Rabu, 24 Februari 2016

Mengaplikasikan Prinsip “Long life education

            Kata-kata “long life education atau belajar sepanjang kehidupan” sering didengungkan di perguruan tinggi. Penulis juga menerima kata-kata ini saat menuntut ilmu di IKIP Padang (sekarang- UNP atau Universitas Negeri Padang). Apakah kata-kata ini juga digelontorkan di fakultas dan perguruan tinggi yang lain ?. Tentu saja iya, bahwa  kata-kata ini juga sudah sampai ke telinga para mahasiswa agar menjadi warga yang senantiasa mengaplikasikan “long life education”.
            Long life education telah menjadi semboyan pada badan pendidikan dunia- Unicef. Unicef memang selalu mendukung agar warga dunia untuk selalu belajar sepanjang hayat mereka. Bukankah kehidupan ini selalu berubah dan perubahan harus diantisipasi dengan ilmu pengetahuan.  Agama Islam juga mengajarkan tentang prinsip long life education sebagaimana ungkapan seperti:
            “Utlubu ilman minal mahdi ilallahdi- tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang kubuh. Utlubu ilman faridatan ‘ala kulli muslim- menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim. Al ilmu amama amalu, wa amalu tabiuhu- ilmu itu di depan amal dan amal akan mengikutinya”
            Long life education memang sudah mendapat sambutan bagi warga di negara maju, mereka selalu belajar dan belajar dalam kehidupan mereka. Penulis membuka diri untuk pergaulan dengan orang-orang asing. Sekitar 20 tahun lalu, penulis berkenalan dengan Francois Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Ke tiga warga Perancis ini telah menjadi teman penulis hingga sekarang, sebelumnya mereka sempat bekerja di LIPI- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Pertemuan secara kebetulan berujung sangat menguntungkan penulis dalam mempelajari Bahasa Perancis secara otodidak bagi penulis.
            Ketiga teman ini bekerja pada bidang zoology, kami berjumpa di daerah Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar- Sumatera Barat. Daerah di Pegunungan Bukit Barisan yang bentangan wilayahnya dari daerah Sijunjung, Lintau Buo hingga Halaban. Yang menarik bagi penulis dari mereka adalah konsep hidupnya sesuai dengan “long life education”.
Mereka menghabiskan waktunya di Sumatera untuk studi tentang “hutan tradisionil dan zoology”. Di dalamnya tas punggungnya penuh dengan instrument penelitian dan juga buku-buku tentang bahasa Indonesia, adat dan way of life tentang orang-orang Indonesia. Sebagai orang Perancis mereka jauh tahu banyak tentang Indonesia dan Bahasa Indonesia mereka cukup terpakai.
Penulis pernah mengikuti kegiatan mereka, melakukan survey tentang speleology. Yaitu mengobservasi eksistensi hewan-hewan kecil di dalam goa. Penulis juga sempat memberikan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal speleologie mereka.
            Mereka bertiga adalah juga polyglot- yaitu orang yang memahami dan bisa menggunakan banyak bahasa. Francois Brouquisse seorang ahli perairan juga  memahami Bahasa Arab, Bahasa Vietnam, Bahasa Indonesia dan Bahasa China dan ia menjadi pendukung LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)-Palestine D’action di negaranya. Dia selalu membaca bervariasi buku saat beristirahat. Jadi beristirahat baginya bukan berarti harus duduk tenang. Namun ia beristirahat sambil membaca.
Penulis sempat mengintip buku-buku yang dipegang oleh FrancoisBrouquisse. Untuk menguasai bahasa Indonesia, Francois melakukan prinsip “learning by doing” hingga penulis dengar Bahasa Indonesianya cukup bagus dan mudah dimengerti. Saat anak balita penulis menangis maka ia menenangkan balita penulis dengan Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. 
            Anne Bedos adalah seorang perawat dan juga mendalami bidang zoology. Ia mengadopsi prinsip hidup naturalis. Pernah kami duduk bareng dengan Louis Deharveng dan Francoise sambil makan buah-buahan tropis. Penulis melihat Anne Bedos sedang makan jambu air yang baru saja dipetik. Dia memakan jambu tanpa melepas kuping jampu yang sering bersarang semut hitam. Ia membiarkan semut hitam bersarang pada lipatan jambu dan memakannya dan penulis sempat berteriak:
Tu mange les fourmis dedans le jambu- Anda memakan semut semut yang bersarang dalam jambu ?”
              “Ce naturalement, J’aime a manger les fournis- itu alami, biar saya makan semua semut”.
            Craig Pentland adalah sarjana Australia yang berjumpa dengan penulis secara kebetulan di Payakumbuh tahun 1996. Dan tahun- tahun berikutnya ia sering mengunjungi kami. Craig Pentland juga mengadopsi prinsip long life education dalam hidupnya. Kami sering pergi menjelajah bukit, gunung dan lembah di wilayah Batusangkar hingga Payakumbuh. Dalam ranselnya terdapat buku-buku tentang alam dan buku tentang sosial budaya. Sebagai orang Australia ia adalah pembaca yang hebat. Ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca dan penulis juga jadi suka membaca banyak buku sejak itu. Katanya:
See the natural phenomenon and read the book on them- jangan baca semua buku, perhatikan fenomena alam dan sesuaikan dengan minat anda”.
Dalam kunjungan terakhir bulan Oktober 2014, Craig Pentland membawa buku-buku dan juga sebuah novel terjemahan dari Bahasa Indonesia. Ia membaca novel (buku) yang berjudul “the Rainbow Troop (Andrea Hirata,2013) atau Laskar Pelangi”. Dalam kunjungan Craig Pentland sebanyak enam kali ke tempat penulis di Batusangkar, di Sumatra Barat, adalah buat berlibur, namun ia selalu membawa beberapa buku yang dibaca selama libur.
Membaca buku bukan merupakan beban belajar buat mereka, namun sudah menjadi kebutuhan primer ibarat kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan. Sebetulnya membaca memang sebuah makanan atau minuman buat memuaskan spiritual atau fikiran yang lapar. Maka orang-orang yang enggan buat membaca berarti mereka telah membiarkan selalu fikiran mereka dalam keadaan lapar.
Penulis dan seorang teman, namanya Arjus Putra, seorang guru Bahasa Inggris setiap semester membuat program “English Home Stay” sebagai ekskul sekolah dalam menggenjot kemampuan berbahasa Inggris siswa Kami. Kami sering mengadakan Home Stay ke tempat wista seperti ke Danau Singkarak, Danau Maninjau, ke Mifan Padang Panjang, Danau Di Atas di Alahan Panjang, Lembah Harau di Payakumbuh hingga pernah ke Pakan Baru.
