Positive Character
Membangun
Karakter
Menuju
Sukses
Marjohan, M.Pd
Kata Pengantar
Buku yang berjudul ”Positive Character- Membangun Karakter Menuju Sukses” membahas tentang mengapa orang bisa sukses. Seseorang bisa sukses karena mereka memiliki karakter posistif. Oleh karena itu perlu disadari betapa pentingnya memiliki karakter positif. Kemudian buku ini berharap agar setiap orang juga peduli terhadap kualitas karakter mereka.Buku ini merupakan kompilasi opini penulis yang pernah terbit pada surat kabar Sripo (Sriwijaya Post), Haluan dan Singgalang, dan beberapa situs di Internet yang banyak berbicara tentang peningkatan kualitas pribadi sejak di rumah, di sekolah dan dalam masyarakat.
Buku kecil ini perlu dibaca oleh guru, orang tua, pelajar, mahasiswa dan siapa saja yang tertarik untuk membangun kualitas karakter dalam hidup mereka agar sukses dalam hidup. Tentu saja dalam penulisan buku ini terdapat kesalahan di sana-sini. Untuk itu saran dan kritikan yang membangun dapat disampaikan pada penulis melalui e-mail marjohanusman@yahoo.com atau mobile phone: 085263537981. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak.
Batusangkar, Januaru, 2011
Marjohan M.Pd
Daftar Isi
1. Menghargai Perasaan
2. Timbang Rasa
3. Tidak Perlu Bergaya Hedonis
4. Damai Mulai Dari Rumah
5. Mencari Model Idola
6. Gaya Belajar Tokoh Hebat
7. Say No to ”Karakter Ingin Jalan Pintas”
8. Melakukan Proses Belajar
9 Mengapa Benci Dengan Menulis
10. Ke Internet Untuk Tujuan Yang Benar
11. Memiliki Semangat Kerja Keras
12. Bukan Bersikap Coba-coba
13. Cintailah Buku
14. Pedulilah Terhadap Keselamatan Diri
15. Pengangguran Intelektual
16. Membina Karakter Positif di Rumah
17. Pendidikan Dan Parenting Dalam Keluarga
18. Proses Kreatif
19. Having Fun Dalam Belajar
20. Kita Sudah jadi Bangsa Pemarah
21. Memacu Diri Untuk Maju
22. Jangan Berteman dengan Stress
23. Peduli Pada Kecerdasan
24. Remaja Sumatra Di di Negara Paman Sam
25. Menghargai Waktu
26. Gaya Hidup Bukanlah Segalanya
27. Sarjana Yang Rendah Hati
28. Karakter Hebat Untuk Prestasi Besar
29. Bersikap Realita
30. Mental Yang Sehat
31. Bermimpilah Menjadi Orang Kaya
32. Sayangilah Tubuh
33. Menghargai Wong Kecil
34. Siswa Kampung Juga Bisa Jadi Doktor
35. Suasana Kerja Selalu “Fun”
36. Kualitas Diri
1. Menghargai Perasaan
Mencari perhatian atau butuh perhatian merupakan ciri khas manusia. Sekaligus ciri khas ini membedakan manusia dengan makhluk lain. Perasaan itu ada dalam hati. Bentuk perasaan itu cukup bervariasi seperti: adanya rasa senang, susah, sedih, marah, dan lain-lain. Tergantung pada “mood” atau suasana hati. Ada orang yang mengatakan bahwa dia dalam keadaan good mood atau bad mood. Seseorang menjadi good mood kalau suasana hatinya lagi bahagia dan ceria. Sebaliknya bahwa seseorang dalam keadaan bad mood kalau hatinya lagi kurang enak, gelisah, murung, berduka, dan lain-lain.
Faktor keadaan bad mood bisa terjadi oleh kondisi diri sendiri, misalnya, harapan dan target hidup atau kegiatan kita yang belum tercapai. Juga bisa disebabkan oleh faktor luar, seperti karena perbedaan pendapat dengan orang lain yang menyakitkan hati. “Aduh mak…kenapa ia memandang sepele terus padaku”. Atau karena kehadiran diri kita yang kurang diterima oleh teman dan lingkungan.
Pujian dan pengakuan dari seseorang bisa menjadi indikasi bahwa keberadaan kita diterima atau ditolak orang lain. Rasa diterima dan keinginan untuk dipuji adalah kebutuhan emosional kita sejak kecil hingga dewasa, bahkan hingga tua. Memuji dan menerima kehadiran anak apa adanya bisa menjadi prasyarat agar anak bisa tumbuh menjadi cerdas dan sehat secara jasmani dan rohani.
Sangat ideal kalau orang tua tidak pilih-pilih kasih pada anak. Apakah anak cantik/ ganteng atau tidak, apakah anak pintar atau bodoh, aktif atau pasif, berani atau pemalu/ penakut, baik atau nakal. Mereka adalah anak kita, dan belahan hati kita. Membeda bedakan mereka (pilih kasih pada anak) merupakan awal dari malapetaka bagi kehidupan mereka, karena hal tersebut bisa menghancurkan harga diri dan perkembangan anak di masa depan.
Anak-anak balita (usia sekitar lima tahun) mereka berada dalam masa egosentris. Pusat kehidupan dalam pandangan mereka berada pada diri mereka. Dalam usia ini mereka memaksa semua orang mengakui bahwa apa saja yang ada di sekitarnya adalah milik dirinya. “Ini papaku, ini mamaku, ini mobilku, ini pohonku…, itu bulanku, itu lautku, itu sungaiku..!” Semua benda yang ia sebut berakhiran dengan kata “ku” sebagai kata posesif- sebagai kepunyaanya.
Semua orang dewasa, orang tua dan guru taman kanak-kanak (walau dengan berpura-pura) memberi pengakuan untuk menyenangkan dan menentramkan hatinya. “Iya benar, Ini papa dedek, ini mama dedek, ini mobil dedek, ini pohon dedek …, itu bulan dedek, itu laut dedek dan itu sungai dedek ..!”. Ungkapan itu pun diekspresikan dengan lembut.
Sungguh sang balita merasa riang gembira karena memperoleh pengakuan. Sebaliknya anak akan merasa terluka bila mendengar respon orang dewasa yang kurang memahami perkembangan jiwa balita tersebut. “Wah enak saja ya mengaku semuanya milik mu…!”. Tidak apa-apa karena egosentris pada balita akan berkurang dan menghilang dengan bertambahnya umur dan betambah pula penrgaulan/ pengalaman hidup mereka. Begitu anak masuk ke sekolah dasar dan SMP, maka egosentrisnya segera melebur.
Rasa diterima dan rasa pengakuan juga jadi kebutuhan remaja dan orang dewasa. Khususnya anak anak usia SD, SMP dan SLTA, mereka sangat butuh rasa diterima dan penghargaan. Oleh sebab itu rasa diterima dan dihargai perlu tumbuh dan membudaya sejak di rumah, terus di sekolah, dalam organisasi dan dalam lingkungan masyarakat. Rasa diterima dan pengakuan ini selanjutnya akan mempengaruhi harga diri, percaya diri, motivasi dan semangat hidup mereka dalam belajar dan beraktivitas (bekerja).
Problema terbesar dalam hidup sekarang adalah rendahnya kualitas pendidikan kita. Penyebabnya ada sejak dari rumah. Pemerintah cukup peduli tentang hal ini. Pemerintah menghabiskan dana milyaran rupiah untuk melatih dan menatar guru, seharusnya juga para orang tua agar juga tahu tentang ilmu mendidik, atau paling kurang orang tua melakukan otodidak agar menjadi orang tua ideal- tahu cara memotivasi anak- sehingga anak memiliki motivasi dan rasa percaya diri.
Sekali lagi, bahwa penyebab awal kehilangan motivasi, semangat belajar dan percaya diri pada seseorang ada sejak dari rumah- juga mungkin dari sekolah itu sendiri. Karena kita, para orang tua, sering kikir dalam memberikan perhatian dan pujian pada anak. Andaikata anak telah melakukan aktivitas positif seperti mencat pagar, menyapu halaman, mencuci motor, membuat pekerjaan rumah, membaca buku, maka kita berfikir hal itu sebagai hal yang biasa. Anak tidak perlu dipuji lagi. Namun kalau anak melakukan kesalahan kesalahan kecil- tidak mau cuci piring, menyapu rumah, membuat PR, apalagi kalau melakukan kesalahan besar (memecahkan piring, menumpahkan susu) maka kita jadi meledak dan malah bisa naik pitam. “Pakai matamu…pakai hati mu….dasar dungu…kerja mu merusak terus!”.
Mengapa bangsa Barat bisa lebih maju dalam hal kualitas hidup/ kualitas pendidikan ? Penyebabnya adalah karena mereka merasa enteng memuji dan minta terima kasih pada siapa saja, terutama pada anggota keluarga. “Oh ..it is very good,…you are great,…how can you do it,…thank you…!”. Sekali lagi bahwa ungkapan terima kasih dan pujian sudah membudaya dalam kehidupan mereka.
Penulis sendiri mempunyai seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Biasanya dia amat rajin beraktivitas di rumah seperti melipat pakaian, merapikan kamarnya, dan menyapu lantai rumah. Kebiasaan positive tersebut menghilang. Namun tiba tiba penulis menemui anak penulis tersebut berlaku sangat manis di rumah tetangga. Di sana ia menyapu teras, membersihkan debu jendela dengan duster, “Ada apa gerangan…?” Ternyata anak penulis telah memperoleh perhatian, pujian dan penghargaan dari tetangga- sehingga kehadirannya merasa berarti, “Duh…pintar sekali anak ibu…bisa menyapu teras…!”. Akhirnya penulis introspeksi diri dan kembali mememberikan kebutuhan emosinya - memberi pujian, perhatian dan penghargaan.
Selanjutnya bahwa mengapa banyak remaja yang tidak betah berada di rumah sendiri, pada hal rumahnya cukup megah dan nyaman. Begitu pula, mengapa ada siswa yang enggan pergi ke dalam kelas/ ke sekolah, enggan menemui guru. Atau mengapa ada karyawan enggan pergi bekerja, para buruh enggan menemui boss atau sang kepala. Tentu saja banyak faktor penyebabnya. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak ada perasaan diterima, alias mereka merasa ditolak.
Edo, bukan nama sebenarnya, akhir akhir ini tidak merasa betah lagi berada di rumah. Ia merasa tidak diterima oleh mamanya sendiri. “Wah Edo,…kamu asal di rumah bercanda kayak kuda terus,…menganggu adikmu terus,…lebih baik kamu pergi jauh ke luar rumah ini”. Apa lagi hardikan dan bentakan ibu diikuti dengan wajah serius/ wajah kesal. Itulah alasan yang membuat Edo bahwa kini tempat yang paling damai adalah berada bersama teman teman meskipun berkumpul di emperan warung orang. Untuk selanjutnya sang remaja akan menutup diri terhadap orang tuanya sendiri. Kemudian sang orang tua pun akan kehilangan kharismatik di mata anak.
Banyak remaja/ siswa yang tiba-tiba jadi enggan pergi ke sekolah, malas mengikuti proses pembelajaran. Mereka memilih untuk kongkow-kongkow (bermalas-malas) di halte bus, di persimpangan jalan. Mengapa ini terjadi ? Banyak penyebabnya dan salah satu penyebab adalah merasa ditolak oleh guru atau bisa jadi oleh teman dalam kelas. “Edo…., kalau kamu dalam kelas matamu melek melulu…, atau ngobrol melulu,…..atau mencontek melulu” Itu artinya bahwa Edo lebih baik minggat saja dari ruang kelas dan kelas akan menjadi aman.
Rasa ditolak memang menyakitkan. Ada siswa baru yang belum bisa beradaptasi dengan suasana kelas yang baru. Bila ia mendekat pada teman, temannya menghindar- pokoknya ia merasa tidak diterima. Akhirnya ia mengeluh di rumah. “Papa …aku tidak mau sekolah di sini, aku mau pindah ke sekolah yang lama saja…!” Ada kalanya seseorang merasa mules atau sakit perut itu gara-gara ia merasa kurang di terima oleh teman se kerja atau oleh atasan. “Wah aku jadi migrain (sakit kepala sebelah) setiap kali terbayang teman yang bersikap sinis padaku”.
Dalam pekerjaan atau kehidupan di sektor informal, seperti di pasar,di rumah, di pelabuhan, di pabrik, dan di perkebunan, bahwa perasaan tidak diterima/ ditolak juga sangat menyakitkan. Malah bisa berakibat fatal. Dalam sebuah berita televisi swasta dikabarkan bahwa ada pengunjung kafe yang membakar kursi, sehingga menjalar membakar seluruh gedung. Penyebabya cukup sepele yaitu gara-gara tidak diterima oleh pelayan kafe. Tawuran antar pelajar atau tawuran antar mahasiswa bisa terjadi oleh gara gara sepele- merasa dilecehkan alias tidak dihargai atau kurang diterima oleh kelompok lain. Seorang remaja pria sengaja ngebut dan menabrakan sepeda motornya di depan rumah kekasih yang telah menolak cintanya. Sungguh begitu dahsyat dan berbahaya efek dari perasaan ditolak. Banyak pria atau wanita menjadi lajang sampai tua, salah satu penyebabnya karena pernah ditolak kehadirannya dan dikecewakan oleh mantan idamannya.
Perasaan diterima atau ditolak ada dimana-mana dalam pergaulan sosial. Perasaan ditolak memang sangat fenomena, bukan berarti tidak boleh ada (penolakan). Bagi yang lagi memegang kartu truff (penentu) untuk menolak, seperti dari orang tua terhadap anak, guru terhadap siswa, boss terhadap karyawan, dan dalam pergaulan antar teman dan antar yang saling mencintai, Kalau mau menolak tolaklah dengan cara bijak dan cara sehalus mungkin. “Mama tidak senang kamu mengganggu…lebih baik kamu belajar di kamarmu sendiri”. Atau pedagang berkata “Wah mas kasihan kalau begitu…nanti saya bisa rugi”. Atau calon kekasih berkata “saya senang bersahabat dengan kamu….baiknya kita berteman saja”. Dan tentu ada jutaan ungkapan penolakan halus yang perlu kita budayakan. Namun yang perlu dijaga dalam menolak adalah menolak dengan ekspressi yang kurang bersahabat sehingga melukai harga diri orang lain.
2. Timbang Rasa
Sebahagian orang mungkin sudah lama tidak mendengar kata kata “timbang rasa” lagi. Seharusnya kata-kata ini masih diucapkan oleh teman-teman, anak-anak muda dan malah juga generasi tua sebagai tanda bahwa mereka masih peduli dengan “bertimbang rasa” dalam menjaga kualitas komunikasi. Kalau dulu orang tua sering berpesan, member pituah, pada anak-anak mereka “Anak ku…jagalah perasaan orang apabila kamu bergaul, mengangalah (bukalah mulut) dulu sebelum berbicara”. Hingga suatu hari ternyata penulis masih menemukan kata-kata “timbang rasa’ tertera sebagai merek sebuah home industry di kawasan kota Payakumbuh.
Timbang rasa berarti menimbang perasaan orang dalam berkomunikasai. Timbang rasa sangat penting, karena ia adalah bumbu yang membuat pergaulan dan komunikasi terasa enak. Orang yang punya timbang rasa dalam berkomunikasi jadi menarik dan pergaulannya sangat disenangi. Timbang rasa , kalau begitu sangat perlu untuk dimiliki oleh siapa saja- tua, muda, laki-laki, perempuan, kaya, miskin dan apa saja bangsa dan agamanya.
Berkumpul bersama anggota keluarga sambil menonton TV atau acara-acara kekeluargaan- makan bersama, traktiran dan sampai pesta kecil kecilan sekedar melepas kangen, sudah menjadi kebutuhan banyak orang. Apalagi bagi mereka yang jauh dari kampung halaman. Kadang kala dalam suasana kebersamaan ini terjadi guyon dan ledek meledek. Pada mulanya memang bisa untuk menambah keakrapan, namun salah guyon dan salah membuat ledekan malah bisa menjadi bisul untuk menebar rasa sakit hati dan perpecahan.
Banyak orang (kakek, nenek dan ayah- ibu) berfikir bahwa anak-anak kecil belum punya pikiran, hingga mereka butuh arahan dan didikan. Sebagian dalam bertindak dan berkata kepada mereka juga kurang memperhatikan hati (emosi) mereka. “Wah kamu ini bloon, udah berkali kali diberi peringatan namun tidak juga mengerti, dasar bebal atau muka tembok”. Bagaimana kira kira perasaan anak atas komentar tadi ?
Banyak orang yang kurang mempertimbangkan perasaan anak. Sebagian orang tua rata-rata hanya bersikap lembut terhadap bayi, balita dan anak-anak yang berusia hingga masuk SD, ya saat mereka masih terlihat lucu dan patuh. Namun begitu anak terlihak mulai agresif, sudah punya banyak kawan dan sibuk mengembangkan gerak dan melakukan eksplorasi. Mereka telah diberi label sebagai anak bandel oleh karena itu mereka (anak-anak) mulai berhubungan dengan sejuta suruhan dan larangan dari orang tua.
Menghargai perasaan anak sangat pentig dalam mendidik.Namun dalam kenyataan jarang terealisasi. Ini juga menjadi kebiasan dari pasanagn kakek- nenek yang tinggal di rumah kecil, di sebuah kota di Pulau Sumatera. Mereka tidak ada pekerjaan, kecuali hanya sekedar mengurus kebun kecil dan kucing piaraan. Selebihnya hari-hari mereka terisi dengan kegiatan nonton TV dan rebutan untuk mengomentari hal hal kecil. Kebiasaan gemar mengomentari hal-hal kecil terbawa-bawa terhadap cucunya yang hanya datang sekali setahun untuk berlibur.
Punya kakek dan nenek itu sangat indah. Anak-anak biasanya membayangkan tokoh kakek-nenek ibarat tokoh dalam buku cerita dan tokoh dalam kartun. Orangnya sangat baik dan penyayang. Namun dalam kenyataan tidak demikian dalam ilusi Rido dan Anita. Sebagai anak-anak yang masih duduk di bangku SD dan SLTP, mereka tentu punya segudang kegiatan, yang sering dianggap sebagai kenakalan bagi orang tua/ kakek dan nenek.
Mereka melompat, berlari, mendorong perabot dan berteriak-teriak dalam rumah. Kakek- nenek yang tidak terbiasa dengan suasana ini pasti akan menjadi jengkel. Tiba-tiba tertumpah air ke lantai. Ini hal biasa namun komentar dan kemarahan kakek-nenek meledak melebihi hal yang sebenarnya. “Kamu sangat usil dan nakal ya.., membuat keributan…, mendorong dorong…, ibumu sudah salah didik…!”. Suasana begini sering terjadi dan bagi orangtua muda yang tidak sabaran terhadap omelan kakek-nenek akan segera berkemas kemas. Memutuskan kembali untuk , berangkat pulang. “Good bye…kakek…., good bye nenek…..lebih aku pulang kembali, karena rumah ini bukan sweethome bagi cucu cucumu.”. Hal seperti ini juga tidak harus terjadi.
Perubahan gaya mengasuh berpotensi menimbulkan gap (jurang pemisah) antara generasi sekarang- orang tua dengan kakek-nenek. Seharusnya kakek- nenek zaman sekarang harus menjadi generasi tua yang lebih terdidik dan makin bijak sana. Ibu dan ayah muda juga perlu mengenal karakter yang tidak disukai oleh generasi tua. Dalam berbagaimsuasana, timbang rasa sangat dibutuhkan. Kakek-nenek yang punya timbang tasa akan menjadi figure yang disayangi oleh cucu dan anak anaknya.
Timbang rasa perlu dibawa terus, kapan saja dan di mana saja termasuk saat pulang lebaran. Sebagaimana berlebaran, dengan fenomena exodus lebaran, sudah menjadi fenomena dalam masyarakat kita. Coba lihat suasana bila lebaran mau datang- arus transportasi menjadi super sibuk.. Di sana terjadi arus migrasi masal menuju kampung. Sekali lagi bahwa orang luar negeri akan melihat fenomena ini sebagai exodus besar-besar. “Ini memang exodus, ya happy exodus”.
“Apa yang diharapkan dari kedatangan orang orang dan family yang datang dari rantau ?”. Sebahagian berharap untuk silaturahmi dan melepas rasa kangen, namun dibalik itu ada juga mengharapkan “ oleh oleh atau yang dikenal dengan THR- tunjangan Hari Raya” dari mereka. THR biasanya dibagi-bagikan tiap lebaran datang, di hari lain mungkin namanya traktiran ‘traktir dong om….traktir dong tante”.Cukup banyak orang memprovokasi anak-anak kecil untuk minta oleh oleh- atau namanya uang tip, uang traktiran atau parsel (bingkisan) yang datang dari om, tante, abang, kakak sampai kepada opa-oma, “Hei itu om mu….ayo minta uang untuk beli sepeda”. Sehingga dari kebiasaan, akan tumbuh anak-anak dan generasi muda yang gemar minta traktiran. Asal ada orang baru datang maka yang mereka harapkan cuma oleh-oleh, dan uang traktiran, atau cendera mata.
