Menjadi Orang Yang Berfikiran
Realita, Bukan Pemimpi
Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel
unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang
pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan.
Meskipun negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika, ia selalu
menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering
mengadopsi program sekolah Amerika.
Gaya pendidikan atau pembelajaran
kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru
masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak
melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau
prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam
suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur
oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang
membudayakan “suka melarang”.
Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau
terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif.
Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang
maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti
kita berkarakter ke-barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict
magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan
pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan
internasional. Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk
menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang
dianut oleh pusat belajar ini adalah:
“Let them talk, let them lead, let them
learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in
the break time- let them eat”.
Dari semua frase
tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Yaitu biarkan
mereka ngobrol, biarkan mereka saling membimbing, biarkan mereka aktif belajar,
biarkan mmereka bergabung dengan ekskul, biarkan mereka bermain, biarkan mereka
hidup, biarkan mereka menari saat senggang, dan biarkan mereka makan bersama. Ini
berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif
dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
Teman
penulis, Arjus Putra- guru Bahasa Inggris SMA Negeri 3 Batusangkar, Sumatera
Barat, pernah berkunjung ke sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang
berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield. Ia menceritakan tentang ciri-
ciri keunggulan sekolah Amerika Serikat ini, terutama dalam pembelajaran di sekolah, yaitu dalam bentuk adanya kebebasan dalam
berekspresi atau let them talk.
Di negara-
negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan
dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung
terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher
centered. Dalam event-event sekolah anak didik hanya pintar berekspresi
berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show”
dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun
kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work
antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga
eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work
kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan
menemani warga sekolah/ anak didik untuk
merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka
setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar
adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki
daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang
kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau
budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng
bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi
membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang.
Anak didik yang
telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka
bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu
pengetahuan adalah berkah yang bisa
datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika
bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi
juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka
segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf
teman saat saya belajar mohon jangan datang dulu”.
Sekolah SMA di
negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS
(Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa
sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan
bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan
learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini
pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua
jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau
jurusan fovarite seperti SMA- SMA yang
ada di negeri kita.
Mata pelajaran
pokok pada core class adalah matematika, ilmu sosial, bahasa Inggris,
bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari
mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra
dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari
seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan
sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang
yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated
(orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran
yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga
dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran
dalam juruan di SMA di negerim kita. Ya, ibarat tiga linggaran yang hampir tidak
bersinggungan.
”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang
bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata
pelajaran sains”
Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua
jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa.
Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant,
atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka sangat membanggakan jurusan IPA dan secara
tidak langsung jurusan sosial dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah
para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini
terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran
dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan
kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan
fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif,
appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat
karbitan atau guru-guru yang ilmunya tua
semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi
serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani.
”Tolong hapuskan papan tulis,
tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard
projector), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii
menyuruh siswa membelikan rokok”.
Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan
pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di
depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial
dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan.
Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed,
berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau
toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach,
yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka
tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari
kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah
juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam
satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan
penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain
agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah
unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka
megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin
bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan
ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi
dan mendukung spirit mereka.
Experience
is the best teacher- pengalaman adalah
guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok
olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan
ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau
menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan
kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester
dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra
kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik
film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina
dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak
anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur
mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan
pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal. Saat waktu senggang dari sekolah, mereka
tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai
berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup
seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam
melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung
jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang
dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka, adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3)
saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak
bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in
dan sign out, atau ada absent masuk
dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi
yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau
event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir
di masa depan. Maka bila ada pekan
raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting
untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan
olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global
travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara
lain. Tentu saja hal ini terasa
sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah
membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas
mengunjungi shopping center dan pusat
keramaian.
Terakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat
album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut
diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran realita dan bukan selalu
menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah
punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan
ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan
mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ?
dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang
diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t
know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi seorang pemimpi tapi berubah
menjadi orang yang berfikiran realita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them