Pornografi Masuk ke Sekolah Lewat Hand Phone dan Internet
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Kosakata “pornografi” bukanlah kosakata baru. Semua orang sudah mengetahuinya. Anak- anak pra-remaja dan remaja pun sudah mengerti dengan maksud kata pornografi itu. sekarang kosa kata pornografi sudah melebar dan kita juga mendengar kosa kata “pornoaksi”.
Sampai detik ini orang tua di rumah dan guru di sekolah tetap menganggap tabu dengan perkataan dan perbuatan porno. Mereka tetap melarang keberadaan unsur- unsur pornografi dan pornoaksi mendekati anak- anak dan pelajar. Orangtua akan merasa tercoreng mukanya kalau salah satu anggota keluarga terlibat dalam budaya atau dampak pornoaksi, seperti ada anak gadis nya yang menerima tamu laki- laki sambil memakai rok mini pada malam minggu. Atau anak laki- laki nya jalan berpegang tangan dengan gadis lain, dan sampai kepada pelanggaran norma yang lebih berat lainnya.
Dalam pendidikan di rumah tangga, orangtua selalu menekankan pemberian pesan moral dan hukuman pada anggota keluarga agar tidak melakukan unsur- unsur porno- pornoaksi dan pornografi, seperti membuka aurat, menyimpan benda- benda porno- buku porno, majalah porno, vcd porno, dan lain- lain. Rasa ingin tahu, ajakan teman dan pengaruh budaya luarlah yang membuat benda- benda porno menyusup masuk ke dalam rumah secara sembunyi- sembunyi. Benda- benda tersebut adalah seperti majalah, kaset dan dokumen porno yang disimpan serta dirahasiakan oleh anak- anak remaja.
Sangat disayangkan apabila ada orangtua dan orang dewasa dari pihak keluarga yang pura- pura tidak peduli untuk mencegah hadirnya benda- benda porno dalam rumah. Atas nama demokrasi dan keindahan seni kemudian sudi untuk menyimpan dan memamerkan benda- benda porno dalam keluarga.
Sekolah sejak dari dulu tetap commit untuk mengharamkan benda- benda dan unsur- unsur porno hadir dalam lingkungan sekolah. Dahulu, sebelum teknologi dan informasi tidak begitu berkembang, guru-guru sudah melakukan tindakan anti atau kontra terhadap benda- benda dan unsur- unsur pornografi. Secara berkala mereka melakukan razia anti pornografi. Kejahatan siswa dalam hal pornografi pada mulanya adalah seperti menyimpan stensilan- atau tulisan cerita cabul yang diketik dan diperbanyak pada kertas stensil, komik dan novel porno sampai kepada foto- foto porno yang mereka peroleh lewat pedagang koran asongan di terminal bus atau lewat teman dan juga kaset video BF.
Selain itu, siswa remaja yang karena ingin tahu, menyimpan produk pornografi dan alat- alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana) seperti kondom, spiral, dan lain- lain, apabila tertangkap tangan oleh guru- guru menyimpannya tentu akan diproses karena melanggar hukum sekolah. Proses hukumnya bisa melibatkan orangtua dan kalau perlu pihak sekolah memindahkan atau memulangkan siswa yang bersangkutan ke orangtuanya.
Kemudian apalagi ? Begitu kemajuan teknologi informasi semakin pesat maka bentuk atau eksistensi unsur-unsur porno menjadi semakin apik pula dan makin sulit dilacak. Film porno, foto porno, kaset video porno memang jarang lagi dikantongi remaja secara ilegal, karena produk ini sudah kadaluarsa. Maka sekarang produk kepingn vcd porno, dengan kulit berlabel film kartun agar bisa mengelabui pihak yang mencurigai, pada halnya isinya berisi adegan terlarang, secara terang- terangan mudah beredar dan dijual lewat pedagang kaki lima dan siswa yang dilanda gejolak birahi mudah mencarinya.