Kebiasan mengharap cedera mata dan oleh-oleh atau traktiran dari karib kerabat dan family yang datang telah membuat cukup banyak dari mereka yang enggan untuk pulang kampong atau bersilaturahmi. Soalnya takut diserbu dengan uang traktiran. “Kampungnya kan dekat, kenapa jarang pulang kampung, apa tidak kangen dengan orang tua..?”. Rasa kangen kepada orang tua dan adik kakak selalu memang selalu ada. Namun yang membuat kaki berat untuk melangkah ke sana adalah kebisaan orang-orang sekeliling, mulai dari yang kecil sampai ke yang besar mengharapkan traktiran - sekeping uang untuk dibagi-bagikan. Kalau jumlah mereka satu atau dua orang tdak msalah, namun bila jumlah mereka cukup besar bisa-bisa mengganggu keuangan. Ya solusinya adalah tidak usah pulang kampung atau hentikan budaya berharap uang traktiran dari siapa saja yang datang.
Hal lain yang membuat seseorang menjadi enggan untuk menemui family/ kerabat atau kenalan yang lain juga karena kurangya timbang rasa dalam bentuk lain. Hidup ini penuh dengan orang-orang berkarakter unik. Ada orang punya karakter yang suka ngobrol tentang dirinya melulu, yang lain cuma jadi pendengar. “Aku kemaren dapat ini… aku kemaren buat ini rasanya enak…, anakku kemaren jadi hebat….suamiku kemaren ganti mobil….rumah ku kemaren direnovasi…”.
Pembicaraan yang terlalu banyak “aku” atau terfokus pada pembicaraan tentang diri akan membuat orang jadi males datang bersilaturahmi untuk kali berikutnya. Sudah jelas jumlah telinga itu “dua” melebihi jumlah mulut (satu mulut) namun kita kadang-kadang terlalu doyan banyak bicara yang tidak terlalu penting daripada mendengar pembicaraan teman dengan sepenuh hati.
Kemampuan dalam bertimbang rasa jauh lebih penting dari pada kebiasaan pamer kekayaan, pamer kehebatan anggota keluarga dan kebiasaan monopoli dalam ngobrol. Ini pulalah yang dialami Upik (bukan nama sebenanya) yang diajak oleh salah seorang paman untuk datang ke rumahnya. “Ayolah Upik datang ke rumah paman, penting banget buat mu”. Setelah tiba di sana ternyata Upik tidak menjumpai hal yang penting. Kecualinya Sang Paman sibuk mempromosikan rumahnya yang berharga mahal, tipe minimalis dan dilengkapi dengan perabot pilihan yang harganya cukup mahal. “Lemari ini kemaren Paman beli di Bukittinggi harganya hampir sepuluh juta, loteng rumah ini mirip dengan rumah dokter di Kebayoran Baru, besok Paman akan merenovasi garasi untuk tiga mobil”. Dalam kenyataan apa sih yang dirasakan Upik saat itu ?
Selanjutnya bahwa timbang rasa juga perlu hadir di sekolah, mulai dari bangku SD, SMP, SMA dan malah sampai ke Perguruan Tinggi. Murid kelas satu SD, seperti yang dikatakan oleh salah seorang teman penulis, akan menjerit ketakutan terhadap guru yang mereka anggap tidak punya timbang rasa. “Tukar gurunya….aku takut dengan guru itu, dia galak” Atau malah ada murid yang sampai ngompol dalam celana dan menggigau dalam tidur gara gara pengalaman seram mereka di siang hari- harus belajar bersama guru yang mereka anggap tidak tahu tentang bertimbang rasa dengan bocah-bocah kecil.
Begitu pula untuk siswa tingkat SLTA, ternyata ada siswa yang melarikan diri dari kelas, dari sekolah setelah punya pengalaman buruk belajar bareng dengan guru yang kurang memiliki timbang rasa. “Tiap kali belajar dengan saya, kok kamu ngelamun melulu” Timbang rasa bukan berarti harus tidak punya disiplin, harus mengikuti kehendak siswa. Namun timbang rasa disini adalah kemampuan guru untuk menimbang perasaan siswa- bersimpati dan berempati. Tidak melecehkan potensi, apalagi harga diri siswa. “Ah percuma saja kamu juara kelas, tapi kok egois sama kawan-kawan”.
Saatnya kata-kata timbang rasa musti dipopulerkan lagi dan saatnya timbang rasa diaplikasikan dalam hidup. Pedagang yang punya timbang rasa, banyak bersabar dan tidak suka mengomel terhadap pembeli yang gemar menawar, bakal menjadi pedagang yang laris manis. Rumah sakit dengn dokter dan perawatnya yang mengutamakan timbang rasa atau pelayanan prima terhadap pasien, akan membuat pasien bisa sembuh lebih awal. Rumah sakit yang yang mengutamakan timbang rasa akan membuat pasien betah berobat ke sana dan tentu tidak perlu berfikir untuk pergi berobat sampai ke negeri jiran segala.
Timbang rasa juga penting hadir di rumah. Suami yang punya timbang rasa terhadap istri akan memperoleh panen cinta dari istri dan sebaliknya. Istri penting mengutamakan timbang rasa pada suami agar perkawinan langgeng terus. Kemudian ada sebuah umah yang selalu dikunjungi banyak anak anak dan remaja. Semua anggota keluarga betah berada di rumah. “Itu karena anggota keluarga, terutama anak-anak, memperoleh kasih sayang dan juga diberi pembagian kerja. Di rumah mereka dihujani dengan banyak kata maaf dan rasa aman- bebas berekspresi. Akhirnya mereka tidak perlu lagi pergi ke luar rumah untuk mencari kasih sayang”. Kesimpulanya adalah hadirkanlah selalu rasa timbang rasa setiap saat di mana saja berada.
3. Tidak Perlu Bergaya Hedonis
Dalam kamus Collins Gem (1993) dinyatakan bahwa hedonisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup. Atau hedonisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup semata-mata (Echols,2003). Gaya hidup hedonisme sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa kita.
Tujuan pendidikan Negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (pembukaan UUD 1945, alinea 4). Tujuannya tentu bukan untuk menciptakan bangsa yang hedonisme, tetapi bangsa yang punya spiritual, punya emosional quotient- peduli pada sesama dan tidak selfish atau mengutamakan diri sendiri. Apakah banyak pelajar yang berpotensi menjadi generasi yang hedonism yaitu generasi yang memandang kesenangan hidup dan kenikmatan materi sebagai tujuan yang utama ? Jawabnya adalah “ya”. Lantas apa indikatornya ?
Bahwa hedonismee sebagai fenomena dan gaya hidup sudah tercermin dari prilaku mereka sehari-hari. Mayoritas pelajar berlomba dan bermimpi untuk bisa hidup mewah. Berfoya-foya dan nongkrong di kafe, mall dan plaza. Ini merupakan bagian dari agenda hidup mereka. Barangkali inilah efek negative dari menjamurnya mall, plaza dan hypermarket lainnya. Mengaku sebagai orang timur yang beragama, namun mereka tidak risih bermesraan di depan publik . ini adalah juga gaya hidup mereka. Hal lain yang membuat hati kita gundah- menyimak berita pada televisi dan Koran-koran bahwa sudah cukup banyak pemuda-pemudi kita yang menganut paham hidup free sex dan tidak peduli lagi pada orang-orang sekitar. Hamil di luar nikah bukan jadi ‘aib lagi, malah sudah dianggap model karena para-para model mereka juga banyak yang begitu seperti digossipkan oleh media elektronik (TV) dan media cetak (majalah, koran dan tabloid).
Gaya hidup hedonismee tentu ada penyebabnya. Ada banyak faktor ekstrinsik (faktor yang datang dari luar) yang memicu emosi mereka menjadi hamba hedonisme. Orang tua dan kaum kerabat adalah penyebab utama generasi mereka menjadi hedonisme. Mereka (atau kita) lalai untuk mewarisi anak dan keponakan dengan norma dan gaya hidup timur yang punya spiritual. Kita tidak banyak mencikaraui (campurtangan) anak tentang hal spiritual. Sebagai orang tua, kita jarang yang ambil pusing apakah anak sudah melakukan sholat atau belum, apakah lidahnya masih terbata- bata membaca alif –ba-ta, dan tidak sedih melihat remaja mereka kalau tidak mengerti dengan nilai berpuasa.
Kecendrungan orang tua yang pro dengan gaya hidup hedonism, memandang anak bukan sebagai titipan Ilahi. Tapi memandang anak sebagai objek untk diotak atik. Sejak kecil anak sudah diperlakukan dengan hal yang aneh-aneh; anak dianggap lucu kalau rambutnya digondrongkan, nyanyinya ya nyanyi tentang cinta- kalau perlu syair yang jorok. Katanya Sejak kecil anak didik bahwa shopping yang ngetren musti di mall, dan makanan yang bergizi adalah KFC atau burger.
Orang tua yang pro hedonisme tidak begitu peduli dalam mengasah spiritual anak. Tidak heran kalau anak-anak mereka cenderung menjadi generasi free thinker atau generasi yang kurang diajar untuk mengenal Sang Khalik. Akibatnya mereka tumbuh jadi generasi yang rapuh, mudah putus asa dan mencari kambing hitam, bila ditimpa musibah “Aku sakit karena shio ku shio kuda, atau aku lagi sial gara-gara memakai kemeja merah ini”.
Sampai sekarang tetap orang, termasuk pelajar/generasi muda, memandang segala sesuatu yang berasal dari Barat sebagai hal yanh hebat. Pelajar merasa minder kalau ketahuan lebih mengidolakan lagu daerah, lagu Minang (lagu daerah), dan lagu dangdut. Mereka harus mengidolakan lagu dan musisi dari barat. Poster-poster figur dari Barat, artis dan atlit, patut ditempel di kamar belajar. Kemudian tiap saat mengupdate atau mengikuti perkembangan beritanya; “ oh artis atau atlit dari klub itu lagi pacaran, yang ini mau cerai, yang itu punya mobil mewah, yang itu lagi bersenang-senang dengan kekasihnya di laut Caribia….wah aku patut meniru gaya hidup nya”. Demikianlah pelajar dari dalam kamarnya menyerap gaya hedonisme dari info-info tentang figur-fugur idola yang menempel di dinding kamarnya dibandingkan figur-figur intelektual, pahlawan, pendidik dan tokoh spiritual lainnya.
Faktor bacaan dan tontonan memang dapat mencuci otak pelajar untuk menjadi orang yang memegang prinsip hedonisme. Adalah kebisaaan pelajar kalau pulang sekolah pergi dulu ke tempat keramaian, pasar, paling kurang mampir di kiosk penjualan majalah dan tabloid. Ada sejumlah tabloid dan majalah, ada untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Tabloid dan majalah untuk remaja ada yang punya tema tentang agama, olahraga, pendidikan, dan majalah/tabloid popular. Umumnya yang berbau agama dan pendidikan kurang laku. Yang paling laris adalah tabloid dan majalah remaja popular yang isinya banyak bersifat hura-hura- shopping dan kencan.
Coba ambill satu majalah pop remaja (tidak perlu sebut nama majalahnya) maka yang terlihat pada covernya adalah sepasang kaum adam-hawa yang berusia belia lagi dimabuk asmara. Kalau tidak demikian mana mungkin laku, karena pebisnis sengaja meraup untung lewat mencuci otak remaja menjadi sekuler dan hedonisme. Kemudian coba balik halaman demi halaman. Maka yang kita jumpai adalah gambar-gambar iklan seputar, parfum, make up, pakaian sexy yang sangat tidak pantas untuk orang timur yang terkenal punya budaya malu. Kemudian style rambut dan assesori- untuk cowok rambut dipanjangkan atau model punk, diberi warna, style wanita lain lagi. Memakai celana harus melorot, jangan lupa dengan assesori. Karena yang membelinya adalah para pelajar maka tabloid dan majalah pun telah mencuci otak mereka. Akibatnya pelajar sering bermasalah dengan disiplin sekolah.
Sampai detik ini semua sekolah di Indonesia tidak pernah mengizinkan siswan pria ya memakai anting-anting pada sebelah telinga, memakai tattoo, mengambil style rambut seperti artis atau atlit- di gunting panjang/ gondrong atau disisir punk seperti duri landak.
Selanjutnya sampai detik ini sekolah tetap mengharapkan siswanya supaya berpenampilan rapi, kalau boleh gagah seperti TNI/ Polisi, ke sekolah bukan ibarat artis pergi ke concert- seragam dengan celana melorot, harus tersumbul sedikit celana dalam di bagian punggung, kaki di beri gelang atau rantai, ibarat kaki gajah di Way Kambas Lampung, tangan dan jari penuh dengan assesori. Pelajar-pelajar yang berjiwa hedonis umumnya tidak begitu menghargai waktu dan dan jalannya lemas, beda dengan kaum hedonis di Barat. Mereka kerja keras mati-matian untuk mewujudkan hedonismeenya. Sementara pelajar kita yang menyenangi gaya hidup hedonisme cenderung bekerja dan belajar santai (karena mereka punya moto: hidup santai masa depan cerah) mereka terlalu bergantung dan menghabiskan harta orang tua.
Pengaruh tontonan, tayangan televisi (profil sinetron, liputan tokoh selebriti dan iklan) juga mengundang pelajar untuk mengejar hedonisme. Majalah remaja popular dan kebanyakan tema televisi sama saja. Isinya banyak mengupas tema tema berpacaran, ciuman, pelukan, perceraian, pernikahan. hamil di luar nikah dan bermesraan di muka publik sudah nggak apa-apa lagi, cobalah dan lakukanlah ! seolah-olah beginilah ajakan misi televisi dan majalah yang tidak banyak mendidik, kecuali hanya banyak menghibur.
Rancangan majalah popular dan tema televisi komersil di negara kita memang sedang menggiring pelajar menjadi generasi konsumerisme bukan memotivasi mereka untuk menjadi generasi produktif. Tema iklannya adalah “manjakanlah kulitmu”. Andaikata semua pelajar dan mahasiswa melakukan hal yang demikian, memuja kulit. Pastilah sawah dan ladang, serta lahan-lahan subur makin banyak yang tidak terurus. Karena mereka semua takut jadi hitam. Pada hal untuk manusia yang patut dimuliakan adalah kualitas intelektual, kualitas spiritual dan kualitas hubungan dengan manusia (kualitas fikiran dan keimanan).
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa banyak pelajar dengan gaya hidup hedonisme yang mereka sadur lewat budaya hedo dari barat, terinspirasi oleh model-model atlit dan artis yang info perkembangannya selalu mereka update tiap saat. Kemudian gaya hidup hedo (hedonisme) juga diperkaya oleh suguhan majalah pop remaja dan belasan stasiun televisi swasta yang bernuansa sekuler dengan gaya hidup figur yang penuh glamour dan kepalsuan. Namun ada bedanya, yaitu tokoh tokoh yang bergaya hidup hedonisme dari dunia Barat dan dari Indonesia sendiri, mereka memperoleh gaya hidup hedonisme lewat kerja keras. Sementara remaja dan juga mahasiswa (juga banyak terjebak dalam gaya hedonisme) menjadi hedonism dengan cara bermimpi, kadang-kadang tampil keren karena memakai baju dan celana pinjam atau hidup dengan gaya hedonisme lewat menggunakan fasilitas orang tua, inilah yang dikatakan sebagai hedonisme picisan.
Memilih gaya hidup hedonime, terus terang tidak akan pernah memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Ibarat minum air garam, makin diminum makin haus. Bagi yang belum terlanjur menjadi pengidola hedonisme maka segeralah balik kiri, berubah seratus delapan puluh derajat. Bahwa kebahagian hidup ada pada hati yang bening, saatnya bagi kita kembali untuk menyuburkan akar-akar spiritual- kembali ke jalan Ilahi, tumbuhkan jiwa peduli pada sesama- buang jauh jauh karakter selfish (mementingkan diri sendiri), dan miliki multi kekuatan – kuat otak, kuat otot, kuat kemampuan berkomunikasi, kuat beribadah, dan kuat mencri rezki.
4. Damai Mulai Dari Rumah
Parenting adalah program yang dilaksanakan oleh lembaga sosial untuk mempersiapkan para pemuda dan pemudi untuk menjadi orang tua. Pesertanya adalah orang-orang yang berusia muda yang ikhlas mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua karena sudah punya niat/ rencana untuk menikah dan mendirikan rumah tangga yang bahagia. Kelak bila mereka melangsungkan pernikahan dan memilki anak-anak, diharapkan bisa membina rumah tangga yang bahagia.
Di negara-negara maju banyak organisasi sosial yang menyelenggarakan program parenting dan banyak calon-calon orang tua yang berpatisipasi dalamnya, sehingga mereka bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dan berkualitas. Namun di negara-negara yang Sumber Daya Manusia (SDM) belum begitu membanggakan, dan termasuk negara Indonesia, maka program parenting belum begitu popular. Kecuali program parenting swakarsa yang dilakukan oleh segelintir orang lewat otodidak atau belajar sendiri dengan membaca buku, majalah, kliping artikel dan mengikuti seminar. Untunglah ada program screening diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang wajib diikuti oleh sepasang pengantin sebelum menyelenggarakan ritual akad nikah dan pesta perkawinan.
Kegiatan skrining (screening) yang diberikan oleh petugas nikah, wali hakim, dari Kantor Urusan Agama (KUA) dapat dipandang sebagai kegitan parenting dalam bentuk crash program (program cepat) menjadi orang tua yang mengerti tentang peran orang tua. Tapi apakah hasil screening bisa tahan lama terhadap pasangan pengantin ? Screening yang diberikan oleh petugas nikah dari kantor KUA hanya bersifat formalitas. Hanya calon orang tua yang mantap ilmu dan amalnya yang mampu mengamalkan pesan-pesan dari kegiatan screening tadi.
Sementara itu bagi calon suami istri/ calon orang tua yang miskin ilmu agama, ilmu pendidikan dan miskin wawasan, kegiatan screening atau parenting ala kantor KUA cendrung bersifat “masuk telinga kiri –keluar telinga kanan” atau garbage in- garbage out. Kenapa demikian ? Ya cukup banyak mereka yang telah mengikuti screening dan pernikahan , punya anak setelah itu, mereka bingung apa yang akan diperbuat sebagai orang tua. Sehingga mereka membina rumah tangga dengan cara meraba-raba atau meniru prilaku generasi sebelumnya. Untung kalau yang ditiru itu sesuai dengan konsep ilmu pendidikan dan norma hidup- jauh dari unsur kekerasan dan kezaliman (bersikap sadis terhadap anggota keluarga dan gemar dengan kata-kata penuh carut marut).
Fenomena dalam masyarakat bahwa cukup banyak orang tua yang kurang mengerti dengan konsep parenting- bagaimana menjadi orang tua yang ideal bagi keluarga. Banyak orang tua yang mendidik dan membesarkan anak dengan “konsep coba-coba” atau trial and error, sehingga berpotensi melahirkan generasi penuh ragu-ragu dan mental yang mudah terombang ambing (plin-plan). Bila mendidik dan membina keluarga tanpa persiapan diri- tanpa memiliki ilmu pengetahuan, maka hasilnya adalah akan lahir generasi yang kurang mengenal potensi diri dan kurang tahu/ gamang menghadapi masa depan.
Visi Keluarga Kontra Dengan Misi Keluarga
Visi (atau pandangan) dapat diartikan sebagai arah atau tujuan ke depan. Misi adalah strategi atau langkag-langkah untuk mewujudkan visi tadi. Kalau begitu, visi keluarga dapat diartikan sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh ayah dan ibu dalam membina rumah tangga mereka. Ayah dan ibu perlu bekerja sama untuk menerapkan strategi untuk menuju rumah tangga yang bahagia sebagai harapan atau visi orang tua secara umum.
Begitu seorang bayi lahir ke dunia, maka saat itu eksistensi sebuah keluarga terasa makin utuh. Visi keluarga yang terselib dalam hati atau yang terucap dalam lisan sungguh sangat mulia dan sempurna; “kami ingin rumah tangga ini menjadi rumah tangga yang damai dan harmonis”. Yang lain ingin memiliki anak yang yang sehat, cerdas dan sholeh. Dalam koridor agama Islam, semua pemeluk Islam ingin memiliki rumah tangga yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat, atau memiliki keluarga yang “mawadah wa rahmah”, keluarga bahagia dan penuh dengan rahmat.
Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa untuk mendapatkan rumah tangga yang bahagia dan penuh rahmat, maka diperlukan usaha dengan langkah-langkah kongkrit untuk mencapai misi keluarga. Ada beberapa fokus yang perlu jadi prioritas dalam menciptakan suatu keluarga yang bahagia dan rahmah yaitu memperoleh pendidikan yang berkualitas, kesehatan yang berkualitas, pergaulan dan bentuk aktifitas keluarga yang juga berkualitas. Namun, sekali lagi, sebahagian rumah tangga cendrung tanpa konsep, salah konsep atau meraba-raba dalam bertindak- in action.
Pendidikan keluarga merupakan unsur pertama yang perlu untuk diperhatikan setiap keluarga. Ada beberapa versi orang tua dalam mendidik anak. Ada orang tua yang tidak mengenal tentang cara mendidik. Yang mereka lakukan cuma meniru apa-apa yang diperbuat oleh generasi sebelumnya. Ada yang cuma menyerahkan urusan pendidikan pada instansi sekolah, surau/ mesjid atau lembaga sosial lainnya. Ada pula yang cukup peduli dalam mendidik anak, tapi cuma sampai pendidikan anak di PAUD (pendidikan anak usia dini), TK dan di SD kelas satu atau kelas dua. Selanjutnya mereka tidak mau tahu lagi atau berhenti mengikuti perkembangan pendidikan anak dari kelas tiga SD, terus ke tingkat SLTP,dan SLTA apalagi untuk tingkat perguruan tinggi.