Home Stay kami lakukan dengan menyewa satu villa di lokasi wisata dan biasanya kami mengundang native speaker untuk memandu dan sebagai model penggunaan Bahasa Inggris buat siswa kami. Jadinya semua siswa sangat antuasias menggunakan Bahasa Inggris dengan kehadiran para Bule tersebut.
Semester lalu kami mengundang John Duke dan Alexa, sepasang guru internasional asal Australia. Mereka bekerja sebagai Australian Teacher Volunteer yang kebetulan ditempatkan di kota Padang. John Duke dan Alexa sangat senang bergabung dengan “English out door activity” yang kami selenggarakan pada home stay di objek wisata Lembah Harau dekat Payakumbuh. Untuk ikut memotivasi kemamuan berbicara bahasa Inggris siswa kami mereka merancang “language game”. Tentu saja para murid beraktivitas dengan antusias dan sangat gembira. Kegiatan home stay selama 3 hari terasa sangat singkat.
Penulis memperhatikan bahwa di waktu senggang dan di waktu istirahat, kedua-duanya, John Duke dan Alexa tetap membaca buku sebagai bacaan saat senggang- leisure time reading. Memang di negara maju ada istilah leisure time reading. Jadinya bahwa membaca adalah budaya mereka dan membaca telah merupakan bagian dari hidup mereka.
Sangat berbeda eksistensi beristirahat antara kami berdua dengan mereka berdua. Kami berdua, juga sebagai guru- mungkin cukup popular untuk kota kecil di Batusangkar. Kami beristirahat tanpa memegang buku. Istirahat kami hanya buat tidur atau berkelakar. Istirahat mereka, John Duke dan Alexa, adalah dengan membaca. Pemodelan istirahat kami juga ditiru oleh siswa, istirahat tanpa membaca. Ya istirahat seperti kebanyakan anak-anak Indonesia, yaitu istirahat dengat aktivitas seperti tidur, otak-atik gadget/HP, menyumbat telinga dengan head-set untuk mendengar lantunan lagu, atau bergurau.
Terpikir bagi kami bahwa perintah agama yang berbunyi “iqra’ bismirabbikallazi khalaq- bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” entah dimana dan bagaimana kami aplikasikan. Perintah agama ini hanya sekedar bacaan saja untuk berharap pahala semata, bukan untuk kami amalkan. Sementara perintah agama untuk membaca tidak ditujukan buat John Duke dan Alexa, karena agama mereka berbeda. Namun mereka berdua membudayakan membaca sebagai budaya bangsa dan kebutuhan hidup mereka. Banyak membaca membuat kita banyak tahu, banyak tahu berarti indikator kecerdasan dan indikator itu hanya buat mereka.
Selanjutnya, apakah kebiasaan long life education dalam wujud membaca saat beristirahat- leisure time reading- hanya ada pada budaya hidup orang Australia ? Tentu saja tidak. Teman penulis, Jerry Drawhorn, dari California- Amerika Serikat juga selalu membaca saat berlibur di Batusangkar dan Bukittinggi. Kemudian Eva, Guini dan Ulla Mo, tiga orang guru dari Swedia yang penulis jumpai menghabiskan waktu  belasan jam sambil berjemur di pinggir Pulau Samosirdi Danau Toba, Sumatera Utara.
Mereka bertiga adalah tetangga penulis di sebuah penginapan Lekjon di Desa Tuktuk- di Pulau Samosir. Mereka memutuskan untuk datang ke Batusangkar melalui Bukittinggi. Seminggu setelah itu kami berjumpa di rumah penulis di Batusangkar. Kami bertukar pikiran sangat banyak, termasuk tentang konsep long life education.
Bahwa di Swedia juga ada konsep long life education semua penduduk mempunyai reading time di rumah mereka dan selama musim dingin (winter)- 3 bulan setiap tahun, semua orang Swedia menghabiskan waktu buat membaca. Sehingga musim dingin, mereka ibarat kepompong yang sedang membungkus diri buat belajar dan kelak setelah salju mencair, mereka menetas jadi cerdas, ibarat kupu kupu yang memancarkan warna warni dengan bentuk yang cantik.
Penulis terkesan bahwa guru-guru dari negara maju juga suka membaca. Mereka terbiasa membaca buku sebagai wujud dari long life education. Membaca buku juga sebagai wujud self learning atau autonomy learning. Dan bagaimana fenomena guru-guru di Indonesia ?
Bahwa mayoritas guru-guru di negara kita tidak suka membaca dan alergi membaca buku. Mereka tidak mengenal konsep long life education. Waktu-waktu istirahat mereka hanya dihabiskan tanpa membaca sehelai kertaspun. Apagi dengan istilah adanya reading time. Ya guru-guru kita kita belum mengadopsi long life education dalam hidup mereka.
Memang ada kebijakan pemerintah agar setiap guru senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan mereka secara mandiri. Itu pun diikuti dengan kegiatan belajar- melanjutkan pendidikan. Mengikuti penataran, workshop, seminar dan pelatihan lainnya. Memang cukup banyak guru kita yang mengikuti seminar, pelatihan, penataran, work shop. Itu hanya sekedar hadir untuk mendapatkan sehelai sertifikat buat dijadikaan portofolio untuk kenaikan pangkat. selesai dari kegiatan tersebut, memang yang diperoleh hanya sehelai kertas- sehelai sertifikat. Namun penambahan ilmu pengetahuan lewat membaca kembali tidak ada.   
Secara keseluruhan bahwa ada yang kurang terwujud dalam sistem pendidikan kita, yaitu kita tidak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya budaya membaca. Pada banyak sekolah eksistensi perpustakaan tidak menjadi prioritas utama. Perpustakaan kita belum menjadi tempat yang menarik buat siswa dan guru.
Di zaman teknologi komunikasi dengan keberadaan gadget yang berlimpah, maka memegang gadget untuk mengotak atik permaiman lebih menarik dari pada membaca. Jadinya ada  jutaan anak didik kita buta dengan buku. Mereka tidak tertarik untuk membaca dan sehingga mereka tidak mengenal sosok tokoh-tokoh sejarah yang berguna buat cermin  kehidupan untuk memacu kualitas SDM merekaita.
Demikian juga para guru. Ada jutaan guru di Indonesia juga tidak tertarik untuk membaca. Kecuali hanya sekedar membaca buku teks, jadinya jutaan guru hanya menjadi guru kurikulum, atau guru buku teks, yang tugas mereka adalah sebagai “tukang atau worker” untuk memidahkan isi buku teks ke dalam memori para siswa dengan cara yang tidak menarik. Kenapa tidak menarik ? Karena mereka diajar oleh para guru yang miskin dengan wawasan sehingga mereka jauh dari keberadaan guru yang menginspirasi.
Untuk itu para siswa membutuhkan kehadiran sosok guru yang inspiratif yang memiliki banyak wawasan. Guru inspiratif adalah guru yang selalu melakukan long life education, senantiasa belajar dan belajar. Guru ispiratif adalah guru yang mengaplikasikan semboyan “iqra’ bismirabikallazi khalak, atau guru yang menerapkan prinsip long life education dalam hidup mereka.

