Sekolah Perlu
Menghasilkan Siswa Yang Mandiri
Fenomena
penggangguran intelektual perlu sorotan lebih tajam dari arah atas dan bawah.
Dari atas, yaitu tentang kebijakan pemerintah, dan dari bawah akibat gagalnya
proses mendidik yang kita lakoni (oleh masyarakat: orang tua dan juga pihak
sekolah). Terlihat bahwa pendidikan yang telah kita praktekan seolah-olah
sekedar mendorong seorang anak untuk menjadi pegawai, dan belum mendorongnya
untuk menjadi orang yang mandiri.
“Lebih spesifik,
sampai dimana pedulinya lembaga pendidikan formal, utamanya SLTA dan perguruan tinggi
untuk mengurangi angka pengangguran yang telah mewabah ibarat virus yang
menggerogoti tubuh ?”
Ini adalah
pernyataan yang sudah diulang-ulang dan diperbincangkan oleh banyak kalangan.
Bahwa angka pengangguran terhadap kelompok Warga Negara Indonesia berusia
sangat produktif selalubertambah. Mereka adalah para pengganggur terdidik,
lulusan perguruan tinggi. Jadinya Perguruan Tinggi bisa dicibirkan karena hanya
jago melahirkan banyak sarjana sekedar jago berteori dan mencari IPK yang
tinggi mungkin, namun kemampuan untuk “mandiri” sangatminus.
Mereka hanya
menciptakan diri mereka sebagai manusia cerdas yang bermental “sub ordinate”- bermental bawahan yang
hanya tertarik menjadi buruh, pegawai atau anak buah pada sebuah perusahaan.
Kalau tidak ada peluang kerja ya menjadi pengangguran.
Dahulu saat
dunia pendidikan belum begitu berkembang pesat, kakek dan nenek (nenek moyang
kita), mereka belum tahu dengan istilah “jobless,
unemployment atau penggangguran”. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka
harus bisa berusaha menghidupi diri sendiri atau mandiri. Pada saat awal
kemerdekaan Presiden Sukarno memang selalu mengkampanyekan agar warga negara
harus menjadi warga yang “berdikari”. Istilah ini dibikin Presiden Sukarno
sebagai singkatan dari kata “berdiri di atas kaki sendiri”.
Dampak dari
seruan tersebut, semua warga meresponnya. Termasuk nenek moyang kita, mereka
segera membuka usaha sendiri: membuka ladang baru, membuka sawah baru, membuka
perkebunan, bertenak unggas, bertenak ikan, juga ada yang menjadi tukang rumah.
Atau menjadi tukang kecil- kecilan, seperti tukang patri, tukang jahit,
menjahit sepatu, tambal ban, tukang jahit paying. Semuanya disebut sebagai pekerjaan wong kecil, pekerjaan wong desa.
“Ya ropopo, yang penting mereka bekerja
dan bisa makan. Tidak ada istilah gengsi- gengsian, yang penting halal. Dan
setelah mereka bisa menghidupi diri merekapun akhirnya menikah dan memiliki
anak”.
Cita-cita anak
anak mereka saat saat itu tidak begitu muluk-muluk. Ya ingin melanjutkan usaha
ayah mereka, atau menjadi Tuanku, Kyai, Ulama, guru pesantren, guru di sekolah
lokal, menjadi guru ngaji. Pokonya cita cita yang amat mulia saat itu.
Seorang Ulama
adalah tokoh yang amat berpengaruh saat itu. Namun kasihan, mengapa dewasa ini
amat jarang terdengar anak-anak muda yang ingin menjadi seorang Ulama ? Mungkin
ini akibat gaya mendidik dan kehidupan kita yang penuh dengan aura kapitalis
dan hedonis.
Pada saat itu,
bagi beberapa orang yang punya keberanian kuat, maka mereka pergi merantau buat
belajar menjadi saudagar. Saudagar adalah istilah yang ngetop untuk karir
sebagai perdagangan. Mula-mula mereka jadi anak buah, belajar hidup dari induk
semang (bos). Mmemang melalui proses hidup yang bersusah payah. Itu ibarat
bentuk praktek kerja nyata dan akhirnya lahir begitu banyak saudagar tangguh.
Mereka bersaudagar untuk bidang tekstil, mesin, bahan makanan dan lain- lain.
Zaman bergulir
dan kebijakan baru pun muncul. Kemudian dunia pendidikan tumbuh dan tumbuh.
Anak- anak didik yang duduk dibangku sekolah rakyat atau sekolah dasar diajar
buat bermimpi. Kamu kalau udah gede nanti mau jadi apa ?
Tahukah anda apa
mimpi yang banyak diungkapkan oleh anak sekolah dari dulu hingga sekarang ?