Pintarnya orang tua stelah itu hanya sebatas meyuruh, melarang dan berteriak-teriak “belajar lah naaaak…, jangan main-main… buat PR….jangan merokok…baca buku….!!!”. Selanjutnya dorongan orang tua cuma sebatas berharap “usahakan juara satu… usahakan nilai mu seratus….!!”. Harapan orang tua ini tidak salah namun kalau orng tua ikut berbangga bahwa anak jadi juara lewat usaha yang penuh kepalsuan, juara lewat contekan atau juara kelas karena (factor) berkenalan dengan guru di sekolah anak. Maka tumbuhlah anak jadi generasi cerdas yang penuh bohong. Dalam mendidik yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah bagaimana agar anak selalu aktif dalam proses belajar dengan penuh kesadaran dan kemandirian, walaupun mereka tidak begitu juara di kelas, namun juara bukan karena rekayasa.
Kesehatan keluarga merupakan prasyarat yang lain untuk mendapatkan keluarga bahagia. Masalahnya sekarang bahwa banyak keluarga yang gemar memupuk gizi anak dengan makanan dan minuman yang bersifat cepat saji (fast food and fast drink), makanan yang yang kaya dengan kandungan kolesterol, zat-zat additive, zat-zat pewarna dan zat-zat kimia yang berpotensi untuk mempersingkat umur dan penyakit degeratif (proses merosotnya kesehatan) lainnya dan bahan bahan penyedap lainnya.
Mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat yang dibungkus dengan kemasan dan label, tampaknya sudah menjadi gaya masyarakat kita. Rasanya tidak gaul dan tidak moderen kalau berpergian membawa “pisang goreng, godok ubi, kue lapis, onde-onde, kue lopi dan penganan lain yang lebih alami”. Makanan dan minuman yang dibawa bila naik mobil dan kendaraan lain adalah makanan dan minuman yang dibungkus kemasan plastic, berlabel, kaya dengan zat. Begitu selesai dikonsumsi maka dengan seenak isi perut dilemparkan saja ke jalan raya.
Ada jutaan orang yang melemparkan bungkus makanan dan minuman setiap saat sepanjang hari. Coba lihat jalan-jalan raya di kota dan di propinsi kita, kotornya sudah luar biasa. Pemuka masyarakat, pemuka agama, tokoh intelektual dan sampai kepada professor sudah terbaisa melihat pemandangan yang demikian. Kenapa sampai saat ini belum ada seruan agar “pemilik mobil melengkapi mobil dengan tong sampah “ atau “yang membuang sampah lewat jendela mobil akan kena denda”. Ini mungkin lebih efektif dalam menjaga kebersihan jalan raya. Atau kurangi saja kuota penerimaan CPNS andai kelak mereka Cuma cenderung menjadi PNS yang senang makan gaji buta, dialihkan saja untuk merekrut pasukan kuning (petugas kebersihan) untuk kebersihan jalan raya di luar kota.
Sangat mengkhawatirkan dan memalukan karena volume sampah bungkus makanan dan minuman di sepanjang jalan jalan propinsi hingga jalan kecamatan, sudah berlipat ganda. Sementara untuk memungut sampah tersebut entah siapa yang bertanggung jawab. Kepala pemerintah, tokoh spiritual dan intelektual entah peduli dengan fenomena jelek ini entah tidak. Apakah ada kecendrungan Indonesia menjadi republik penuh sampah ?. Undang-undang tentang kebersihan lingkungan perlu untuk melibatkan pemilik kendaran agar peduli terhadap kebersihan jalan raya dan ikut memberikan sanksi atas kejahatan, mengotori lingkungan ini.
Tentang kebutuhan hiburan keluarga, banyak orang tua yang berfikir bahwa melengkapi rumah dengan sarana hiburan sebagai usaha membuat warga rumah menjadi bahagia dan terhibur. Banyak ayah dan ibu menjanjikan fasilitas hiburan sebagai rewad. “Kalau kamu juara kelas, papa belikan play station…. Kalau kamu jago dalam ujian mama belikan HP kamera….. kalau kamu suka membuat PR nanti om belikan TV 24 inch”. Reward seperti ini tidak salah bila bisa effektif untuk menggenjot minat dan motivasi belajar anak.
Fenomena Rumah Tangga.
Fenomena di lapangan bahwa banyak orangtua sangat peduli membeli produk elektronik buat sarana hiburan keluarga meskipun harganya demikian mahal seperti TV berwarna ukuran jumbo, VCD player, antene parabola, loud speaker dengan beat keras, play station, sampai kepada sarana hiburan berukuran kecil seperti HP kamera, TV portable, MP3, dan jenis jenis digital elektronik yang lain. Yang jadi masalah atas fasilitas hiburan ini adalah apakah orang tua dan anak tahu atau tidak tentang aturan menggunakan alat-alat hiburan ini.
Sekarang yang terpantau pada banyak rumah adalah bahwa semua fasilitas hiburan ini hidup sepanjang waktu sehingga membuat suasana rumah jadi hiruk pikuk. Sering gangguan suara dan tayangan hiburan mengganggu acara kebersamaan keluarga. Kini dipertanyakan bahwa apakah masih ada acara kebersamaan yang cukup menyentuh untuk makan bersama, dan shalat berjamaah. Yang ada cuma duduk bersama sambil menonton presenter, artis, iklan dan konten hiburan yang banyak mengandung hura-hura, kekerasan, percekcokan dan miskin nilai sopan santun/ nilai moral.
Sekali lagi, bahwa banyak rumah tangga sekarang gara-gara diisi oleh berbagai fasilitas hiburan telah menjadi hiruk pikuk. Hiruk pikuk oleh suara presenter dan iklan dari stasiun TV, dentuman musik dari speaker pada belahan rumah yang lain. Anak-anak ABG (Anak Baru Gede= remaja) yang sengaja menyisipkan headset loudspeaker MP3 telah membuat lobang telinga mereka juga menjadi hingar bingar, ini berpotensi membuat mereka tidak kenal lagi bagaimana cara berbicara dan berbahasa yang santun dan lemah lembut pada orang lain. Beginilah orang tua sekarang yang membesarkan dan mendidik anak-anak mereka dengan penuh kegaduhan dan suara yang hiruk pikuk.
Ada suatu keluarga yang tiba-tiba memperoleh tambahan bayi baru dan membesarkannya dalam rumah yang penuh suara fasilitas hiburan yang tak terkontrol. Sang bayi menangis dan resah sepanjang waktu sehingga membuat orang tua sangat cemas. Dokter mengatakan bahwa si bayi cukup sehat dan yang membuat bayi resah dan rewel adalah karena sejak kelahirannya “telinganya yang sensitif terganggu oleh kondisi suara yang penuh dengan suasana yang hiruk pikuk tersebut”. Suasana menjadi semakin parah manakala setiap anggota keluarga berbicara dengan volume suara keras untuk mengalahkan suara elektronik dan akhirnya berbicara dengan suara lembut dan santun sudah menjadi sesuatu yang mahal.
Suasana pendidikan di rumah dengan suasana yang hiruk pikuk agaknya dapat ditemukan pada puluhan, ratusan, ribuan dan malah jutaaan rumah tangga di Indonesia. Bila orang tua dan masyarakat kita masih ingin memiliki anak anak yang shaleh, santun dan cerdas, kemudia memperoleh rumah tangga yang bahagia dan penuh rahmah maka mereka perlu untuk menata diri dan rumah tangga. “Benahilah cara mendidik keluarga, benahi cara mengkonsumsi fasilitas hiburan agar tidak mengganggu proses pendidikan, pertumbuhan dan perkembangan keluarga”. Seperti kata ungkapan “better late than never”, biarlah terlambat dari pada tidak pernah melakukan penataan pada pendidikan keluarga sama sekali.
5. Mencari Model Idola
Rata-rata pendidikan orang tua di Indonesia mungkin banyak yang tamatan SMP atau SLTA, namun pada beberapa daerah malah tamat SD atau ada yang tidak tamat SD sama sekali. Kemudian mereka memutuskan untuk belajar hidup. Fokus utama yang mereka kejar adalah bagaimana agar bisa mencari duit, mereka bisaanya belajar hidup- magang atau on the job training- dengan famili atau ikut orang-orang yang masih punya hubungan dekat. Profesi yang dipilih adalah sebagai pembantu dalam berdagang, atau jadi buruh dan karyawan toko atau kegiatan ekonomi skala kecil lainnya dengan cara membuka warung, bertani, beternak dan jadi nelayan. Kemudian bila takdir datang, bertemu jodoh yang sehati, senasib dan sekarakter maka mereka memutuskan pulang kampung untuk mencari restu orang tua , membentuk rumah tangga baru.
Banyak keluarga muda- junior family, tidak tahu banyak tentang hakekat menjadi orang tua. Mereka jarang memperoleh bekal tentang parenting (bagaimana menjadi orang tua) yang layak. Dari keluarga muda, yang miskin persiapan bagaimana menjadi orang tua, ini lahirlah ribuan atau jutaan bayi se Indonesia yang butuh pendidikan.
Pada umunya orang tua junior hidup di daerah rantau (migrasi), bekerja jadi buruh pabrik, karyawan toko atau swasta sampai berwiraswasta dan syukur kalau bisa menjadi PNS, pegawai BUMN dan polisi/ABRI. Kecuali Polisi dan ABRI punya asrama, yang lain tinggal memgontrak satu kamar atau tinggal di rumah kecil seukuran perumnas dengan type RSS- rumah sangat sederhana.
Di sinalah bayi dan anak-anak tumbuh dan berkembang dibawah bimbingan orang tua, apakah punya persiapan sebagai orang tua, atau mengikuti pola mendidik generasi tua (ayah ibu mereka) atau malah tidak ambil pusing tentang urusan mendidik anak. Pendidikan anak di rumah- beda dengan di sekolah yang dipandu oleh kurikulum dan sentuhan tangan guru-guru yang juga sesuai dengan gaya dan karakter mereka- yang ditandai dengan interaksi demi interaksi, stimulus (rangsangan), pengalaman langsung, pemodelan dari orang tua, dan pemberian pujian serta hukuman secara langsung siang dan malam.
Masalah utama yang dialami oleh keluarga junior adalah, tentu saja tentang keuangan yang tak kunjung memberi kepuasan dan kecukupan, maka mulailah di sini timbul problema. Mereka harus tinggal di ruangan yang kecil sehingga susah membuat pola hidup yang pas untuk pendidikan. Kalau boleh memilih, lebih baik tidak punya televisi sebab si tabung elektronik ini punya potensi besar mengacaukan pola hidup keluarga. Gara-gara televisi yang menyala siang malam- kalau mati di rumah sendiri, anak hijrah untuk menonton ke rumah tetangga- mereka cendrung menjadi lengah dengan kewajiban belajar. Membuat PR, membaca buku dan menulis adalah menjadi beban yang membosankan bagi banyak anak di bangku SD sampai SMP. Di usia ini anak dan orang tua selalu bentrok gara-gara anak tidak tertarik untuk belajar. Kalau begitu merosotnya minat dan motivasi belajar sudah dimulai pada tahap ini.
Pengalaman hidup dari tetangga, agaknya bisa dipetik sebagai pelajaran. Semua orang tahu bahwa lama waktu tidur anak-anak lebih banyak dari pada orang dewasa. Seorang bayi musti tidur 18 jam sehari-semalam dan waktu bangunnya digunakan untuk makan, minum susu dan belajar bersosial serta berkomunikasi. Anak anak yang sudah agak besar jumlah waktu tidurnya juga semakin berkurang. Mereka yang duduk di kelas satu atau kelas dua Sekolah Dasar (berumur 6 sampai 8 tahun) bisa jadi tidur jam 20.00 malam (pukul 8 malam) dan bangun jam 6 pagi. Itu sudah membuatnya tidur nyenyak dan pulas, maka ia tak perlu lagi tidur siang dan bisa menggunakan waktu siangnya untuk belajar bersosiasial/ berteman, mengerjakan hobi, melakukan permainan kreatif bersama teman dan anggota keluarga serta mengembangkan kebisaaan belajar. Anak yang kurang dicikaraui atau dibantu mengatur jadwal tidur (tidur sampai larut malam mengikuti pola tidur ayahnya) cendrung bermasalah dengan disiplin waktu. Rata-rata siswa yang tidak disiplin untuk tidur, cendrung mengantuk di sekolah dan bermasalah dengan guru selama PBM- ia dianggap sebagai siswa yang kurang tertarik untuk mengikuti PBM. Lagi- lagi masalah belajar berasal dari tidak disiplin waktu di rumah, dan orang tua tidak boleh berlepas tangan seenaknya.
Ukuran atau besarnya ruangan rumah bisa menjadi sumber masalah dan merembes ke masalah di sekolah. Bayangkan sebuah keluarga dengan dua orang anak yang duduk di bangku sekolah SD, SMP atau SLTA menempati rumah berukuran kecil, tanpa punya ruang tidur dan ruang belajar yang memadai, ditambah lagi dengan suasana yang hiruk pikuk- acara sinetron televisi yang menarik datang silih berganti, hiburan dari CD player, dering ringtone dan clip film dari handphone, serta lantunan karaoke dari rumah tetangga, maka apakah masih ada mimpi untuk memiliki anak yang punya kecerdasan berganda. Apalagi suasana stress yang begini membuat orang tua kurang menarik dalam berbahasa- marah, memaki, mengumpat dan serba banyak melarang serta menyuruh. Suasan rumah seperti ini cukup mayoritas jumlahnya dan juga berpotensi melahirkan anak didik dengan minat dan motivasi belajar yang rendah.
Cukup beruntung bagi kelurga junior bila bisa memiliki- membeli atau mengontrak- ruangan atau rumah dengan ukuran yang agak memadai. Namun bila mereka kurang memiliki konsep pendidikan maka mereka juga berpotensi menciptakan generasi yang salah didik. Di daerah perkotaan orang tua junior bisa jadi berkarakter plaza-oriented, apa saja yang dimakan, diminum dan dipakai anak musti dibeli dari plaza. Mereka, karena kurang punya ilmu mendidik dan kesehatan, cendrung memanjakan anak dengan makan dan minum berkaleng penuh dengan zat-zat kimia dan makanan fast food- cepat saji- yang juga menjanjikan penyakit generative dari pada mendatangkan manfaat kesehatan. Sajian sepiring rujak- makanan tradisionil- dan sekeping singkong bakar atau singkong rebus (yang cendrung dilihat sebelah mata bagi kalangan yang merasa separo selebriti) jauh lebih sehat dari pada makanan dan minuman yang sudah meluncur dari kaleng dan botol dengan pengawet kimia. Prilaku dan gaya hidup orang tua juga ikut menciptakan anak yang berkarakter konsumerisme dan rentan dengan penyakit.
Kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak memang ditentukan oleh peranan dan campur tangan orang tua terhadap mereka. Secara awam agaknya ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Kesalahan ini disorot tentu sebagai langkah antisipasi agar tidak timbul malpraktek atau salah-asuhan dalam mendidik anak. Malpraktek dalam mendidik yang dilakukan oleh ibu-bapa dan anggota kelurga yang dewasa lainnya adalah seperti; kurang pengawasan, gagal menjadi pendengar, jarang bertemu muka dengan anak, bersikap terlalu suka berlebihan, suka bertengkar di depan anak, bersikap kurang konsisten, terlalu banyak nonton tv, mengukur segala sesuatu dengan materi, dan bersikap berat sebelah atau tidak adil.
Kurang pengawasan adalah bentuk kesalahan orang tua yang pertama. Dari fenomena sosial terlihat bahwa anak-anak terlalu banyakbergaul dengan lingkungan semu di luar keluarga, dengan orang lain dan tokoh tokoh dalam kartun, film dan sinetron. Ini adalah tragedy yang membuat orang tua kehilangan teladan- apalagi kalau pribadi orang tua kurang menarik, misal karena terlalu cerewet atau terlalu banyak mencampuri anak terlalu detailk. Idealnya adalah agar tidak membiarkan anak berkeliaraan sendirian. Anak butuh perhatian orang tua, maka rumah perlu dikondisikan, ada sarana belajar, bermain, hiburan- undang teman temannya agar anak tidak kuper (Kurang pergaulan)- dan orang tua pun melowongkan waktu untuk berbagi rasa dan berbagi cerita- berinteraksi dan berbagi pengalaman hidup.
Anak-anak dapat dikatakan sebagai kelompok manusia yang paling sibuk di dunia. Mereka punya segudang mimpi untuk diceritakan pada teman dan termasuk pada orang tua. Namun banyak orangua terlalu lelah memberikan perhatian, mereka cendrung untuk mengabaikan apa yang mau diungkapkan oleh anak. Tanpa disadari karakter orang tua yang begini melahirkan anak menjadi orang yang juga segan mendengar orang lain, termasuk mendengar gurunya di sekolah.
Adalah bijaksana menjadi orang tua yang tidak terlalu detail mencampuri dan mengarahkan anak. Juga tidak salah kalau orang tua membiarkan anak melakukan kesalahan- memainkan perangkap nyamuk sehingga ia kena sentrum lemah, misalnya. Dari hal ini ia akan jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun adalah sangat tepat kalau orang tua ikut membantu anak untuk mengatasi masalahnya sendiri.
Sebahagian orang ada yang bersikap terlalu berlebihan. Itulah ruginya menjadi orang tua dengan keluarga kecil- Keluarga Berencana- dibandingkan dengan orang tua dulu yang mempunyai banyak anak. Mereka hampir-hampir tidak punya waktu untuk mendikte dan mengurus anak, anak banyak mencoba dan akan kaya dengan penglaman hidup. Orang tua sekarang dengan satu atau dua anak terlalu banyak khawatir, takut anak diganggu orang, takut anak mendapat kecelakaan, takut anak sakit dan akhirnya anak serba dibantu dan dilindungi. Akhirnya ia menjadi tumpul- miskin perngalaman hidup. Wajar bukan kalau anak sekarang serba tidak mandiri- tidak pandai mencuci kaus kaki sepatu, merapikan pakaian dan kamar sendiri, tidak tahu cara menanam biji pohon sampai kepada tidak terampil memasak goreng ikan. Kerjanya belajar sampai pintar, tetapi setelah dewasa berpotensi menjadi sarjana bengong yang hanya pintar membuat lamaran dan menjadi buruh pabrik.
Perilaku orang tua yang paling berpengaruh dalam merusak mental anak adalah “bertengkar” dihadapan anak. Saat orang tua bertengkar di depan anak, khususnya anak laki-laki, maka hasilnya adalah akan menciptakan seorang calon pria dewasa yang tidak sensitive- yang mungkin juga kasar pada wanita- kelak ia kurang bisa berhubungan dengan wanita secara sehat. Bertengkar di depan anak perempuan, akan membuatnya berfikir bahwa susah mencari pria yang baik dan romantis. Kemudian, mungkin siswa yang kurang sensitive di sekolah bisa jadi berasal dari orang tua yang gemar bertengkar di depan mereka di rumah. Orang tua seharusnya menghangatkan diskusi di antara mereka. Wajar saja bila orang tua berbeda pendapat tetapi usahakan tanpa amarah. Jangan ciptakan perasaan tidak aman dan ketakutan pada anak.
Anak merupakan anggota keluarga yang bisa mengukur isi hati ayah-ibu nya. Anak juga perlu merasakan bahwa orang tua mempunyai peran- leader, supervisor, motivator dan educator. Jangan biarkan mereka memohon dan merengek menjadi senjata yang ampuh untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang tua harus tegas dan berwibawa di hadapan anak. Kemudian, sekali lagi, apakah perlu menghadirkan pesawat televisi di rumah. Menonton televisi akan membuat anak malas belajar. Orang tua cenderung membiarkan anak menonton berlama-lama di depan tv dibandingkan mengganggu aktifitas mereka Orang tua sangat tidak mungkin dapat menyaring iklan negative dan tokoh tokoh sinetron yang tidak mendidik. Sekarang terserah mereka, lebih baik tidak punya televisi atau membiarka pesawat televisi tidak menyala lagi atau dibuat aturan baru.
Tidak perlu bersikap berat sebelah, beberapa orang tua kadang kala lebih mendukung anak dan bersikap memihak anak sambil menjelekan pasangannya di depan anak. Mereka akan kehilangan persepsi dan cenderung terpola untuk bersikap berat sebelah. Orang tua perlu meluangkan waktu bersama anak minimal setengah jam di sela-sela kesibukannya.
Malpraktek di rumah tangga, karena menjadi orang tua yang miskin dengan konsep pendidikan perlu untuk dicegah sedini mungkin. Orangtua perlu mengusahakan memilih rumah yang bisa memberi tempat bagi anak untuk beristirahat, belajar dan berkreasi. Tidak perlu menyediakan home theater-membuat bising suasana rumah oleh tv dan sarana hiburan lain. Orang tua perlu menjadi model dalam bergaul, beribadah, berkarya dan belajar. Beberapa kebisaaan yang bisa menjadi kesalahan dalam mendidik perlu untuk ditinggalkan, yakni seperti kurang pengwasan terhadap anak, malas menjadi pendengar, bersikap terlalu suka berlebihan, suka bertengkar di depan anak, membiarkan anak terlalu banyak nonton tv, dan bersikap berat sebelah atau tidak adil.
