Mahasiswa, Jangan Doyan
Main Game Ala Anak SD Lagi !!!
Bahwa
bermain itulah adalah kegemaran seseorang dari usia balita hingga dewasa, malah
ada hingga usia tua. Dalam sebuah teori tentang kebutuhan bermain, yang
diungkapkan oleh Jean Piaget. Bermain adalah bagian dari kehidupan anak. Anak
menghabiskan sangat banyak waktu buat bermain, lewat bermain anak akan
memperoleh pengalaman dan pelajaran, hingga muncullah teori “learning by doing dan learning by playing”.
Seiring
dengan pertambahan usia maka, anak perlu diperkenalkan rasa tanggung jawab.
Anak perlu dilibatkan dalam beraktivitas- melakukan kegiatan di rumah seperti:
mencuci piring, menyapu rumah, melipat kain, menstrika pakaian, hingga membantu
membersihkan motor ayah. Tentu saja orang tua musti mengerti dengan parenting- yaitu ilmu tentang menjadi
orang tua yang baik- yang bisa menerapkannya buat mendidik keluarganya. Maka
insyaallah keluarga mereka akan tumbuh menjadi keluarga yang cerdas dan
bertanggung jawab.
Bermain
juga menjadi kebutuhan remaja dan orang dewasa, karena bermain berguna buat
memberikan rasa rileks dan mengusir ketegangan atau stress pada fikiran. Kalau
seorang balita perlu waktu bermain selama10 jam perhari, maka dengan
meningkatnya umur, kebutuhan bermainnya seharusnya berkurang menjadi 9 jam, 8
jam, 7 jam, dan seterusnya hingga menjadi 2 jam per-hari. Sebagai pengganti
dari kelebihan waktu tersebut akan berguna untuk kegiatan belajar, melakukan
hobby dan juga kegiatan lain di rumah lainnya.
Proses
pengurangan jam bermain dari jumlah waktu yang banyak hingga hanya 2 jam per
hari, tentu tidak datang dengan sendirian. Pola menghargai waktu yang seimbang
antara bermain dan belajar atau bekerja, sesuai dengan porsi usia perlu
dorongan dari orang tua. Jadinya setiap anak perlu memiliki agenda kegiatan-
yaitu daftar beraktivitas di rumah. Dalam agenda kegiatan akan ada waktu buat
sholat, membaca al-Quran, membuat PR, istirahat, membaca buku, hingga membantu
orang tua. Tentu saja anak yang mampu melakukan aktivitas berdasarkan agenda
kehidupan yang dirancang, bakal meraih sukses dalam hidupnya.
Apa
dan bagaimana fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa sekarang cukup banyak
remaja- siswa SLTA hingga mahasiswa- yang kurang memahami pola dan kebutuhan
bermain. Berapa jam mereka harus bermain dan bagaimana pola permainan yang
seharusnya mereka adopsi kurang mereka kenal.
Yang
membedakan siswa dan mahasiswa adalah karena ada kata “maha”, yang berarti “sangat; amat; teramat”. Sederhananya kita dapat mengartikan
mahasiswa adalah seorang murid yang "besar". Ya benar, Seorang murid
yang "besar", dengan kata besar dalam tanda kutip, yang memiliki
banyak arti yang kompleks terkait dengan kata sebelumnya. Yaitu
seorang mahasiswa harus lebih cerdas, lebih berkualitas dari seorang
siswa.
Pemahaman
bahwa seorang mahasiswa adalah “seorang siswa yang amat dewasa, amat cerdas dan
amat dikagumi” sempat tergores dalam memory penulis sewaktu masih duduk di
bangku SD. Hingga tahun 1980-an atau di awal tahun 1990-an. Saat itu belum
begitu banyak orang yang tamatan SLTA melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Juga di saat itu perguruan tinggi jumlahnya masih sedikit, dan hanya ada di ibu
kota propinsi. Seorang mahasiswa yang pulang kampung akan didengar semua
ucapannya dan akan menjadi suri-teladan (model kehidupan) segala tindak tanduknya. Dan bila ia mau
kembali ke kota tempat ia menuntut ilmu maka ia akan dilepas beramai-ramai oleh
tetangga dan terutama kaum kerabatnya.
Citra
tentang seorang mahasiswa adalah siswa besar yang sangat hebat semakin terpatri
dalam fikiran, dan semakin penulis pahami saat membaca buku sejarah. Apalagi
saat menatap foto tokoh intelektual, misal Muhammad Hatta (wakil Presiden
pertama RI) yang menuntut ilmu di negeri Belanda, ia tekun membaca ilmu
pengetahuan dan juga aktif berorganisasi buat memperjuangkan kemerdekaan tanah
air.
