buku menjadi tempat yang amat menyenangkan dan mereka tentu akan pergi menuju tempat mendidik (sekolah) dengan tas yang penuh berisi buku buku, dan jurnal pendidikan. Tidak seperti fenomena yang terlihat sekarang dimana sebahagian guru datang keseolah membawa tas kecil seperti tas pergi ke pesta yang isinya cuma, sisir, lipstik dan dan cermin dan guru pria juga datang dengan gaya santai tersendiri pula.
Absennya budaya membaca dan menulis di kalangan kaum pendidik telah membuat mereka demam dengan budaya rekayasa, dan budaya yang hanya gemar mengejar manfaat sesaat. Sejak kebijaan serifikasi diluncurkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memotivasi peningkatan kualitas pendidikan. Namun kaum pendidik termotivasi hanya untuk mengejar selembar tiket yang bernama ijazah dari perguruan tinggi. Usaha yang mereka lakukan, tentu saja bagi semua orang, adalah dengan cara ”mencontek atau mencari joki” agar bisa lulus ujian semester dan kemudian menyusun strategi baru untuk membeli atau memesan proppsal, makalah, skripsi atau tesis setelah itu.
Sejak kebijakan sertifikasi diluncurkan maka terlihat respon guru- guru (kaum pendidik) cukup meningkat. Misal bila seminar digelar maka mereka datang dengan spontan , membayar, namun setelah itu ada yang senang hanya sekedar titip absen kemudian pergi atau hadir demi mengharap selembar sertifikat seminar. Ini adalah salah satu dampak buruk dari belum hadirnya budaya tulisan (membaca dan menulis) dalam dunia pendidikan.
Budaya membaca dan menulis juga belum menjadi bahagian gaya hidup mahasiswa, apalagi bagi mahasiswa yang kuliah pada universitas pinggiran. Kualitas pendidikan mereka susah untuk diandalkan dalam kompetisi pada bursa tenaga kerja. Fenomena jauhnya budaya membaca dan menulis dari gaya hidup mahasiswa teridentifikasi dari gaya hidup dan prilaku mereka. Pergi kuliah dengan tubuh dibungkus penuh assesori, tangan Cuma lebih senang menggenggam ponsel dari membawa bacaan yang berkualitas. Kemudian duduk atau jalan- jalan di depan kampus dengan karakter ”ala anak SLTA” berdialog dengan ekspressi bahasa cengeng dan kemanja-manjaan. Jauh dari kesan gaya mahasiswa yang intelektual dengan gaya bahasa atau bicara penuh analitis dan kritis.
Pastilah kini pemerintah, ahli pendidik dan para stakeholder menjadi lelah memikirkan karater kaum pendidik dan anak didik yang belum terbiasa dengan budaya tulisan- gemar membaca dan menulis. Fenomena inilah sebagai penyebab mutu bangsa yang besar ini susah untuk berkompentisi. Karena warganya belum terbiasa membaca dan menulis akibatnya mereka cuma memiliki pola fikiran yang kurang kritis dan analitis. Mengatasi fenomena ini lebih tepat dengan menghidupan kembali gerakan gemar membaca dan gemar menulis dari level pendidikan yang lebih rendah (Tk dan SD) sampai keperguruan tinggi yang langsung diimplementasikan dalam ehidupan dan bukan cuma hanya lewat seminar dan simposium yan hanya dihadiri oleh kalangan tertentu yang cendrung untuk mengkonsumsi buat memperkaya wawasan sendiri.
http://penulisbatusangakar.blogspot.com/

Marjohan , Guru SMA Negeri 3 Batusangkar (Program Layanan keunggulan Tanah Datar) .

Kamis, 20 Desember 2007

Menumbuhkan Budaya Menghargai Siswa


Menumbuhkan Budaya Menghargai Siswa
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)
Menghargai dan menyayangi adalah dua ekspressi emosi yang selalu patut ditujukan oleh orang tua kepada anak dan oleh guru kepada siswanya selalu. Dua ungkapan ekspressi emosi ini amat tulus diberikan oleh orang tua yang punya bayi dan balita. Perasaan sayang dan dihargai yang diterima oleh anak membuat mereka selalu bersemangat untuk melaksanakan aktivitas yang tidak henti- hentinya dalam menjalani proses pertumbuhan mereka. Masa bayi dan balita yang merupakan masa emas, karena pada masa ini syaraf- syaraf berkembang pesat, dan pada saat yang sama orangtua memberikan pelayanan unggul dalam mendidik mereka, yaitu mendidik dan membesarkan yang penuh dengan senyum, kehangatan, sentuhan dan kata- kata positif.
Mendidik anak dengan pelayanan prima masih diterima oleh anak mereka berada di bangku taman kanak-kanak dan berlanjut sampai kelas satu atau kelas dua SD. Pada saat ini orang tua di rumah masih memperlihatkan pribadi yang hangat pada anak di rumah. Di sekolah , di TK dan di SD (kelas satu dan kelas) dua guru- guru pun masih mendidik anak dengan penuh senyum, penuh sabar dan ramah tamah .
Mendidik dengan pelayanan ramah tamah- menghargai dan menyayangi- dari guru kepada siswa memberikan yang menakjubkan. Inilah alasanya kalau dalam usia ini mampu merekam pembelajaran dengan hasil yang bagus. Namun apabila ada yang beralasan bahwa dalam usia ini, daya tangkap anak ibarat menulis di atas batu, tetapi didik oleh orangtua dan guru yang penuh dengan suasana menekan, mengancam dan mengintimidasi maka pasti akan membuat anak menjadi manusia yang senang membisu dan memiliki jiwa paranoid.
Adalah proses biologi yang alami bila anak terus mengalami pertumbuhan terus, sampai akhirnya mereka memasuki usia pasca masa balita dan terus sampai masa pra remaja. Seiring dengan perubahan tubuh atau perubahan biologis mereka, maka karakter mereka juga berubah. Bila pada masa bayi dan balita, mereka masih memperlihatkan sikap manis dan lucu. Namun dalam masa setelah itu, mereka tumbuh menjadi manusia yang lebih agresif, impulsif- kurang bisa menguasai diri, senang berteriak dan bergerak agresif dalam rangka merespon pertumbuhan jantung, paru-paru, otot dan organ yang lain sering membuat mereka menjadi kontra dengan standar kebijakan guru dan orang tua.
Untuk mencegah gerak mereka yang agresif dan suara mereka mereka yang keras, maka orang tua dan guru melakukan respon yang berbeda- beda. Sebagian orangtua berusaha untuk memahami pertumbuhan dan perkembangan anak dan sebahagian lain malah bersikap dengan sangat otoriter- menghardik, mencela dan memberikan hukuman, dimana pda akhirnya akan melajirkan generasi muda yang senang membisu, pasih dan pemalu.
Di saat anak mengalami pertumbahan dan perkembangan yang pesat ini, walau mereka sendiri mengalami perubahan pola prilaku yang aneh- aneh di mata guru dan orangtua yang belum memahami bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak, mereka mererspon dengan pola kekerasan atau bergaya otoriter maka pastilah akan melahirkan nak- anak dengan perasaan tertindas.
Cukup bervariasi pola mengajar guru- dan juga orangtua- terhadap anak didik sejak masa anak- anak di SD sampai kepada masa remaja di tingkat SMP dan SLTA. Ada guru yang mengajar dengan cara memaksa, serba melarang, serba membantu, mendikte dan tentu ada juga orang tua dan guru yang mendidik anak penuh dengan menghargai, penuh kasih sayang, memberikan simpati dan rasa emphaty mereka. Tentu saja banyak orang tua dan guru akan berkata bahwa berteori tentu lebih mudah dari pada mempraktekannya. To say is easy but to do is difficult. Namun pernyataan ini sedikit bisa disangkal.
Andaikata orangtua dan guru mau selalu belajar dan bisa memahami karakteristik anak sesuai dengan tingkat atau masa pertumbuhannya, maka mereka (kita) tentu akan mengerti mengapa anak pada usia 6 sampai 10 tahun, sebagai contoh, senang berbicara dan berkata dengan gaya menghardik- hardik. Mengapa dalam dalam usia ini mereka bersikap sangat kinestik (lasak)- banyak bergerak dan bersikap tidak tenang. Memahami karakter pertumbuhan mereka akan bisa meredam gejolak emosi guru dan orang tua dalam mendidik.
Mengajar dengan gaya otoriter (menggunakan kekuasaan), atau gaya pseudo demokrasi (demokrasi semu) bagi guru: marah- marah, mencela, mencerca, mengkeritik, akan membuat siswa menutup pintu hati dan pintu fikiran mereka. Anak didik akan kehilangan motivasi, minat dan gairah untuk berintegrasi dengan guru dan orang tua mereka. Mereka berharap agar pembelajaran dan saat- saat yang membosankan agar segera berakhir.
Guru- guru tertentu bisa jadi memiliki cara yang jitu untuk meredam keagresifan sikap mobile atau sikap anak didik. Cara yang mereka terapkan bukan lewat pemaksaan, menekan, atau marah- marah, namun dengan cara memberikan perlakuan khusus: keakraban. Mereka mengerti bahwa anak anak menjadi nakal karena mereka menderita Skin hunger- atau kulit yang lapar terhadap sentuhan. Maka sentuhan tangan guru pada pundak mereka, diikuti senyum dan kata- kata simpati memiliki kekuatan yang besar untuk mengatasi prilaku nakal mereka.
Pembelajaran bagi anak di rumah dan di sekolah, bukan berarti mereka harus mengejar kecerdasan kognitif (kecerdasan otak) semata. Namun juga untuk memacu kecerdasan psikomotorik (keterampilan) dan affektif (sikap). Maka orang tua yang sudah terlanjur untuk membebaskan anak dari pekerjaan rumah- mereka tidak usah memasak, menyapu dan mengurus rumah asal selalu belajar dan belajar agar bisa juara di sekolah- malah akan membuat anak menjadi tidak terampil dan kehilangan tanggung jawab terhadap keluarga dan terhadap dirinya. Untuk itu orangtua perlu mengajar anak untuk rajin belajar namun juga rajin membantu keluarga.
Agar anak memiliki nilai psikomotorik dan affektif dalam hidup maka, sekali lagi, orang tua perlu untuk melibatkan mereka dalam setiap aktivitas kehidupan di rumah. Karena adalah tidak tepat untuk mengkondisikan mereka hanya untuk belajar dan belajar melulu, tanpa pernah memberi mereka tanggung jawab dan mewarisi keterampilan kerja di rumah. Andaikata sang ayah mengelola usaha pertanian, peternakan atau perdagangan, maka idealnya anak perlu dilibatkan dalam mengelola usaha keluarga ini.
Sudah menjadi fenomena pada beberapa keluarga menerapkan konsep "salah didik" dengan cara tidak melibatkan ikut mengurus rumah tangga. Cukup banyak sekarang anak laki- laki dan anak perempuan yang tidak bisa mengurus diri sendiri, tidak tahu cara mencuci, menyapu, memasak apalagi untuk memasak rendang padang. Inilah salah satu kesalahan orang tua yang mana atas nama agar anak bisa sukses di sekolah maka mereka dimanja- tidak diberi pekerjaan mengurus rumah. Tugasnya Cuma belajar dan belajar melulu dan dalam kenyataan malah pketerampilan dan sikap anak menjadi buntu atau lumpuh untuk memiliki keterampilan sosial.
Begitu pula kalau di sekolah, belajar dengan gaya menghafal tanpa mengimplementasikan gaya belajar inquiri (menemui) atau belajar dengan cara berbuat atau learning by doing cendrung membuat siswa miskin dengan nilai keterampilan dan sikap. Untuk mewarisi mereka dengan nilai keterampilan dan sikap yang sesuai dengan norma sosial dan norma agama (dan juga sesuai dengan norma orang timur) maka tentu tidak cukup hanya dengan memberi mereka catatan dan hafalan teori tanpa melibatkan mereka dan memberi mereka model (langsung dari orang tua dan guru).
Pembelajaran BAM (budaya alam minangkabau), agama, bahasa dan budi pekerti yang mana kalau hanya syarat dengan teori tanpa melibatkan mereka dalam aktivitas langsung dengan kehidupan adat, mengggunakan bahasa dan implementasi agama maka nilai yang mereka oeroleh selalu cendrung bersifat kognitif. Metoda pembelajaran yang demikian tidak pernah tepat sasaran yaitu untuk memantapkan nilai keterampilan dan sikap.
Dapat disimpulkan bahwa mengajar anak atau siswa dengan cara menumbuhkan budaya menghargai, memahami pertumbuhan diri anak dan mendidik mereka dengan cara memberikan pelayana prima: senyum, ramah tamah dan penuh keakraban, akan memberikan dampak positif dalam mendidik. Perlu juga diperhatikan bahwa adalah perlu untuk melibatkan anak dalam setiap aktivitas di rumah dan aktivitas dalam pembelajaran di sekolah agar mereka tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga cerdas untuk keterampilan dan sikap sosial. Akhir kata bahwa adalah perlu orang tua dan guru menjadi model bagi anak sebelum mereka terlanjur mencari model ke luar yang penampilan dan budaya mereka cendrung serba aneh.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
marjohan, guru SMA Negeri 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Peran Strategis Orang Tua Untuk Mencegah Pengangguran Sejak Dini