6. Gaya Belajar Tokoh Hebat
1. Otodidak
Otodidak berasal dari kata ”auto” dan ”didak” yang berarti “belajar sendiri. Kata otodidak berkaitan erat dengan pendidikan. Dan pendidikan adalah usaha manusia atau diri sendiri untuk berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar, dari miskin informasi menjadi kaya dengan informasi. Tentu saja maíh banyak ekspressi lain yang dapat kita tambahkan disini.
Pendidikan ádalah sarana untuk menjadi pintar dan kaya dengan informasi. Bangsa kita sudah beruntung karena banyak orang yang sudah peduli dengan pendidikan. Masyarakat dan orang tua sudah mulai selektif dalam memilih pendidikan dan mereka telah ikhlas ikut berpartisipasi secara moril dan materil.
Kini yang dituntut adalah pendidikan yang bermutu. De Porter (2002) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang meliputi dan mengembangkan kecerdasan berganda, menghargai unsur modalitas visual, audiotorial dan kinestetik. Hasri (2004) mengatakan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dilasanakan oleh sekolah efektif dan guru yang efektif.
Pendidikan yang berkualitas adalah dambaan semua orang. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang berimbang antara unsur kognitif (otak), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (atau afektif). Namun fenomena sekarang adalah bahwa pendidikan yang membuat anak didik untuk pintar mencari kerja. Fenomena yang dideskripsian oleh media cetak dan media elektronik bahwa orang sekarang sekolah setinggi mungkin hanya untuk menjadi kaya dan mengejar posisi. Begitu posisi susah untuk diperoleh maka mereka bermimpi menjadi PNS- atau Pegawai Negeri Sipil. Karena kuota untuk menjadi PNS juga terbatas, maka orang cenderung setelah menempuh pendidikan yang lama dan panjang hanya mampu menulis surat lamaran, gagal dan menjadi pengangguran.
Fenomena pengangguran sudah menjadi beban pemerintah, karena lapangan kerja mereka harus dicarikan dan mereka masih menjadi beban bagi masyarakat atau orang tua yang punya anak yang masih luntang- lantung. Sebelum deretan pengangguran makin lama makin panjang, maka lebih baik fenomena penyakit pengangguran (sebagai penyakit masyarakat) dipenggal saja, misalnya dengan meningkatkan kepintaran berganda- multiplied intelligent lewat otodidak. Untuk itu kita perlu bercermin kepada figur- figur atau tokoh besar, mereka itu bisa jadi tokoh intelektual dan tokoh ulama. Mereka itu bisa jadi Soekarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Cokroaminoto, Buya Hamka, dan lain- lain. Tulisan ini akan membahas tokoh yang bernama ”Buya Hamka”. Berikut digambar bagaimana semangat otodidak beliau untuk maju.
Buya Hamka Melakuan Otodidak Tanpa Mengenal istilah Pengangguran
Kata lain dari “pengangguran” adalah tunakarya. Tetapi kata pengangguran lebih lazim diucapkan oleh banyak orang. Terutama dikalangan orang- orang yang sedang mencari kerja atau merasa telah gagal dalam mencari kerja. Saat Buya Hamka kecil, orang-orang dan Buya Hamka sendiri belum mengenal kata atau istilah pengangguran, karena pada masa itu semua orang punya pekerjaan. Pekerjaan yang populer saat itu adalah seperti bertani, nelayan, beternak, bertukang, berdagang atau sebagai buruh dan satu dua orang ada yang menjadi guru di surau (Ulama) dan guru di sekolah pemerintah (penjajah). Saat itu pekerjaan diwariskan dari orangtua secara turun temurun. Tidak seperti sekarang, pekerjaan dicari, dilamar, dan kemudian diterima atau ditolak.
Pada masa itu, dalam suasana masyarakat tradisional,seperti yang telah diungkapkan, generasi tua sangat peduli terhadap kelangsungan kerja generasi muda. Seorang ayah akan melatih anak laki- laki yang sudah besar untuk mengikuti dan menekuni profesi sang ayah. Dan kelak bila sudah dewasa ia boleh bekerja berdikari- berdiri di atas kaki sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas on job training – atau magang- sudah berjalan dan malah telah mengakar dan membudaya dalam keluarga. Begitu juga dengan kaum wanita, ibu- ibu juga melatih dan mempersiapkan masa depan anak wanita dengan memberi peran-peran sosial sebagai kaum wanita, sebagai calon ibu dan calon istri. Kegiatan menjahit, merenda, memasak, merawat adik- adik dan merawat rumah adalah bentuk kegiatan yang umum. Ini berarti nilai-nilai keterampilan dan sikap bertanggung jawab diajarkan dan diwariskan secara turun temurun. Orang sekarang memberi istilah bahwa telah terjadi pewarisan nilai psikomotorik dan afektif dari orang tua ke anak.
Hamka adalah akronim dari ”Haji Abdul Malik bin Abdul karim Amrullah”- lahir pada tahun 1908 di Sungai Batang, Maninjau Sumatra Barat dan meninggal di Jakarta tahun 1981- beruntung karena juga mempunyai ayah yang juga tokoh masyarakat pada saat itu. Ayah beliau adalah Syekh Abdul karim Amrullah, nama lainnya adalah Haji Rasul. Ia dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam atau Tajdid di Minangkabau setelah ia kembali dari Makkah- kota suci pusat umat Islam dan pusat pendidikan Islam di dunia dan saat itu orang Islam di Minangkabau bersikap fanatik buta, percaya hanya terhadap apa yang dikatakan oleh pemuka masyarakat tanpa menganalisa benar atau salah.
Saat Buya Hamka kecil, nilai otak (nilai kecerdasan otak) sangat dijunjung tinggi oleh banyak orang. Namun tidak banyak orang tua yang tahu bagaimana agar anak mereka bisa menuntut ilmu setinggi mungkin, dan sikecil Hamka tentu merasa beruntung mempunyai ayah seorang ”Haji Rasul” sebagai orang yang terpandang dan tokoh masyarakat pada saat itu.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ia tidak pernah memperoleh pendidikan formal seperti SLTP, SLTA apalagi pendidikan di Perguruan Tinggi. Untuk memperoleh ilmu ia hanya melakukan proses belajar secara otodidak. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Buya Hamka melalui kebisaaannya melakukan otodidiak- belajar mandiri- mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullahs).
Kegiatan otodidak Buya Hamka, yaitu membaca dan menulis dalam berbagai bidang disiplin ilmu- filsafat, pendidikan, agama, kebudayaan, politik dan lain-lain- membuat Hamka mampu memahami permasalah dalam banyak bidang dikehidupan ini. Dalam hidupnya Hamka dengan tanpa ia sadari telah menjalani banyak bidang kehidupan.
Sebagai politikus, kegiatan politik Hamka berawal pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia tanpa pernah diadili. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis dan menyelesaikan Tafsir al Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia (Aning, 2005).
Dalam hidupnya Buya Hamka sempat melalui multi karir atau multi kegiatan. Ia aktif dalam bidang keagamaan dan politik, dan selain itu Hamka juga sebagai seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga dikenal sebagai Tokoh Budaya atau Budayawan karena beliau mampu menghasilkan banyak karya ilmiah dalam bidang agama Islam, dalam bidang kebudayaan dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Kegiatan otodidak Buya Hamka dalam bidang menulis membuat beliau mampu melahirkan puluhan buku yang dibaca orang di seluruh pelosok nusantara- malah juga di baca oleh bangsa – bangsa Melayu. Tokoh- tokoh pendidik di Universitas terkemuka memonitor dan menilai hasil- hasil karya tulisnya. Untuk itu Buya Hama menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan dari negara Mesir, Universitas Kebangsaan Malaysia dan juga dari dalam negeri kita, Indonesia. Maka Universitas al-Azhar, juga menganugerahinya gelar Doctor Honoris Causa pada tahun 1958, Doktor Honoris Causa juga diperoleh dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, kemudian gelar Datuk Indomo dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. (http://www.mail-archive.com/rantau-net).
2. Buya Hamka Sebagai Inspirator
Kini Buya Hamka sudah tiada, karena beliau sudah berpulang ke haribaan Allah. Beliau telah berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan bangsa, negara dan agama.
Namun sekarang ada fenomena dalam kehidupan yaitu populasi generasi muda yang menempati posisi sangat mayoritas dalam piramida demografi kependudukan di Indonesia. Mereka adalah anak- anak muda, remaja dan pelajar yang sangat sibuk menumbuh kembangkan potensi diri. Setiap saat selalu mencoba dan mencoba untuk mencari identifikasi diri, mereka selalu merenung dan berfikir untuk menemui figur yang sangat pas untuk diadopsi dan ditiru dalam rangka membentuk karakter diri sendiri.
Generasi muda yang jumlahnya jutaan jiwa itu dapat kita umpamakan sebagai koloni serangga yang beterbangan di malam hari mengejar sinar yang dipancarkan oleh figur- figur orang orang besar dan orang orang ternama di Indonesia (malah bisa jadi juga orang terkenal di level dunia). Figur atau tokoh yang memancarkan sinar popularitas yang kuat pastilah mampu menarik banyak anak- anak muda untuk menjadikan mereka sebagai idola atau sebagai panutan (model) bagi hidup.
Dalam satu generasi yang lalu sampai kepada dua puluh tahun yang silam, yaitu tahun 1970-an dan 1980-an, agaknya cahaya tokoh intelektual, juga tokoh agama, masih memiliki sinar yang terang untuk menyinari generasi muda di Indonesia. Begitu juga bagi generasi pada zaman sebelumnya. Sebut saja generasi di tahun 1940-an sampai tahun 1960-an, saat anak- anak muda dan para pelajar Minangkabau masih tidur di surau, mereka sebelum tidur selalu bermimpi ingin menjadi orang hebat- menjadi tokoh intelektual- seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Buya Hamka, Haji Agus salim, dan lain- lain. Di saat senggang mereka bercengkrama dan berdialog sampai separoh bertengkar mempertahankan reputasi figur idola mereka kalau di rendahkan oleh lawan bicara. Tentu saja mereka juga rajin untuk mengumpulkan kliping tulisan yang mempublikasikan figur tersebut dari majalah dan koran- koran, atau mereka mencari buku biografi tentang orang ternama lain untuk perbendaharaan wawasan mereka lewat meminjam, dari pustaka atau membelinya di toko buku.
Rata- rata generasi muda (baca: anak sekolah) pada masa itu yang menjadikan tokoh intelektual sebagai panutan mampu membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Tidak saja kualitas untuk kognitif, tetapi juga kualitas untuk sikap, prilaku, akhlak sampai kepada kualitas kecakapan hidup lainnya. Walau istilah quantum quotient- kepintaran berganda, belum dikenal saat itu namun dalam kenyataan mereka telah memiliki pribadi dengan kecerdasan berganda secara tak langsung. Maka tidak heran kalau rata- rata remaja- sebagai calon intelektuak saat itu mampu tumbuh menjadi orang yang sukses dan terpandang dalam masyarskat. Bukti itu masih terlihat bagi mereka yang berkarir pada tahun 1970 an dan 1980 an.
Dapat dikatakan bahwa figur tokoh intelektual dan juga tokoh agama yang ada di Indonesia pada saat itu betul- betul memiliki kekuatan dan mampu memberikan model atau panutan bagi generasi muda pada masa itu. Suara, tulisan dan kehadiran mereka selalu ditunggu tunggu setiap saat. Dan juga menjadi tradisi bagi tokoh intelektual pada masa itu untuk banyak meleburkan diri dengan anak- anak muda. Mereka turun ke bawah, ke surau, ke langgar dan ke sekolah untuk menemui generasi muda atau orang- orang yang mengidolakan mereka. Mereka tidak sibuk meleburkan diri dengan proyek yang ujung- ujungnya untuk menebalkan dompet. Karena pada masa itu yang bernama proyek demi proyek memang juga jarang.
Tokoh- tokoh intelektual ukuran lokal pun juga mempunyai arti bagi anak- anak muda pada masa itu. Mereka juga mempunyai andil atau peran lewat model atau figur yang mereka miliki untuk menggerakkan semangat, dan motivasi mereka untuk maju dan berkembang. Kultur yang tinggi dan karakter yang baik pada diri mereka mampu menular kepada generasi muda pada masa itu. Sehingga saat itu mungkin istilah tawuran masal dan istilah kenakalan remaja belum terdengar segenjar sekarang.
Pada masa itu tokoh intelektual masih punya agenda rutin untuk melakukan turba atau turun ke bawah. Sebutlah Buya Hamka, sebagai contoh, sebelum meninggalnya di tahun 1980, dalam tahun- tahun sebelumnya selalu punya agenda untuk turun dan berbagi fikiran dan pengalaman (berdakwah), tanpa protokoler seperti intelektual sekarang, kepada masyarakat yang berada di lapis bawah yang sudah menunggu di mesjid di daerah tingkat dua. Tokoh agama dan tokoh intelektual dirasakan sebagai milik masyarakat, bukan sebagai miliki kampus, milik perkumpulan atau kaum elit.
Adalah fenomena pada saat itu bahwa tokoh intelektual membuka pintu rumahnya lebar- lebar untuk banyak orang, tanpa pandang bulu dan pilih kasih. Mereka berbicara hati ke hati secara langsung dan bukan dari jauh lewat seminar atau workshop. Karena pada masa itu kegiatan seminar dan workshop belum segencar sekarang. Sekarang hanya kalangan tertentu saja yang bisa berbagi pengalaman dengan tokoh intelektual, dan tempatnya pun harus di lokasi seminar yang ujung- ujungnya hanya untuk orang yang berduit dan orang yang mengharapkan selembar sertifikat untuk sertifikasi atau keperluan naik pangkat.
Awal tahun 1980-an adalah era televisi mulai merangkak dan hadir ke tengah masyarakat Indonesia. Televisi pada mulanya punya visi dan misi suci yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan juga sebagai corong komunikasi dari pemerintah untuk rakyat. Lambat laut peranan televisi- si kotak ajaib, tadi memberikan fungsi dan peranan ganda. Yaitu sebagai media pendidikan dan hiburan. Bila porsi fungsi ini masih berimbang- fifty- fifty antara hiburan dan pendidikan- maka tentu ini tidak lah menjadi masalah. Yakni selagi masih berada dalam koridor kebudayaan Indonesia. Namun entah mengapa, entah siapa yang memulai (tentu saja orang yang mempunysi duit dan mengusai dunia komunikasi) maka porsi televisi sebagai hiburan sudah semakin menciut. Malah sekarang di tahun 2000 an ini, dapat dikatakan bahwa fungsi televisi adalah banyak sebagai benda penghibur untuk anggota masyarakat.
Kalau dahulu televisi dipandang sebagai benda lux atau kebutuhan mewah, maka sekarang ia telah menjadi kebutuhan primer, seperti hal-nya kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Dan sering ditemui rumah- rumah kumuh atau gubuk yang agak reot tetapi pemiliknya mampu mempunyai televisi berwarna- walau itu adalah pemberian kaum kerabat mereka. Karena kini televisi telah berubah fungsi menjadi teman untuk memecah kesepian dan sebagai babby sitter untuk menemani anak selama berjam- jam walau dengan seribu satu dampak yang ia berikan.
Sekarang para pebisnis tahu betul bahwa untuk bisa berdagang dan meraup laba sebanyak mungkin dari lapisan masyarakat maka televisi bisa menjadi media massa yang andal. Maka dalam masa satu atau dua dekade saja, belasan stasiun televisi pun bisa bermunculan di bumi Indonesia. Kehadiran televisi sekarang bukan punya niat untuk mendidik tetapi banyak punyas niat untuk menghibur (sambil menyuguhkan budaya baru sebagai pilihan).
Kehadiran televisi dalam keluarga, tidak memupuk budaya belajar, malah menyuburkan budaya menonton. Anak anak muda menjadi lebih suka menonton dari pada membaca. Selama ini pribadi tokoh intelektual hanya bisa ditemui lewat kebisaaan membaca. Budaya menonton membuat mereka tidak bisa kenal dan malah makin jauh dari figur intelektual, karena mereka sendiri membenci hobi membaca.
Agar program komersial dan hiburan televisi makin laku dan makin mampu bersaing sesama mereka- stasiun televisi- dan mampu merebut hati remaja dan generasi muda (yang tidak suka atau separoh suka membaca) maka pemilik stasiun televisi yang jumlahnya belasan menghadirkan sosok figur yang ramah tamah, cantik, menarik dan penampilan nyentrik. Mereka ini belakangan akrab disebut atau disapa sebagai kaum selebriti. Mereka terdiri dari bintang film, bintang sinetron , artis, penyanyi, presenter atau bintang iklan, atau mungkin ada dari grup lain dengan istilah lain pula.
Para selebriti, kehadiran mereka sungguh sangat mempesona dan kelincahan mereka dalam menjual pribadi yang dipoles oleh hal- hal yang bersifat imitasi- tiruan dan penuh kepalsuan mampu membuat mereka menjadi kaya dalam sekejam mata. Sehingga ini menjadi inspirasi bagi penonton televisi. Pada mulanya pribadi atau pesona selebriti ini hanya memberi inspirasi kepada kaum remaja yang memang sedang demam mencari figur atau identifikasi diri. Lambat laun pesona penampilan selebriti ini merebak kesemua lapisan masyarakat.
Pada mulanya hanya kaum remaja sajalah yang tampil dan berperilaku mirip artis atau selebriti yang mereka tonton di laya kaca, cara berpakaian, cara ber make-up, cara berbicara, cara bersopan santun. Namun sekarang pria dan wanita setengah baya pun banyak yang tampil lebih glamour dari pada selebriti itu sendiri memakai rambut berwarna, celana ketat, lensa kontak, muka dipermak, atau bagi pria memakai celana model melorot, merek pakaian mesti trendy dan sampai mereka melangkah menjauhi mode dari kebudayaan sendiri.
Maka inilah fenomena yang kini terjadi, saat pesona selebriti mengalahkan popularitas dan pengaruh tokoh inteletual, telah mengakibatkan generasi muda tumbuh menjadi generasi kebingungan, generasi yang tercabut dari akar budayanya. Fenomena kebingungan generasi muda ini bisa diatasi apabila tokoh intelektual mempopulerkan lagi reputasi mereka. Kini kita- pelajar dan peserta lomba dalam rangka ”Hamka Sebagai Sang Inspirator” bermohon sangat kepada pihak pengelola media massa, media eletronik dan media cetak, para pendidik, educational stakeholder untuk membimbing kami memahami dan mengenal figur Buya Hamka (dan juga Tokoh tokoh bangsa yang lain) agar kami (kita) menjadi bangsa yang cerdas, beragama dan bermatabat.
3. Kesimpulan
Mengikuti kegiatan lomba ’Hamka sang Inspirator memberikan manfaat yang sangat banyak. Generasi muda (siswa atau pelajar) tentu akan mencari tulisan dan uraian tentang Buya Hamka. Membaca dan memahami buah fikiran beliau akan memberi kita inspirasi, inspirasi dalam berbuat, berfikir dan bertindak. Untuk memperoleh bagaimana inspirasi Buya Hamka maka kita sebagai generasi muda perlu banyak membaca dan membuayakan untuk gemar membaca. Harapan kepada pemerintah, pendidik, masyarakat dan orangtua kita untuk menyediakan sumber belajar atau sarana belajar bagi kita semua. Semoga!
7. Say No to ”Karakter Ingin Jalan Pintas”
Generasi muda sekarang sangat akrab dengan computer dan laptop. Karena kedua produk ini dilengkapi dengan fitur (feature) pendidikan dan hiburan seperti game dan lagu. Apalagi sejak produk ini telah menjadi mata pelajaran- dengan nama TIK (Teknologi Informasi Komunikasi)- pada jenjang pendidikan SMP dan SLTA. Ada satu kata atau frase yang sudah dikenal baik oleh pengguna computer yaitu “short cut” atau jalan pintas. Lewat short cut pengguna computer bisa langsung masuk ke dalam file, folder atau program yang ingin dioperasikan pada komputer.
Sebahagian pelajar dan mahasiswa sekarang cenderung suka belajar dan bekerja dengan cara ngebut atau dengan menggunakan berbagai muslihat atau tipuan (mungkin dengan mencontek atau memakai jasa orang lain untuk memuluskan tujuan) adalah dapat dipandang sebagai karakter jalan pintas. Atau dapat juga dikatakan sebagai budaya instant (sekarang ditanam besok dapat dipanen,nonsense bukan ?). karakter jalan pintas- belajar/ bekerja santai namun masa depan cerah- jarang sekali membuat mereka sukses. Fenomena umum adalah bahwa manusia yang berkarakter jalan pintas, rata- rata berakhir dengan masa depan yang suram.
Namun bagaimana karakter jalan pintas telah tumbuh subuh pada pribadi sebahagian pelajar dan mahasiswa ? Tentu karakter ini terbentuk secara perlahan-lahan dalam proses kehidupan sosial mereka sejak dari masa anak-anak sampai ke masa remaja/ dewasa.