Hal lain, yang berhubungan dengan pornografi adalah bahwa sekarang orang tua perlu untuk melakukan cek dan ricek kalau ingin menitipkan anak pada sekolah yang berasrama, kecuali kalau kondisi kehidupan anak- anak di asrama cukup kondusif seperti tinggal di rumah sendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa kehidupan siswa yang kurang diawasi dan miskin aktivitas di asrama, maka penghuninya sering dilanda oleh gejolak dorongan libido. Pengalaman seksual yang kurang sehat mudah diperoleh oleh anak- anak yang tinggal di sana.
Siswa yang tinggal di asrama yang kurang terkontrol, dalam usia pubertas yang diiringi oleh dorongan libido yang tinggi, namun mereka kurang terlibat dalam aktivitas olah raga, seni dan kesibukan positif lain, maka siswa penghuni asrama mencari penyaluran libido secara intens. Maka kalau kondisi rumah lebih baik dan orang tua bisa mengembangkan potensial anak, maka mengapa harus mengirim anak ke sekolah dengan asrama yang tidak terjamin kualitas pendidikannya.
Sekarang semua orang tahu bahwa teknologi telekomunikasi semakin canggih, maka produk yang bernama hand-phone menjadi benda yang paling digemari oleh remaja. Kini banyak anak- anak atau remaja yang pintar merayu dan bermohon pada orangtua agar mereka dibelikan hand-phone. Pada mulanya hand-phone dirancang dengan fungsi untuk berkomunikasi. Namun kolaborasi ahli bisnis dan ahli teknologi menciptakan produk hand-phone menjadi semakin menarik, dilengkapi dengan aksesoris; camera, lagu, game, dan fiture yang lain. Maka kemudian fungsi memiliki hand-phone berubah, tidak lagi sebagai sarana berkomunikasi, namun berubah menjadi sarana untuk membentuk life style atau gaya hidup.
Sekarang hand-phone yang pas menurut selera siswa adalah kalau ada kamera, lagu, game dan aksesoris lain. Hand-phone yang seperti ini sangat layak dibawa dan dipamerkan di sekolah, namun kalau desain hand-phone terlalu sederhana maka mereka jadi malu dan ingin untuk menyimpannya dalam tong sampah.
Diam-diam guru di sekolah melihat gerak gerik dan prilaku yang mencurigakan atas prilaku siswa yang memiliki hand-phone berkamera ini. Mereka melakukan razia maka ditemukan sederetan film-film porno dan gambar porno yang mereka saling kirim lewat blue-tooth atau inframerah. Maka guru-guru dengan hati nuraninya sebagai pendidik menjadi amat sedih dan terluka. Ternyata orangtua bisa dikibuli oleh anak mereka sendiri. Segudang janji yang diikrarkan anak sebelum dibelikan hand-phone tidak terbukti.
Berbarengan dengan datangnya teknologi hand-phone maka datang pula teknologi internet. Sarana internet dirasakan amat penting untuk mengakses informasi dan sarana untuk berkomunikasi.
Perpustakaan merupakan tempat untuk mencari ilmu pengetahuan dan informasi. Tetapi sarana internet terasa jauh lebih menarik dari pada perpustakaan. Dan sekarang fenomena yang terjadi adalah kehadiran internet telah membuat perpustakaan menjadi sepi dan hanya layak sebagai gudang untuk menyimpan buku- buku. Akibatnya kini banyak perpustakaan yang menjadi sepi oleh pengunjung dan buku- bukunya sendiri mulai menguning dan dipenuhi debu.
Mengapa remaja pergi ke internet? Banyak remaja atau pelajar menjawab bahwa mereka pergi ke internet atau ke warnet (warung internet) untuk mencri ilmu dan informasi. Jawaban mereka 100 % sangat benar, namun kenapa warnet sengaja dirancang dengan bilik- bilik kecil dengan dinding agak tinggi, dari balik dinding bilik kecil tadi terdengar suara penuh curiga dan mata waspada.