Rata- rata mimpi mereka adalah seperti: ingin jadi dokter, guru, insinyur,
polisi, tentara, camat, penyuluh lapangan, mantri kesehatan, bidan, perawat dan
lain-lain. Karir ini memang dibutuhkan untuk melayani warga negara dan mereka
semua tercatat sebagai karir PNS dan juga Pegawai militer.
Kebutuhan akan
tenaga PNS dibuka lebar, rekruitmen PNS setiap tahun cukup tinggi sejak itu.
Jumlah PNS mencapai jutaan orang. Malah hampir setiap rumah di Indonesia hampir
selalu ada tenaga PNS. Mereka yang bekerja sebagai PNS membisikan dan
menyarankan kepada keluarganya dan lingkungannya agar belajar dan kuliah
setinggi agar kelak bisa menjadi PNS yang bergaji tinggi pula. Banyak celotehan
yang terdengar: “Lebih enak jadi PNS, gajinya memang sederhana namun masa depan
terjamin”.
Dampaknya adalah
lahirlah ribuan atau jutaan manusia yang bermimpi untuk jadi PNS. Jumlah PNS
memang sangat membludak dan untuk menggaji mereka negara kesulitan mencari
anggaran. Negara harus berutang pada pihak luar seperti pada Bank Dunia, IMF-
Internasional Monetary Fund, dll. Tahu apa efek jeleknya ? Yaitu utang
Indonesia jadi membengkak dan nilai rupiah merosot. Nilai rupiah anjlok sampai
1000 Persen. Angka nol pada uang Rupiah sampai “Lima Digit”. Tidak ada angka
mata uang negara lain yang kayak begini. Akibatnya warga dunia internasional
kurang melirik mata uang kita, enggan menyimpannya dalam dompet mereka.
Difikir-fikir
cukup menyedihkan. Tetangga kita Singapura, negaranya kecil, tetapi mata
uangnya- dollar Singapura- sangat kuat.
Sekuat mata uang raksasan dunia internasional. Mata uang Ringgit dari Malaysia
juga cukup disegani dunia internasional. Dan mata uang rupiah, maaf gimana ?
“Mata uang
Rupiah dipandang sebagai “Rubbish
Currency” atau mata uang sampah. Sebuah kotak donasi (kotak sumbangan) buat
UNICEF yang bersandar di dinding ruang tunggu di bandara Tullamarine- Melboune.
Penulis ingin menyelipkan uang kertas seratus ribu, namun seperi yang penulis
saksikan, hanya menerima mata uang Dollar, Yendaka dan Euro, dan tidak berlaku
buat rupiah. Air mata penulis rasa-rasa mau menetes saja.
TEntang jumlah
PNS yang membludak, setelah puluhan tahun, akhirnya pemerintah menyadari bahwa
jumlah PNS yang banyak dan tidak terkendalikan adalah biang kerok yang ikut
mengambrukan perekonomian negara. Fenomena di lapangan adalah bahwa banyak PNS
yang tidak bekerja dan mereka PNS yang tidak punya pekerjaan tetap makan gaji
buta.
Pemerintah
mengambil kebijakan. Sekarang pintu buat menjadi PNS sudah tertutup cukup kecil dan malah ditutup rapat. Anak
anak muda cukup banyak yang terlanjur kuliah dengan impian ingin menjadi “Abdi
Negara” atau PNS. Calon guru dan calon petugas kesehatan yang jumahnya melimpah
ruah menjadi bengong dan separoh frustasi- mungkin juga frustasi. Bengong
menganggur maka mereka ikhlas menjadi tenaga honorer atau pegagai kontrak
dengan bayaran Rp. 800 ribu per-bulan. Saat ini nilai rupiah anjlok. Honor Rp.
800 ribu hanya cukup untuk menghidupi diri buat satu minggu.
Beberapa anak
muda- mahasiswa- yang berada di universitas, terutama dari universitas favorit,
berseru bahwa mereka tidak tertarik menjadi PNS dan mereka bakal menjadi “Entrepreur atau Penguasa”. Bagaimana
bisa menjadi PNS, karena keran PNS juga sudah amat kecil.
Ah menjadi
seorang Entrepreneur ternyata tidak
semudah membalik telapak tangan. Malah kursus-seminar, workshop dan training
motivasi yang mereka ikuti selama kuliah tidak mebawa hasil. Karena pada umunya
mereka tidak punya background
entrepreneur dan mereka umumnya
berasal dari rumah tangga yang orang tuanya adalah PNS, atau pegawai
kecil lainnya. Mereka juga mendapat dogmatis bahwa “Enak lho jadi PNS, masa
depan cerah !!!”.
Pintu PNS sudah
amat kecil dan sementara itu mereka miskin dengan pengalaman berwirausaha. Ya
apalagi pengalaman wirausaha nyaris di bangku SLTA tidak ada. Kecuali bagi yang
dulu belajar di SMK. Mereka diberi pengalaman dan mata pelajaran tentang
vokasional dan wirausaha. Namun itupun juga tidak mantap, akhirnya mereka jadi
linglung juga.
