”Rokok dalam Carano” atau “Sirih dalam Carano”
Oleh: Marjohan, M.Pd
Oleh: Marjohan, M.Pd
Hidup ini penuh dengan kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut dikemas dalam bentuk seremonial, mulai dari seremonial penuh kesedihan sampai kepada seremonial penuh glamour. Orang Minang mengatakan bahwa “kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahamburan- kabar baik diberitahukan dan kabar buruk berhamburan”.
Peristiwa kematian salah seorang anggota keluarga adalah termasuk kabar buruk, bad news, dan orang berhamburan datang dan berhamburan pula memberiitahunya. Sementara itu acara tentang resepsi pernikahan adalah berita paling baik, kabar baik atau good news. Kabar baik ini diberitahu terlebih dahulu dan orang-orang pun berdatangan.
Bisaanya sebelum menggelar acara resepsi perkawinan dan pernikahan, orang bisaanya menyebarkan undangan resmi untuk kaum kerabat dan handai tolan (teman dan kaum keluarga). Kemudian ada lagi bentuk undangan setengah-resmi atau informal, yaitu perwakilan keluarga calon mempelai mengutus seseorang datang kepada tetangga, famili dekat untuk memberi tahu bahwa akan digelar sebuah resepsi perkawinan. Saat mengundang atau memberi tahu, mereka menyuguhkan “sirih dalam carano”.
“Sirih dalam carano ?”. Namun fenomena yang ditemui bahwa sekarang undangan semi-resmi buat tetangga adalah dengan menyuguhkan “rokok dalam carano”. Barangkali pihak industri rokok pasti merasa senang karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk promosi atau iklan agar semakin banyak orang menjadi pencandu rokok. Memang ada kecendrungan perubahan dalam budaya dalam mengundang, menyuguhkan sirih dalam carano menjadi rokok dalam carano. Fenomena ini bisa sebagai pertanda bahwa suku bangsa kita melangkah menjadi suku bangsa perokok berat- heavy smoker.
“Konsumsi rokok indikator kemiskinan” adalah judul salah satu berita kesehatan dalam Harian Singgalang (29 Mei 2009). Berita ini mengatakan bahwa konsumsi rokok diyakini sebagai salah satu indikator kemiskinan masyarakat Indonesia selama ini. Akibat prilaku tersebut tidak hanya dapat mengurangi pendapatan belanja bulanan keluarga, hingga berujung pada kematian.
Setiap orang bisa menemui kesaksian tentang bagaimana tembakau (rokok) sudah menyusup ke dalam life style dalam budaya kita. Penghisap rokok atau pencandu rokok terlihat sangat banyak berkeliaran di kawasan pasar tradisionil dan terminal mobil. Seorang sopir angkot- angkutan kota- mungkin bisa memperoleh penghasilan harian sebanyak Rp. 50.000 dan memiliki dua atau tiga orang anak. Tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya penghasilan pada umumnya telah membuat anak-anak mereka putus sekolah. Alasan klasik mereka adalah karena tidak memiliki biaya buat sekolah anak.
Namun kalau kita telusuri ternyata cara penggunaan uang mereka cukup aneh. Sang sopir mampu memanjakan pabrik rokok karena ia membakar uang atau membeli rokok Rp. 20.000 per-hari untuk membeli tiga bungkus rokok tiap hari, karena mulutnya tak henti-henti mengepulkan asap rokok. Sementara ia memberi istri uang belanja lauk pauk Rp. 25.000 per-hari. Sekali lagi bahwa ini adalah fenomena umum yang sering ditemui diantara masyarakat kita yang tergolong miskin- miskin ekonomi dan miskin pendidikan.