Maka begitu mereka selesai mengakses internet lewat mesin yahoo, google dan mesin lain maka akan tersisa kosa kata mesum bahwa remaja- mulai yang bau kencur sampai kepada remaja usia hampir dewasa- baru saja mengkonsumsi gambar, film dan artikel jorok atau porno.
Dahulu ketika zamannya bioskop lagi menjamur, maka unsur- unsur seks lah yang membuat bioskop tersebut jadi ramai oleh pengunjung. Dan sekarang hal itu juga terjadi pada internet. Karena ada unsur- unsur seks, maka internet juga menjadi makin laku.
Namun sekarang bagamana lagi ? Di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru pasti mengharamkan unsur- unur seks atau pornografi menyentuh siswa. Namun di luar rumah dan luar sekolah, yaitu di warnet- wanet unsur- unsur seks dan pornografi begitu mudah diakses dan di download. Kini siapa yang patut mengawasi anak- anak dan remaja tidak ketagihan oleh unsur- unsur pornografi bila mereka berada di luar rumah dan sekolah ?.
Bila kejahatan seksual meningkat di tengah masyarakat, maka dapat diprediksi bahwa keberadaan warnet ikut berpartisipasi untuk menyuburkan budaya pornoaksi dan pornografi. Rangsangan- rangsangan pornografi lewat internet telah berpotensi untuk meningkatkan gelora libido mereka yang tidak terkontrol, pada akhirnya bermuara pada kejahatan seksual; incest, kehamilan di luar nikah, pengguguran kandungan, pelecehan seksual dan lain- lain. Orang tua dan guru tentu selalu menyerukan dan berpesan agar anak- anak mereka selalu ingat dengan ungkapan; say no to situs porno. Namun untuk pengawasan yang lebih kompeten di luar rumah dan sekolah tentu adalah tanggung jawab pemerintah dan pengelola internet itu sendiri.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)
Oleh : Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Kosakata “pornografi” bukanlah kosakata baru. Semua orang sudah mengetahuinya. Anak- anak pra-remaja dan remaja pun sudah mengerti dengan maksud kata pornografi itu. sekarang kosa kata pornografi sudah melebar dan kita juga mendengar kosa kata “pornoaksi”.
Sampai detik ini orang tua di rumah dan guru di sekolah tetap menganggap tabu dengan perkataan dan perbuatan porno. Mereka tetap melarang keberadaan unsur- unsur pornografi dan pornoaksi mendekati anak- anak dan pelajar. Orangtua akan merasa tercoreng mukanya kalau salah satu anggota keluarga terlibat dalam budaya atau dampak pornoaksi, seperti ada anak gadis nya yang menerima tamu laki- laki sambil memakai rok mini pada malam minggu. Atau anak laki- laki nya jalan berpegang tangan dengan gadis lain, dan sampai kepada pelanggaran norma yang lebih berat lainnya.
Dalam pendidikan di rumah tangga, orangtua selalu menekankan pemberian pesan moral dan hukuman pada anggota keluarga agar tidak melakukan unsur- unsur porno- pornoaksi dan pornografi, seperti membuka aurat, menyimpan benda- benda porno- buku porno, majalah porno, vcd porno, dan lain- lain. Rasa ingin tahu, ajakan teman dan pengaruh budaya luarlah yang membuat benda- benda porno menyusup masuk ke dalam rumah secara sembunyi- sembunyi. Benda- benda tersebut adalah seperti majalah, kaset dan dokumen porno yang disimpan serta dirahasiakan oleh anak- anak remaja.
Sangat disayangkan apabila ada orangtua dan orang dewasa dari pihak keluarga yang pura- pura tidak peduli untuk mencegah hadirnya benda- benda porno dalam rumah. Atas nama demokrasi dan keindahan seni kemudian sudi untuk menyimpan dan memamerkan benda- benda porno dalam keluarga.