Karakter anak-anak zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan karakter anak-anak zaman dahulu. Ketika lahir mereka sama-sama pandai menangis dan sama- sama melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Namun mereka menjadi berbeda satu sama lain dalam hal karakter karena genotype atau karakter turunan dari orangtua dan ditambah dengan faktor stimulus (rangsangan) dan pengalaman hidup yang dialami. Faktor yang terakhir yaitu stimulus dan pengalaman hidup sangat menentukan pembentukan karakter “ingin jalan pintas/ budaya instan”.
Dari usia dini sampai usia 5- 8 tahun, semua anak di dunia masih bersifat patuh dan berkarakter sebagai anak manis- anak yang baik dan pasif. Rentangan usia ini adalah masa-masa pembentukan karakter. Mereka memang menerima input-input untuk pembentuk karakter atau prilaku- apakah kelak berkarakter smart atau ingin jalan pintas. Namun menjelang usia akil balig (remaja)- di akhir tingkat SD dan di awal tingkat SMP, kecendrungan pola karakter mereka terlihat lebih jelas- karakter ingin jalan pintas atau suka bekerja/belajar keras. Pada ambang masa remaja ini mereka memperlihatkan fenomena senang memberontak- memperlihatkan opini sendiri dan ingin mencari jati diri.
Karakter suka memberontak ini makin menajam ketika mereka dalam masa remaja. Sebahagian orang tua/ orang dewasa yang kurang memahami perkembangan jiwa anak sering kesulitan untuk beradaptasi dengan mereka. Masa ini dinamakan sebagai masa panca roba. Masa panca roba pada hakekatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memaski usia dewasa. Kalau dalam masa remaja mereka terlihat suka jalan pintas maka dalam usia dewasa dini karakter jalan pintas bisa terlihat lebih jelas atau factor sugesti dan saran dari luar mengikis karakter ingin jalan pintas.
Karakter jalan pintas terbentuk tanpa disadari dalam proses hidup. Ada sejumlah faktor penyebab terbentuknya karakter ingin jalann pintas- ciri-ciri oknumnya seperti pemalas, motivasi belajar rendah, dan bergaya hidup ingin senang terus. Ini merupakan kontribusi negatif dari faktor ekstrinsik.
Setiap orang sejak usia dini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mendapat stimulus atau pengaruh dari tiga jenis lingkungan. Sarwono (2007) dalam artikelnya “:faktor-faktor yang menyebabkan anak malas belajar” (http://sarlito.hyperphp.com) mengatakan bahwa jenis lingkungan yang mempengaruhi anak rajin atau malas adalah seperti lingkungan mikro, lingkungan meso dan exo.
Manusia atau orang-orang yang berada dalam lingkunan mikro seorang anak adalah orang- orang yang berada dalam keluarga mereka seperti kakek-nenek, ayah-ibu, bibi-paman. Kemudian juga bisa sekolah yaitu guru-guru mereka, juga suster atau babysitter di tempat penitipan anak, pembantu rumah tangga dan tetangga dekat atau orang-orang seputar rumah. Lingkungan mikro yang lain adalah kondisi atau kualitas rumah mereka, tempat bermain mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan anak dan dijumpai nya tiap hari.
Saat anak berusia lebih kecil , orang-orang yang ada dalam lingkungan keluarga/ di rumah mempunyai peran penting dalam membentuk karakter mereka dari stimulus dan pengaruh yang diberikan, apakah anak menjadi orang rajin, sabar, dan tekun. Ayah dan ibu yang cerdas tentu dapat membantu anak untuk tumbuh dan berkembang dengan menyediakan sarana pendidikan dan permainan berkualitas dan sekaligus memberi anak model untuk tumbuh menjadi manusia yang ulet.
Kalau anak kehilangan peran ayah dan ibu- mungkin karena kesibukan karir atau karena factor nasib, maka peran mendidik/ mengasuh anak bisa saja digantikan oleh nenek, bibi, paman, atau pembantu rumah tangga. Maka orang-orang tadilah sebagai penentu pembentukan karakter anak. Akan sangat beruntung kalau peran pengganti sebagai pengasuh anak memiliki kualitas dalam mengasuh anak.
Lingkungan ekstrinsik berikutnya adalah lingkungan meso yaitu bentuk hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, pergaulan antar teman, guru-teman, dan lain-lain. Bentuk dan kualitas hubungan mereka sangat mempengarungi prilaku seorang anak (pelajar). Mereka akan menyerap prilaku dan nilai dari apa yang mereka amati. Teman-teman yang berkarakter baik namun suka meremehkan guru, sebagai contoh, dapat memberi inspirasi bagi temannya untuk berperilaku yang sama. Atau figur seorang guru yang memiliki kharisma di mata anak didik, namun ia perokok berat atau senang mengunjungi night club juga bisa memberi inspirasi bagi anak didik dalam berperilaku. Ketika usia anak beranjak remaja, maka pengaruh orang tua bisa jadi hilang atau berkurang. Apalagi kalau orangtua kurang mencikaraui (mengurus) soal pendidikan anak. Maka peran pengganti dalam mempengaruhi anak bisa jadi datang dari guru, orangtua teman, famili, atau orang yang sering dijumpai oleh anak.
Dalam zaman sekarang dengan bentuk keluarga inti- karena faktor migrasi dan tinggal jauh dari kaum kerabat/ kampung halaman- maka ikatan emosi remaja/ anak dengan kerabat , bisa jadi juga dengan orangtua sendiri, tidak begitu dekat. Sehingga apa yang dirasakan oleh sebahagian orangtua bahwa anak mereka tidak lagi mendengarkan perkataan (opini) dan nasehat mereka. Anak makin sering membantah, menolak opini dan larangan mereka. Karena anak telah memiliki kriteria opini sendiri dan tidak mudah menerima orang lain, maka dalam usia ini terkesan bahwa anak suka melawan orangtua. Apalagi semenjak mereka melihat banyak contoh yang kontra dari hal yang dilihat di dalam rumah dengan apa yang dikatakan oleh orangtua sendiri.
Suatu hari seorang ibu berkata “nak rajin-rajinlah belajar agar kelak bisa berhasil dalam hidup”, tetapi dalam kenyataan anak melihat tetangganya sendiri yang begitu rajin belajar (tetapi kuper atau kurang pergaulan) begitu tamat dari perguruan tinggi dengan IPK (indeks prestasi kumulatif) cum laude telah menjadi pengganggur. Contoh lain, orangtua melarang anak usia 15 tahun agar tidak menyetir mobil, namun anak berargumen (membantah) bahwa anak tetangga (atau temannya di sekolah) diizinkan menyetir mobil sejak dari bangku sekolah dasar. Jika anak disuruh sholat, maka anak akan protes karena papanya juga tidak sholat.
Di luar lingkungan mikro dan meso ada lagi lingkungan exo. Lingkungan exo adalah lingkungan yang tidak langsung menyentuh pribadi pelajar/ mahasiswa, akan tetapi masih besar pengaruhnya pada pembemtukan karakter mereka, seperti keluarga besar, polisi, dokter, presenter, bintang sinetron/ selebriti, tokoh politik, dan lain-lain. Intensitas interaksi tidak langsung (lewat menonton atau membaca) juga menentukan bentuk karakter pelajar/ mahasiswa. Cukup banyak pelajar dan mahasiswa sekarang yang belum terkondisi dengan budaya tulisan- budaya membaca dalam keluarga. Yang umum terlihat adalah banyak yang terkondisi dengan budaya menonton televisi dan budaya lisan- budaya ngobrol sampai debat kusir- berdebat tanpa analisa yang dalam atau berdebat dengan emosi dan kepala panas.
Cukup banyak remaja dan mahasiswa yang terkondisi dengan dua kebisaaan/ budaya ini- menonton dan budaya ngobrol. Ini tumbuh subur karena banyak rumah yang memiliki televisi dan sarana hiburan lain, namun tidak tahu kapan harus menonton dan memperoleh hiburan. Sementara itu cukup banyak orangtua yang belum memiliki konsep atau pola mendidik bagi keluarga. Konsep mereka begitu praktis, bahwa mereka terpaksa menghidupkan televisi atau sarana hiburan agar anak-anak tidak keluyuran ke rumah tetangga. Kalau perlu televisi dan VCD player hidup 24 jam.
Figur-figur yang kerap muncul dalam layar televisi seperti presenter, public figure, dan bintang sinetron, begitu figur yang ada dalam film pada DVD juga mempengaruhi karakter pelajar/ remaja/ mahasiswa sebagai penontonnya. Setelah menonton figur- figur tadi mereka memperoleh inspirasi untuk meniru perilaku dan gaya hidup yang sama- cara berbicara, cara berpakaian dan sampai kepada assesori yang dipakai oleh figure tontonan mereka tadi. Figur dalam lingkungan exo cukup banyak mewarnai prilaku remaja (pelajar dan mahasiswa) sekarang seperti memakai anting pada sebelah telinga, bertato, mencat rambut dengan warna norak, memakai celana model melorot dan menyembulkan celana dalam , gaya hidup mengamburkan uang lewat pemakaian HP yang kurang efektif, berpenampilan norak/ keren dengan rokok terselip di bibir, dan lain-lain.
Prinsip dan konsep mendidik praktis seperti ini sering membunuh karakter anak untuk ikut berpartisipasi dalam belajar dan bekerja- merapikan rumah. Pada akhirnya anak memetik kegagalan dalam bidang akademik di sekolah dan akhirnya timbul pro dan kontra antara sekolah dan rumah. Kata guru “anak bodoh karena orangtua kurang peduli dalam mendidik anak”, dan kata orangtua, “anak gagal karena guru kurang berkualitas dalam mengajar”.
Harus diakui bahwa menjadi orangtua dan pendidik (guru) di zaman sekarang memang sulit. Karena banyak orangtua dan guru yang belum pernah mengalami situasi seperti sekarang pada masa kecilnya. Guru dan orangtua dulu, waktu kecil, cuma cenderung meniru saja cara- cara mendidik dan berperilaku orangtua dan senior mereka. Kemudian, memang sulit mengubah pola berfikir seseorang dari pola berfikir tradisionil sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Namun bagaimana pun berat dan sulitnya mendidik dan mengajar anak, orang tua dan guru perlu melakukan revolusi dalam mengajar dan mendidik anak- memiliki wawasan dan memahami fenomena sosial zaman sekarang, karena kalau tidak maka mereka akan menjerumuskan generasi muda dalam kesulitan yang lebih besar karena mis-communication antara mereka.
Mengantisipasi/ mencegah agar anak (pelajar/mahasiswa/remaja) tidak terjebak dan ketularan dengan karakter “ingin hidup enak lewat jalan pintas” yang hanyak banyak dalam bentuk iming-iming dalam mimpi. Karakter ingin hidup dengan jalan pintas/ budaya instan sering terekspresi lewat moto dan gaya hidup mereka: hidup santai masa sepan cerah. Maka orangtua dan guru perlu memaksimalkan peran mereka dalam mendidik (terutama bagi orangtua) dalam membentuk karakter anak menjadi orang yang rajin dan ulet dalam belajar dan bekerja, tidak perlu membebaskan anak untuk tidak terlibat membantu orangtua bekerja di rumah- sebab cendrung mematikan potensi anak dalam memiliki life skill/ kecakapan hidup. Orangtua tua perlu memberi dan menjadi model (uswatul hasanah- suri teladan), berperilaku terlebih dahulu agar anak bisa menjadi orang yang rajin dan ulet dan menyediakan/ memperkaya wawasan anak serta memilihkan tempat pendidikan dan bermain yang berkualitas bagi mereka.
8. Melakukan Proses Belajar
Pendidikan adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dewasa ini banyak orang tua telah memperlihatkan partisipasi mereka dalam memajukan pendidikan atau Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara mendukung pendidikan anak-anak mereka. Pemerintah juga mendukung peningkatan kualitas pendidikan melalui lembaga pendidikan atau sekolah, mulai dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi, mendirikan sarana pendidikan, merenovasi sekolah yang kurang layak, melatih guru-guru dan aparat pendidik, menyediakan fasilitas dan beasiswa untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Banyak orang tua yang sudah menunjukan kepedulian terhadap kualitas pendidikan. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk memilih sekolah yang berkualitas bagi putra dan putri mereka. Sekolah sekolah berlabel seperti “sekolah unggul, sekolah internasional, sekolah akselerasi, sekolah percontohan, sekolah plus, dan label lain” pasti diserbu dan daftar tunggu untuk tahun berikutnya sudah dicarter, terutama bagi mereka yang berduit dan peduli pula pada pendidikan bermutu.
Orang tua yang anak-anaknya cuma belajar di sekolah biasa-biasa juga mendukung kualitas dan keberhasilan akademik anak-anak mereka. Namun mayoritas dukungan orang tua hanya baru sebatas sugesti. Kalau mereka berjumpa dengan anak-anak yang masih duduk di bangku SD, SMP atau SLTA maka secara spontan akan terucap suatu ekspresi: “Dapat juara berapa kamu di sekolah ? Mengapa kamu tidak juara….?”. Bila pas musim ujian datang maka orang tua juga akan menebarkan simpati dan bertanya, “Dapat angka berapa kamu dalam ujian ?”.
Memang simpati dan empati orang terhadap dukungan semangat dalam mendidik baru sebatas menanyakan apakah ada juara atau menanyakan skor yang diperoleh anak lewat ujian. Ada kalanya orang tua sangat bangga begitu memiliki anak yang yang malas belajar, namun setiap kali ujian selalu memperoleh nilai tinggi, atau tiap kali menerima rapor, sang anak memperoleh ranking satu dalam kelasnya. “Aku punya super bandel, malasnya luar biasa….., tidak pernah belajar, jarang uat PR (Pekerjaan Rumah), tapi kalau setiap semester selalu memperoleh ranking satu dalam rapornya. Kalau ujian nilainya ya selalu 90 atau 100”. Demikian celoteh sang ayah atau sang ibu yang mungkin kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.
Namun apakah bapak dan ibu, sang orang tua yang memiliki konsep pendidikan berorientasi ranking satu atau nilai tinggi semata, sadar dan tahu bagaimana cara mereka (anak anak didik) memperoleh nilai atau ranking yang bagus? Anak-anak cerdas dan rajin, selalu belajar keras, mempunyai hak untuk memperoleh skor tinggi dalam ujian dan juara satu dalam rapor pada akhir semester. Namun para orang tua perlu berfikir dan mencari tahu “kok anak pemalas, sering membolos, malas membuat tugas sekolah, bisa juara satu ?”. Atau ada sekolah dengan anak didik yang suka keluyuran saat jam pelajaran dan guru-guru dalam mengabdi penuh kelesuan, tiba-tiba tercatat sebagai sekolah hebat, karena skornya melejit mengalahkan sekolah yang sudah teruji kualitasnya.
Nilai 100 yang diperoleh anak pemalas pasti diperoleh lewat cara-cara tidak halal, kemungkinan “anak tersebut memang jago dalam mencontek”. Demikian pula tentang sekolah yang kualitasnya lewat kertas bisa disulap lewat rekaya saat ujian dan tipuan-tipuan jitu untuk mencari pamor sekolah yang penuh kepalsuan. Apalagi yang sering terpantau tentang proses penilaian atau proses asessmen yang dilakukan oleh tim penilai hanya berkutat mencatat dan seratus persen mempercaya data yang ada pada selembar kertas di suatu sekolah. Idealnya mereka mengadopsi kinerja penilaian yang sudah valid dan terpecaya.
Semua orang di dunia tahu bahwa Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Jerman dan Cina adalah Negara yang hebat. Namun dalam penempatan ranking negara-negara yang memiliki SDM terbaik, ternyata bukan negara tersebut yang menempati posisi ‘satu, dua, tiga dan empat”. Dalam indicateur du develepoment humain(IDH) atau indikator tingkat SDM negara yang menempati posisi “satu, dua, tiga dan empat, adalah Norwegia, Australia, Kanada dan Swiss”. Penempatan ranking SDM untuk ukuran dunia begitu cermat dan hati-hati (Francisco Vergara dalam Didiot Beatrice (2001). Sementara penempatan ranking yang dilakukan oleh tim penilai untuk sektor pendidikan di negara kita, seringkali membuat kita “tertawa terbahak bahak” dalam arti kadang kala adalah sangat tidak logika, miskin indicator dan tidak reliable.
Suatu ketika ada orang tua murid bertanya tentang apakah anak penulis juara satu di kelas atau tidak. “Maaf, anak-anak tidak terlalu saya tuntut untuk jadi juara, kalau juara itu diperolehnya lewat mencotek, atau karena factor saya memberi hadiah pada bapak dan ibu guru nya di sekolah. Yang penting dalam belajar, orang tua selalu memompakan motivasi, menyediakan fasilitas dan memberikan model tentang belajar dan anak-anak pun sudah terbiasa belajar serta merasakan belajar; membaca dan menukis sebagai kebutuhan primer mereka. Apa gunanya anak juara kelas namun tidak betah membaca, mengeluh kalau disuruh belajar… dikhawatirkan bahwa juaranya diperoleh lewat jalan yang tidak benar, atau sang anak menjadi juara karbitan”
Sekali lagi tentang fenomena mencari ranking dan nilai dalam ujian. Bahwa memperoleh ranking di sekolah sebagian diperoleh dan dilakukan dengan cara-cara gentlement atau penuh tanggung jawab – karena sang siswa memang cerdas, tekun dan disiplin dalam belajar. Namun sebahagian yang lain memperoleh dan berjuang mencari nilai dengan cara culas- merendahkan harga diri. Karena malas belajar hingga tidak mengerti maka terpaksa mencontek, melihat catatan agar nilai ujian tinggi dan supaya bisa juara satu (agar orang tua merasa bangga karena sang anak juara). Sebab kalau tidak juara maka anak akan kena bentak “percuma saja kamu rajin belajar, ikut les itu dan ini namun tidak juara. Lihat si Didi santai santai saja tetapi bisa juara”.
Terlihat bahwa proses perekrutan- atau penerimaan- siswa baru pada banyak sekolah di negeri ini, setiap tahun, betul-betul belum professional. Hanya berdasarkan pada porto folio yang datanya susah untuk dipercaya- rapor penuh dengan nilai kasihan atau nilai pergaulan, skor dan ranking kelas diperoleh lewat perjuangan penuh contekan. Memang sebagian nilai porto folio- nilai ijazah, nilai rapor, nilai UN (ujian nasional) sebagian bisa merefleksikan potensi anak, namun tidak jarang juga merefleksikan penuh kepalsuan atas penyelenggaran pendidikan di sekolah sekolah sebelumnya.
Pada suatu sekolah SMP yang agak favorite terpantau nilai sains dan nilai mata pelajaran sosial anak didik berkisar antara 80 dan 90 (sangat luar biasa). Namun dalam PBM (proses belajar mengajar) telah ditebar kekecewaan demi kekecewaan. Angka tinggi dalam ijazah belum mencerminkan kebodohan anak “Wah bagaimana cara guru guru kamu saat di SD memberi nilai, kok nilai kamu 80, 90 dan 100, dalam kenyataaan kamu sendiri tidak tahu dua tabah dua sekarang alias bloon”. Gerutu seorang guru penuh rasa kesal.
Inilah fenomena di lapangan bahwa agar nilai siswa bisa tinggi, maka guru melatih siswa untuk menyelesaikan soal soal ujian lewat program bimbel (bimbingan belaja). Kalau perlu di datangkan guru yang dianggap berbobot dari luar. Namun ada pula sekolah atau guru merekayasa tempat duduk siswa selama ujian (karena biaya bimbel amat mahal dan bias mencekik leher orang tua) agar mereka bisa saling bekerjasa sama- melegalkan budaya contekan. Inilah sekarang sebuah patologi edukasi (penyakit dalam dunia pendidikan) yaitu melegalkan pembohomgan, melegalkan rekayasa, menilai tidak professional dan mendidik tidak sepenuh hati. Orang tua dan masyarakat mungkin heran bahwa anak atau sekolah yang proses pendidikannya tidak sempurna- biasa biasa saja, tiba tiba prestasinya melejit tinggi. Sang anak kemudian di sanjung atau kepala sekolahnya dan guru guru disebut sebut sukses (walau dalam kepalsuan) dalam mendidik siswa mereka.
Program dan budaya mengejar ranking satu dan ujian untuk mencari nilai tinggi tidak ada salahnya asal dikelola dengan jujur, professional dan bertanggung jawab. Namun Syofyan Djalil, Menteri Negara BUMN pada Kabinet Indonesia Bersatu periode pertama (www.nuonline.com) kurang sependapat. Ia mengatakan bahwa system ranking menciptakan generasi pintar namun anti atas kritikan. Dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih melanggengkan sistem ranking di kelas sehingga para pelajar yang “masuk ranking” tumbuh menjadi manusia yang merasa dirinya pintar, egois dan tidak bisa menerima kritikan.
Di negara kita anak-anak diberi ranking. Akibatnya anak-anak pintar menjadi sangat tidak menarik pribadinya. Akibat sistem ranking ini, para siswa yang juara padahal kemampuannya biasa biasa saja akan merasakan dirinya sebagai “winner” atau jagoan. Anak anak yang sebenarnya pintar tapi karena penilaian tidak reliable- guru kurang fair dalam menilai- membuat mereka sebagai loser” atau pecundang dan kondisi psikologis ini bisa meruntuhkan rasa percaya diri yang sangat penting tersebut.