Peran Strategis Orang Tua Untuk Mencegah Pengangguran Sejak Dini
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)
Kata lain dari "pengangguran" adalah tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak orang. Terutama dikalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau merasa telah gagal dalam mencari kerja. Sementara itu pada zaman nenek moyang kita, kata pengangguran belum begitu lazim atau tidak dikenal sama sekali, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak, bertukang , berdagang atau sebagai buruh. Pekerjaan diwariskan dari orang tua turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari, dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.
Pada masa itu, dalam suasana masyaraskat tradisionil,seperti yang telah diungkapkan- generasi tua peduli terhadap kelangsungan kerja generasi muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas on job training – atau magang- sudah berjalan dan malah telah mengangkar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita dengan memperi peran- peran sosial sebagai kaum wanita, calon ibu dan calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai- nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak..
Sejak dulu sampai sekarang nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat dijunjung tinggi. Banyak orang tua berlomba untuk mendorong anak- anak mereka untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Tentu saja ini adalah terobosan positive dalam mendidik keluarga. Sebelumnya orang berlomba dalam hal kekayaan berdasarkan berapa jumlah emas, jumlah rumah, jumlah sawah sampai kepada berapa jumlah kerbau yang mereka miliki. Namun setelah kepedulian terhadap pendidikan menjadi suatu fenomena maka masyarakat akan merasa bangga bila dalam keluarga banyak anak- anak yang menjadi sarjana.
Agar anak bisa menjadi sarjana maka setiap harus sekolah setinggi mungkin- akademi atau univeritas. Bila nilai (indeks prestasi) juga tinggi maka lowongan kerja tentu sudah menunggu. Oleh karena itu masyarakat memandang sekolah yang tinggi sebagai investasi untuk mengangkat martabat dan nama baik keluarga. Kemudian terbentuklah beberapa bentuk karakter masyarakat dalam mempersiapkan kualitas keluarga atau kualitas anak.
Ada orangtua yang mendukung agar anak bergiat dan rajin dalam belajar, namun mereka juga harus menyisihkan waktu untuk mengurus kebersihan dan kerapian rumah. Dan juga cukup banyak orangtua yang mendorong anak- anak mereka untuk rajin belajar dan membebaskan mereka untuk merawat rumah (?). Maka ini merupakan sebuah sikap naif orang tua dalam mendidik dan menumbuhkan sikap dan nilai anak dalam memiliki rasa tanggung jawab. Fenomena seperti ini amat banyak terjadi dalam masyarakat.
Agar anak menjadi pintar di sekolah maka orang tua yang rendah wawasan ilmu mendidiknya hanya akan menyuruh anak untuk belajar (menghafal dan menghafal pelajaran) semata- mata. Orang tua kemudian kurang melibatkan anak dalam kegiatan membantu orang tua. Konsep seperti ini tampak memanjakan atau konsep salah didik sejak anak kecil sampai remaja. Kebutuhan diri anak pun, seperti makan, minum dan kerapian berpakaian , serba dibantu atau dilayani oleh orang tua itu sendiri. Prilaku mendidik keluarga seperti ini terjadi pada berbagai lapisan ekonomi dalam masyarakat. Termasuk keluarga petani, sebagai contoh.
Ada keluarga petani atau keluarga pedagang, asal anak bisa jadi juara di kelas (di sekolah) maka mereka tidak ikut serta untuk turun kesawah membawa cangkul, atau turun ke gudang untuk merapikan barang- barang, karena itu bukalah pekerjaan seorang anak sekolah. Kerja anak sekolah hanya cukup memegang pulpen saja untuk menulis. Ungkapan- ungkapan seperrti ini ternyata sudah menjadi fenomena dalam banyak keluarga. Ungkapan seperti ini sangat berkesan dalam memori anak. Sehingga anak- anak yang berdomisili di daerah agraris cukup banyak yang menjadi gengsi atau inferior complex (minder atau rendah diri) untuk melakukan pekerjaan yang mereka anggap sebagai kerja kasar seperti yang dilakukan oleh kakek, paman. Ayah, tetangga dan paman mereka. Maka inilah awal nya mengapa nilai life skill (kecakapan hidup) tercabut dari lingkungan keluarga atau budaya anak.
Banyak orang dari dahulu sampai sekarang bahwa sekolah adalah pabrik untuk membuat orang bisa jadi cerdas dan kemudian pintar mencari kerja. Mereka memandang kerja sebagai petani, buruh, tukang, dan lain- kain, bukanlah sduatu pekerjaan. Kalau tamat sekolah bisa bekerja di kantor atau di perusahaan maka itu baru dianggap mempunyai pekerjaan.
Pada mulanya banyak orang lebih menyukai bekerja di sektor swasta dan BUMN dengan gaji besar dari pada menjadi PNS yang gajinya pas-pasan. Namun setelah pintu kerja di sektor swasta dan BUMN menjadi lebih sempit maka orang lari menyerbu pintu jadi PNS, karena disana ada jaminab hidup di hari tua. Sekarang pintu kerja PNS pula lagi yang menjadi sempit. Ini tentu saja membuat banyak sarjana menjadi bingung dan putus asa dan mereka jatuh jadi pengangguran.
Kini pengangguran sudah menjadi suatu fenomena yang meresahkan pemerintah, masyarakat dan orang tua. Karena anak- anak yang tumbuh menjadi remaja dan dewasa, setelah tamat dari sekolah yang paling tertinggi hanya pintar menjadi pengangguran. Dan ini adalah menjadi citra buruk bagi dunia pendidikan. Lembaga ini telah dimaki- maki karena hanya pintar menciptakan orang menjadi buruh, jadi PNS dan sekarang menjadi pengangguran tingkat tinggi.
Setelah itu banyak orang berteori. Ada yang berpendapat bahwa penyebab timbulnya pengangguran adalah karena perguruan tinggi tidak membekali mahasiswa dengan muatan atau mata pelajaran wiraswasta. Kalau pun ada mata pelajaran wiraswasta maka tentu ia hanya bersifat atau memperkaya teori (sebagai kognitif saja). Pada hal berwiraswasta bukan masalah teori atau kognitif semata, melainkan ia hanya bersifat nilai sikap (afektif), tanggung jawab dan nilai keterampilan (Psikomorik) yang harus sudah tumbuh dalam budaya keluarga sejak anak berusia kecil. Namun dalam kenyataan sikap berwiraswasta sudah dibonsai dan dibabat habis oleh karakter orangtua yang hanya mendorong anak untuk belajar dan menghafal. Nasmun jarang atau tidak mendukung anak untuk berparisipasi dalam mengurus rumah dan membantu pekerjaan orang tua.
Penduduk Indonesia keturunan Tionghoa agaknya tidak pernah mengajarkan anak – anak mereka bermimpi untuk menjadi PNS. Mereka pun tidak bermimpi untuk menjadi oetani, karena mereka tidak punya tanah ulayat- tanah warisan nenek moyang turun temurun. Mereka pun punya anak dan mereka sadar bahwa anak mereka kelak harus hidup, makan, berketurunan dan juga menjadi orang. Mereka juga berfikir bagaimana agar anak- anak mereka juga bisa exist dalam hidup. Untuk itu jalan satu- satunya adalah mewarisi mereka sikap berwiraswasta dan suka bekerja keras. Menjadi pedagang adalah salah satu profesi yang mereka warisi buat anak- anak.
Maka sejak kecil, sebagai contoh, anak- anak diberi meja kecil yang di atasnya tersusun deretan botol permen dan kue yang harus dijual. Pada mulanya bukan untuk menjari untung tetapi untuk menamkan pada anak bagaimana indahnya punya ilmu berdagang atau berwiraswasta. Sebaliknya hal yang kontra terjadi pada orang Indonesia yang mengaku sebagai penduduk pribumi, yang dikarunia oleh Tuhan dengan harta pusaka dan tanah ulayat- ada yang luas namun tidak terurus. Namun yang ditanamkan pada jiwa anak- anak adalah sikap untuk jangan menyinsing lengan baju- tidak usah memegang cangkul atau menginjak lumpur. Fenomena ini seolah- olah membisikan pada telinga bathin anak bahwa kerja itu adalah kerja hina. Kerja yang mulia adalah bejerja di pabrik, di gedung, di kantor,jadi PNS, jadi tentara atau polisi agar bisa memakai pakasian gagar dan jadi pembela keluarga (Pada hal yang aslinya jabatan ini adalah untuk membela bangsa dan negara). Maka dari kecil kerja anak cukup belajar dan belajar dan cari nilai yang tinggi di sekolah, mungkin ini awal mengapa orang bersekolah hanya ingin mengejar selembar ijasah, bisa jadi prilaku ini ditumbuhkan dalam keluarga. Namun aneh kalau kemudian sekolah dituding sebagai penyebab. Tetapi sekolah dan banyak orang tidak perlu mencari pembelaan karena lebih baik saling mensewasakan diri.
Kini kita tahu bahwa menanam budaya yang salah itu sudah terjadi dan terbentuk sejak dulu, sejak anak- anak kecil , yang sudah melahirkan jutaan orang yang bermimpi menjadi PNS atau sekarang melahirkan pengangguran. Sekali lagi bahwa tidak perlu saling menyalahkan dan saling menuding. Yang lebih penting kini adalah bagaimana setiap orang bisa mewarisi dan mengajarkan semangat atau etos suka bekerja keras dan belajar sungguh sungguh, menjadi cerdas, bukan mengajar mereka untuk mengejar selembar ijazah lewat cara mencontek dan menipu diri. Juga penting untuk mewarisi anak mental untuk bisa hidup untuk suka bekerja sungguh- sungguh dan belajar mandiri, membuang jauh- jauh sikap senang bersantai dan suka terlalu memanjakan diri. Alam Indonesia ini begitu subuh dan begitu luas, sayang kualitas nya belum memadai dan kalau ada yang punya SDM, populasinya juga menumpuk di suatu tempat. Bukan kah SDM terlalu menumpuk di pulau Jawa, di kota besar atau lari ke tempat lain.
Tanggung jawab kita, orangtua, adalah untuk tidak lagi menyingkirkan anak anak agar tidak beraktivitas di rumah, melibatkan diri dalam pekerjaan membantu orang tua, namun mewarisi mereka semangat kerja sungguh- sungguh dan belajar mandiri. Namun kita, orangtua sendiri juga harus menjadi model bagi mereka terlebih dahulu. Tidak lagi zaman bagi orang kita hanya sebagai penyuruh dan sebagai pengatur tanpa memberi model bagi keluarga.
Kini adalah sangat bijaksana- sekali lagi- kalau orang tua sudi melibatkan anak anak dengan pekerjaan rumah, mengajarkan anak bagaimana hidup terjadwal atau berdisiplin (menghargai waktu) dalam bekerja dan belajar. Tentu adalah perlu untuk menyediakan anak dengan sarana hiburan, namun tidak memanjakan mereka dengan hiburan melulu sepanjang hari. Hiburan yang berlebihan akan membentukkarakter yang santai , dan tentu sangat bijaksana bila orang tua dengan sarana belajar, kalau perlu setiap rumah mempunyai perpustakaan keluarga untuk membudayakan gemar belajar. Juga sangat tepat bila orangtua membekali generasi muda kepintaran berganda (pintar berbahasa, berhitung, bergaul, beribadah, menguasai suasana hati, dan lain-lain), kemudian juga mewarisi mereka semangat bekerja dan belajar bersungguh- sungguh, wawasan dan pergaulan yang luas. Inilah salah satu strategi yang tepat diambil oleh orangtua untuk mengatasi pengangguran anak- anak mereka bila mereka dewasa.
http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
Marjohan , Guru SMA Negeri 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Selasa, 18 Desember 2007