Sekolah sejak dari dulu tetap commit untuk mengharamkan benda- benda dan unsur- unsur porno hadir dalam lingkungan sekolah. Dahulu, sebelum teknologi dan informasi tidak begitu berkembang, guru-guru sudah melakukan tindakan anti atau kontra terhadap benda- benda dan unsur- unsur pornografi. Secara berkala mereka melakukan razia anti pornografi. Kejahatan siswa dalam hal pornografi pada mulanya adalah seperti menyimpan stensilan- atau tulisan cerita cabul yang diketik dan diperbanyak pada kertas stensil, komik dan novel porno sampai kepada foto- foto porno yang mereka peroleh lewat pedagang koran asongan di terminal bus atau lewat teman dan juga kaset video BF.
Selain itu, siswa remaja yang karena ingin tahu, menyimpan produk pornografi dan alat- alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana) seperti kondom, spiral, dan lain- lain, apabila tertangkap tangan oleh guru- guru menyimpannya tentu akan diproses karena melanggar hukum sekolah. Proses hukumnya bisa melibatkan orangtua dan kalau perlu pihak sekolah memindahkan atau memulangkan siswa yang bersangkutan ke orangtuanya.
Kemudian apalagi ? Begitu kemajuan teknologi informasi semakin pesat maka bentuk atau eksistensi unsur-unsur porno menjadi semakin apik pula dan makin sulit dilacak. Film porno, foto porno, kaset video porno memang jarang lagi dikantongi remaja secara ilegal, karena produk ini sudah kadaluarsa. Maka sekarang produk kepingn vcd porno, dengan kulit berlabel film kartun agar bisa mengelabui pihak yang mencurigai, pada halnya isinya berisi adegan terlarang, secara terang- terangan mudah beredar dan dijual lewat pedagang kaki lima dan siswa yang dilanda gejolak birahi mudah mencarinya.
Hal lain, yang berhubungan dengan pornografi adalah bahwa sekarang orang tua perlu untuk melakukan cek dan ricek kalau ingin menitipkan anak pada sekolah yang berasrama, kecuali kalau kondisi kehidupan anak- anak di asrama cukup kondusif seperti tinggal di rumah sendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa kehidupan siswa yang kurang diawasi dan miskin aktivitas di asrama, maka penghuninya sering dilanda oleh gejolak dorongan libido. Pengalaman seksual yang kurang sehat mudah diperoleh oleh anak- anak yang tinggal di sana.
Siswa yang tinggal di asrama yang kurang terkontrol, dalam usia pubertas yang diiringi oleh dorongan libido yang tinggi, namun mereka kurang terlibat dalam aktivitas olah raga, seni dan kesibukan positif lain, maka siswa penghuni asrama mencari penyaluran libido secara intens. Maka kalau kondisi rumah lebih baik dan orang tua bisa mengembangkan potensial anak, maka mengapa harus mengirim anak ke sekolah dengan asrama yang tidak terjamin kualitas pendidikannya.
Sekarang semua orang tahu bahwa teknologi telekomunikasi semakin canggih, maka produk yang bernama hand-phone menjadi benda yang paling digemari oleh remaja. Kini banyak anak- anak atau remaja yang pintar merayu dan bermohon pada orangtua agar mereka dibelikan hand-phone. Pada mulanya hand-phone dirancang dengan fungsi untuk berkomunikasi. Namun kolaborasi ahli bisnis dan ahli teknologi menciptakan produk hand-phone menjadi semakin menarik, dilengkapi dengan aksesoris; camera, lagu, game, dan fiture yang lain. Maka kemudian fungsi memiliki hand-phone berubah, tidak lagi sebagai sarana berkomunikasi, namun berubah menjadi sarana untuk membentuk life style atau gaya hidup.