Bukankah bahwa
mayoritas lulusan SLTA adalah dari jenjang SMA dan Madrasah, dengan arti kata
miskin dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha. Ada sekitar 15.000 sekolah SMA
dan Madrasah di Indonesia dan lulusan mereka tiap tahun adalah lebih dari
setengah juta orang. Sebagai catatan bahwa mereka semua buta dengan pengalaman
wirausaha dan juga sekolah tidak memberi pengalaman buat berdikari. Dapat
disimpulkan bahwa mereka adalah sebagai angkatan muda penyumbang angka
pengangguran.
“Meski mereka
terus kuliah ke perguruan tinggi, mereka diperkirakan lulus menjadi sarajana
bermental buruh, karena pengalaman berwirausaha di perguruan tinggi juga tidak
memberi pengaruh atau kesan yang kuat buat mereka”.
Kualitas Indek
SDM manusia Indonesia sangat rendah, malah jauh lebih rendah dari negara
tetangga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Australia. Kualitas
pendidikan yang rendah dan pengangguran terdidik harus mendapat perhatian dari
masyarakat, lembaga pendidikan sejak di tingkat SLTP hingga perguruan tinggi.
Juga sudah
saatnya pemerintah kita mengubah proposi, perimbangan, antara SMA dan SMK.
Negara kita perlu meniru kebijakan pendidikan di negara maju, misalnya negara
Jerman, yang mana jumlah sekolah SMK lebih banyak dari pada jumlah SMA. Sekolah
SMK tentu saja siswanya dibekali dengan ilmu dan pengalaman berwirausaha,
sementara di SMA yang siswanya hanya disuguhi teori, dan mungkin hampa dengan
pengalaman berwirausaha hingga diperkirakan kelak mereka bila telah menjadi
sarjana bakal jadi sarjana yang bermental pegawai bawahan, atau kalau kalah
bersaing sebagai job seeker akan
menjadi pengangguran.
Nggak apa-apa
buat sementara, karena di SMA siswa juga bisa diberi pengalaman berwirausaha.
Seperti yang dilakukan oleh stake-holder
di negara Jerman. Di Sekolah Menengah (Secondary School) di Jerman yang namanya
adalah “Gymnasium, High School dan Sekolah Internasional”. Untuk di Indonesia
sama dengan sekolah SMA, MAN dan SMK. Mereka pada bersemangat memberikan lomba entrepreurship (kewirausahaan). Judul
perlombaanya adalah “Entrepreur of
Tomorrow”. Para pelajar berlomba dalam menyiapkan “business plans on business modeling they develop themselves”.
Para pemenang
lomba kemudian diberi dukungan oleh Frankfurt
School of Finance and Management. Lembaga ini memberi fasilitas dan bantuan
tekhnik secara gratis. Para pemenang lomba juga akan memperoleh mentor yang punya pengalaman dalam
bidang bisnis.
Pengalaman
wirausaha harus dimantapkan sejak usia dini. Sebagai catatan bahwa bagi sekolah
SMK juga perlu mendatangkan tokoh wirausaha untuk memberi motivasi wirausaha
bagi siswa-siswi mereka. Meski di SMK ada mata pelajaran wirausaha, namun para
gurunya tentu tidak memiliki naluri berbisnis, kecuali hanya sekedar memompakan
teori wirausaha yang mungkin kurang membekas pada fikiran siswa.
Mengingat angka
pengangguran lulusan perguruan tinggi selalu meningkat, maka Pemerintah kita
juga perlu belajar pada kebijakan pendidikan di negara maju yaitu tentang pentingnya
memberikan pengalaman wirausaha sejak dini. Pendidikan Eropa, sebagai contoh,
sangat giat memperkenalkan pendidikan wirausaha pada semua sekolah dini.
Di Belanda
istilah wirausaha adalah “ondernemer”
dan istilah di Jerman adalah “unternehmer”.
Entrepeneur sudah diperkenalkan sejak dari bangku SMP hingga perguruan tinggi
sejak tahun 1950-an. Sementara di negara kita kewirausahaan baru jadi fenomena,
diperkenalkan, di perguruan tinggi, ya sejak perguruan tnggi gagal menghasilkan
sarjana. Pada hal seorang sarjana sudah bangga
sebagai agent of social change
, ternyata hanya sebagai penggangguran
terdidik yang miskin nyalinya. Pengangguran begini bertambah dalam jumlah
ribuan orang tiap tahun.
Sebagai penutup
bahwa idealnya kewirausaan ini juga mutlak harus diberikan sejak bangku SMP,
karena pengalaman berwirausaha di masa kecil, lebih banyak bekasnya dari pada
diberikan hanya setelah dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them