Kini kita merindukan guru-guru, para siswa dan masyarakat yang mengenal dan menerapkan semboyan long life education dalam hidup. Andai ini bisa terwujud maka insyaallah kualitas SDM bangsa ini yang selalu peringkatnya cukup rendah secara global bisa merangkat membaik, pada akhirnya kita akan tumbuh menjadi bangsa yang cerdas, berwibawa dan berkarakter di dunia ini. 

Sekolah Perlu Menghasilkan Siswa Yang Mandiri

Sekolah Perlu Menghasilkan Siswa Yang Mandiri

            Fenomena penggangguran intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah. Dari atas, yaitu tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya proses mendidik yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak sekolah). Terlihat bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah sekedar mendorong seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya untuk menjadi orang yang mandiri.
“Lebih spesifik, sampai dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan perguruan tinggi untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah pernyataan yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan. Bahwa angka pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia sangat produktif selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik, lulusan perguruan tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya jago melahirkan banyak sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang tinggi mungkin, namun kemampuan untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya menciptakan diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang hanya tertarik menjadi buruh, pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan. Kalau tidak ada peluang kerja ya menjadi pengangguran.
Dahulu saat dunia pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang kita), mereka belum tahu dengan istilah “jobless, unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara harus menjadi warga yang “berdikari”. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno sebagai singkatan dari kata “berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari seruan tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka segera membuka usaha sendiri: membuka ladang baru, membuka sawah baru, membuka perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah. Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit, menjahit sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
Ya ropopo, yang penting mereka bekerja dan bisa makan. Tidak ada istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan setelah mereka bisa menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki anak”.
Cita-cita anak anak mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha ayah mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah lokal, menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama adalah tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini amat jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin ini akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis dan hedonis. 
Pada saat itu, bagi beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat bentuk praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh. Mereka bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir dan kebijakan baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh. Anak- anak didik yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar buat bermimpi. Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa mimpi yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ? Rata- rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur, polisi, tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan tenaga PNS dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu. Jumlah PNS mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir selalu ada tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan menyarankan kepada keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah setinggi agar kelak bisa menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan yang terdengar: “Lebih enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan terjamin”.
Dampaknya adalah lahirlah ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS memang sangat membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari anggaran. Negara harus berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF- Internasional Monetary Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang Indonesia jadi membengkak dan nilai rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai 1000 Persen. Angka nol pada uang Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka mata uang negara lain yang kayak begini. Akibatnya warga dunia internasional kurang melirik mata uang kita, enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir cukup menyedihkan. Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata uangnya- dollar Singapura-  sangat kuat. Sekuat mata uang raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia juga cukup disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang Rupiah dipandang sebagai “Rubbish Currency” atau mata uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat UNICEF yang bersandar di dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune. Penulis ingin menyelipkan uang kertas seratus ribu, namun seperi yang penulis saksikan, hanya menerima mata uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku buat rupiah. Air mata penulis rasa-rasa mau menetes saja.
TEntang jumlah PNS yang membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa jumlah PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji buta.
Pemerintah mengambil kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup  cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong menganggur maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak dengan bayaran Rp. 800 ribu per-bulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp. 800 ribu hanya cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak muda- mahasiswa- yang berada di universitas, terutama dari universitas favorit, berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi “Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah amat kecil.
Ah menjadi seorang Entrepreneur ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training motivasi yang mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya mereka tidak punya background entrepreneur dan mereka umumnya  berasal dari rumah tangga yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai kecil lainnya. Mereka juga mendapat dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah amat kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi linglung juga.
Bukankah bahwa mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari setengah juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman wirausaha dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat disimpulkan bahwa mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka pengangguran.
“Meski mereka terus kuliah ke perguruan tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di perguruan tinggi juga tidak memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek SDM manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas pendidikan yang rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari masyarakat, lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga perguruan tinggi.
Juga sudah saatnya pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK. Negara kita perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara Jerman, yang mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah SMK tentu saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha, sementara di SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan pengalaman berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi sarjana bakal jadi sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah bersaing sebagai job seeker akan menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa buat sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha. Seperti yang dilakukan oleh stake-holder di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul perlombaanya adalah “Entrepreur of Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang lomba kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam bidang bisnis.
Pengalaman wirausaha harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah SMK juga perlu mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha bagi siswa-siswi mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para gurunya tentu tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan teori wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka pengangguran lulusan perguruan tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang pentingnya memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa, sebagai contoh, sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua sekolah dini.
Di Belanda istilah wirausaha adalah “ondernemer” dan istilah di Jerman adalah “unternehmer”. Entrepeneur sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga perguruan tinggi sejak tahun 1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena, diperkenalkan, di perguruan tinggi, ya sejak perguruan tnggi gagal menghasilkan sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga  sebagai agent of social change ,  ternyata hanya sebagai penggangguran terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam jumlah ribuan orang tiap tahun.