Produk sistem pendidikan nasional yang menghasilkan anak-anak pintar namun tidak bisa menerima kritik ini telah dirasakan dampaknya oleh sejumlah lembaga pemerintah dan non pemerintah. Sebagai contoh, Sofyan Djalil menyebutkan sejumlah diplomat senior Departemen Luar Negeri RI tentang karakter sejumlah diplomat muda yang sekalipun pintar namun “sangat egois” dan “tidak bisa menerima kritikan”. Kekeliruan lain dari sistem pendidikan kita selama ini adalah kurang berkembangnya kreativitas anak didik.
Kini pemerintah, sekolah dengan unsur gurunya, kepala sekolah, komite sekolah dan para alumni, dan juga masyarakat perlu bahu membahu untuk memantapkan kualitas pendidikan dan membina karakter anak anak didik. Adalah patut untuk berfikir dan meninggalkan konsep pendidikan yang terlalu berorientasi kepada berharap nilai dan ranking tinggi, dan tanpa usaha yang professional. Kemudian sangat layak kalau kita membudayakan belajar dengan memberikan penghargaan pada proses pembelajaran yang matang, meningkatkan manajemen dan penilaian, serta menumbuh kembangkan kreativitas dan kesediann menerima kritikan demi kemajuan. Tentu saja bukan asal kritik yang menyedihkan namun kritikan yang santun dan bijaksana.
9 Mengapa Benci Dengan Menulis
Bila kita pergi ke kota-kota besar di Indonesia, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, dan lain-lain, dan berintegrasi dengan penduduk di sana maka akan ditemukan bahwa paling kurang ada empat etnis yang warganya hidup melalui semangat wirausaha. Mereka ikut menggerakan nadi perekonomian kota-kota tersebut. Etnis ini adalah Batak, Jawa, Minang dan Cina, etnis-etnis lain tentu juga memiliki cirri khas positif tersendiri. Tekad mula-mula berwirausaha adalah untuk menghidupi diri dan keuarga. Mereka menanamkan semangat wirausaha- suka bekerja keras, menghargai waktu, disipin, jujur dan semangat sebagai perintis/pioneer, dari generasi ke generasi agar mampu berusaha untuk memayungi diri dan keluarga untuk selamat dari terik panas kehidupan dan hujan problema. Semangat wirausaha ternyata juga berdampak dalam memajukan negara ini, membuka lapangan kerja dan mengatasi pengangguran.
Etnis Minang sejak dahulu terkenal sebagai etnis yang suka merantau, melakukan migrasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Dengan semangat pioneer, kerja keras dan disiplin mereka bisa tumbuh sukses melalui wirausaha- mereka menjadi pedagang, membuka perusahaan, industri, dan bisnis lain. Di mana-mana di Indonesia kita dapat menjumpai orang-orang yang mengaku berasal dari Padang (Minang atau Sumatera Barat) dan sukses di sana melalui wirausaha mereka.
Namun tidak semua orang Minang yang berwirausaha melaui berdagang atau menjadi saudagar. Sebagian ada yang berkembang melalui potensi. Zoelverdi (1995) menulis buku yang berjudul “Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang”, memaparkan sejumlah orang Minang yang tumbuh dan berkembang dalam berwirausaha melaui potensi menulis. Dengan energi menulis yang besar mereka mengembangkan diri menjadi wartawan, budayawan, sutradara, pengusaha penerbitan majalah, sosiolog, psikolog dan lain-lain. Mereka adalah seperti A.A Navis, Karni Ilyas, Montinggo Boesye, Kamardi Rais, Ani Idrus, Asrul Sani, Arizal, Lukman Umar, Mochtar Naim, Zakiah Daradjat, dan tentu masih ada sejumlah tokoh-tokoh sukses lainnya.
A.A Navis adalah penulis yang ngetop dengan novel nya yang berjudul “Robohnya Surau Kami”. Walau ia berkarya dari kota kecil di pertengahan pulau Sumatra, namun gema karyanya luas sekali melintasi nusantara. Tulisannya banyak dalam bentuk cerpen (cerita pendek), dan tema cerpennya adalah seputar celoteh atau gaya ngobrol orang-orang di lapau (warung kopi di daerah Minang). Strateginya dalam mengembangkan fiksinya adalah melalui sudut pandang “pro dan kontra” dan ditambah dengan nilai-nilai Islam. Karya tulisnya menjadi hidup, menjadi fenomena dan digemari oleh banyak orang, malah tulisannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jepang dan Jerman.
Saat Navis muda, karis sebagai penulis dipandang rendah- underestimate,oleh sebahagian masyarakat. Karena sejak dulu orang ada yang selalu memandang hidup ini dari jumlah uang atau matre, namun Navis selalu berbuat- menulis cerpen demi cerpen dan menulis apa saja yang terlintas dalam fikirannya. Bila selesai menulis maka dikirim ke penerbit, Koran dan majalah. Tulisan atau cerpennya juga sering ditolak namun ia tidak patah semangat dan selalu menulis. Kupasan tulisannya adalah tentang masalah kemanusiaan yaitu penderitaan, kegetiran hidup, kebahagiaan dan harapan. Ternyata tiap orang harus punya obsesi dan obsesi Navis adalah “pantang kalah” – tidak suka menyerah atas kesulitan dan penderitaan hidup.
Karni Iyas adalah kolumnis dan wartawan yang tulisannya sangat bekualitas (dapat dibaca pada majalah Tempo). Ia sejak kecil sangat suka membaca dan berdiskusi. Waktu di Sekolah Dasar ayahnya menjadi teman berdebatnya tentang poitik. Waktu ia sekolah di SMP ia pun sangat aktif menulis, kalau selesai ia coba untuk mengirimnya ke koran-koran, “kalau terbit ya syukur dan kalau tidak ya tidak patah hati dan terus menulis”. Karni menjadikan menulis sebagai hobbi dan untuk kepuasan batin.
Seperti orang kebanyakan, ia juga merantau ke Jakarta, malah dengan uang pas- pasan. Untuk mengatasi kesuitan hidup bukan dengan cara mengeluh dan minta belas kasihan, tetapi dengan kerja serabutan- “tidak perlu gengsi-gengsian yang penting halal”. Ia kemudian meniti karir sebagai penulis dan wartawan yang terkemuka di ibu kota.
Montinggo Boesye adalah penulis yang sangat produktif. Karena ia bisa menyelesaikan 200 novel, 200 cerpen dan 10 drama. Namanya terpahat di taman kota Seoul, Korea Selatan, masuk di antara 1.000 penyair dunia. Ternyata masa kecil penulis tidak musti bertindak sebagai anak yang manis, Boesye malah sebagai anak laki-laki yang nakal dan agresif. Waktu kecil di zaman penjajahan Jepang, Boesye punya sepeda roda kecil. Iseng-iseng diduduki oleh serdadu Jepang dan patah, tentu saja si kecil Boesye menangis. Namun diganti dengan sebuah mesin tik. Boesye sangat senang dan di situlah tumbuh minant awalnya untuk menulis. Sunguh sangat hebat pada masa itu ada anak kecil yang belajar menulis memakai mesin ketik.
Ide-ide yang ia tulis terbentuk akibat kebiasaan nya yang suka melahap buku (membaca banyak buku). Bakat mengarangnya terbentuk/termotivasi setelah membaca buku cerita pertualangan, “Ah kalau menulis kayak begini aku juga bisa”. Di akhir masa anak-anaknya Boesye menjadi yatim piatu (ayah dan ibu nya berpulang ke Rahmatullah) namun ia masih beruntung karena di pelihara dan dibesarkan oleh pamannya yang penyayang. Pengalaman bertualang tinggal bersama paman sempat berkembang karena pamannya punya mobil jeep dan ia sering dibawa pergi. Mobil Jeep pada waktu itu dipandang sangat lux dan pengalamannya yang lain, untuk menumbuhkan jiwa wirausaha, adalah membantu paman dalam berdagang koran.
Kamardi Rais, potensinya sebagai penulis mengantarkannya sebagai wartawan. Waktu kecil ia suka membaca kisah fiksi- kisah pertualangan. Kemudian ia termotivasi dan meniru- niru menulis kisah petualangan. Bakat menulisnya berkembang secara otodidak. Ketika duduk di bangku SMA ia menulis pengalaman pribadi dan juga menulis tentang problem tetangga yang sering bertengkar.
Ternyata ayah Kamardi juga suka membaca dan mengkoleksi majalah Islam, Pedoman Masyarakat. Di sana ia mengenal nama-nama dan tulisan tokoh-tokoh besar seperti HAMKA, Adi Negoro, Natsir, Yunan Nasution. Seorang calon penulis juga perlu punya figure untuk menumbuh-kembangkan potensi menulisnya.
Ani Idrus adalah perempuan yang berkarir sebagai wartawan. Ayahnya Cuma seorang pegawai kecil. Orangtuanya tidak membatasi pergaulannya waktu kecil, temannya banyak pria dan juga wanita. Ia termasuk anak yang lasak- ingin tahu banyak dan serba suka melihat dan memegang hal-hal yang dianggap baru. Jadinya ia punya banyak pengalaman.
Ia beruntung tingga di daerah yang berkualitas, di kota Medan, dan ia juga bersekolah di tempat yang berkualitas. Di sana ia memperoleh banyak budaya positif- berani, disiplin, ingin tahu, bekerja keras, belajar keras dan gemar membaca. Ia pun diizinkan mengikuti kursus Bahasa Asing, kursus menjahit. Saat sekloah di MULO (semacam SMA sekarang) ia juga aktif berorganisasi dan mengikuti kegiatan pramuka. Ia mengembangkan hobi menulis dan mengirimnya ke koran-koran, ia juga menyempatkan waktu untuk mengunjungi tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Pengalaman berorganisasi dan menulis membuat ia terdorong untuk menerbitkan Koran “Waspada” di Medan.
Asrul Sani beruntung memiliki dua kemampuan yang bagus, sebagai penulis dan good speaker. Bakat sastranya (menulis) berkembang lewat otodidak yaitu membaca buku-buku abangnya. Ia mulai mengenal puisi dan sastra Eropa. Ia belajar Bahasa Jerman juga secara otodidak dan menterjemahkan sastra Eropa. Setelah dewasa ia berada di Jakarta dan mencari teman untuk mempertajam pola berfikir, ia berjumpa dengan Usmar Ismail dan mendirikan Akademi Teater. Ia kemudian dikenal sebagai penulis skenario film dan itu semua diawali oleh kegemaran membaca dan menulis.
Arizal, di usia anak-anak sudah mahir memainkan alat musik. Tentu saja karena orang tuanya memberi nya perhatian dan fasilitas alat musik. Pernah pada masa itu ia tampil di pasar malam memainkan harmonika dan memukau penonton. Tentu saja ia memperoleh applause, sebuah penghargaan yang akan mengangkat potensi dan harga dirinya berkembang.
Pada masa remaja ia punya bakat yang lain- pintar main sulap, musik, dan melukis. Ia bergabung dengan band sekolah dan band di masyarakat. Tiap akhir pekan, malam minggu, ia jadi musisi hiburan untuk pesta perkawinan. Karena pintar melukis ia juga menulis komik dan juga menulis cerpen. Ia sering mengirim komik dan cerpen ke majalah. Kemampuan menulis dan melukis mengantarkan karirnya ke dunia film. Filmnya dipengaruhi oleh komik yaitu tentang hal- hal yang lucu, karena itu ia mampu melahirkan film lucu pula seperi film yang dibintangi oeh Warkop DKI- Warung Kopi Dono, Kasino dan Indro. Suksesnya sebagai sutradara film karena ia memiliki kepintaran berganda dan ditambah dengan penglamannya belajar di Holywood Amerika dan pernah bermain fim sebagai figuran pembantu di sana.
Lukman Umar, ayahnya hanyalah petani kecil dan hidup serba kekurangan oleh karena itu ia terlibat membantu orang tua bekerja di sawah dan landang. Secara tidak langsung pengalaman ini memberi nya life skil atau kecakapan hidup. Hidup serba kekurangan bukanlah menjadi alasan untuk tidak bersekolah. Lukman juga punya prinsip hidup yaitu “pantang menyerah dan tidak gengsi-gensian bekerja” asal itu halal. Maka sambil kuliah di IAIN Jogjakarta ia juga jualan Koran. Ia juga aktif di koperasi mahasiswa di kampus. Kemudian ia merantau lagi ke Jakarata. Merantau ke Jogja untuk cari ilmu dan pengalaman dan merantau ke Jakarta untuk cari hidup. Di sini ini tertarik dengan dunia penerbitan. Ia berjuang hidup dan kemudian menjadi redaktur majalah Varia. Ia terjun langsung mengantarkan majalah kea agen-agen. Kemudian ia menerbitkan sejumlah majalah seperti majalah Kartini, Putri Indonesia, Sarinah, Hasta Karya, Asri, Amanah, Panasea, dan Forum Keadilan.
Mochtar Naim, sebagai sosiolog, ia juga seorang penulis. Orang tuanya adalah pedagang harian dan ia didik taat beragama. Waktu kecil ia gemar membaca, ia punya tokoh-tokoh idola seperti Hatta, Soekarno dan Assa’at. Waktu kecil juga ibunya meninggal dan ayahnya berjalan, maka pendidikannya dibantu secara bergotong royong (kolaborasi) oleh paman-pamannya. Ternyata mahasiswa yang bakalan sukses, sebagaimana halnya Mochtar ketika kuliah di Jogja, harus aktif berorganisasi. Dan ia mendirikan Islam Study Club dan mengundang tokoh-tokoh terkenal untuk bertukar fikiran. Inilah yang membuatnya menjadi lebih intelektual dengan pendidikan dan pengalaman kerja di Amerika dan Singapura membuatnya sebagai tokoh Sosiolog.
Zakiah daraDjat, adalah anak sulung dari sepuluh bersaudara dan ia sebagai tempat curhat (curah perhatian atau sharing ideas) bagi adik-adiknya. Kelas empat SD ia terlatih berbicara di muka umum- sebagai tugas yang diberikan oleh guru. Ia juga sering mengkuti kegiatan muhadharah, berpidato/ceramah, di mesjid. Ia rajin bekerja dan belajar. Pemerintah memberinya beasiswa ke Mesir dan ia langsung mengambil program Doktoral di sana seteah delapan tahun belajar ia pulang ke Indonesia. Ia aktif member ceramah dan konsultasi. Tentu saja ia memerlukan mengembangkan kemampuan menulis.
Uraian-uraian tentang figure di atas memperlihatkan bahwa mereka juga orang-orang biasa namun memiliki karakter dan budaya yang ekstra atau berebih dari orang-orang kebanyakan. Ada yang memiliki latar belakang orangtua terdidik atau biasa-biasa saja. Namun mereka berasal dari keluarga besar sehingga memperoleh bagian kerja- untuk melatih tanggung jawab. Orang tua zaman sekarang juga perlu memberi anak tanggung jawab- kerja anak tidak hanya belajar dan belajar. Mereka harus bisa memasak, cuci piring, mengasuh adik/ keponakan, kalau boeh juga bisa mencangkul, gembala hewan- bagi yang tingga di daerah pedesaan.
Melahirkan generasi yang jago menulis, mereka harus terbiasa gemar membaca sejak kecil, kemudian berdiskusi, menulis cerpen dan atau prosa lain. Mereka perlu punya pengalaman hidup dan perlu punya tokoh idola dalam mencari jati diri. Untuk menjadi orang berkuaitas, faktor tempat tinggal/ rumah, sekolah dan lingkungan yang berkualitas sangat menentukan. Lingkungan berkualitas akan membuat mereka memiliki pribadi yang positif- berani, disiplin, ingin tahu, bekerja keras, belajar keras dan gemar membaca.
Namun zaman bergulir dan perobahan selalu terjadi. Dahulu banyak orang terbiasa saling berkiriman surat satu sama lain. Bagi pelajar secara tidak langsung kebiasaan berkirim surat atau korespondensi bias menyuburkan bakat sastranya, menulis puisi dan prosa. Kini zaman berobah, orang amat jarang berkirim surat teknologi seluler membuat orang senang menulis SMS, pesan singkat dan kosakata serta tatasan diketik amburadul. Walau ada internet pengganti sarana berkirim surat elektronik atau e-mai, namun pelajar lebih suka melakukan chatting, bertukar gambar lewat friendster, mendownoad lagu, main game, baca komik, nonton pada tube (perlu diingatkan agar tidak salah tonton- say no to porn situs).
Andai bakat dan potensi menulis pelajar tidak digubris dalam zaman yang budaya menulis yang sudah kering ini maka dapat dipastikan Indonesia akan lenyap dari peta sastra dunia. Tentu orang tidak mengenal penulis dan pendidikan di negara ini. Sebelum hal ini terlanjur terjadi maka tugas kita para pendidik, guru dan orang tua, dan terutama para pelajar itu sendiri untuk kembali mengaktifkan diri dalam mengembangkan minat menulis mereka (generasi muda). Diharapkan mereka bias memiiki kemampuan menulis yang hebat, dan ini kelak akan mampu membuat mereka menjadi orang yang sukses, suka berwirausaha dan mengembangkan diri untuk maju.
10. Ke Internet Untuk Tujuan Yang Benar
Zaman terus bergulir. Ahli sejarah memilah-milah zaman sesuai dengan fenomena alam dan sosial pada masa itu. Ada zaman batu, zaman perunggu, zaman pra sejarah dan lain-lain. Di tahun 1970-an, saat appolo baru saja diluncurkan ke luar angkasa oleh Amerika Serikat, maka orang menyebut tahun-tahun tersebut dengan zaman Apollo. Zaman appolo ternyata punya ciri khas pada gaya hidup anak muda (pada masa itu) seperti ngetrend memakai celana panjang dengan dasar kain /cut-brai/ dan celana gunting Spanyol dengan bagian bawah sangat longgar (kalau dibawa berjalan bisa menyapu lantai), memakai kacamata dengan bingkai lebar (kacamata pantat botol) serta memakai rambut keriting- kribo, seperti sarang burung tampuo (tempua).
Zaman appolo pun berakhir, maka datang tahun 1980-an. Para orator dan orang banyak ngetrend pula menggunakan istilah zaman computer, Kalau orang yang pintar maka disebut berotak computer “wah dia cerdas sekali, punya otak computer”. Adalagi yang memberi refleksinya dengan zaman mutakhir, terserah kepada fenomena dan cara orang memandang. Dan sekarang, sejak tahun 2000-an banyak pula orang yang menyebutnya dengan zaman ICT (Information Communication Technology), zaman teknologi informasi dan komunikasi, atau zaman internet. Orang –orang yang menjadi actor dalam zaman internet ini tentu saja mereka yang familiar, tidak gagap teknologi, dengan internet. Mereka adalah anak-anak sekolah yang duduk di bangku sekolah- mungkin SD, SMP, SMA, SMK, MAN dan mahasiswa di Perguruan Tinggi. Demikian pula orang-orang yang berasal dari profesi lain.
Anak-anak sekolah pada dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu bila lonceng sekolah untuk pulang berdentang maka mereka buru-buru ingin pulang. Segera menemui orang tua dan menikmati makan siang serta menyantap singkong goreng. Sementara pelajar yang berusia remaja saat itu bila pulang sekolah, mungkin ada yang singgah di bioskop untuk mencek apa film dan siapa bintang film pada minggu itu.
Namun para pelajar di zaman internet sekarang tidak demikian , bila jam sekolah usai mereka buru-buru pergi ke warnet. Mereka tidak segera pulang walau orang tua selalu menunggu. Sebagian menelpon atau mengirim SMS (Short Message Service) “Mama, maaf ya, aku pulang telat karena pergi ke warnet untuk mencari tugas”, dan tentu saja orang tua memberi restu.. Namun sebagian masih ragu “mencari tugas sekolah kok ke internet, mengapa tidak ke perpustakaan ?” Minimnya koleksi bacaan, pustaka yang jarang di buka dan tidak sempurnanya manajemen perpustakaan telah membuat minat baca mereka yang sudah rendah menjadi makin rendah. Sementara internet sangat membantu, cukup pengguna mengetik kata kunci pada mesin google, maka akan muncul belasan atau ratusan jawaban atas tugas yang dicari. Tetapi tunggu dulu, bahwa tidak semua tulisan dan artikel yang diperoleh lewat internet dapat dipertanggungjawabkan dan berkualitas. Karena kadangkala anak kecil yang sudah mengerti cara membuat blogger juga dapat memposkan sebuah tulisan untuk tujuan iseng-iseng.
Memang sekarang internet sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Dimana-mana terutama di daerah perkotaan sudah banyak bermunculan usaha internet dengan nama cafenet, warnet (warung internet), cybernet, atau nama lain. Semua tempat ini adalah sarana untuk memperoleh informasi dan komunikasi yang hampir tidak mungkin lagi bisa dipisahkan dari kebutuhan pelajar yang telah mengenalnya. Bagi mereka mengunjungi internet lebih menarik dan menyenangkan daripada harus mencari buku-buku di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum karena, sekali lagi, apa yang dicari di sana belum tentu ada.
Orang tua merasa bangga jika anak mereka mengenal dan telah bersahabat dengan internet- familiar dengan internet. Mereka tentu mengira bahwa pengetahuan anak akan berkembang pesat dengan masuknya internet ke dalam lingkungan pendidikan mereka.