Fenomena lain adalah bahwa tembakau sudah menyusup ke dalam relung kehidupan kita. Seperti yang dinyatakan di atas bahwa “rokok dalam carano telah menggantikan peran sirih dalam carano”. Dalam acara batagak penghulu, batagak kudo-kudo rumah, upacara turun mandi atau aqikah bayi, acara meminang calon menantu, atau acara kenduri yang lain maka rokok dengan berbagai merek, entah sejak kapan, wajib hadir untuk memanjakan selera pengunjung. Maka bergegaslah undangan dari kaum laki-laki dengan gaya berbasa basi untuk menghisap rokok dan berlomba untuk mengepulkan asap yang penuh dengan racun dan bakteri ke udara ruangan yang masih bersih.
Tidak jarang kemudian topik pembicaraan beralih dari pokok acara menjadi ajang diskusi tentang bagaimana hebatnya mereka dalam melahap asap rokok:
“Kalau ambo, sutan, paralu dalam saku ado satangah bungkuih rokok tiok ari, ka ganti kawan dalam bajalan- bagi saya, Sultan, perlu ada setengah bungkus rokok dalam kantong tiap hari sebagai teman dalam perjalanan”, kata seorang tamu.
“ Kalau ambo, minantu tau jo salero ambo, nyo kirim tigo pak rokok tiok minggu- kalau saya, menantu mengerti dengan selera saya, dia menghadiahkan tiga pak rokok setiap minggu”, kata teman yang lain.
Sekali lagi bahwa merokok sudah meresap ke dalam relung kehidupan bangsa kita. Iklan-iklan kesehatan tentang rokok yang mengatakan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan, dan gangguan kehamilan dan janin” hampir-hampir tidak dipercaya lagi, dianggap sebagai isapan jempol belaka. Para oknum perokok akan menjadi jera untuk tidak mengkonsumsi rokok apabila paru-paru mereka sudah penuh dengan cairan, atau gangguan jantung sudah datang untuk menyerang kesehatan.
Saat menulis artikel ini, paman penulis tengah berjuang untuk bertahan hidup, bernafas dengan tersengal-sengal setelah paru-parunya terserangan pneumonia, penyakit paru-paru berair. Sewaktu sehat beliau selalu mengklaim diri sebagai jago merokok. Menghabiskan lusinan batang rokok tiap hari. Saat itu kalau dilarang merokok maka akan berkilah “ah, indak rokok doh nan kamambunuah, sadang duduak elok-elok pun banyak urang nan mati- saya rasa tidak rokok yang akan membunuh, sedang duduk dengan santai juga ada orang yang mati”. Kini sang paman betul-betul kapok untuk tidak merokok, tetapi sudah terlambat karena kangker paru-paru sudah terlanjur datang.
Memang kepedulian orang-orang kita untuk kesehatan sangat rendah. Ini menjadi alasan bagi produsen rokok untuk menyusup kedalam struktur kehipunan. Coba lihat bahwa untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan olahraga (sepak bola, volli, dan lain-lain) dan konsert musik maka pembuat acara paling senang mencari sponsor pada perusahaan rokok. Kemudian dengan meriah berkibarlah baliho dan spanduk gerakan gemar merokok untuk menyambut pengunjung acara olah raga dan konser musik. Usai mengikuti kegiatan acara olah raga dan konser musik, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah penghisap rokok akan meningkat menjadi dua kali. Mereka adalah penghisap rokok pemula; anak anak baru ABG (anak baru gede) usia tingkat SMP dan SMA.
Mengkonsumsi rokok dalam usia pertumbuhan membuat daya tahan tubuh kurang prima. Pantaslah dalam berbagai event bergengsi banyak pemuda yang susah untuk berprestasi. Diperkirakan karena daya tahan tbuh mereka kurang prima “sudahlah terbiasa makan tidak bergizi dan menjadi pencandu rokok pula”. Rendah daya tahan tubuh angkatan generasi produktif membuat mereka kurang banyak berbuat bagi Negara, malah sebaliknya mereka menjadi beban Negara.