Sebagai penutup bahwa idealnya kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP, karena pengalaman berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada diberikan hanya setelah dewasa.

Muhammad Fachrul, Nadhila Azzahra, Emi Surya dan Marjohan


Ini merupakan foto yang saya olah dari sejumlah foto, saya format dan crop pada power point dan setelah itu saya save melalui web page...ya jadilah koleksi foto bagus.

Beberapa semester lalu, Oktober 2014, teman saya craig pentland memutuskan buat berlibur di rumah saya di Batusangkar. Ia terbang dari Perth ke Kuala Lumpur dan terus ke Bandara Internasional Minangkabau di Padang. Dan saya welcome....ia sempat berkunjung ke rumah Naser di Payakumbuh. Saya yakin Craig liburannya tidak begitu perfect karena pada saat yang sama, saya belum libur dari sekolah....forgive me please, Craig Pentland...

Menajamkan Fokus Pendidikan Antara Kognitif dan Afektif

 Menajamkan Fokus Pendidikan Antara Kognitif dan Afektif

Menuntut ilmu sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Banyak siswa dengan dukungan orang tua berlomba agar bisa bersekolah di sekolah yang terkemuka kualitasnya. Dari  tulisan-tulisan yang kita baca pada media massa dan dari pengalaman langsung ditemui bahwa banyak pelajar Indonesia yang begitu tekun dalam aktivitas belajar termasuk juga aktif mengikuti kursus atau bimbingan belajar agar lebih cerdas.
Kita sering mendengar bahwa banyak anak-anak Indonesia yang bisa menjagoi berbagai perlombaan akademik. Putra-putri Indonesia mampu memperoleh juara olimpiade sains di tingkat internasional. Tentu saja mereka diharapkan bisa berbuat banyak dalam bidang sains dan tekhnologi.
Walaupun dalam setiap perlombaan sains internasional, putra-putri kita bampu meraih banyak penghargaan. Namun setelah mereka dewasa prestasi atau karya nyata mereka jarang terdengar. Kata seorang teman penulis mengatakan bahwa putra-putri Indonesia baru sebatas cerdas dengan teori dan belum lagi secara secara karya.
Kemudian, meskipun siswa kitamampu memperoleh banyak kemenangan dalam berbagai perlombaan, namun ini belum mewakili kualitas pendidikan Indonesia secara umum. Karena kenyataan pendidikan kita tetap tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan New Zealand.
Menurut………..penyebabnya adalah karena budaya pendidikan kita yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan (keterampilan berfikir dan kreativitas) itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
Memang benar bahwa para siswa siswa kita baru sebatas cerdas dengan teori sehingga mampu meraih skor-tes setinggi-tingginya. Selama ini ada anggapan bahwa para siswa yang mampu meraih skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes.
Jadinya Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi hanya akan bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor yang  tinggi. Begitu pula bahwa sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya. Dengan demikian bisa menjamin pendanaan (bantuan finansial) lebih banyak dari pemerinah. Akibatnya para guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orang tua lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah. Malah sejak sejak usia dini. Akibat waktu bersekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar kita hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Ada 3 ranah pendidikan yaitu kognitif, afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Aspek yang paling banyak disentuh oleh sekolah adalah kognitif. Agaknya aspek kognitif berhubungan langsung dengan akademik. Kita tidak mungkin menyalahkan sekolah yang lebih banyak terfokus untuk mempertajam aspek kognitif. Bila seorang siswa belajar banyak di sekolah dan kemudian belajar lagi di tempat les atau lembaga bimbingan belajar. Lagi-lagi ini adalah kegiatan untuk mempertajam aspek kognitif.
Anak harus memiliki kecerdasan yang berimbang antara kognitif, afektif dan psikomotorik. Tidak tetap kalau kita masih protes pada sekolah agar juga focus pada pembinaan afektif. Karena orang tua juga harus berkontribusi untuk mempercedas anaknya sendiri.
Orang tua punya peran besar dalam menumbuh-kembangkan prilaku dan life-skill anak dalam bentuk melibatkan mereka untuk ikut beraktifitas di rumah. Misalnya orang tua mengajak anak untuk merapikan rumah, merawat tanaman dikebut, menanam pohon penghijau untuk keindahan lingkungan, dan juga mengikuti berbagai kegiatan tetangga lainnya.
Ada satu keluarga yang menginginkan anak-anak mereka menjadi cerdas dengan cara banyak belajar agar bisamemiliki prestasi akademik yang tinggi. Sementara mereka dibebaskan untuk ikut berbagi tugas di rumah. Bagaimana hasilnya ? anak-anak mereka telah tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri. Urusan pribadi seperti kebutuhan pakaian, makan dan kebutuhan kecil lainnya masih dilayani. Sang anak telah menjadi raja kecil atau boss kecil, yang kerja suka minta tolong atau serba memerintah.
Mendorong anak-anak sekuat tenaga hanya untuk satu bidang saja, yaitu bidang akademik atau kognitif dan menjaudi pengembangan afektif dan psimotorik merupakan langkah yang belum tepat. Seharusnya kita dalam mendidik anak-anak tetap berkontribusi untuk memantapkan ketiga aspek tadi yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam hidup bahwa tidak selamanya orang berkaris sesuai dengan kualitas kognitifnya, yaitu bekerja pada profesi yang didukung oleh unsur akademik, menjadi dokter, peneliti, pendidik, dan karir lain pada bidang pemerintah. Namun juga berkarir karena kekuatan afektif dan psimotorik mereka, seperti menjadi atlit, artis, pengacara, motivator, menteri, presiden, dll. 
Dalam hidup ini kita bisa mendengar langsung atau membaca kisah- kisah orang yang bisa berhasil dalam profesinya yang pada mulanya tidak didukung oleh unsur kognitif atau akademik, namun didukun oleh kematangan afektif dan psikomotorik.
Kekuatan nilai afektif dan psikomotorik juga dirasakan oleh orang lokal. Penulis menemui contoh dari salah seorang wirausaha kuliner dan seorang pedagang. Kasmiati, menekuni usaha kuliner di Payakumbuh, mengaku bahwa ia banyak menuntut ilmu pengetahuan untuk menjadi mandiri dari alam saja. Sementara itu Ibu Ade yang meninggalkan karir PNS dan menekuni usaha properti dan perdagangan di Batusangkar, suatu pekerjaan yang memberikan tantangan buatnya. Berikut kita lihat sepintas kupasan jalan sukses 5 orang, presiden, pengusaha besar, gubernur, kuliner biasa dan juga pebisnis biasa. Usaha atau prestasi mereka bisa tumbuh dan berkembang bukan semata-mata oleh kekuatan factor kognitif, namun dari kemampuan afektif dan psikomotoriknya.   