Sejak jalur transportasi sudah begitu lancar dan mulus maka hampir tidak begitu luas lagi celah atau gap antara kota dan pedesaan. Industri komunikasi dalam bentuk warnet, cybernet dan café net dapat juga tumbuh di kedua tempat ini. Masyarakat yang punya landline phone (telepon rumah), beberapa unit computer dapat memasang speedy dalam ruang segi empat maka jadilah sebuah industri internet sebagai usaha kecil kecilan mengatasi pengangguran atau untuk penambah belanja membeli sembako (sembilan bahan pokok).
Seperti dikatakan pada bagian terdahulu bahwa fenomena di kalangan siswa sekarang, usai pulang sekolah mereka tidak mencari orang tua di rumah terlebih dahulu, tetapi mencari dimana ada warnet yang kosong. Masuk ke dalam dunia cyber adalah sebagai sarana alternative untuk rilek bagi mereka. Walau pada umumnya alasan anak kepada orang tua pergi ke warnet adalah untuk mencari tugas sekolah “namun kok sampai berjam-jam dan ada kecendrungan bahwa hampir tiap hari internet itu diserbu”.
Ternyata internet dengan daya tarik infotaiment (infomasi dan entertainment) atau edutaiment (edukasi dan entertainment) membuat anak mudah terpesona di depan layar computer tersebut. Pergilah ke warnet, tanyakan pada operator “apa saja fitur yang menarik bagi remaja atau para pelajar ?”. Umumnya aktivitas mereka di internet adalah mendowload lagu dan film (mungkin juga film porno), main game, chatting, saling berkirim surat dan SMS lewat face book atau myspace, bertukar foto lewat friendster, bertukar cerita dan berita lewat e-mail melalui yahoo, gmail, hotmail, plasa, telkom, atau bertukar album diary lewat blogger, wordpress dan multiply.
Ada perbedaan life skill antara generasi internet dengan generasi sebelumnya. Generasi sebelumnya, pulang sekolah banyak yang ikut terlibat dalam kegiatan alam dan kegiatan orang tua. Sehingga mereka banyak yang lebih pintar dalam mengurus rumah, lebih peka sosialnya dan trampil dalam menjelajah alam. Sementara generasi internet karena lebih akrab dengan alat-alat elektronika menjadi lebih mahir dalam urusan otak atik dan inilah efek positif dari internet. Tinggal lagi bagaimana mereka bsia menambah dan mengasah kepekaan pada sosial dan pada lingkungan.
Efek positif internet secara detail adalah sebagai sarana berkomunikasi dari satu lokasi ke lokasi yang lain di belahan bumi yang lain. Pengguna juga bisa mencari informasi tentang sekolah, universitas, institusi riset, museum, bank, perusahaan, bisnis, perorangan, stasiun TV ataupun radio. Pengguna internet akan kaya dengan informasi tentang sekolah, pelajaran, bisnis, dan pekerjaan. Kemudian (sekali lagi) mereka bisa melakukan chatting, reservasi tiket dan hotel, menjual barang atau jasa. Lewat internet mereka juga bisa melakukan tagihan telepon, asuransi, kartu kredit dan melakukan konferensi atau diskusi online.
Dihubungkan dengan judul artikel ini “Buru-buru ke internet untuk tujuan pendidikan atau demoralized (merusak moral) ?” Sebagaimana telah disinggung bahwa internet juga punya manfaat untuk pendidikan. Internet dapat membantu siswa untuk mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan serta sharing riset antar siswa, terutama bagi mereka yang berjauhan tempat tinggalnya. Namun internet juga berpotensi untuk proses demoralized- merusak moral. Itu berarti bahwa internet juga punya sisi negative.
Melalui internet seorang siswa bisa menelusuri aneka macam materi yang berpengaruh negative, misalnya pornografi, rasisme, kejahatan, kekerasan dan sejenisnya. Berita yang bersifat pelecehan seperti pedofili dan pelecehan seksual. Barang –barang seperti Viagra (obat kuat untuk lelaki dewasa) alcohol dan narkoba banyak yang ditawarkan melalui internet. Bahkan melalui internet orang juga bisa melakukan penipuan dan pencurian.
Sekali lagi bahwa keberadaan warnet, cafenet dan cybernet berpotensi untuk mendatangkan gejala demoralized bagi pengguna yang sebagian besar adalah para siswa tingkat SMP, SMA, MAN dan SMK.
Barangkali warnet bisa menjadi sepi kalau unit-unit computer cukup disusun berjejer di atas bangku atau meja tanpa diberi box sebagai penyekat/ pembatas berdinding tinggi antara satu pengguna dengan pengguna yang lain. Apakah hanya sekedar basa-basi saja kalau pemilik industri internet memasang penyekat berukuran rendah ? Namun tetap saja bisa menyembunyikan layar computer dari pandangan orang lain.
Penyalahgunaan internet tentu bisa menyebabkan gejala demoralized- pelunturan moral- siswa dan anak-anak kita. Maka orangtua, guru, pemerintah dan masyarakat perlu memberi tahu pemilik warnet, cafenet dan cybernet warning agar tidak memberi sekat pada setiap set computer.
Kemudian, karena internet juga bisa diakses lewat handphone yang mutakhir. Maka orang tua yang masih ingin punya anak bermoral mulia, untuk tidak memanjakan anak dan membelikan HP mahal yang punya fitur kamera dan pengakses internet. Sementara bagi rumah tangga/ famili yang menghubungkan unit computer dan laptop dengan speedy (pengakses internet) perlu untuk mengawasi penggunaan laptop dan computer tersebut untuk keluarga mereka.
Pencegahan pengaruh negative dapat dilakukan dengan menempatkan computer hanya di ruang keluarga , sebaiknya tidak di kamar anak. Orangtua harus terlibat dan menyediakan waktu dengan anak-anak pada saat mereka sedang online. Mereka perlu sebanyak mungkin mempelajari tentang komunitas online. Agaknya fitur media player (macro flah media) pada computer dan laptop tidak perlu untuk diinstall, karena anak bisa menikmati tontonan pornografi melalui saluran tube internet.
Orang tua juga perlu mencari informasi dan mengenal software yang bisa untuk memblokir dan menyaring situs-situs tertentu. Sekali-sekali orang tua juga perlu mencek fitur history pada jendela internet. Bila ada situs yang tidak pantas untuk anak maka orang tua bisa melakukan klik tool, pilih dan klik internet options dan klik tombol clear history pada jendela internet option.
Untuk penggunaan internet dengan tujuan pendidikan maka dianjurkan agar anak/ siswa dan orangtua juga guru untuk mengunjungi www.studentsoftheworld.info, Melalui situs ini siswa dan guru dapat menambah teman dan komunikasi lain dengan komunitas internasional. Kemudian juga ada internet kids discussion pada www.kidlink.org . Ini merupakan situs internasional untuk membentuk dialog bagi anak-anak muda yang berusia sekitar 10 sampai 15 tahun. Pengunjung situs ini dapat mengirim e-mail kepada anak-anak di seluruh dunia dan bekerjasama pada proyek-proyek tertentu. Selanjutnya juga ada situs www.thinkquest.org yang merupakan situs kompetisi internet terbesar di dunia yang sangat berguna bagi siswa berumur 12 sampai 19 tahun. Bila ingin mengetahui perpustakan elektronik nagi usia mereka maka situs www.npac.syr.edu/textbook/kidweb cukup membantu mereka.
Akhir kata harapan kepada guru dan orang tua agar tidak menjadi gatek (gagap teknologi) untuk bisa mengenal teknologi ICT dan internet. Akhirnya kedua figure ini bisa memahami dan menemani anak dengan keberadaan internet. Internet tidak mungkin disingkirkan dari kita dan dunia anak-anak karena benda elektronik ini cukup ampuh mempuat generasi kita menjadi cerdas, kaya informasi dan berkembang. Namun orang tua dan guru yang gagap internet dan siswa yang suka menyalahgunakan internet berpotensi membuat mereka menjadi generasi demoralized- generasi yang hancur akhlak mulianya.
11. Memiliki Semangat Kerja Keras
Dari pengalaman hidup diketahui bahwa siswa-siswa yang berasal dari Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina lebih sukses dalam pendidikan. Juga sering didengar bahwa sekolah-sekolah milik WNI keturunan lebih berkualitas dan diminati oleh banyak orang. Sekolah- sekolah mereka ada pada setiap kota-kota besar di Indonesia. Sekolah mereka dapat dikatakan menempati peringkat kualitas papan atas.
Orang yang peduli dalam urusan pendidikan tentu segera bertanya-tanya dan ingin tahu tentang mengapa ini bisa terjadi. Apa yang membuat siswa mereka unggul dan bagaimana peran orangtua dalam mendidik mereka ?.
Tentu saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi anak-anak mereka di sekolah., yaitu seperti harapan orang tua pada anak, tidak hanya sekedar berharap dan menyuruh namun juga diikuti oleh aksi mereka menyediakan sarana belajar atau mencarikan tempat belajar yang unggul agar anak mereka bisa berprestasi. Parikakou (1997) mengatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua warga keturunan Cina dan harapan mereka pada pendidikan anak menentukan tingkat kesuksesan pendidikan anak-anak mereka.
Peterson (1966) dalam artikel “success story” menulis tentang keberhasilan pendidikan dan ekonomi Cina dan Jepang sebagai bangsa yang suka bekerja keras dan jarang mengeluh, kemudian di rumah, orang tua, menjadi model atau uswatun hasanah bagi anak- anak mereka. Menjadi model atau figure bagi anggota keluarga maka mereka harus rajin dan berprestasi.
Ketidak berhasilan sebahagian anak-anak Indonesia yang lain dalam pendidikan ketika di SMP dan di SMA atau mahasiswa dapat diperkirakan karena mereka belum punya karakter- seperti suka bekerja keras, bekerja keras, dan mereka suka mengeluh, serta tidak memiliki semangat juang yang tinggi- berpribadi rapuh dan tidak tahan banting. Orangtua tentu tidak perlu menuduh mereka sebagai generasi yang santai dan pemalas, karena penyebab mereka demikian adalah akibat miskin model dan dukungan moral dari orang tua dan guru-guru mereka, yang mungkin juga kurang suka belajar dan bekerja keras dan senang mengeluh, kemudian bekerja tanpa orientasi untuk berhasil.
Chao (1996) mengatakan bahwa anak- anak Cina mampu menjadi siswa yang terbaik dengan bakat khusus- memenangkan kompetisi olimpiade, computer, robot, juara bulu tangkis tingkat dunia, atau menonjol dalam bidang sains dan tekhnologi. Keberhasilan mereka dalam bidang tersebut tentu karena dukungan budaya dan keluarga. Budaya yang mereka miliki adalah budaya senang bekerja keras dan belajar penuh semangat. Dalam mencari rezki, orang Cina punya moto- jangan biarkan reski dimakan oleh ayam terlebih dahulu (maksudnya jangan suka bangun kesiangan) dan “beri aku ikan maka aku makan satu kali, tapi beri aku kail- ajari aku memancing- maka aku makan ikan selamanya”. Dalam konteks ini WNI keturunan mengajar anak-anak mereka agar memiliki keterampilan hidup dan tidak meminta rezki atau belas kasih dari pihak family atau orang lain.
Sementara itu budaya warga Indonesia yang lain, sebahagian, suka hidup santai, membiarkan fikiran, tangan dan kalbu mereka menganggur. Pada hal orang yang sehat jiwanya adalah orang yang berdiri di atas kaki dan tangan kreatif.
Dukungan orangtua, ayah dan ibu, di rumah sangat menentukan keberhasilan anak dalam bidang akademik. Rata- rata anak yang cerdas atau terampil berasal dari keluarga yang sangat mendukung dan mempersiapkan anggota kelouarganya untuk berhasil. Kalau begitu siswa atau yang cerdas bukanlah semata-mata dicetak oleh sekolah, seperti anggapan banyak orang. Peran sekolah hanyalah untuk pemantapan. Atau paling kurang perimbangan rumah dan sekolah dalam mensukseskan pendidikan anak adalah fifty-fifty percent.
Tidak hanya WNI keturunan Cina di Indonesia, keturunan Cina di berbagai belahan dunia seperti di Amerika, Kanada dan Australia juga banyak yang sukses dalam bidang akademik dan pekerjaan. Anak- anak mereka sangat berhasil dalam bidang akademik, teknologi dan sains.
Bruner (1991) mempertanyakan tentang bagaImana orang-orang Cina bisa membentuk success-expectation walau mereka hidup sebagai kaum minoritas.
Chun (1995) beragumen bahwa orientasi anak- anak Cina pada sains dan tekhnologi bukan merupakan refleksi. Banyak orang beranggapan bahwa anak-anak WNI keturunan bisa sukses di sekolah dan dalam dunia bisnis karena mereka memiliki otak yang cerdas. Anggapan atau steretipe yang demikian tidak benar, karena sesungguhnya keberhasilan itu adalah karena hasil dari kerajinan, disiplin diri, dan pengaturan diri mereka. Kalau hanya kecerdasan, cukup banyak manusia yang cerdas namun kurang beruntung karena tidak memiliki sikap kerajinan, disiplin diri, dan pengaturan diri. WNI keturunan rata-rata sudah punya standar hidup yang harus dicapai yaitu mereka harus menjadi orang yang berhasil. Alasan lain yang membuat mereka berhasil dalam bidang akademik dan bidang pekerjaan adalah agar bisa bertahan dalam hidup sebagai warga minoritas. Mereka memutuskan harus menjadi orang yang well-educated , mandiri dan bertanggung jawab.
Untuk menjadi orang yang berpendidikan baik, anak- anak mereka didik dengan serius, penuh rencana di rumah dan dikirim kemudian ke sekolah yang berkualitas. Kemandirian anak dilatih tanpa mendikte yang banyak atau terlalu mencampuri keputusan anak dan rasa tanggungjawab terbentuk melalui pemberian tugas sesuai dengan usia dan kesanggupan anak- seperti ikut membantu orang tua dalam menjalankan bisnis.
Dalam belajar orangtua selalu menyampaikan pesan bahwa kalau anak-anak tidak rajin dalam belajar dan bekerja maka mereka tidak mungkin menjadi bintang kelas dan sukses dalam bekerja. Maka mereka sangat peduli terhadap PR atau pekerjaan rumah anak dan mengikuti kursus ekstra yang lain agar bisa memperkaya wawasan anak.
12. Bukan Bersikap Coba-coba
Dalam penggunaan bahasa bahwa kata “orang tua” dan “guru” sering disandingkan dan menjadi frase “orang tua dan murid”. Ini terjadi karena kedua tokoh ini memegang peranan penting dalam mendidik dan menemani anak untuk tumbuh dan berkembang.
Hampir semua orang menyadari tentang keberadaan keluarga, orang tua (ayah-ibu) sebagai figure sentral dalam melaksanakan tugas mendidik anak. Kemudian di sekolah, guru sebagai figur atau tokoh sentral dalam mendidik murid di sekolah. Namun orang tua dan guru perlu menyadari bagaimana menjadi pendidik yang baik.
Orang tua adalah guru pertama dalam kehidupan setiap anak. Mereka terlibat dalam proses pembelajarannya di rumah dan dimana saja, dengan alokasi waktu belajar selama 24 jam setiap hari. Berarti di rumah pada umumnya ada dua guru (ayah dan ibu) dan satu atau dua orang anak. Apalagi karena orang tua muda sekarang cenderung mengadopsi program keluarga berencana- cukup dua anak (pria wanita sama saja !). Itu berarti bahwa mereka melakukan proses pengajaran di rumah untuk menjadi manusia yang baik dengan intensif mulai dari anak bangun tidur sampai kepada anak tidur lagi. “Nah habis tidur kita harus baca doa, kemudian sholat, kemudian merapikan tempat tidur…”, kata seorang ibu (ayah) sambil menuntun anak untuk mulai beraktifitas dengan bahasa yang santun. “hei buyung …. bangun, mandi….matahari dan sekolah…., hai banguun”, bentak orang tua di tempat yang lain dengan gaya bahasa yang penuh emosi. Tentu ada pula proses pembelajaran model lain, yaitu membiarkan anak tidur atau bangun kapan saja suka, terlalu membiarkan atau serba banyak membantu anak. Bentuk-bentuk sentuhan dan cara berkomunikasi antara anak dan orang tua akan menentukan kualitas pendidikan mereka kelak.
Untuk mendapatkan pendidikan rumah (untuk anak) yang berkualitas maka proses beraktifitas di rumah juga harus unggul. Untuk itu apakah orang tua (sesuai dengan kemampuan) telah menyediakan fasilitas pembelajaran. Kalau tidak salah lihat bahwa banyak orang tua yang cenderung menghujani anak dengan fasilitas hiburan. Untuk membuktikannya mari kita kunjungi ke rumah-rumah mereka dan temukan: “mana yang banyak koleksi yang dimiliki anak antara koleksi mainan dengan koleksi bacaan ?”. Apakah anak-anak kita telah memiliki koleksi cerita-cerita nabi, koleksi biografi tokoh untuk membantu mereka dalam mencari identitas diri. Memiliki koleksi mainan untuk anak tidak salah, karena ini bisa membuat anak berani dan cerdas tapi bacaan jangan diabaikan. Namun malah cukup banyak orang tua yang sudi memiliki koleksi keramik dari pada menyediakan perpustakaan bagi anggota keluarga.
Eksistensi guru di sekolah sebagai pendidik juga ikut mewarnai bagaimana mutu anak-anak bangsa ini kelak. Tentu saja untuk menghasilkan generasi yang terdidik dengan baik (cerdas dan ungggul) maka juga diperlukan sentuhan tangan guru-guru yang cerdas dan unggul. Orang mengatakan bahwa ada guru-guru yang unggul dan guru-guru yang tidak unggul. Dalam bahasa plesetannya “ada guru luar bisaa dan ada guru yang bisaa di luar”. Bangsa ini begitu sibuk membenahi pendidikan gara-gara kualitas pendidikan belum kunjung memuaskan, sementara di negara maju mereka sibuk berbikir bagaimana bisa menghasilkan teknologi baru. Maka ini pasti karena populasi guru-guru tidak unggul atau “guru-guru bisaa di luar” guru-guru yang terkesan suka santai, belum kreatif, belum professional, dan kurang suka berinivasi.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa orang tua dan guru adalah dua buah kata yang selalu disandingkan menjadi “parents and teacher”. Mereka perlu tahu tentang permasalahan pendidikan anak-anak/siswa. Permasalahan umum mereka adalah malas belajar, tidak mandiri, kurang memiliki harga diri, tidak patuh, dan suka membangkang. Ini semua dapat dikatakan sebagai penyakit pedagogie atau penyakit dalam pendidikan. Ini mungkin disebabkan oleh gaya kiya sendiri yang salah asuh.
Tanpa merujuk pada teori, maka orang awam pun tahu bahwa anak jadi malas adalah karena mereka miskin motivasi hidup. Orang tua gagal dalam menumbuhkan memotivasi mereka. Anak kurang terbisaakan dalam melakukan aktifitas, no house work and no school work. Atau kita sebagai orang tua malah menjadi figur yang juga pemalas, anak disuruh belajar dan kita tidak pernah belajar untuk jadi orang tua yang ideal.
Pengalaman di sekolah bahwa siswa laki-laki yang pemalas bisa jadi karena memiliki ayah yang juga pemalas- tidak peduli dalam urusan pendidikan anak. Selanjutnya anak menjadi pemalas karena mungkin ayah dan ibu mereka sedang dilanda broken home, selalu bertengkar dan cekcok sehingga anak jadi bingung dan putus asa.
Anak tidak mandiri ? Orang awam juga tahu bahwa anak yang kurang mandiri adalah karena mereka terbisaa banyak dibantu mulai dari bangun sampai tidur lagi. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan- tidak dibisaakan mengurus yang kecil-kecil (merapikan kamar), menjaga keberhasilan diri (banyak anak laki-laki tampil sembraut), sampai ikut berpartisipasi dalam merapikan rumah. Atas nama rasa sayang, banyak orang tua yang memonopoli semua pekerjaan rumah sehingga anak tidak memperoleh kuota kegiatan. Seharusnya anak diberi kerja paling kurang memotong rumput di depan rumah, memungut sampah, atau membersihkan pakaian sendiri. Kalau mereka tidak terbisaa beraktifitas maka mustahil bisa menjadi generasi yang mandiri kelak. Malah mereka akan miskin dengan life skill hingga jadi beban hidup bagi orang lain.
Hargailah pribadi anak sejak usia dini kalau tidak maka mereka akan kehilangan harga diri. Sebahagian kita banyak yang hanya gemar banyak menyuruh, memerintah sampai kepada mengomeli anak, namun kurang peduli dalam menghargainya- acuh saja kalau mereka berbicara dan kikir dalam memberi pujian atau prestasi mereka. Sering orang dewasa (orang tua, guru, tante, paman, pengasuh) dalam bertindak menggunakann segenggam kekuasaan. Ini terlihat dari gaya bahasa yang banyak memerintah “kamu harus…., kamu jangan…., kamu musti…., kamu tidak boleh….., pokok nya harus patuh”. Dibalik kekuasaan dalam bentuk banyak menyuruh dan melarang mereka malah miskin dalam memuji dan dan menjaga hati anak. Akibatnya maka lahirlah anak-anak yang pendendam, tidak punya harga diri dan generasi yang berjiwa labil- mudah stress dan mudah putus asa.