Menuju Kemajuan Peradaban: Orang Minangkabau = Suku Bangsa Pencemooh?

Menuju Kemajuan Peradaban: Orang Minangkabau = Suku Bangsa Pencemooh?

Siswa Bingung Memilih Figur antara Selebriti dan Tokoh Intelektual

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangka
(Program Layanan Keunggulan)


Adalah jumlah populasi generasi muda menempati posisi yang sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.
Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.
Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku. .
Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu- mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.
Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan adalah juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.
Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.
Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.
Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.
Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.
Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.
Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan).
Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.
Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.
Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan- mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang deman mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarskat.
Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri- memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian musti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.
Kalau kita melangkah ke lingkungan universitas- mulai dari universitas berkualitas rendah sampai berkualitas tinggi. Pasti disana akan ditemui banyak mahasiswa- sebagai intelektual muda yang seharusnya penampilan mereka seperti tokoh intelektual senior mereka, atau paling kurang mereka mengambil penampilam dan mode panutan dari dosen- dosen dan guru besar (profesor) sebagai panutan dalam bertindak- melakukan aksi, berbicara dan berfikir. Namun kenyataannya adalah mereka malah tampil ibarat selebriti dari kampus yang suka mejeng dengan pakaian model mutakhir yang dipopulerkan oleh selebriti pujaan mereka, menyandang tas yang isinya malah MP3, recharger mobile phone, kue bermerek luar negeri dan sebagai pelengkap musti ada buku catatan tipis sebagai bukti berstatus mahasiswa. Fungsi kampus bisa berobah sebagai tempat pamer dan lomba penampilan dan sedikit sekali, bagi sebagian mahasiswa sebagai calon intelektual, sebagai unjuk presrasi.
Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini mereka- para tokoihn intelektual dan juga tokoh agama) harus turun dari menara gading intektual mereka yang sakral, membuka pintu rumah seluas- luasnya dan turun mobil untuk menemui dan menemani generai muda untuk berbasgi dan basgi mereka yang sibuk dalam mencari identitas diri, agar mereka kelak mampu untuk menapak hari depan mereka. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Potensial Caves in Sumatra

I am very proud that you present us regularly your tourism cover program that I know very much how exotic Indonesia is, especially west Sumatra .
Here I also would like to inform you about the untouchable exotic sites of tourism. As my European friends , DR.Louis Deharveng (deharven@mnhn.fr), DR.Francois Brouquisse (francois.brouquisse@wanadoo.fr) and others have been vising us since 1990s and each time they complete their journey here they issue the report in “Sumatra speleologue expedition” with their emotional experiences. Then, Dr.G.M Drawhorn in February 200 wrote the inventory of potential cave site in Sumatra , and the majority cave sites are in the province of west Sumatra . They are as follow :

Potensial Caves in Sumatra

I. Caves in West Sumatra

A.Caves in Suliki/ Harau Valley in Regency 50 Kota.
1. Bukit ngalau panjang, non-karst on Bt Tarambur, north west of Suliki.
2. Ngalau (goa) Barsidak
3. Ngalau Bulu Balayan , 1,5 km north of Desa Harau.
4. Bt Subalik Ngalau , 1 km east of Desa Harau . It is underground water at the top of
Bt.Simolakama 2 km east of Desa Harau.

B. Caves in Regency Agam (north of Bukittinggi)
1. Ngalau Gumarang, north of Lake Maninjau , near Bukit Runcing on the Air Maur).
2. Underground water, north of watas Tambalik.
3. Underground water, Bukit Tunggal
4. Underground water, Bukit Datar Kecil, morth east of Mudik Palupuh.
5. Spring Mudik Palupuh, desa Rimbo Panjang, kampong Mudik Palupuh. No caves in
the area- entrance seen.
6. Hot spring, Mudik Palupuh, desa Rimbo Panjang, Kampung Mudik Palupuh, entrance
seen.
7. Underground water, north of Bukit Sarang Gajah.
8. Ngalau Kamang, 1 km possibly Ngalau Sangkar Puyuh on Batang Ngalau fossil cave.
9. Bukut Ngalau Lantai.
10 Bukit Ngalau Panjang and ngalau Tiris.
11.Ngalau Sangir (oral information)
12. Ngalau Lubuk Bangku in Lubuk Bangku (oral information)
13.Ngalau Tungkek, active cave in Desa Lareh nan Gadang (oral info)
14. Ngalau Batu Biaro in Bukit Ngalau Panjang from Biaro (oral info)

C. Caves in Regency Solok
1. Ngalau Lingkaranago, active through cave, Solok
2. Ngalau Gasing, kab. Solok, Gasing. Entrance seen.