Juga tentang citra seorang mahasiswa,
sebagai orang yang hebat membuat penulis kagum saat melihat foto Bung Karno
menuntut ilmu, berlatih berpidato, membaca buku tebal-tebal, ikut
berorganisasi, dan jago bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Penulis telah
membacabuku biografinya, ditulis oleh Cindy Adam: Soekarno as retold to Cindy Adam.
Penulis
kagum bahwa mahasiswa itu adalah orang yang hebat. Menjadi mahasiswa di Pulau
Jawa terasa lebih dahsyat lagi. Sewaktu penulis masih kecil, kami merasakan
bahwa seseorang yang mampu kuliah di Pulau Jawa terasa hebat, karena perjalanan
ke sana sulit dan mahal. Apalagi saat itu beasiswa dan bidik misi belum ada
lagi. Mencari kesempatan untuk bisa kuliah butuh perjuang hingga bersimbah
keringat fikiran. Ya penulis merasakan bahwa rata-rata anak-anak Sumatra dan
juga dari Pulau lain yang kuliah di sana bisa berhasil setelah bersimbah
keringat dan air mata- maksudnya melalui liku-liku kehidupan.
Sebagaimana
dikatakan oleh Torsten Husen (1995) bahwa tanggung jawab belajar ada pada siswa
dan mahasiswa. Guru dan dosen hanya berfungsi sebagai animator (penggerak) dan
menyediakan kesempatan untuk belajar. Dan belajar harus dimulai sejak dari
lahir hingga seterusnya. Hanya masyarakat yang bekerjalah yang mampu membina
remaja/ anak-anak untuk bekerja keras dan tekun.
Zaman
berganti, dan itulah kenyataannya bahwa, arti kata “mahasiswa” juga mengalami
pergeseran. Di era reformasi mahasiswa
diidentikan sebagai seorang pembuat onar yang hampir setiap hari muncul dalam
media cetak maupun media elektronik, meskipun tidak semua mahasiswa
"berperilaku" demikian, banyak juga mahasiswa yang mampu berprestasi
dalam bidang akademik dan non akademik, hanya saja intensitas terekspose oleh
media yang kurang berimbang dan pencitraan masyarakat lah, yang sebenarnya
memberikan sebuah identitas kepada mahasiswa.
Namun
arti atau makna kata “mahasiswa” tidak lagi sedahsyat mahasiswa di zaman- zaman
dulu. Mahasiswa sekarang, ya kadang- kadang ibarat siswa SMA saja. Pintarnya
hanya sebatas berkisah betapa indahnya gedung kampus mereka. Kalau mereka
berasal dari perguruan tinggi favorit maka mereka sebatas bangga memakai jaket
dari kampus mereka, yang mana jaket itu sendiri amat jarang mereka pakai kalau
di kampus sendiri.
Makna
kata kehebatan mahasiswa semakin merosot saat mereka tidak memantulkan fikiran
yang intelektual- miskin dalam hal inspirasi dan tidak mampu memotivasi
adik-adiknya. Bagaimana seorang mahasiswa yang sempat dijuluki sebagai “social agent changing- agen buat
perubahan” kalau mereka sendiri memilki ilmu yang minim atau ilmu pengetahuan
yang pas-pasan. Tidak mampu berkomunikasi dan tidak mampu melakukan
improvisasi- atau peningkatan. Jadinya mereka adalah mahasiswa yang serba
nanggung: akademik, dan pengetahuan nanggung, dan leadership serta enterpreneur
juga nggak kenal. Inilah wajah sebagian mahasiswa kita.
Dewasa
ini, menurut subjektif penulis, cukup banyak mahasiswa yang tidak punya budaya
buat membaca dan juga tidak terbiasa bertukar fikiran yang terfokus. Kalau
membaca, hanya sebatas membaca halaman demi halaman yang ditugaskan oleh sang
Dosen. Karena proses ujian tergantung pada kisi-kisi dan standar kompetensi.
Maka itulah yang mereka baca dan hafal sesering mungkin, kisi-kisi dan
indikator itu pulalah yang ditanya pada ujian mid semester dan ujian semester
hingga nilai mereka bisa bertaburan nilai “A”. Namun IPK yang tinggi tidak
berarti apa apa sepanjang itu hanya sebatas lipstick picisan saja.