1). Presiden Sukarno
Presiden Sukarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo seorang guru, dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai, seorang perempuan Bali. Sukarno waktu kecil tinggal bareng kakeknya di Tulung Agung, Jawa Timur. Sekolah berkualitas memang penting untuk memacu motivasi, maka ayah Sukarno memasukkannya ke sekolah Eerste Inlandse School, sekolah tempat ayahnya bekerja. Berarti ayahnya juga guru yang hebab. Ayah yang hebat akan memotivasi anak untuk jadi hebat.
Sukarno sejak dari kecil sudah punya prinsip senang dengan”kemandirian”  yang dia berdiri istilah dengan “berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri” Ia berdikari dalam meningkatkan kualitas diri, melalui banyak membaca, belajar pidato sendirian, dan juga dalam menguasai bahasa asing. Ya  Bung karno menganut ideologi “berdiri di atas kaki sendiri”. Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid- persetan dengan bantuanmu”.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dalam memotivasi diri Bung Karno juga memiliki slogan yang kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi.
Bung Karno juga membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas  Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno telah memiliki jiwa leadership (kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil, maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil, maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe-de atau Percaya Diri”. Itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Bung Karno adalah juga orator ulung. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih remaja- belajar di sekolah menengah- Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga berbicara di depan gang nya (teman-temanya). Setelah itu Sukarno menyambung sekolah ke HBS (Hogere Burger School) dan ia juga sempat sekolah di Europeesche Lagere School (ELS).
Membaca adalah kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin belajar dan belajar tentang segala sesuatu ?  Karena didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam belajar. Ketika belajar di HBS- Hoogere Burger School  Surabaya, dari 300 murid yang ada dan hanya 20 murid saja yang berasal dari orang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh fasilitas yang  lebih untuk “mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku-buku ditulis dalam bahasa Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku yang ditulis dalam bahasa Belanda), maka Bung Karno dengan sekuat hati mendalami Bahasa Belanda.
Entah strategi apa yang ia peroleh secara kebetulan. Namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Saat sekolah di HBS, Sukarno indekost di pondokan H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemuka masyarakat, cendekiawan dan teman ayahnya. Saat bersekolah Sukarno aktif berorganisasi, dan akti mengambil peran dan juga selalu berrtukar fikiran dengan para tokoh.
Sukarno mengikuti organisasi Tri Koro Dharmo, kemudian ganti nama menjadi Jong Java atau Pemuda Jawa.
Dari hasil banyak berdiskusi, Sukarno tentu punya banyak ide, dan ia jadi rajin menulis. Tulisannya terbit pada surat kabar Oetoesan Hindia, pimpinan Tjokrominito. Bung Karno juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya.
Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921 Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921 setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.
Saat kuliah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Jadi yang juga membuat Sukarno tumbuh berkualitas, selain dia memiliki motivasi belajar yang hebat. Dia juga memiliki teman-teman yang berkualitas untuk tempat mengasah logika dan intelektual komuniasi sosialnya.
Tamat dari ITB, Sukarno tidak mencari kerja, ia malah mendirikan pekerjaan, pada tahun 1926 ia mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya. Malah ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.
2). Ir. Ciputra
Ia lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, adalah seorang insinyur dan pengusaha di Indonesia. Ia terkenal sebagai pengusaha properti yang sukses, antara lain pada Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang filantropis, dan berkiprah di bidang pendidikan dengan mengembangkan sekolah dan Universitas Ciputra.
Ciputra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Parigi, Sulawesi Tengah. Sejak kecil Ciputra sudah merasakan kesulitan dan kepahitan hidup. Bapaknya Tjie Siem Poe ditangkap oleh pasukan tak dikenal, karena dituduh sebagai mata-mata Belanda/Jepang dan tidak pernah kembali lagi pada tahun 1944.
Ketika remaja ia bersekolah di SMP dan SMA Frater Don Bosco di Manado. Setamatnya dari SMA, ia meninggalkan desanya menuju Jawa. Ia kemudian kuliah di Institut Teknologi Bandung. Pada tingkat empat, ia bersama Budi Brasali dan Ismail Sofyan mendirikan usaha konsultan arsitektur bangunan yang berkantor di sebuah garasi. Setelah Ciputra meraih gelar insinyur pada tahun 1960, ia pindah ke Jakarta.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di ITB, Ciputra mengawali kariernya di Jaya Group, perusahaan daerah milik Pemda DKI. Ciputra bekerja di Jaya Group sebagai direksi sampai dengan usia 65 tahun, dan setelah itu sebagai penasihat. Di perusahaan tersebut, Ciputra diberi kebebasan untuk berinovasi, termasuk di antaranya dalam pembangunan proyek Ancol.Ciputra saat ini dikenal sebagai sosok penyebar entrepreneurship / kewirausahaan di Indonesia. Dalam setiap kesempatan, ia selalu menanamkan pentingnya kewirausahaan untuk membuat bangsa Indonesia maju.
3) Irwan Prayitno
Ia punya nama lengkap yaitu Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc datang dari keluarga Minangkabau, Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang. Irwan Prayitno adalah anak pertama, memiliki tiga adik, dari orang tua yang sama-sama dosen.