D. Caves in West of Payakumbuh
1. Bukit Ngalau with Ngalau Sampik, Ngalau Kuda, Ngalau Indah Baru.
2. Ngalau Indah, fossil cave and explored.

3. Bukit Ngalau Cigak
4. Bukit Ngalau Lantas
5. Ngalau Nachoda Bincin
6. Ngalau Sampik , north west of Bukit Tinjauan.
Air Kolam Ngalau Kuda Bincit (reported by Dubois 1888 : elephas, bos, rhino, cervus
fauna recovered).
7. Ngalau Simarasop= Ngalau Panjang = Ngalau Pinsi, Bukit Ngalau south east of
Baso,Batang Agam through the Bukit Kubang Duo Baleh. Kec. Baso , desa Koto
Tuo,Dusun Sungai Cubadak. Entrance seen.
8. Ngalau Cumaning= Simangalo (Bukit Ngalau south east of Sungai Jernih)
9. Ngalau Lidah Ayer (east of Sialang Indah. Reported by Dubois 1889- containing
pongo, bos, tapirus, hystix, cervus, sus, hylobates, macaca, etc).
10 Bukit Ngalau Cik Camping / Bukit Ngalau Cecil.
11. Bukit Ngalau Gadang
12. Underground water on Bukit Ngarai on Sei. Ambat on the Batang Manggis.
!3. underground water Bukit Ngalau Jahat, stream sink cave (Bukit Ngalau Guci
underground water).

E. Caves in South Of Payakumbuh
1. Ngalau Sangkar Puyuh
2. Ngalau Rumbukit
3. Ngalau Tawar
4. Ngalau Gadang
5. Ngalau Pulai
6. Ngalau Sirangkiang
7. Ngalau Gadang, in Bukit Batu asahan near Pekan Senayan Village , examined by
P.Bellwood July 1980.
8. Ngalau Panjang in Bukit Solok Kalumpang near Pekan Senayan, examined by P.Bellwood July 1980.

F. Caves in Halaban (regency 50 Kota)
1. Ngalau Batang Air Rasan, stream sink cave, Halaban near Kepalokoto. Entrance seen
2. Ngalau Putih, fossil cave in Halaban, near Kepalokoto (examined)
3. Ngalau Cari , marble quarryingm Halaban near kepalokoto (oral info).
4. Bukit Ngalau Sundan
5. Bukit Ngalau Simandalo
6. Bukit Ngalau Jawi
7. Bukit Balik Ngalau
8. Bukit Ngalau Ro
9. Bukit Ngalau Gadang
10. Bukit ngalau Guci
11. Bukit Ngalau Arpan
12 Ngalau Air Timbu, near Halaban Tua
13. underground water of Bukit Ranah Halaban
14. Bukit Ngalau Payo or possible ngalau Pauh Tinggi.

G. Caves in Pamasian Kecamatan Lintau Buo (regency Tanah Datar)
1. Ngalau Nyawiek, Desa Pamasian, near Batang sInamar (oral info)
2. Ngalau Pamasian
3. Ngalau Pleyangan , resurgence cave, Kec Luhak (sago halaban) north of Pamasian..
3,5 km explored.

H. Caves along the River Pigago in Tanah Datar Regency.
1. Pintu Ngalau, underground water with stream sink cave near kampong Pintu Ngalau,
Pamasian Road , Kec Lintau- Tanah Datar.
2. Underground water of Ngalau Upah.
3. Ngalau Jambu, by Tapi Selo, (reported by Dubois 1889- fauna similar to Ngalau Lidah
Ayer), In Kec Lintau Buo.
4. Ngalau Gunja near Ngalau Lidah Ayer,
5. Nalau Guo, North East of Sialang Indah , West of Bt.Sidayu.

I.Caves near si Bolin / Si sawah near Kec. Lintau Buo- Tanah Datar
1. Ngalau Bulan = Ngalau Panjang, near Kumanis South East of Tigo Jangko (Reported
by Dubois August 1889- similar fauna as Ngalau Sampit)
2. Nalau Sibolin near si sawah
3. Nalau Panjang, near Kumanis, south east of Tigo Jangko or Tanjung Bonei. Possibly
Ngalau Panjang = Ngalau Kepala Sawah Liat near sibalan, reported by Dubois
November 1889- Rhinicerous humerous discovered.
4. Bukit Ngalau Tiris
5. Bukit Ngalau Tinggi, 2 km long south east of Sisawah
6. Ngalau Antabung = Ngalau Antabung Indah, resurgence cave.
7. Ngalau Harimau, south of sisawah.
8. Bukit ngalau Buo , south of sisawah
9. Ngalau Panjang on Sumpur river, north of sibolin, reported by Dubois 1889.
10. Ngalau Lebawah, natural pit 55 m depth, reported by Dubois 1889, elephas femur
recovered.
11. Underground water Gunung Darat at headwater of sei Koto Tuo, 0,5 km west of
sisawah connect with underground water sei .Tabuh
12 Ngalau (no name) sisawah, active cave.
13. Under groung water, ngalau Kompe, north of bukit Tambang Langsat
14. Underground water on Sei Sarih near Si Duku
15. Ngalau Puangan Hilir, cave in the lower course of Tabat Panjang, Kec Lintau. 1,5
mapped by Deharveng.
16. Ngalau Bingkiang, in Tabat Panjang
17. Guo Lisun in Tabat Panjang
18. Ngalau Tabat Panjang
19, Ngalau Talang or Ngalau Sapan Kijang, in Lubuk Jantann, the greatest cave in Kec
Lintau Buo.
20. Ngalau Lado
21. Ngalau Angit
22. Ngalau Busuk.

J. Caves near Buo (kec Lintau Buo) Tanah Datar.
1. Ngalau Batang Pangian, great cave and active cave. (reported by Bock 1878, Dubois
may 1889, examined by Geoff Pope in June 1979, P Bellwood 1980.)
2. Ngalau Bandar = Ngalau Batang Siparok (reported by Dubois 1889 as similar to
ngalau sampit)
3.Ngalau Jawi
4. Ngalau Batu Bulat near Balai tengah
5. ngalau Air Janih, balai Tangah
6. Ngalau Merah, active cave, balai tangah.
7. Ngalau Jawi
8. Ngalau Mantu, near Limau Hantu
9. underground water, Taratak Limau Hantu
10. Bukit Ngalau Bulan, south west Taparunggo
11. Bukit Ngalau Abu, south west Taparunggo
12 underground water Ngalau Kalam, active cave (deharveng, 2000)
13. Ngalau Bintang, south west taparunggo
14. underground water ngalau Tongkat Nabi, south west taparunggo
15. Ngalau Taparunggo, active cave and explored.

K. Caves in Gunung Ngalau Seribu, North or East of Si Biluru, east of Buo
Kec.Lintau Buo, Tanah Datar
1.Ngalau Sanduak, Sibiluru
2. Ngalau Siamang, kotolonco, Sibiluru.
3. Ngalau Sangki with spring, entrance seen.
4. Ngalau Batang Sinamar, small cave and explored.
5. Spring Batang Sinamar
6. Ngalau batang Sitamoh, sink
7. Ngalau Air sungai Pandah
8. Bukit ngalau Putih
9. Under ground water on Air Parabungan
10. Bukit ngalau Manyoroji
11. Bukit ngalau rajo, underground water. On Air Sitamu.
12. Underground water Bukit Ngalau Putih
13. Ngalau surat
14. Ngalau batu bersurat, on eastern Batang sangki. Explored by deharveng et al. and
active cave in sumpur kudus.
15. Ngalau Sapan Kijang or ngalau talang , explored by Deharveng.
16. Ngalau Ikan Sangki, active cave and mapped.
17. Ngalau ikan sangki 2, explored by Deharveng
18. Ngalau Langgang sianggang, under ground water.
19. Ngalau Tinggi on Batang Sigunjo
20. Under ground water on Bukit Ngalau Pamalaman Rajo
21. Under ground water on Bukit Pamalaman Lobak or Pamalaman Panjang.
22. Under ground Water south of Ngalau Kami on Batang Si Gunjo, explored by
Deharveng.
23. Ngalau Tanah in Taparunggo, mapped
24. Under ground water west of Ngalau Tanah.
25. Under ground Water , bukit ngalau Manyuruk
26. Under ground Water, south of Bukit Ngalau Tanah.
27. Under ground water of south Bukit Padang si Jaban and Bukit Pancalak si Galundi.
28. Bukit Ngalau, south of Si Pur on the Batang Sario
29. Bukit Ngalau Seribu
30. Under ground Water, north of bukit Nyari kecil on the air Bulus
31. Under ground water, north of Lurah
32. Ngalau Kilat, feeding Air Bulus
33. Grot, south of bukit Ngarai Patai
34. Grot gunung Batu Patah
35. Under ground water, south of Bukit Talago Punai on air Bulus
36. Under ground water, south of bukit Ngarai Bardiri on air Lulus
37. Under ground water,south of Bukit Kapur Mudik on air Lulus
38. under ground water, west of guguk Tampat Rajo on Air Lulus.
Ngalau Air Lulus or ngalau Kawai < explored by Deharveng, et al, 2000.
39. ngalau sangki besar and ngalau sangki kecil, west of bukit ngalau Gadang , noted by
Dubois 1888, examined by Peter Bellwood 1980.
40. under ground water , east of Guguk Air Manis
41. under ground water / grot, north of bukit Air Lulus on Batang Sangki
42. grot , south of Guguk Malintang on Batang Sangki.
43Bukit ngalau Gadang, east of piliang
44. Bukit ngalau si Puding east of piliang.