Bagaimana
hakikat dan kualitas mahasiswa sekarang ? Kerutan di dahi karena mencari
jawaban makin lama. Apakah mahasiswa itu adalah siswa yang hebat ? Bagaimana
kalau mahasiswa itu tidak punya pola kehidupan, kerjanya kupu-kupu saja
(kupu-kupu atau kuliah pulang- kuliah pulang). Kalau di kampus sebatas
memamerkan gadget dan membalas-balas chatting ringan lewat BBM, Facebook dan
Twitter. Atau waktu-waktu berharga banyak habis buat bercengkrama dengan suara
manja kayak anak SD atau tiap sebentar selfie buat diupload pada instagram.
Apakah
mahasiswa kayak begini masih bisa menyandang status agent of social changing kalau mereka bengong untuk beraktivitas-
hingga di rumah atau dikosan hanya membuang buang waktu dalam bentuk
menghempaskan domino, main futsal berkepanjangan, juga cukup banyak yang main game on-line.
Penulis
tidak begitu bangga dengan mahasiswa kalau dia sendiri tidak terbiasa membaca
dan lebih parah lagi penulis sering bertanya-tanya apa sih bedanya antara
seorang mahasiswa dengan seorang murid kelas dua SD yang ternyata sama-sama
suka mengkonsumsi game on-line ?
Itulah
kenyataanya bahwa gara-gara cukup banyak mahasiswa yang tidak mengenal tentang
pola-pola cara belajar efektif dan pemanfaatan waktu maka gaya hidup mereka
sudah sama saja dengan siswa yang lebih rendah dari mereka. Malah, sebagaimana
yang kita ungkapkan, bahwa bentuk permainannya juga mirip dengan permainan
anak-anak SD yang masih ingusan.
“Wahai
para mahasiswa, mohon jangan doyan bermain game on-line lagi, karena game
on-line adalah konsumsi buat anak SD bukan buat anda lagi sebagai calon kaum
intelektual !!!”
Nggak percaya dengan kenyataan ini dan mau buktiin ? Tengoklah box-box internet yang betebaran di
seputar kampus, terutama di perguruan tinggi pinggiran, mereka menghabiskan
waktu buat mengakses game on-line.
Atau kalau lagi punya laptop dan tablet, maka mereka terpaku dengan game buat
merebut skor-skor buat mengantarkan mereka ke dalam khayalan infantile-
khayalan kekanak- kanakan dunia maya. Prilaku begini harus diputus sedini
mungkin. Apa gunanya negara kita yang luas ini, meluluskan ribuan mahasiswa
yang ternyata berkulitas rendah.
Anak-anak
kita, para siswa dan mahasiswaperlu banyak membaca. Mereka harus memiliki buku
bacaan, buku motivasi dan majalah/koran. Ini semua pekerjaan rumah bagi kita.
Kini para pemikir pendidikan, guru, kepala sekolah, orang tua dan pemerintah
perlu lagi memikirkan untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan.
Cobalah buka mata, hati dan telinga,
bahwa cukup banyak siswa SD yang tidak punya majalah anak-anak lagi, mereka
tidak lagi membaca buku buku sang tokoh kehidupan. Karena pustaka sekolah
sering terkunci, buku buku berdebu dan koleksi buku tidak memadai. Kita lebih
peduli mencat dinding sekolah, membuat gerbang semata.
Demikian
juga saat di bangku SLTP dan SLTA, siswa kita tidak mengenal tokoh kehidupan
dari membaca dan kerja mereka hanya sebatas bimbel dan bimbel dan berlomba
memburu skor tinggi buat membanggakan sekolah dan orang tua, meski dibalik skor
yang tinggi tidak begitu banyak kegiatan yang mereka lakukan. Ada baiknnya
siswa kita sejak dibangku SLTP dan SLTA diperkenalkan konsep wirausaha dan enterpreneur.
Dewasa
ini di perguruan tinggi ternyata nilai akademik yang tinggi hanya berguna
sekedar untuk kelulusan kuliah saja. Sementara kesuksesan dalam dunia kerja
lebih banyak ditentukan oleh pengalaman leadership
dan entrepreneurship mereka semata.
Para siswa yang banyak bersentuhan dengan kisah-kisah bagaimana jadi guru, jadi
dokter, jadi perawat, jadi insinyur, kerja di bank, hanya melahirkan generasi
yang tetap bermimpi ingin jadi PNS atau menjadi anak buah semata, dan ini tidak
salah.
Namun lebih dahsyat apabila
ekskul sekolah mendatangkan (mengundang)
para tokoh enterpreneur dan juga tokoh leadership
dari kehidupan nyata. Mari kita rancang kegiatan buat mempertajam leadership dan entrepreneur mereka sejak usia dini. Kita beri mereka pengalaman
berharga sejak usia dini, karena pengalaman di usia muda akan bersifat long-lasting atau teringat sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them