Sekarang hand-phone yang pas menurut selera siswa adalah kalau ada kamera, lagu, game dan aksesoris lain. Hand-phone yang seperti ini sangat layak dibawa dan dipamerkan di sekolah, namun kalau desain hand-phone terlalu sederhana maka mereka jadi malu dan ingin untuk menyimpannya dalam tong sampah.
Diam-diam guru di sekolah melihat gerak gerik dan prilaku yang mencurigakan atas prilaku siswa yang memiliki hand-phone berkamera ini. Mereka melakukan razia maka ditemukan sederetan film-film porno dan gambar porno yang mereka saling kirim lewat blue-tooth atau inframerah. Maka guru-guru dengan hati nuraninya sebagai pendidik menjadi amat sedih dan terluka. Ternyata orangtua bisa dikibuli oleh anak mereka sendiri. Segudang janji yang diikrarkan anak sebelum dibelikan hand-phone tidak terbukti.
Berbarengan dengan datangnya teknologi hand-phone maka datang pula teknologi internet. Sarana internet dirasakan amat penting untuk mengakses informasi dan sarana untuk berkomunikasi.
Perpustakaan merupakan tempat untuk mencari ilmu pengetahuan dan informasi. Tetapi sarana internet terasa jauh lebih menarik dari pada perpustakaan. Dan sekarang fenomena yang terjadi adalah kehadiran internet telah membuat perpustakaan menjadi sepi dan hanya layak sebagai gudang untuk menyimpan buku- buku. Akibatnya kini banyak perpustakaan yang menjadi sepi oleh pengunjung dan buku- bukunya sendiri mulai menguning dan dipenuhi debu.
Mengapa remaja pergi ke internet? Banyak remaja atau pelajar menjawab bahwa mereka pergi ke internet atau ke warnet (warung internet) untuk mencri ilmu dan informasi. Jawaban mereka 100 % sangat benar, namun kenapa warnet sengaja dirancang dengan bilik- bilik kecil dengan dinding agak tinggi, dari balik dinding bilik kecil tadi terdengar suara penuh curiga dan mata waspada.
Maka begitu mereka selesai mengakses internet lewat mesin yahoo, google dan mesin lain maka akan tersisa kosa kata mesum bahwa remaja- mulai yang bau kencur sampai kepada remaja usia hampir dewasa- baru saja mengkonsumsi gambar, film dan artikel jorok atau porno.
Dahulu ketika zamannya bioskop lagi menjamur, maka unsur- unsur seks lah yang membuat bioskop tersebut jadi ramai oleh pengunjung. Dan sekarang hal itu juga terjadi pada internet. Karena ada unsur- unsur seks, maka internet juga menjadi makin laku.
Namun sekarang bagamana lagi ? Di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru pasti mengharamkan unsur- unur seks atau pornografi menyentuh siswa. Namun di luar rumah dan luar sekolah, yaitu di warnet- wanet unsur- unsur seks dan pornografi begitu mudah diakses dan di download. Kini siapa yang patut mengawasi anak- anak dan remaja tidak ketagihan oleh unsur- unsur pornografi bila mereka berada di luar rumah dan sekolah ?.
Bila kejahatan seksual meningkat di tengah masyarakat, maka dapat diprediksi bahwa keberadaan warnet ikut berpartisipasi untuk menyuburkan budaya pornoaksi dan pornografi. Rangsangan- rangsangan pornografi lewat internet telah berpotensi untuk meningkatkan gelora libido mereka yang tidak terkontrol, pada akhirnya bermuara pada kejahatan seksual; incest, kehamilan di luar nikah, pengguguran kandungan, pelecehan seksual dan lain- lain. Orang tua dan guru tentu selalu menyerukan dan berpesan agar anak- anak mereka selalu ingat dengan ungkapan; say no to situs porno. Namun untuk pengawasan yang lebih kompeten di luar rumah dan sekolah tentu adalah tanggung jawab pemerintah dan pengelola internet itu sendiri.
(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)