L.Caves in Region Sawah Lunto .
1. ngalau bersurat
2. bukit ngalau sigala, south of Sawah Lunto
3. Bukit Ngalau Gadang, North West of Sawah Lunto
4. Ngalau Janjian or Ngalau Talago Gunung, North of Sawah Lunto on Batang
Sibrambang.
5.Ngalau Sibrambang 2, west Sawah Lunto near Kaji.
6. Ngalau Agung Agung, east of Kampung Sibrambang (dubois, March 1890)
7. Ngalau Sibatie, bukit mengkapok in Nagari Sulit Air 9Dubois, March 1890)
8. Ngalau Landak, fossil cave in Kubang.
9. Ngalau Lunindai, Sawah Lunto
10. Ngalau Talawi, Sijunjung
11. Ngalau Sawah Lunto, active cave
12. Ngalau Landak, Kubang has been explored.

M. Caves in East of Danau Singkarak
1. Puncak Ngalau, west of Tanjung Balit
2. Ngalau Baringin, north east of Tanjung Balit
3. Ngalau Pasuk, north west of Padang Ganting on Selu R
4. Ngalau Kandang Batu near Sulit Air (Dubois, 1888)
5. Bukit Ngalau Tinggi, north east os Solok

N. Caves in West Of Danau Singkarang , by Paninggahan
1. Bukit Ngalau Tinggi
2. Bukit Ngalau Kalawar
3. Ngalau Si Babantu along Sungai Ngalau Babantu , dubois, December 1888
4. Ngalau Pala Pisang along Sungai Ngalau Babantu, Dubois, December 1888.
5. Guo Inyiak Puti Biliarang, near desa Kubu Kerambil.
6, Ngalau kaki Bukit, Padang Panjang, Gunung Bungsu
7. Grot Si Bati Bati, near Sulit Air on East side of Lake (Dubois 1888)

O. Caves in West Of Solok
1. Bukit Ngalau 1
2 Bukit Ngalau 2

P. Caves in Padang Region
1. Ngalau Kelelawar Padayo, 17 km from Padang, 2 km by foot.

Q.Caves in Muko-Muko/ Siluka Region
On Batang Kuantan, reported by Dubois 1889.
1.Grot Muko Muko
2. Under ground Water
3. Bukit Ngalau Besurat
4. Pintu Ngalau
5. Ngalau Cigak
6. Gunung Ngalau Seribu
7. Sungai Ngalau Nan Panjang
8. Talang NGalau, west of Muku Muko
9. Ngalau Batu Bartagak on Batang Kulampi
10. NGalau Tambang sepuluh, dubois , June 1889.


R.Caves in Siluka Region
1. Ngalau Palukahan
2. Ngalau Lahan, silokat
3. NGalau nan Randah or5 ngalau seribu, south of Silukah
4. Ngalau Batu, east of Durian Gadang on Batang Kuantan
5. Bukit Ngalau Sampir, south east of Siluka on Sungai Kuantan
6. Bukit Ngalau Seribu, extending from muko muko region.
7. Sungai Ngalau Nan Panjang, extending from Muko Muko Region.
8. Gunung Ngalau LImau on Sungai Sagarik.
9. Under ground Water, south of Gunung Air Tiris, large resurgence of Air Sagirik

S. Caves Near Air Hangat/ Sijunjung
1. Gunung Ngalau Agung, stream sink cave/ ngalau Laguang 7 km explored by Spanish
team in desa Tanggalo
2.Tanggalo, hot spring in Air Hangat, desa Tanggalo, entrance seen
3. Bukit Ngalau Gadang
4. Air Lurah Ngalau Gadang
5. Grot, under ground on air pulasah
6. Gunung Ngalau Gadang.
7. Ngalau Pagar/ Pagu, exit on Batang Takung
8. Ngalau Piring piring, south east of Air Hangat
9. Ngalau Tiris, south east of Air Hangat
10. Ngalau Mangan
11. Under ground water Sungai Jarnih, near Gunung Kajai
12. Ngalau Sijunjung


T. Caves in Paruh Region
1. Ladang ngalau Labah, north west Paruh
2. Ngalau Sampir on Batang Nunuh
3. Bukit Ngalau Sampir
4. Ngalau Air Tiris, on Air Tiris, west of Lintabung
5. Ngalau Paruh
6, Ngalau Lingkaran Nago, north Gasing on Batang Hari.
7. Bukit Ngalau, east of Bukit Sabalah
8. Ngalau Basurat, north west of Sungai Durian, east of ngalau Seribu
9. Ngalau Mansiu Gunung Guguk Anjing, near Kabi, Sinamar River, reported by Dubois
July 1889.

U.Caves in Kerinci Seblat National Park
1. Gua Mesjid, north of Sungai Pinang, Near Sungai Manau, a village between Bangko
and Sungai Penuh
2. Gua Tiangko Panjang, excavated by Bronson and Asmar 1975. North of Sungai
Manau, a village between Banmgko and Sungai Penuh, located 13 above Batang
Tiangko, a tributary of Sungai Mesumai (food bone – rusa, turtle sheet, bird, fish,
rodent teeth, snail shell.
3. Gua tiangko Ulu.
4. Gua Kasah, north of Sungaipenuh, east of Kersik tua/ sumpar Air Bento.
5. Gua Belang, north east Danau Kerinci
6. Ngalau Gadang, foothills of Gunung Rasam Bayang, north west Pesisir Selatan, within
Natinal Park Seblat.


II. Caves in South Sumatra.
1.Goa Bulit Gumai, Lahat
2. Goa Suruman Besar, Explored by Musper 1934.


III. Caves in North Sumatra

A.Caves in Bukit Lawang, Langkat
1. Gua kelelawar, 1 km south of Bukit Lawang cottage
2. Gua Burung, 2 km south of Bukit Lawang cottage
3. Gua Pintu Angin
4. Gua Marike, 5 km south of Simpang Tanjung Kasim, 30 km east of Bahorok.
5. Gua Buaya, Tangkeham on Buluh River, north east of Bukit Lawang
6. Goa Batu Katak, langkat (whitten et al, 1987)
7. Goa Liang Pengurukan, Bahorok, Langkat 10 km, hole with chamber (Whitten et al, 1987, rhinolopus, megaderma and cynopterus.

B. Caves in Brastagi
1. Goa Kamar Bingung
2. Goa Kotabuluh, bat cave used by local for guano, 30 km west of Kabanjahe (Meer
Mohr 1936, Whitten et al 1987)
3. Goa Liang Rampeh, near Penen south east of Sembahe (Whitten et al, 1987) noted
fives other caves in the vicinity.
4. Goa Liang Terusan
5. Goa Sipegah
6. Goa Balige, lake Toba


C. . Cave near Balige (Meer Mohr 1936)

D. Cave in Nias Island
1. Gua Tugindrawa, 1 km Siawahili, 7 km from Gunung Sitoli.

E. Cave In Natal
1. Extensive Caves between Tabayung and Pondok Rambe, north of Natal.


IV.Caves in Aceh
A.Caves in Lam Peuek and Lhok Nga
1. Goa Halu Hijau, large cave mouth at Padang Semen work, noted and photographed by
Whitten et al 1987, Deharveng 2000.
2. Goa Maniang, near Gua Hilup, Lhok Nga (Deharveng explored in 2000.)
3. Goa Mangsa at Padang Semen Work (Whitten, et al 1987)
4. Goa Hilup, stream sink cave near Lhok Nga (Deharveng 2000) explored.
5. Goa Sementua, active cave, lhok Nga (Deharveng explored 2000)
6. Goa Kreueng Rang, active cave, Lhok Nga (DEharveng, 2000)
7. Goa Kelelawar, 1km north of Lam Peuek.
8. Goa Sarang, 2 km north of Lam Peuek

B. Caves in Pantai Cemara
1. Goa Alu Groh, 5 km inland from Desa Lepeung, 9 km south of Lhok Nga, along
Kreueng Sarah. Possibly Gua Sungai Leupung 9Deharveng, 2000)
2. Goa Kreueng Riting, active cave near Leupung Relay Tank (deharveng, 2000)
3. Goa Lhok Ek, Lhok Nga Relay Tank (Deharveng, 2000).
4. Goa Jantang, near Desa Jantang, Loong.
5. Goa Raya, near Desa Paroy Indah
6. Mata aye, spring (Deharveng, 2000)
7. Gua Puyu Kreueng, resurgence cave, Lhok Nga, entrance seen (DEharveng, 2000)
8. Goa Raba Hung ,Kreueng Hung (Deharveng ,2000)
9. Goa Ulee (Deharveng, 2000)

C.Caves in Pulau Weh
1.Kamprek Caves
2. Goa Sarang, near Pantai Lhong Angen, Iboih Rec. Area.

D. Caves in Pidie
1. Goa Tujuh, near Minasah and Kayee Kuniet Villages.
2. Meunasah Lobang, Desa Meunasah (Deharveng, 2000).
3. Cave no name in Meunasah (deharveng, 2000)
Gua Krueng Desa Meunasah Lhok, near Ghaki Gurute (DEharveng, 2000)
4. Gua Pari, active cave in Desa Tchot (Deharveng, 2000)
5. Gua Manjang, Desa Keutapang (Deharveng, 2000)


E. Langsa Cave, langse is 58 km south of Sigli.

F. Cave in Kuala Simpang, near Langsa east Aceh.
1. Goa Kejuruan Muda
2. Goa Pintu Kwari.

G. Cave in Takengon
1. Goa Loyong Koro, buffalo cave, near Toweran
2. Goa Loyong Putri Pukes, 2 km east of Kabayakan, 10 km from Takengon

H. Caves along Lower Alas ,Gunung Leuser N.P Used by Rafter for shelter.
http://fermat.stmarys-ca.edu/~jpolos/sum/cave.jpg


I.Caves on West coast of Aceh
1. Large cave,Gua Teumiga, desa Ujung Suden, 1 km north of Lamno.

