Tidak Memaksa, Namun Mendorong Anak Dalam Belajar
Judul artikel
ini adalah “Tidak perlu memaksa anak namun mendorongnya dalam belajar” apalagi
sampai memaksa anak untuk menguasai semua bidang studi”. Tentu saja tulisan ini
terinspirasi karena melihat fenomena ambisi orang tua menginginkan anak menjadi
“super boy dan super girl”.
Anak yang super
dalam pandangan sebahagian orang tua adalah yang jago dengan urusan akademik.
Maka mereka memaksa anak agar bisa bersekolah di tempat yang bermutu, mengikuti
PBM dengan baik dan melahap semua mata pelajaran, terutama mata pelajaran yang
menjadi acuan dalam Ujian Nasional, atau acuan untuk ujian menuju perguruan
tinggi. Alhasil anak dimotivasi, kapan perlu dipaksa untuk ikut les dan bimbel
agar kelak bisa memperoleh skor setinggi mungkin. Namun berpijak pada itu
apakah orang tua memahami tujuan pendidikan negara kita ini ?
Pada intinya
pendidikan itu bertujuan untuk membentuk generasi beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Kalau begini tujuannya tentu orang tua juga harus memberi
model bagai mana anak-anak musti berbuat dan bersikap untuk menjadi orang yang memahami
unsur spiritual dan sosial. Namun dalam kehidupan bahwa kita terlalu menekankan
pada unsure intelektual saja. Jadinya anak yang jago dengan urusan akademik
dianggap sangat hebat. Skor dari hasil ujian semua mata pelajaran ini sebagai
tolak ukur keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti anak.
Kalau ada
seseorang anak mampu memperoleh skor ujian 80 atau 90 maka dia bisa dianggap
sukses meskipun dalam kehidupan sehari-hari kurang peduli dengan sesama dan
juga kurang peduli terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang anak dalam
membantu orang tua. Sungguh makin sempit tujuan pendidikan anak anak di mata
masyarakat dewasa ini. Hanya berlomba memacu kehebatan kognitif semata.
Pada hal dalam upaya meningkatkan
kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu
pendidikan bukan dalam arti yang sempit- tidak hanya sebatas jago mengejar skor
bidang studi semata-mata. Indra Djati Sidi (2001) mengatakan bahwa berangkat
dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO
(United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization)
mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan,
yakni:
a) Learning to think, yang berguna untuk membentuk creative thinking.
b) Learning to do, berguna buat
problem solving.
c) Learning to be, yang mana berguna
bagi dirinya sendiri agar bisa mandiri.
d) Learning to live together.
Dimana keempat pilar pendidikan tersebut
menggabungkan tujuan-tujuan IQ (inteligent quotient), EQ (emotional quotient)
dan SQ (spiritual quotient). Dalam era globalisasi ditandai oleh nilai
kompetisi, efisiensi, transparansi, profesionalisme dan kualitas yang tinggi. Untuk
itu para guru harus memiliki profesionalisme, kompetensi, mampuberkomunikasi
dan berkualitas agar mampu membentuk anak didik yang matang intelektualnya,
emosional, moral dan spiritualnya.
Tiap tahun PBB
mengukur tingkat kualitas hidup bangsa-bangsa di dunia yang diberi istilah
dengan “human development index” dan
indikator mengukurnya adalah berdasarkan “indeks harapan hidup, indeks
pendidikan dan indeks pendapatan”. Jadi kualitas manusia di dunia disorot
melalui bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Jadinya peringkat indeks SDM
Indonesia untuk level dunia sangat tidak membahagiakan.
Bagaimana
peringkat SDM negara kita di dunia Kita bisa melihat melihat perkembangan SDM
setiap negara melalui situs “World Competitiveness Year Book” sejak tahun 1997 – 2007. Menurut hasil survei World Competitiveness Year
Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan
sebagai berikut:
- Pada tahun
1997, Indonesia berada di urutan 39 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun
1999, Indonesia berada pada urutan 46 (dari 47 negara yang disurvei).
- Tahun 2002,
Indonesia berada pada urutan 47 (dari 49 negara yang disurvei).
- Pada tahun
2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil
penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun
2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara
yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih
baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan
62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan,
umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana
dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of
Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi
Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia
Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan
literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita
belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna
untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar
sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala
sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk
menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak
maka perhatian untuk membetulkan unsur akhlak atau afektif/ sikap dan
keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per
hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar
skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa
semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif,
afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif
(termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di
sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program
ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor
yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup
membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya
memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat penulis ikut antri menunggu
anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, penulis sering mendengar
orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi
dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa
jadi juara kelas.
Hal yang kontra
sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara,
namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah
kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata
itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh
guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang
mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata
kelas.
Kita perlu
mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok
target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian
sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak sudah
menjadi stress duluan. Penulis sering melihat anak yang menjadi down dan menangis saat ia tidak jadi
juara atau nilai ujiannya jelek dan penulis berusaha untuk menenangkannya:
“Tidak perlu
down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada
dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai
yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang
guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah,
tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua
berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua
yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri.
Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk
memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada
program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun
sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan
otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius
orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan
melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Dalam fenomena
yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat
pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasis keseimbangan antara
dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan
kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan
oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan
sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika penulis
bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah
berlabel unggul (?). Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi
anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah
di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit
dengan pengalaman sukses yang amat minim, maka biarlah dia belajar di sekolah
biasa-biasa saja namun bisa kepala seekor semut- mejadi orang yang berarti dan
memperoleh pengalaman sukses di sana.
Dia menambahkan
bahwa pada sekolah tertentu yang membuat program keunggulan otak semata,
kurikulum sekolah tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan
ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan
nilai minimal 80 pada masing-masing mata pelajaran, yakni pada mata pelajaran
Ujian Nasional. Sehingga semua anak terlihat pontang panting dalam belajar, di
sekolah belajar dan sore belajar lagi dalam keadaan capek, malam hari diguyur
lagi dengan seabrek PR sehingga mereka kehilangan hari-hari yang indah untuk
bersosialisasi dan berinovasi.
Ini adalah
sebuah kekeliruan dan kekacauan karena tidak semua anak bisa menyukai semua
mata pelajaran. Karena ada anak yang kuat pada verbal, numeracy atau kinestetik. Anak yang tertarik dengan verbal tentu akan kehabisan nafas dalam
menguasai mata pelajaran hitung-hitungan. Anak yang tertarik dengan kinestetik
atau psikomotorik akan merasa terpenjaran dalam memenuhi target mata pelajaran
“maha penting” yang tidak ia minati. Lucunya lagi bahwa siswa yang sempat
menjadi atlit olah raga gara-gara terpaksa ikut bimbel menjadi lupa cara
berlari dan cara menendang bola.
Beginilah
jadinya anak-anak yang belajar hanya gara gara untuk memenuhi ambisi orang tua
telah kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak
bisa lagi hidup sesuai dengan bakat alaminya yang seharusnya bisa tumbuh.
Jadinya anak yang menonjol sebagai orator, ulama, budayawan, ahli musik,
atletik/olah ragawan, sastrawan tidak begitu menonjol karena potensi untuk
menumbuhkan mereka tidak lagi proporsional.
Sekali lagi,
sesuai dengan judul artikel ini “tidak perlu memaksa anak untuk menguasai semua
bidang studi karena bisa memicu anak jadi stress dan kehilangan kreatifitas”.
Anak dari orang tua yang sempat penulis berbincang dengannya, hanya bersekolah
pada sekolah biasa-biasa saja. Bukan sekolah unggulan itu tidak bagus namun
tidak sesuai dengan konsep anaknya. Pada sekolah yang biasa, anaknya bisa
memilih dua atau tiga mata pelajaran yang dia tekuni dan tidak merasa terbebani
oleh ambisi orang tua untuk mengejar skor yang tinggi buat mata pelajaran yang
lain.
Kebetulan
anaknya tertarik dengan agama, olah raga dan bahasa asing. Jadinya anaknya bisa
mengasah tiga kemampuan ini. Sekarang anaknya memiliki tubuh yang atletis,
mampu berkomunikasi dan selalu mengenal tempat ibadah. Tamat dari SMA anaknya
sudah tahu kemana menyambung dan bagaimana kelak karirnya setelah dewasa.
Seperti
dikatakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan bahwa nilai yang tinggi hanya
berguna untuk syarat kelulusan sementara untuk mencari kehidupan lebih banyak
dipengaruhi oleh nilai leadership dan
enterpreurship (kepemimpinan dan
wirausaha). Selain itu kita dan anak kita juga perlu memupuk nilai-nilai yang
lain seperti: religious, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/
komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggung-jawab.
Fenomena dunia
pendidikan kita bahwa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya
menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para
lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang
digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya,
jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan,
betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa
kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau
menjelaskannya.
Ini terjadi
karena siswa kita miskin dari pengalaman sosial, pengalaman yang berhubungan
denga afektif dan psikomotorik, gara- gara banyak dikurung oleh urusan kognitif
semata. Sistem belajar yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar
dalam arti sesunguhnya. Sekali lagi bahwa setiap siswa dikondisikan untuk
berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah
si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya.
Terlihat jelas dalam
kehidupan bahwa nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah
tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan
lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah
memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses
dikehidupan nyata. Nilai yang diperoleh siswa pada rapor hanyalah representasi
dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan “subjektifitas” guru yang
memberi nilai tersebut terhadap siswanya.
Artikel ini memberi
penekanan pada orang tua agar tidak memaksakan ambisiusnya terhadap anak untuk
memperoleh nilai tertinggi pada semua mata pelajaran, karena berdampak membuat
anak jadi sangat lelah. Namun orang tua harus selalu mendorongan agar anak-anak
mereka selalu melakukan proses belajar yang berimbang antara akademik dan non
akademik dalam bentuk “learning to think, learning to do, learning to be dan learning to
live together”.Yakni suatu proses belajar yang sangat harmonis hingga akhirnya kita
mampu mendapatkan generasi yang mandiri,
memiliki creative thinking, dan tahu dengan problem solving, sehingga keberadaanya
signifikan bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them