Jadi orang tua yang berpendidikan biasanya mampu mendidik anak yang juga cerdas dan berkualitas. Masa kecilnya yang sering pindah-pindah telah membuat pengalaman geografi dan pengalaman adaptasi sosial semakin kaya. Irwan menjalani pendidikan menengah di Padang dan mulai berkecimpung di organisasi sejak SMA, menjalani dua kali kepengurusan OSIS pada tahun kedua dan ketiga di SMA Negeri 3 Padang. Selama di SMA, ia meraih juara pertama di kelasnya dan selalu dipercayakan sebagai ketua kelas.
Ternyata anak-anak yang sempat menjadi ketua Osis saat di SMA memiliki kemampuan leadership yang bagus dan pada umumnya sukses setelah dewasa. Ini dibuktikan pada beberapa teman. Teman penulis saat di SMA, Hidayat Rusdi, pernah menjadi ketua Osis di SMA Negeri 1 Payakumbuh dan setelah dewasa ia sukses berkarir di Perusahaan Perminyakan. Teman penulis yang lain, adalah juga bernama Rusdi, tetapi Rusdi Thaib. Saat di SMA ia juga pernah menjadi Ketua Osis di SMA Solok, dan setelah dewasa ia berkarir sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang dan di Atase Budaya di Kantor Kedutaan RI- Kuala Lumpur. Betapa pentingnya para siswa harus memiliki keterampilan leadership saat masih kecil atau remaja, dengan harapan setelah dewasa akan lebih mudah meraih sukses dalam karirnya.
Selanjutnya tentang Irwan Prayitno, ia sempat berkeinginan melanjutkan kuliah ke ITB bersama dengan teman-temannya. Namun, karena mempunyai masalah dengan mata, ia mengalihkan pilihan ke Universitas Indonesia. Setelah tamat SMA pada 1982, ia mendaftar ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Selama kuliah, selain menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan, ia banyak menghabiskan waktu di luar kampus untuk berdakwah, mengajar di beberapa SMA swasta, dan menjadi konselor di bimbingan belajar Nurul Fikri. Ini mengakibatkan kuliahnya tidak lancar. Namun, menurutnya yang ia cari dalam pendidikan bukanlah nilai semata, tetapi pengembangan diri.
Saat mulai masuk perguruan tinggi, ia aktif dalam diskusi-diskusi dakwah dan perhimpunan mahasiswa. Ia pernah bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta. Akhirnya Irwan mampu menyelesaikan kuliahnya pada jurusan psikologi UI, sayangnya IPK (Indeks Prestasi Kumulatifnya) cukup rendah.
Karena IPK rendah, Irwan memilih tidak melamar pekerjaan di Jakarta. Ia memutuskan pulang ke Padang untuk berdakwah dan melanjutkan mengajar kursus. Sebelum mengakhiri kuliahnya, ia telah berpikir bagaimana merintis yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Semula, Irwan merintis kursus bimbingan belajar Adzkia di Lolong-Padang  pada tahun 1987. Selain dirinya, beberapa pendiri Adzkia adalah sekaligus guru di antaranya Syukri Arief dan Mahyeldi Ansharullah.
Saat itu penulis kuliah di jurusan Bahasa Inggris-IKIP Padang dan penulis juga menyibukan diri pada Perpustakaan Masjid Al-azhar di Komplek Pendidikan IKIP dan UNAND. Di sana penulis berkenalan dengan Bang Irwan Prayitno yang sering membawa anak sulungnya. Dan penulis mengira itu adalah adiknya, ternyata adalah anaknya.
Penulis masih ingat bahwa pada awal karirnya, ia sempat memberi bimbingan konsultasi gratisan bagi mahasiswa yang mau kuliah melalui kegiatan amal yang diselenggarakan oleh Yayasan Amal Shaleh di Air Tawar- Padang. Yayasan ini dibimbing oleh Dr Muchtar Naim, seorang sosiolog dari Unand. Akhirnya Bang Irwan mendirikan kegiatan bimbingan belajar dan juga menjadi aktivitas sosial yang lebih professional. Ia dan teman- teman membuat kelas-kelas kursus.
Pada 1988, kelas kursus berpindah ke Komplek PGAI, Jati. Bermula dari kursus bimbingan belajar, Irwan membentuk Yayasan Pendidikan Adzkia yang secara bertahap mewadahi taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Secara bertahap sejak 1994, Adzkia membuka jenjang perguruan tinggi, selain taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah kejuruan. Dalam pembinaan anak didik, ia mencurahkan ilmu psikologi yang ditimbanya di bangku kuliah.
Perkembangan Yayasan Pendidikan Adzkia berpengaruh pada kemapanan hidupnya, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1995, Irwan mengambil kuliah di Selangor, Malaysia sambil membawa serta istri dan anaknya. Namun, karena IPK rendah, lamarannya sempat beberapa kali ditolak. Teman sesama aktivis dakwah di Selangor mempertemukannya dengan Pembantu Rektor UPM (Iniversity Putra Malaysia). Kepada Prof. Hasyim Hamzah, Irwan menyatakan kesanggupan menyelesaikan studi dalam tiga semester. Ia mengambil kuliah S-2 bidang pengembangan SDM (Human Resource Development) di UPM- Selangor. Tamat satu setengah tahun lebih awal dari waktu normal tiga tahun pada 1996, ia melanjutkan kuliah S-3 di kampus yang sama.
Sehari-hari di Selangor, ia harus bekerja keras mengurus keluarga. Saat itu, ia telah memiliki lima anak. Dengan istri, ia berbagi tugas karena tak ada pembantu. Irwan mengaku, di antara kegiatannya, dirinya hanya mengalokasikan sekitar 10 sampal 20 persen untuk kuliah. Kegiatan dakwahnya tetap berlanjut. Bahkan, ia menunaikan dakwah sampai ke London, Inggris dan harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dalam perjalanan di dalam mobil, pesawat, atau kereta api.
Move on yang dilakukan oleh Irwan Prayitno sangat pesat. Hidupnya mengalir, ia selalu melakukan proses hingga ia bisa menjadi Ketua Partai Keadilan propinsi Sumatra Barat, menjadi anggota DPR RI, dan terus menjadi Gubernur Sumatra Barat. Namun beberapa catatan awal hanya bertujuan bahwa Irwan Prayitno kuliah ke Universitas Indonesia bukan untuk mencari pekerjaan, namun untuk mematangkan pribadi, mengembangkan pemikiran, intelektual, mengawas leadership, kemampuan komunikasinya serta keberanian enterpreurship-nya.
4). Ibu Ade
Penulis tidak tahu dengan nama lengkapnya, namun penulis sempat bercerita panjang dengannya di pasar Batusangkar. Yang penulis tahu bahwa ia adalah Ibu kandung dari salah seorang murid penulis. Ibu Ade dahulu juga kuliah di IKIP Padang dan setelah itu sempat menjadi PNS yaitu sebagai seorang guru. Profesi guru akhirnya ditinggalnya, bukan profesi ini ini tidak bagus, namun bakat berbisnis atau berwirausahanya lebih menonjol dan memberi tantangan baginya. Penulis sempat bertukar cerita saat penulis berbelanja di tokonya.