\2.. Caves near Pantai Lhok Geulampang
3. Gua Muslimin, simpang Tiga, Sawang near Tapak Tuan (Deharveng, 2000)
4. Gua Kicirian, Desa Tring MendoroTunung, Dusun Darur Makmur near Tapak tuan
(Deharveng, 2000)
5. Cave shaft, south of Tapak tuan (Deharveng,2000)
Mata air, spring Ujung Batu (Deharveng, 2000)
6. Gua Air Pinang, Dusun Air Pinang, Sungai Alur Kering (Deharveng, 2000)
7. Goa Kalam, 3 km from Jampu Apha (Deharveng, 2000)
8. Goa Panjupian, active cave , Desa Panjupian, Kec. Tapak Tuan (Deharveng, 2000)
9. Gua Sawastingkeum, active cave near Bakongan, Desa Sawastingkeum (Deharveng,
2000)
10. Cave Ujung Batu (Deharveng, 2000)

J. Caves In Banyak Island
1. Cave Pulau Ujung Batu, near Teluk Nibung
2. Pasir Panjang Caves, on the west coast of Pulau Tuangku with bat and swiftlet colonies
3. Goa Tambegu, on the east coast of pulau Tuangku.

Source :

Gerrell M. Drawhorn
Departement of Anthropology
California State University
6000 J Street
Sacramento CA 95819-6106

Piltdown@saclink.csus.edu

www.csus.edu/indiv/d/drawhorng/


Re-written by:

Marjohan
Guru SMA
Jl. Pramuka 05, Batusangkar 27211
West Sumatra

marjohanusman@yahoo.com

Minggu, 16 Desember 2007

“Guru Mengaji TPA- TPSA”

Mengangkat Martabat “Guru Mengaji TPA- TPSA”
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Eksistensi pendidikan secara konvensional diklasifikasikan atas pendidikan formal, informal dan non formal. Dan hampir semua orang terdidik telah tahu tentang contoh- contoh pengklasifikasiannya. Pendidikan mulai dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), atau dari Taman Kanak- Kanak, sampai ke jenjang Perguruan Tinggi adalah termasuk ke dalam klasifikasi pendidikan formal.
Profesi sebagai guru pada jenjang pendidikan tadi (SD sampai Perguruan Tinggi), eksistensi mereka sangat diperhatikan oleh berbagai kalangan, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok masyarakat, media massa dan tentu saja oleh pemerintah sendiri. Bagaimana membuat dan mendorong guru agar bisa memiliki martabat merupakan paradigma paling terkini dalam wacana pendidikan kita. Usaha dan inisiatif dari berbagai pihak dalam memperjuangkan harga diri dan martabat guru- guru sangat patut untuk dihargai.
Sudah lama ada dalam masyarakat, mulai dari lingkungan kota- kota besar sampai ke lingkungan masyarakat di desa- desa kecil hidup sosok guru mengaji “TPA- TPSA” dengan sosok bersahaja, berpakaian sederhada dan tutur katanya juga sederhada dan kantong mereka tentu saja jauh dari ukuran sederhana. Agak nya martabat mereka juga perlu untuk diperhatikan (?).
Menjadi karyawan swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), PNS (Pegawai Negeri Sipil, TNI dan Polri peminatnya sangat berlimpah ruah, membuat repot media massa untuk meliput dan memberitakanya. Malah untuk merekrut tenaga Hansip dan Satpam peminatnya juga cukup banyak. Namun bagaimana peminat untuk menjadi guru mengaji di TPA dan TPSA (?). Dapat dikatakan bahwa profesi ini telah dipandang sebelah mata oleh banyak orang, barangkali karena secara finansial belum memberikan janji kebahagiaan. Profesi ini malah menjadi inspirasi oleh penulis film sinetron, yaitu figur mengaji sebagai orang yang amat baik dan tidak begitu memerlukan kecukupan materi. Dalam fenomena profesi menjadi guru mengaji hanya dipilih sebagai kegiatan pelarian- batu loncatan- atau pilihan karir paling terakhir.
Mahasiswa baik- baik namun berasal dari orang tua yang kurang berkecukupan, cendrung memilih tinggal di mushala dan mesjid, sekaligus menjadi gharim dan guru mengaji yang cukup dibayar beberapa sen saja (beberapa ribu saja) malah kalau bisa murah buat apa dibayar mahal- mahal , atau kalau di desa kecil, guru mengaji cukup dihargai satu liter beras saja per bulan.
Apakah menjadi guru mengaji TPA- TPSA mereupakan karir paling rendah (?). Dari pengalaman sehari- hari kita temui bahwa yang memilih karir guru mengaji adalah orang- orang yang sudah tua- lemah tubuhnya, orang orang yang lemah ekonominya dan orang yang sudah putus asa karena gagal dan gagal setiap kali mengikuti tes PNS.
Kalau sekarang kita jumpai banyak anak anak yang bersekolah di SD, SLTP dan SLTA buta membaca Al-quran, maka siapa yang patut disalahkan (?). orang dengan mudah akan menyalahkan orang tua, guru kelas, guru agama atau siapa saja yang bisa dijadikan kambing hitam. Guru akan menyalahkan guru dan guru akan menyalahkan orang tua. Suatu cara berfikir mencari solusi pada pada konsep vicious cycle atau pada lingkaran setan. Yang sering kena damprat atas fenomena lemahnya nilai rohani anak adalah guru- guru agama, guru- guru di SD dan orang tua sendiri.
Orang tua harus ikhlas kalau disalahkan sebagai penyebab anak miskin dengan nilai rohani- buta Al quran dan tidak disiplin dalam dalam mengimplementasikan ibadah. Karena memang orangtua lah sebagai pemilik anak itu sendiri, yang membesarkan dan yang mula- mula mendidik dan menanamkan akar agama dan budaya. Namun untuk amat jarang guru yang terbiasa- karena tidak memiliki kompetensi agama dan mendidik- mengajar mereka beribadah, membaca al Quran dan muamalah lain, maka sebagai jalan pintas dan sudah konvensional (sudah menjadi kebiasaan) untuk menyerahkan anak- anak ke surau, mushala, langgar dan mesjid yang memiliki kegiatan agama dan TPA- TPSA.
Untuk selanjutnya dalam pembiayaan pendidikan agama anak, orang tua akan memperlihat sikap yang beragam pula, ada yang ingin gratis (tidak tahu menahu keuangan guru mengaji), tidak sudi membayar uang mengaji sebanyak upah buruh minimal (UMR), atau kalau bisa ditawar SPP mengaji mengapa harus dibayar mahal. Namun untuk keperluan ilmu dunia- mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus sempoa, kursus Matematik, kursus musik sampai kepada kursus menari atau kebugaran tubuh, orang tua sudi membayar sampai ratusan ribu Rupiah. Namun untuk kepentingan rohani atau spiritual orangtua kok hanya berani membayar murah atau ingin gratis.
Terus terang keberadaan profesi guru mengaji dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk akhlak dan karakter positif anak sejak usia kecil. Guru mengaji pun punya peran penting dalam menanamkan akar agama dan warna spiritual anak sejak usia dini. Kuat atau lemahnya akar agama ditentukan pula oleh kualitas pribadi guru mengaji mereka.
Adalah sangat beruntung anak anak yang belajar mengaji dengan guru TPA dan TPSA mereka berkualitas tinggi. Andaikata guru mengaji mereka tamatan universitas ternama dan asal dibayar mahal (namun apakah ada ?) pastilah anak- anak mereka akan menjadi santri atau murid TPA- TPSA yang juga berkualitas dalam bidang rohani- spiritual. Guru mengaji yang berkualitas tinggi tentu akan mampu melaksanakan PBM (proses belajar mengajar) alQuran yang sangat menarik, kalau perlu dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan) di lingkungan mesjid dan mushala. Namun sekali apakah ada sosok guru mengaji yang demikian ? Atau barangkali sosok guru yang demikian hanya ada dalam mimpi atau dalam sinetron.
Kini setiap orang- seperti anggota masyarakat, orangtua, guru, dan siapa saja- perlu berfikir tentang mengapa profesi guru mengaji di pandang sebelah mata sementara itu keberadaan mereka sangat diperlukan oleh masyarakat banyak untuk menempa dan membentuk akhlak dan nilai spiritual anak- anak mereka, namun profesi ini dipandang dengan sebelah mata oleh banyak orang. Profesi ini cendrung tidak punya martabat, sebutlah profesi sebagai imam masjid dan mubaligh. Profesi atau posisi ke dua peran sosial ini sangat dihargai oleh masyarakat.
Dugaan sementara dari penyebab guru mengaji kehilangan martabat adalah, agaknya, karena jasa mereka sudah terlanjur dibayar murah. Mungkin karena guru mengaji belum melalui rekruitment yang berkualitas oleh pihak yang berwenang atau pihak yang bergengsi. Kemudian karena populasi guru mengaji sudah terlanjur dari orang- orang terlalu bersahaja dan bersikap nrimo atau pasrah, dari kalangan orang- orang baik namun kualitas SDM mereka masih rendah.
Adalah fenomena tentang kualitas pemahaman agama generasi muda yang mayoritas beragama Islam ini. Jumlah mereka sangat banyak namun kualitas spiritual mereka seperti buih di tepi pantai, jumlahnya banyak namun mudah pecah diterpa angin. Hal itu sebahagian karena kualitas mengaji mereka di TPA dan TPSA juga biasa biasa saja, yakni sekedar mampu mengajarkan transkrip abjat Arab yang ngetop disebut alif-ba-ta. Sampai mereka mampu membaca alquran namun tidak pernah paham apa yang dibaca. Pesan yang disampaikan oleh Sang Khalik hanya dimengerti belakangan lewat mulut guru atau mulut ustad dikemudian hari dalam skenario yang berbeda pula. Memang dewasa ini pengajaran Alquran paling jauh hanya sekedar membaca abjad Alquran (mungkin belum lagi membaca Alquran).
Sebuah pemikiran bahwa andaikata belajar membaca Alquran di TPA dan TPSA diikuti dengan belajar makna Alquran, atau katakan belajar bahasa Arab. Maka pastilah kelak akan muncul cukup banyak jumlah generasi muda yang beragama Islam yang mampu memahami bahasa Arab/ bahasa Alquran langsung dari mulut mereka sendiri. Jumlah orang yang menguasai bahasa Arab tentu jauh lebih banyak dari orang yang mampu berbahasa Inggris. Atau akan banyak orang orang yang cerdas dunia dan akhiratnya, yakni mampu berbahasa Inggris dan mampu pula berbahasa Arab. Kini adalah pekerjaan rumah bagi kita bagaimana memperdaya generasi muda, sarjana yang menganggur (kalau mereka setuju) untuk terjun menjadi guru TPA dan TPSA yang berkualitas dan bermartabat, dengan harapan jasa dan kesejahteraan mereka harus diperhatikan dan dibayar dengan sangat wajar.