Faktor rendahnya kesadaran atas nilai kesehatan barangkali disebabkan oleh rendahnya kualitas pengetahuan dan pendidikan. Akibatnya kita menjadi pengguna tembakau. Kita menghargai eksistensi rokok, membeli asbak berukir dari perak untuk memanjakan tamu-tamu kita yang perokok- yang tidak peduli dengan arti sebuah kesehatan dan seenaknya mencemari udara di rumah orang. Kebisaaan merokok sudah dipelihara/dilestarikan di rumah-rumah, di pasar, di terminal, di tempat ibadah, di warung, di restaurant dan di kantor-kantor pemerintah, BUMN dan swasta. Seolah-olah dianggap sangat berbudaya kalau tuan rumah bisa menyediakan sebuah asbak rokok di ruang tamu mereka. Atau malah tuan rumah sendiri adalah perokok berat yang siap berkampanya, tanpa dibayar, mengajak orang lain seputar rumah untuk sudi menjadi perokok.
Sering dijumpai di berbagai kantor dan ruangan komputer banyak keyboard komputer sudah berlumuran debu rokok. Kenapa demikian ? Karena komputer tersebut bukan milik mereka. Fenomena bahwa properti milik umum kurang terpelihara dan mudah hancur. Jalan raya milik umum selalu dilempari sampah oleh pengguna jalan (sebaiknya pengguna kendaraan juga menyediakan tong sampah, kalau tidak ya ditilang, karena merekalah yang berkontribusi dalam mengotori jalan raya). Anggota legislative perlu meninjau ulang tentang larangan membuang sampah “Bagi siapa membuang sampah didenda Rp. 50 Juta atau penjara enam bulan”, namun dalam kenyataan di depan spanduk terbentang taburan sampah.
Bagaimana suasana di kantor-kantor pemerintah dan swasta ? Banyak karyawan pria lebih suka memanjakan diri dengan merokok daripada menekuni job-description, sehingga mereka sering kucar kacir begitu ada kegiatan pemeriksaan. Terkesan bahwa banyak karyawan kurang mampu menjalankan fungsi profesi mereka dan seolah-olah sebagian cenderung hanya makan gaji buta- pergi ke kantor hanya sekedar kongkow-kongkow saja.
Selama ini untuk menilai kegiatan lomba berprestasi- lomba kantor sehat, nagari berprestasi, guru dan pegawai beprestasi sampai kepada sekolah berprestasi, maka menjelang lomba peserta sibuk- kasak kusuk melengkapi porto folio, mencari yang hilang dan merekayasa yang tidak ada. Maka munculah kemudian angka portofolio yang lucu. Dalam nilai porto folio, kantor atau sekolah tersebut nilainya hebat tetapi dalam kenyataan banyak warganya sebagai perokok berat dan menang. Nah apakah ini namanya yang berprestasi, apalagi kalau assessor lomba sendiri juga seorang perokok berat maka jadilah lomba sebagai ajang iseng-iseng saja.
Semestinya kita harus setuju kalau “konsumsi rokok” sebagai inikator kemiskinan dan mencerminkan masih rendahnya kualitas pendidikan dan kesadaran atas nilai kesehatan. Untuk menghilangkan dan menghentikan kiabisaan merokok dan agar peran sirih dan carano dalam mengundang kembali pada posisinya maka stakeholder, ninik mamak, cadiak pandai dan bundo kanduang perlu membuat kebijakan dan peraturan yang konsisten. Perlu model adanya gerakan berhenti merokok bagi guru, karyawan, polisi, ABRI dan pimpinan/ pengayom masyarakat yang terkesan sebagai perkok berat. Di rumah, di kantor dan di tempat ibadah tidak perlu lagi menyediakan asbak rokok untuk memanjakan selera perokok. Akhir kata harus ada banyak pesan yang bertuliskan “ no smoking, no asbak, no asap rokok” dan diikuti oleh pembuktian atau tindakan serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them