Ibu Ade punya bisnis dalam bidang properti (pengembangan perumnas), jual-beliemas dan money changer. Di daerah yang tidak jauh dari rumahnya, ia mengobservasi ada hamparan tanah yang kurang produktif. Maka ia menemui pemilik tanah tersebut dan terjadi transaksi. Pendek kata tanah tersebut telah menjadi milik Ibu Ade dan selanjutnya dijadikan petak-petak atau “kavling” dan pembangunan perumahan buat warga dan utamanya para PNS. Sekarang properti atau perumnas yang dikembangkan oleh Ibu Ade menjadi Perumnas yang cukup popular di kota Batusangkar.
Selain itu Ibu Ade juga menggeluti bisnis jual beli emas dan valas (valuta asing). Ya tidak hanya Ibu Ade, tetapi juga banyak orang yang memahami bahwa Jual beli valuta asing (foreign exchange trading) semakin dilirik selain investasi saham, obligasi, emas. Berbisnis pada bidang ini menekankan pada kecepatan transaksi dan juga keuntungan. Dalam investasi ini perlu fokus penuh dan jeli dalam melihat pergerakan market dan yakin saat mengambil keputusan. Ya sama seperti investasi lainnya, kita perlu kenali dan pahami agar bisa menikmati hasilnya. Bagi pemula juga bisa melakukan bisnis ini misal dengan cara mengikuti saja aktivitas para trader yang cukup top. Dengan mengikuti pola trading mereka maka para investor pemula relatif lebih mampu mengidentifikasi peluang serta menghindari kerugian dengan lebih baik.
Penulis tidak menjelaskan bagaimana cara berbisnis properti, emas, obligasi dan valas, namun ingin menginformasikan bahwa kaum perempuan, seperti Ibu Ade, juga melihat bahwa kuliah di perguruan tinggi bukan untuk mencari kerja, namun buat mematangkan pola berfikir. Malah pekerjaan sebagai guru yang diberikan oleh perguruan tinggi telah ditinggalkan oleh Ibu Ade, menjadi seorang guru itu bagus, sekali lagi bahwa Ibu Ade merasakan adanya kepuasan kerja (satisfaction) melalui karir sebagai pebisnis. Kemampuan melihat dan membaca peluang dan keberanian untuk berbisnis telah mengantar Ibu Ade sebagai warga yang terkemuka di kota Batusangkar.
5) Kasmiati
Ia tidak pernah kuliah di perguruan tinggi. Ia menikah di usia muda, usia 22 tahun dan setelah punya 5 orang anak, terasa ada himpinan masalah ekonomi yang mendera. Gaji suaminya sebagai prajutit TNI tidak pernah mencukupi, hingga ia berhutang dan berhutang, akhirnya ia terpaksa gali lobang tutup lobang untuk menutupi masalah keuangan. Namun masalah keuangannya menjadi makin melebar.
Akhirnya ia menuntut ilmu pada life university (universitas kehidupan). Maksudnya ia curhat kepada lingkungan, tetangga, kenalan dan famili yang dianggap lebih dewasa dan tahu solusinya. Akhirnya ia tertarik berbisnis dalam bidang kuliner dengan nama warung “Warung Ketupat Uni Upik”. Usahanya tidak begitu besar, namun ia sudah memiliki beberapa orang karyawan untuk membantu bisnis kulinernya. Ia mampu menyediakan kebutuhan sarapan pagi para pelanggannya yang jumlahnya cukup banyak sebagaimana yang sempat penulis saksikan. Di sini yang penting bagaimana proses kehidupan Uni Kasmiati mengalir dalam merajut sukses pada bisnis warungnya.
Kita sering mendengar bahwa urusan perut itu tidak bisa ditolerir. Ya, anggapan tersebut memang ada benarnya, karena kebutuhan manusia akan makan dan minum sudah menjadi kebutuhan pokok yang sama sekali tidak bisa ditunda-tunda. Dengan demikian, tak heran bila beberapa tahun belakang ini banyak pebisnis makanan betebaran di mana-mana, mulai dari pedagang makanan tradisional dengan istilah pedagang kaki lima, hingga pedagang makanan modern yang diklaim sebagai pengusaha kafe dan resto.
Kasmiati membuka usaha warung makanan yang modalnya cukup bisa dijangkau bagi kebanyakan orang. Sebenarnya bisnis makanan dan minuman bermodal rendah dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai jenis dan tempat usahanya.
Kasmiati dan suaminya Rostian tinggal di rumah bedeng (asrama) milik Batalyon Denzipur. Kebetulan lokasinya di pinggir jalan di persimpangan yang ramai di depan Rumah Sakit Umum. Kasmiati memanfaatkan satu petak kecil lahan tidur dan mendirikan warung sederhana yang terbuat dari papan. Semampunya ia menata perabot warung.
Ternyata Kasmiati melakukan survey sebelum membikin warung. Orang- orang di kiri dan kanan menjual sate, nasi goreng, pecal, dan beberapa jenis makanan lain. Ia menemukan produk khusus buat usahanya yaitu “ketupat gulai”, ya sebagai produk unggulannya. Ia juga bakal menjual produk yang sama seperti nasi goreng, nasi soto, nasi sup dan aneka minuman. Ya hidup memang bersaing- tentu harus dengan persaingan yang sehat, pelanggan bisa memilih sesuai dengan selera mereka.
Kasmiati merasa bersyukur karena bisa memiliki lokasi usaha yang bagus, yaitu pada daerah persimpangan jalan di dekat Rumah Sakit Umum. Ia berharap kelak pengunjung warungnya bisa ramai oleh orang-orang yang membutuhkan jajan buat mengusir lapar.
Kasmiati membuat konsep warungnya yaitu bagaimana agar outlet makannya dapat menarik pengunjung dan membuat mereka nyaman untuk memasukinya. Konsepnya ya warung dengan tata ruang yang sederhana, tetapi bersih dan nyaman. Dia juga memperhatikan pelayanan yang mengesankan. Ya Kasmiati membutuhkan beberapa orang karyawan buat membantu. Dan karyawan dilatih dan namun juga diaggap sebagai famili, agar mereka bekerja dengan ikhlas dan setia, dengan bayaran gaji yang bagus. Karena karyawan juga merupakan aset bisnis.
Kasmiati kemudian juga menguasai manajemen keuangan. Disiplin adalah kunci untuk menjamin kondisi keuangan bisa selalu baik-baik saja. Sederhananya dengan berbisnis kuliner keuntungan bersih yang bisa diperoleh adalah 20 %. Kalau bisnis menghasilkan 100 % per bulan, maka 20 % masuk ke rekening pemilik bisnis kecil ini.
Untung atau rugi musti jadi perhitungan dalam berdagang. Ada beberapa hal yang biasanya membuat bisnis kuliner bisa tidak ada untung. Antara lain biaya bahan baku yang berlebihan, mestinya biaya bahan baku bisa kontrol maksimal 60% dari target penjualan harian. Yang kedua biaya operasional yang membahana, bisa jadi karena sewa tempat yang terlalu mahal, jumlah karyawan yang terlampau banyak.
Sebelumnya Kasmiati tidak perlu menyewa warung, karena hak pakai sebagai keluarga Batalyon Denzipur. Setelah suaminya pension ia pindah dan menyewa warung untuk bisnis kulinernya. Alhamdulillah ia masih dapat mengelola keuangan dengan baik hingga ia dapat memperoleh uang dari bisnis kulinernya.