http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Marjohan, Guru SMA Neg 3 Batusangkar (Program Layanan Keunggulan)

Minggu, 09 Desember 2007

Siswa Bingung Memilih Figur antara Selebriti dan Tokoh Intelektual

Siswa Bingung Memilih Figur antara Selebriti dan Tokoh Intelektual

Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangka
(Program Layanan Keunggulan)


Adalah jumlah populasi generasi muda menempati posisi yang sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.
Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.
Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku. .
Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu- mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.
Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan adalah juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.
Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.
Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.
Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.
Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.
Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.
Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan).
Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebiasaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.
Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.
Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan- mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang deman mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarskat.
Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri- memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian musti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.
Kalau kita melangkah ke lingkungan universitas- mulai dari universitas berkualitas rendah sampai berkualitas tinggi. Pasti disana akan ditemui banyak mahasiswa- sebagai intelektual muda yang seharusnya penampilan mereka seperti tokoh intelektual senior mereka, atau paling kurang mereka mengambil penampilam dan mode panutan dari dosen- dosen dan guru besar (profesor) sebagai panutan dalam bertindak- melakukan aksi, berbicara dan berfikir. Namun kenyataannya adalah mereka malah tampil ibarat selebriti dari kampus yang suka mejeng dengan pakaian model mutakhir yang dipopulerkan oleh selebriti pujaan mereka, menyandang tas yang isinya malah MP3, recharger mobile phone, kue bermerek luar negeri dan sebagai pelengkap musti ada buku catatan tipis sebagai bukti berstatus mahasiswa. Fungsi kampus bisa berobah sebagai tempat pamer dan lomba penampilan dan sedikit sekali, bagi sebagian mahasiswa sebagai calon intelektual, sebagai unjuk presrasi.
Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini mereka- para tokoihn intelektual dan juga tokoh agama) harus turun dari menara gading intektual mereka yang sakral, membuka pintu rumah seluas- luasnya dan turun mobil untuk menemui dan menemani generai muda untuk berbasgi dan basgi mereka yang sibuk dalam mencari identitas diri, agar mereka kelak mampu untuk menapak hari depan mereka. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda


Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Kepedulian orang terhadap pendidikan dewasa ini sudah meningkat. Sekarang kita dapat menemui ratusan artikel yang berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan melalui surat kabar, majalah, seminar dan lewat cyber atau internet. Salah satu judul atau topik yang sering diangkat orang dalam berbagai seminar dan talkshow adalah bagaimana melejitkan potensi diri dan menumbuh-kembangkan pendidikan yang berimbang antara “imtaq dan iptek”- iman dan taqwa- dan ilmu pengetahuan dan teknologi- atau topik tentang mengembangkan kepintaran berganda antara IQ, EQ dan SQ.
Konsep- konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda- mutiplied intelligent- ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak- anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda- menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah.
Menerapkan dan mengarahkan corong konsep pendidikan kepintaran berganda kepada anak didik di sekolah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun kebijakan ini tidak berimbang kalau guru- guru nya sendiri belum memiliki kepintaran berganda. Bagaimana guru bisa menerapkan perannya yang cukup banyak seperti sebagai educator, motivator, counselor, dan lain- lain- kalau mereka tidak memiliki kepintaran berganda.
Bagaimana realita tentang kualitas guru- guru dan konsep kepintaran berganda mereka pada banyak sekolah ? apakah mereka sudah memiliki kepintarasn berganda atau malah mereka hanya memiliki kemampuan pas- pasan saja sebagai seorang guru (?).
Pada banyak sekolah, umumnya guru- guru hanya memiliki kepintaran tunggal, yaitu hanya sekedar menguasai mata pelajaran mereka saja. Guru yang begini adalah realita kebanyakan guru- guru. Siswa memandang guru yang demikian sebagai guru yang biasa- biasa saja. Motivasi yang mereka berikan kepada siswa terasa juga biasa- biasa saja. Namun bila ada guru yang memiliki beberapa kepintaran- selain menguasai bidang studinya, juga cakap dalam hal lain, seperti pintar berpidato, pandai komputer dan internet, hangat pribadinya, dan lain- lain, maka guru yang demikian pasti memiliki tempat spesial dalam hati anak didik mereka.
Guru dengan kepintaran berganda seperti yang disebutkan tadi agaknya dapat diberi label sebagai guru yang profesional atau guru yang berkualitas. Mereka adalah guru yang memiliki karakter- cerdas kognitifnya, cerdas affektifnya dan cerdas psikomotoriknya. Guru yang begini tentu sangat menyenangkan, namun populasi mereka tentu saja tidak banyak. Namun setiap guru- kalau ada motivasi, keinginan dan usaha maka tentu saja mereka bisa-musti menjadi guru- guru yang spesial bagi anak didiknya. .
Sebahagian guru, seperti halnya kaum remaja, juga ada yang terjebak kedalam budaya instant- budaya yang menginginkan hasil bisa diperoleh serba cepat- bearaktifitas sedikit tetapi ingin memperoleh hasil yang cepat dan untungnya besar. Budaya instant tentu harus dijauhi, dan begitu juga dengan budaya lain seperti budaya floating thinking- fikiran suka mengambang-, budaya senang melakukan rekayasa, budaya demam lomba penampilan, budaya demam mengambil barang kredit, budaya demam bergosip, budaya ABS- asal bapak senang, budaya otoriter dan suka membentak- bentak sampai kepada budaya hedonisme – kesukaaan untuk mencari kesenangan melulu. Poin- poin ini agaknya lebih bersifat refleksi terhadap fenomena dalam dunia pendidikan kita.
Mengapa refleksi di atas bisa menjadi fenomena dikalangan sebahagian kaum pendidik (?). Barangkali fenomena ini terjadi akibat sikap mental, atau sikap sejak awal.
Dahulu menjadi guru begitu mudah dan gampang. Kalau kuota guru masih kurang maka kuota ini bisa disisip dan bisa dipesan lewat memo orang- orang yang berkuasa di atas.maka terjaringlah guru- guru yang sebagian bukan the right man on the right place. Pada akhirnya bermunculanlah guru- guru seperti fenomena yang disebutkan di atas- yaitu guru guru yang kurang kritis dan berbudaya floating thingking, miskin kreatifitas, berbudaya instant, dan lain- lain.
Respon generasi muda juga menentukan eksistensi dan kualitas guru. Tetap saja pada banyak sekolah siswa tergolong pintar pada mulanya segan untuk memilih karir guru sebagai cita- cita mereka. Kalau ada itu pun hanya bagi segelintir siswa saja. Itu pun diakibatkan oleh faktor‘X”, seperti karena alasan ekonomi orangtua,atau agar tidak perlu susah payah mencari kerja.
Umumnya siswa yang tergolong pintar dengan tingkat ekonomi orangtua yang lebih mapan memilih universitas non kependidikan yang berada di pulau Jawa. Pilihan mereka untuk kategori karir guru jatuh pada pilihan yang ke sekian. Maka akibatnya kualitas guru- guru secara umum cendrung biasa- biasa saja. Adalah suatu hikmah sejak lapangan kerja menjadi makin sulit dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi idaman bagi sebagian mahasiswa di universitas, karena PNS sudah memberi iming- iming hidup enak, ada uang lauk- pauk dan uang tujada (tunjangan daerah) maka mereka yang belajar di Universitas non kependidikan memutar haluan untuk menyerbu program akta kependidikan agar nanti bisa melamar menjadi guru. Tentu saja hal ini menjadi hak pribadi setiap warga negara.
Kini guru guru musti punya paradigma, bagaimana menjadi guru bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru- guru.
Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru- gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
Bobi De Porter (2002), dengan bukunya Quantum Teaching, telah memberi kaum pendidik inspirasi tentang bagaimana untuk memiliki kepintaran berganda itu. Ia mengatakan bahwa orang (atau guru) yang memiliki kepintaran berganda harus menguasai atau memiliki bidang: seni, language, interpersonal, music, natural, body, intrapersonal dan logis.
Untuk mengimplementasikan konsep kepintaran berganda tersebut bagi diri sendiri maka setiap guru perlu untuk memiliki sense of art- rasa seni, mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Mereka perlu untuk melibatkan diri dalam pergaulan , memiliki teman yang luas, mengikuti organisasi, dan melakukan koresponden.
Pengembangan kepintaran berganda lain nya adalah untuk bidang natural. Mereka harus memahami prinsip “go back to the nature” memiliki rasa peduli pada alam dan lingkungan. Mereka perlu untuk melakukan rekreasi dan merasakan betapa alam ciptaan Tuhan itu begitu indah dan menyegarkan. Kemudian setiap guru perlu untuk memiliki badan yang bugar, mereka perlu berolahraga untuk mengeluarkan keringat agar jantung dan paru- paru selalu sehat. Untuk melengkapi konsep kepintaran berganda untuk poin interpersonal yang lain, maka mereka perlu melakukan kontemplasi- merenungan tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan sikap- sikap positif. Kemudian mereka juga perlu mengembamgkan kemampuan berlogika.
Mengimplementasikan konsep kepintaran berganda – mutliplied intelligent- sungguh sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu konsep ini harus dilaksanakan sekarang juga, tak perlu ditunggu- tunggu sampai datang hari esok. Sehubungan dengan konsep pengembangan kepintaran berganda, Agus Nggermanto (2003) juga memberikan sedikip resep. Ia mengatakan bahwa untuk memiliki kepintaran berganda maka setiap orang (guru) perlu untuk mengimplementasikan konsep multi intelegensi. Ini mencakup tiga unsur yaitu intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient, atau kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan otak mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emosional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah bagaimana menghayati dan mengabdi kan diri - beribadah- kepada Khalik (Sang pencipta alam) ini.
Setelah memahami konsep kepintaran berganda, maka mereka juga perlu untuk mengembangkan karakter karakter positif- seperti karakter senang berfikir positif. Tokoh pendidikan Indonesia , Ki Hajar Dewantoro, sudah mewarisi kita konsep untuk memiliki kepintaran berganda, resepnya cukup sederhada yaitu: ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tutwuri handayani. Kalau sekarang banyak ajakan datang agar guru perlu mengubah diri untuk menjadi guru yang bermartabat dan guru profesional, maka salah satu wujud untuk menjadi guru yang demikian adalah melalui konsep pengembangan diri menjadi kaum pendidik dengan kepintaran berganda. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda

Guru Perlu Memiliki Kecerdasan Berganda
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
(Program Layanan Keunggulan)


Kepedulian orang terhadap pendidikan dewasa ini sudah meningkat. Sekarang kita dapat menemui ratusan artikel yang berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan melalui surat kabar, majalah, seminar dan lewat cyber atau internet. Salah satu judul atau topik yang sering diangkat orang dalam berbagai seminar dan talkshow adalah bagaimana melejitkan potensi diri dan menumbuh-kembangkan pendidikan yang berimbang antara “imtaq dan iptek”- iman dan taqwa- dan ilmu pengetahuan dan teknologi- atau topik tentang mengembangkan kepintaran berganda antara IQ, EQ dan SQ.
Konsep- konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda- mutiplied intelligent- ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak- anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda- menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah.
Menerapkan dan mengarahkan corong konsep pendidikan kepintaran berganda kepada anak didik di sekolah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun kebijakan ini tidak berimbang kalau guru- guru nya sendiri belum memiliki kepintaran berganda. Bagaimana guru bisa menerapkan perannya yang cukup banyak seperti sebagai educator, motivator, counselor, dan lain- lain- kalau mereka tidak memiliki kepintaran berganda.
Bagaimana realita tentang kualitas guru- guru dan konsep kepintaran berganda mereka pada banyak sekolah ? apakah mereka sudah memiliki kepintarasn berganda atau malah mereka hanya memiliki kemampuan pas- pasan saja sebagai seorang guru (?).
Pada banyak sekolah, umumnya guru- guru hanya memiliki kepintaran tunggal, yaitu hanya sekedar menguasai mata pelajaran mereka saja. Guru yang begini adalah realita kebanyakan guru- guru. Siswa memandang guru yang demikian sebagai guru yang biasa- biasa saja. Motivasi yang mereka berikan kepada siswa terasa juga biasa- biasa saja. Namun bila ada guru yang memiliki beberapa kepintaran- selain menguasai bidang studinya, juga cakap dalam hal lain, seperti pintar berpidato, pandai komputer dan internet, hangat pribadinya, dan lain- lain, maka guru yang demikian pasti memiliki tempat spesial dalam hati anak didik mereka.
Guru dengan kepintaran berganda seperti yang disebutkan tadi agaknya dapat diberi label sebagai guru yang profesional atau guru yang berkualitas. Mereka adalah guru yang memiliki karakter- cerdas kognitifnya, cerdas affektifnya dan cerdas psikomotoriknya. Guru yang begini tentu sangat menyenangkan, namun populasi mereka tentu saja tidak banyak. Namun setiap guru- kalau ada motivasi, keinginan dan usaha maka tentu saja mereka bisa-musti menjadi guru- guru yang spesial bagi anak didiknya. .
Sebahagian guru, seperti halnya kaum remaja, juga ada yang terjebak kedalam budaya instant- budaya yang menginginkan hasil bisa diperoleh serba cepat- bearaktifitas sedikit tetapi ingin memperoleh hasil yang cepat dan untungnya besar. Budaya instant tentu harus dijauhi, dan begitu juga dengan budaya lain seperti budaya floating thinking- fikiran suka mengambang-, budaya senang melakukan rekayasa, budaya demam lomba penampilan, budaya demam mengambil barang kredit, budaya demam bergosip, budaya ABS- asal bapak senang, budaya otoriter dan suka membentak- bentak sampai kepada budaya hedonisme – kesukaaan untuk mencari kesenangan melulu. Poin- poin ini agaknya lebih bersifat refleksi terhadap fenomena dalam dunia pendidikan kita.
Mengapa refleksi di atas bisa menjadi fenomena dikalangan sebahagian kaum pendidik (?). Barangkali fenomena ini terjadi akibat sikap mental, atau sikap sejak awal.
Dahulu menjadi guru begitu mudah dan gampang. Kalau kuota guru masih kurang maka kuota ini bisa disisip dan bisa dipesan lewat memo orang- orang yang berkuasa di atas.maka terjaringlah guru- guru yang sebagian bukan the right man on the right place. Pada akhirnya bermunculanlah guru- guru seperti fenomena yang disebutkan di atas- yaitu guru guru yang kurang kritis dan berbudaya floating thingking, miskin kreatifitas, berbudaya instant, dan lain- lain.
Respon generasi muda juga menentukan eksistensi dan kualitas guru. Tetap saja pada banyak sekolah siswa tergolong pintar pada mulanya segan untuk memilih karir guru sebagai cita- cita mereka. Kalau ada itu pun hanya bagi segelintir siswa saja. Itu pun diakibatkan oleh faktor‘X”, seperti karena alasan ekonomi orangtua,atau agar tidak perlu susah payah mencari kerja.
Umumnya siswa yang tergolong pintar dengan tingkat ekonomi orangtua yang lebih mapan memilih universitas non kependidikan yang berada di pulau Jawa. Pilihan mereka untuk kategori karir guru jatuh pada pilihan yang ke sekian. Maka akibatnya kualitas guru- guru secara umum cendrung biasa- biasa saja. Adalah suatu hikmah sejak lapangan kerja menjadi makin sulit dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi idaman bagi sebagian mahasiswa di universitas, karena PNS sudah memberi iming- iming hidup enak, ada uang lauk- pauk dan uang tujada (tunjangan daerah) maka mereka yang belajar di Universitas non kependidikan memutar haluan untuk menyerbu program akta kependidikan agar nanti bisa melamar menjadi guru. Tentu saja hal ini menjadi hak pribadi setiap warga negara.
Kini guru guru musti punya paradigma, bagaimana menjadi guru bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru- guru.
Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru- gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
Bobi De Porter (2002), dengan bukunya Quantum Teaching, telah memberi kaum pendidik inspirasi tentang bagaimana untuk memiliki kepintaran berganda itu. Ia mengatakan bahwa orang (atau guru) yang memiliki kepintaran berganda harus menguasai atau memiliki bidang: seni, language, interpersonal, music, natural, body, intrapersonal dan logis.
Untuk mengimplementasikan konsep kepintaran berganda tersebut bagi diri sendiri maka setiap guru perlu untuk memiliki sense of art- rasa seni, mengembangkan kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Mereka perlu untuk melibatkan diri dalam pergaulan , memiliki teman yang luas, mengikuti organisasi, dan melakukan koresponden.
Pengembangan kepintaran berganda lain nya adalah untuk bidang natural. Mereka harus memahami prinsip “go back to the nature” memiliki rasa peduli pada alam dan lingkungan. Mereka perlu untuk melakukan rekreasi dan merasakan betapa alam ciptaan Tuhan itu begitu indah dan menyegarkan. Kemudian setiap guru perlu untuk memiliki badan yang bugar, mereka perlu berolahraga untuk mengeluarkan keringat agar jantung dan paru- paru selalu sehat. Untuk melengkapi konsep kepintaran berganda untuk poin interpersonal yang lain, maka mereka perlu melakukan kontemplasi- merenungan tentang kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan sikap- sikap positif. Kemudian mereka juga perlu mengembamgkan kemampuan berlogika.
Mengimplementasikan konsep kepintaran berganda – mutliplied intelligent- sungguh sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu konsep ini harus dilaksanakan sekarang juga, tak perlu ditunggu- tunggu sampai datang hari esok. Sehubungan dengan konsep pengembangan kepintaran berganda, Agus Nggermanto (2003) juga memberikan sedikip resep. Ia mengatakan bahwa untuk memiliki kepintaran berganda maka setiap orang (guru) perlu untuk mengimplementasikan konsep multi intelegensi. Ini mencakup tiga unsur yaitu intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient, atau kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan otak mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emosional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah bagaimana menghayati dan mengabdi kan diri - beribadah- kepada Khalik (Sang pencipta alam) ini.
Setelah memahami konsep kepintaran berganda, maka mereka juga perlu untuk mengembangkan karakter karakter positif- seperti karakter senang berfikir positif. Tokoh pendidikan Indonesia , Ki Hajar Dewantoro, sudah mewarisi kita konsep untuk memiliki kepintaran berganda, resepnya cukup sederhada yaitu: ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tutwuri handayani. Kalau sekarang banyak ajakan datang agar guru perlu mengubah diri untuk menjadi guru yang bermartabat dan guru profesional, maka salah satu wujud untuk menjadi guru yang demikian adalah melalui konsep pengembangan diri menjadi kaum pendidik dengan kepintaran berganda. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...