Dari uraian profil 5 orang tokoh di atas terlihat bahwa betapa setiap orang memiliki keberanian dan kecerdasan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Wawasan yang luas, selalu membuka mata dalam pergaulan sosial membuat afektif kita menjadi kaya. Bertukar fikiran dengan orang- orang yang berhasil, aktif dalam hidup (sosial) akan memberi manfaat dalam mencari posisi kita di masa depan. Tentu saja selalu diperlukan keberanian untuk mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan.     

Selasa, 09 Februari 2016

Kala Arca “Bertapa“ di Sekolah

 Suasana tenang dan sejuk khas perbukitan biasa membawa larut para siswa SMA Negeri 3 Batusangkar dalam belajar. Namun, hari itu, suasana sontak berubah. Gelaran Pameran Cagar Budaya yang diadakan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar tampak menarik perhatian para siswa dan guru. Panel-panel yang memajang informasi pelbagai objek Cagar Budaya pun kerap disesaki pengunjung. Wajah-wajah penuh keingintahuan tersirat saat mereka mengamati setiap deskripsi dan piktorial objek Cagar Budaya dari tiga provinsi: Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, yang merupakan wilayah kerja BPCB Batusangkar.
Tak semata tampilan di atas kertas, para siswa juga disuguhi bentuk dari benda-benda Cagar Budaya, seperti: Arca Dwarapala, Arca Kuwera, hingga fragmen relief bata yang pada umumnya ditemukan saat ekskavasi di Dharmasraya. Tak tanggung-tanggung, Prasasti Pagaruyung dengan tinggi melebihi dua meter pun dihadirkan dalam bentuk replika. Uniknya, pameran yang berlangsung 1 s/d 2 Desember ini mencoba mengetengahkan sejarah peradaban masa lalu di Bukit Gombak yang merupakan daerah sekolah tersebut berada. Ternyata, pada umumnya siswa tidak mengetahui bahwa Bukit Gombak pernah menjadi objek penelitian Arkeolog Jerman, Prof. Dr. Dominik Bonatz pada 2011 dan 2012 silam.
“Pameran ini menambah wawasan tentang Cagar Budaya di sekitar kita. Seperti di lingkungan sekolah ini. Sebelumnya saya tidak tahu ternyata pernah ada penelitian dari peneliti luar negeri,” ungkap Padli Rahmad, siswa kelas XII.
Salah seorang guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Marjohan Usman, menambahkan, kegiatan ini dapat mengeksplorasi siswa terhadap pengenalan masa silam.
“Sehingga lewat mengenal inilah kita dapat mencintai negara, dan kita pun akan memiliki sikap patriotisme,” ujar peraih Guru Berprestasi SMA Tingkat Nasional 2012 tersebut.
Untuk lebih menarik kunjungan siswa, tim BPCB Batusangkar juga mengadakan permainan interaktif yang memiliki pendekatan dengan Cagar Budaya. Para siswa diminta merekonstruksi kembali fragmen artefak berbahan keramik dan tanah liat. Permainan ini terlihat amat diminati, terlebih setiap tim yang berhasil akan mendapat hadiah.
Annida Ikrima, mengaku permainan tersebut membantunya dalam mengenal salah satu metoda kerja arkeolog untuk memperoleh bentuk suatu benda melalui tinggalan yang tersisa.
“Untuk kegiatan pameran ke depannya, agar lebih diperbanyak lagi permainan yang bersifat pengenalan Cagar Budaya,” saran siswi kelas XI itu.
Harry Iskandar Wijaya, salah seorang tim dari BPCB Batusangkar mengatakan, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk publikasi kepada kaum muda untuk mengenal Cagar Budaya.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...