Selanjutnya tentang gejala membangkang pada anak, selain karena faktor remaja (kalau ia berusia remaja) yang memperlihatkan gejala suka berontak, juga karena faktor pemodelan orang tua yang juga gemar dengan budaya menghardik. Orang tua penghardik, berbahasa kasar, tidak kenal mufakat berpotensi melahirkan anak yang berkarakter pembangkang. Demikian pula bagi keluarga yang kurang tersentuh oleh sajadah dan alquran, anak-anak mereka juga cendrung terlihat gemar membangkang, itu karena miskin dengan sentuhan spiritual.
Seharusnya mendidik dan mengasuh anak itu menjadi lebih mudah, indah dan menghadirkan banyak anugerah bagi orang tua. Jika kita mau memahami ungkapan popular: dengan ilmu hidup mudah, dengan agama hidup mudah dan dengan seni hidup indah. Ini memberi penekanan bahwa orang tua dan juga guru perlu untuk menuntut ilmu (yang relevan untuk kepentingan parenting dan teaching adalah ilmu psikologi dan pedagogi) dan membudayakan otodidak dan gemar membaca.
Banyak orang tua merasakan kehadiran anak menjadi beban hidup. Ini terjadi karena mereka menjadi orang tua tanpa punya bekal dalam mendidik. Fenomena dalam masyarakat bahwa banyak orang saat menikah tidak mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik dan bagaimana kelak dalam mendidik anak. Maka tidak heran kalau sebahagian orang tua menjadi orang tua yang miskin dengan ilmu dan konsep penidikan. Yang terpantau adalah mendidik anak dengan “metode warisan”. Anak perlu dihardik dan dimarahi karena orang tua sebelumnya juga menghardik dan memarahi. “Aku harus bersikap keras pada anak karena ayah-ibu seperti itu dulu”. Malah sebahagian orang tua mendidik anak dengan konsep coba-coba- try and error.
Pendidikan di negara maju bisa menjadi maju adalah karena faktor rekruitmen guru yang berkualitas. Mereka menjaring guru yang berpotensi- cerdas dan professional, bukan menjaring guru hanya lewat sebatas “tes potensi akademik- TPA” yang bisa dikuasai secara ngebut semalam suntuk dan lulus dalam test PNS. Test atau seleksi model begini sangat bagus dalam menjaring guru yang smart street atau guru yang pandai-pandai dan bukan guru smart akademic atau guru yang pandai, tapi bukan menjaring guru berpotensi dan professional. Faktor lain yang membuat negara maju jadi maju adalah juga faktor kesiapan orang lewat program parenting untuk menjasi orang tua, guru pertama anak di rumah.
Potensi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang cukup pesat adalah sejak dalam kandungan hingga usia delapan tahun. Ini berarti bahwa rumah menjadi faktor penting untuk menentukan seorang anak tumbuh prima sebelum mereka pergi ke sekolah. Maka di Amerika Serikat dan juga di negara maju lainnya banyak orang teetarik untuk mengikuti kursus bagaimana menjadi orng tua yangb ideal melalui program “parents as the teacher”. Keluarga dengan anak-anak yang berusia 0-3 tahun mengikuti program tersebut, di Indonesia mungkin semacam kegiatan posyandu- namun posyandu harus lebih berkualitas lagi, jangan terkesan asal-asalan melulu: datang, timbang bayi, tetes vitamin dan pulang (kemudian di rumah orang tua tidak belajar tentang merawat dan mendidik balita dan sang ayah tidak mau tahu). Bagi negara maju Inilah rahasianya mengapa mereka bisa maju dan kita tidak heran kalau anak-anak mereka tumbuh cerdas karena pasangan suami isteri ketika menikah mereka sudah disiapkan jadi orang tua. Sementara fenomena pendidikan kita, dalam urusan mendidik, terlalu menyerahkan peran mendidik pada pihak sekolah. Ada yang beranggapan bahwa sekolah adalah perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Kalau begitu apa saja peran dan tanggung jawab orang tua lagi ?
Kini sudah saatnya bagi kita untuk mengubah paradigm lama dan memiliki paradigm baru. Mari menjadi orang tua sebagai educator yang baik dan bertnggung jawab. Kita menyuruh anak belajar dan kita sendiri juga belajar- long life education- untuk menjadi orang tua yang ideal.
13. Cintailah Buku
Hidup bahagia dan sejahtera adalah cita-cita semua manusia di dunia. Adaikata bahagia dan sejahtera ada di balik samudera kehidupan dan memerlukan kualitas SDM yang tinggi untuk mencapainya. Maka kapal dengan merek Indonesia, menurut laporan Bank Dunia tahun 1999, menempati peringkat SDM yang ke 102 dari semua Negara anggota PBB. Itu berarti kapal Indonesia membawa penumpang yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa namun kualitas SDM bangsa nya baru sekedar bisa membaca, menulis dan berhitung.
Setelah sekedar “bisa” untuk ke tiga skill ini mereka berhenti dalam mengembangkan ilmu. Maka dapat diartikan bahwa kualitas rata-rata SDM bangsa kita mungkin sama dengan kualitas seorang bocah di negara maju yang telah terbisaa dengan pola hidup “long life education”- pendidikan seumur hidup. Sementara itu kita sendiri terbisaa menjadi malas membaca, malas menulis dan malas berhitung, itu gara-gara kita menerapkan pola hidup “long life watching- menonton seumur hidup atau long life day dreaming- mimpi sepanjang kehidupan. Kalau demikian maka apakah kita mampu mencapai tujuan hidup yang bahagia dan sejahtera ?
Uraian di atas menunjukan bahwa kualitas pendidikan kita masih belum bagus. Andai ada suatu sekolah yang melaporkan bahwa di sana terjadi peningkatan angka-angka kesuksesan belajar menjadi 100 persen. Maka jangan buru-buru percaya, sebab kita khawatir kalau proses memperoleh angka itu penuh dengan rekayasa atau cara-cara yang tidak valid. Buktikan saja ke lapangan, bagaimana sorotan mata, prilaku murid dan gaya berjalan nya, apakah smart atau pada bengong (?). Anak-anak yang berada di lingkngan yang berbudaya belajar tinggi, cara berjalannya cepat/ tangkas , bicaranya mantap, percaya diri tinggi dan daya tahan belajar hebat serta bacaan serta teknologi tinggi menjadi kebutuhan mereka. Kalau ciri-ciri ini tidak dijumpai maka itulah dia angka-angka rekayasa untuk mendustai publik.
Masalah peningkatan SDM adalah juga tanggung jawab dunia pendidikan. Yaitu mulai dari tingkat SD, kalau perlu sejak tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK, terus SMP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Pemerintah dan education stake holder telah melihat indikasi ini dan menyediakan alokasi dana untk meningkatkannya. Namun kadang-kadang kegiatan peningkatan mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kurang tepat sasaran. Saat kualitas pendidikan siswa anjlok maka guru-guru ditatar dan dilatih. Namun sebagian guru kurang bersemangat dalam mengikuti pelatihan, mereka tampak malas. Mereka ikut hanya sekedar memenuhi kuota saja atau untuk mengharapkan selembar sertifikat untuk bahan naik pangkat dan sertifikasi guru. Di saat siswa disuruh bergiat dan diberi program akselerasi, sementara sebagian guru mengalami deteriorasi- pemunduran atau stagnasi (jalan di tempat). Maka nonsense bagi guru yang tidak peduli dengan kualitas diri akan mampu untuk meningkatkan kualitas SDM anak didik mereka. Namun kita salut dan berterima kasih pada bapak dan ibuk guru yang selalu membudayakan belajar dalam kehidupan.
Tanggung jawab meningkatkan kualitas SDM generasi kita yang dilakukan sejak dari bangku SD sampai ke bangku SLTA (SMA, SMK DAN Madarasah) dan sebenarnya tidak hanya bergantung pada guru, tapi juga pada peran orang tua (ayah dan ibu) di rumah. Karena anak-anak berada di rumah lebih lama dibanding berada di sekolah. Selama ini ada anggapan tersirat bahwa guru merupakan perpanjangan tangan orang tua dalam mendidik anak. Anggapan ini tidak salah, namun cenderung agak melepaskan tanggung jawab dan sayangnya bahwa mayoritas orang tua belum memberikan peran mendidikan mereka secara optimal. Bentuk peran mendidik mereka sangat dangkal hanya sekedar menyuruh dan melarang saja, “Belajar lah nak…, belajar lah nak…!”.
Sementara itu sebahagian kaum bapak-bapak ada yang bersikap apatis, tidak mau tahu dalam hal mendidik anak dan menyerahkan urusan mendidik sepenuhnya pada ibu. “Tugas ayah kan mencari nafkah dan tugas ibulah mendidik itu”. Demikian kira-kira pembelaan sebahagian kaum laki-laki. Namun bagaimana kalau sang ibu juga ikut berkarir di luar rumah, mungkin sebagai PNS, pegawai swasta, BUMN, dan lain-lain. Maka kalau ditanya pada kaum bapak-bapak mengapa tidak ikut mendidik anak. “Oh itu tidak sesuai dengan kodrat kami kaum pria, …atau aku tidak berbakat mendididik, ….saya tidak sabaran menghadapi anak-anak, ….saya tidak punya waktu dalam mendidik anak”.
Begitulah, cukup banyak pria yang malas terjun langsung dalam mendidik atau bermain dengan anak. Sebahagian mereka menekuni hobi, melowongkan waktu untuk anjing pemburu, mengurus ayam jago atau burung. Yang lain mengaku tidak punya waktu , namun waktunya berlimpah untuk main domino atau menguruh motor second yang baru dibeli. Ada pula kaum pria yang merasa kehilangan sifat maskulin bila terlibat mengendong anaknya, pada hal Allah Swt, dalam Alqur’an, sangat memuji karakter Luqman (Surat Luqman, 16-19) yang mengasuh dan mendidikan anak-anak nya untuk bertauhid dan bersosial. Maka dari mana asal mulanya kok sebahagian kaum lelaki dari bangsa kita beranggapan bahwa mendidik kurang layak bagi lelaki ?
Kini banyak orang tua yang punya kelebihan financial peduli untuk meningkatkan kualitas SDM anak-anak mereka. Mereka mndatangkat guru privat atau mengirim anak ketempat les, mungkin mengambil les fisika, les matematika, kimia, atau les bahasa Inggris. Ada anak yang telah mengikuti les Bahasa Inggris selama bertahun-tahun tapi hasilnya tetap nol, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan dan tidak pernah mempraktekan bagaimana berbaha Inggris tersebut. “Ibarat belajar beberanang, seseorang telah membaca lusinan buku tentang berenang namun ia sendiri tidak pernah terjun ke dalam air, ya gagal terus sebagai perenang”.
Dikatakan bahwa sekolah adalah tempat menimba ilmu dan buku-buku musti menjadi benda wajib untuk disukai dan dibaca siswa. Namun kalau ditanya apkah mereka senang membaca, maka banyak yang menjawab “saya tidak suka membaca”. Malas membaca adalah ungkapan klasik yang diucapkan oleh ribuan bahkan ratusan ribu anak-anak sekolah di Indonesia. “Saya kalau membaca buku, mata cepat berair, …saya kalau membaca mata cepat mngantuk, … saya kalau membaca cepat bosan”. Apa yang menyebabkan sehingga begitu banyak anak sekolah (dan juga mahasiswa) tidak suka membaca ? Jawabnya adalah karena tidak terbisaa dengan buku “aku alergi kalau memegang buku, cepat bosan dan mengantuk”.
“Bosan, mengatuk, mata berair kalau membaca” benar ini adalah cirri-ciri orang yang belum punya budaya belajar, bukan orang yang terpelajar dengan baik, well educated person.
Mayoritas bangsa kita beragama Islam, namun tidak seharusnya kita mengabaikan nasehat Khalik seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an yang mengajarkan tentang perintah “iqra- bacalah…!” sebagai ayat pertama turun buat manusia. Namun mengapa kita banyak yang kurang merespon nya, tidak terbisaa dan terkondisi dalam membaca. Selanjutnya kita malah terbisaa bermain, bersenda gurau, nonton, hura-hura atau buang-buang waktu. Pada hal perintah pertama ang turun dari Allah Swt buat manuasia bukanlah “la’ibun- bermainlah, atau lahwun- berguaraulah…!”.
Tentu pemerintah dan pakar pendidik menjadi sangat repot dalam menggenjot kualitas SDM kita. “Kalau begitu apa penyebab kualitas SDM kita cenderung tumbuh agak lambat ?” Ada banyak penyebabnya yang membuat kualitas pendidikan ini susah untuk meningkat. Salah satu penyebab adalah pembinaan semangat membaca sejak dini tidak tuntas. Target guru ketika anak belajar membaca di bangku SD hanya sekedar bisa membaca “ini budi…ini budi…”, setelah bisa membaca kalimat-kalimat pendek tadi, maka pembinaan membaca terhenti, guru tidak pernah/ jarang memperkenalkan apa yang harus dibaca, seharusnya mereka mengatakan “nak untuk bisa lebih pintar, kita harus banyak membaca buku, buku cerita, komik, buku agama, majalah, buku petualang, semuanya ada di pustaka, yok kita ke sana….!” Namun fenomena yang terjadi adalah bahwa system pembinaan semangat membaca sejak usia dini di SD sampai ke tingkat Universitas tidak terjadi dengan baik. Itu karena keberadaan perpustakaan pada banyak sekolah tidak punya arti apa-apa dalam memajukan mutu pendidikan lewat keberadaan reading society- masyarakat yang gemar membaca.
Di negara yang luas ini tentu terdapat ribuan sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, SMK, MA sampai ke Perguruan Tinggi. Mayoritas perputakaan mereka hanyalah sebagai symbol atau sebagai pelengkap dalam system administrasi sekolah. Malu rasanya kalau suatu sekolah tidak punya perpustakaan. Namun kita seharusnya menjadi lebih malu lagi karena ada ratusan ribu anak-anak sekolah di nusantara ini yang tidak suka membaca.
Untuk membuktikan pernyataan ini, maka cobalah lakukan survey mendadak ke berbagai sekolah dasar yang berlokasi agak di luar kota, atau boleh jadi juga yang dalam kota, maka akan ditemukan banyak SD yang perpustakaanya terkunci, menjadi ruangan yang tidak menarik untuk dikunjungi . Yang dijumpai hanyalah koleksi buku buku, Koran, majalah usang yang telah berdebu dan kurang terurus dan koleksinya tidak pernah bertambah, karena tidak punya uang untk membeli. “tidak punya uang untuk membeli tetapi gerbang sekolah bisa disulap jadi megah, inilah trendinya, pembangunan fisik lebih penting daripada pembangunan mental”. Dan kalau pun ada perpustakaan yang memiliki koleksi menarik, namun tetap kekurangan pengunjung karena kurangnya sosialisasi untuk menanamkan minat membaca pada siswa.
Di sekolah kecintaan membaca dan menyemarakan perpustakaan kurang aktif, maka tak heran banyak murid SD yang kerjanya hanya berkeliaran, melompat dan berlarian kian kemari, saling mengejek, belajar bulyiing (menggertak) kawan-kawan yang kecil dan lemah. Bagaimana kalau kita mulai bermimpi supaya anak-anak ini ramai-ramai menyerbu perpustakaan, tenggelam dalam mencintaai bacaan dan berkelana keliling dunia lewat buku. Kalau ini bisa terwjud pasti sekolah yang bersangkutan akan lebih menarik, siswanya lebih kaya wawasan dan cerdas. Gurunya tidak perlu lagi mundar mandir dari kelas ke kantor saat jam PBM karena bosan mengajar siswa-siswa yang dianggap begok.
Di rumah amat jarang orang tua yang menyediakan perpustakaan bagi keluarga. Yang ada hanya family theatre atau teater keluarga. Lihat begitu banyak rumah dengan lemari bagus untuk menempatkan televisi dengan layar besar, play station, VCD player, tumpukan kepingan kaset CD, dan lain-lan yang siap untuk menyala siang malam. Anak terbius atau terpukau di depan layar, menikmati suguhan musik, iklan, sinetron, dan film-film lain yang dating silih berganti. Sehingga ada pertanyaan “Siapakah ibu yang ke dua bagi anak-anak mu yang membuatnya lupa beraktivitas, berkarya dan belajar ?” Ya tentu saja adalah televisi.
Aktifnya home thetra di rumah dan kurang berfungsinya perpustakaan di sekolah telah membuat banyak anak didik kita menjadi asing, gagap dan alergi dengan bacaan. Mereka tidak berselera melihat buku. Kalau begitu apa saja yang diperbncangkan oleh anak-anak sejak dari bangku sekolah dasar sampai ke Perguruan Tinggi.
Karena umumnya pelajar kita amat gemar menonton maka anak-anak yang duduk di bangku SD pada saat senggang akan berbagi cerita tentang hantu, pocong, tuyul dan kutilanak yang keluyuran untuk menakuti jiwa-jiwa mereka. Itu adalah akibat mereka asik tenggelam menonton film-film sirik dan tahyul yang banyak disuguhkan oleh sebagian program televisi. Anak-anak yang duduk di SMP akan asik ngobrol tentang model rambut punk, bagaimana membikin rambut bisa warna warni, bagaimana penampilan bisa gagah dengan model celana melorot. Kemudian anak-anak di SMA mungkin sibuk merawat kulit agar tidak hitam dan mendownload lagu dengan lirik-lirik yang banyak merangsang libido, karena kata-kata yang sering muncul dalam lagu idola mereka adalah katakata; peluk aku, cium aku, dekap aku, bla…bla..bla.,? Remaja yang sering mendengar lirik-lirik lagu yang menggambarkan kegiatan seksualitas dapat mendorong mereka untuk mewujudkan dalam kehidupan seks mereka, na’uzubillah.
Perguruan Tinggi rata rata punya gedung atau ruang perpustakaan yang bagus. Tetapi percuma, karena budaya malas membaca dan alergi dengan buku sudah tertanam sejak dalam rumah tangga dan sejak dari SD maka yang terlihat bahwa perpustakaan cendrung sepi pengunjung atau tanpa pengunjung. Paling paling tempat ini dijadikan sebagai tempat alternative untuk mojok atau pacaran , karena tenang, sepi dan jauh dari usikan. “Nah mahasiswa sebagai calon sarjana, kaum intelektual, sebagai agent of change- agen perubahan, namun malas membaca, lantas kemudian bagaima kualitas intelektualnya, kemudian sebagai agent of change ya apa yang mau diobahnya ?” Bukan rahasia lagi kalau gaya hidup mahasiwa juga seperti ABG, suka pamer penampilan, suka buang-buang waktu, kerjanya cuma sekedar hadir ke kampus dan pulang buat tidur, bermain gitar, main play station atau jangan –jangan menghabiskan waktu untuk yang bukan-bukan, pantasan banyak mereka yang enggan untuk wisuda “lebih enak kuliah, dari pada tamat dan buru-buru jadi pengangguran”.
Lantas apa yang harus dilakukan untk menggenjot kualitas SDM bangsa ini. Tentu saja ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk ini, salah satunya adalah kembali melakukan pemberdayaan gerakan gemar membaca. Pemerintah, alumni, stakeholder sekarang janganlah hanya berfikir bagaimana bisa memiliki sekolah dengan gedung bertingkat, sekolah dengan gerbang dan jalan hotmix namun bagaimana bisa mengjajak anak anak dan memberi model untuk kembali bisa mencintai membaca, tidak lagi alergi melihat buku-buku. Kalau perlu di mana mana yang ada bukan iklan rokok, atau iklan hiburan duniawi lain. Namun adalah juga iklan dan baliho tentang buku-buku baru dan iklan agar pada rumah dan tiap sekolah perlu punya pustaka yang representarif.
14. Pedulilah Terhadap Keselamatan Diri
Fenomena dalam bidang transportasi yang terlihat dewasa ini adalah pekarangan sekolah tidak lagi sekedar menjadi taman bunga, tetapi telah menjadi show room atau arena pajang bagi kendaraan roda dua/ sepeda motor milik pelajar (bagi sekolah anak-anak orang kaya mungkin yang berjejer adalah kendaraan roda empat yang berharga ratusan juta rupiah). Di sana kita bisa menemukan bermacam- macam merek sepeda motor seperti Yamaha, Suzuki, Honda, Kymco, atau nama-nama sepeda motor seperti; Jupiter, Vario, Vegar, Mio, Supra, dan lain-lain. Ini berarti bahwa sepeda motor sudah menjadi kebutuhan mereka dan orang tua sudah menganggap anak cukup matang dan sudah saatnya untuk memiliki sepeda motor. Namun apakah orang tua sudah siap mental kalau anak terjatuh, tabrakan- ditabrak atau menabrak orang dan benda lain, kemudian dibawa ke rumah sakit dan paling akhir dibawa ke kuburan ?
Pada umumnya sepeda motor sebagai sarana transport mulai digunakan oleh pelajar tingkat SMP dan SLTA (SMA, MAN dan SMK). Sayangnya mereka umumnya belum cukup umur untuk menyetir atau mengendarai sepeda motor. Banyak dari mereka yang belum memiliki izin (license) dari kepolisian. Kalau begitu mereka semuanya dapat dikatakan sebagai pengendara sepeda motor illegal. Dan memang cukup banyak pelajar yang memiliki sepeda motor legal, tetapi mereka- sekali lagi- adalah pengendara yang illegal dan berpotensi sebagai pembuat masalah di jalan raya.
Memang pada umumnya korban lalu lintas di jalan raya mayoritas adalah remaja (anak-anak sekolah dan mahasiswa). Rumah-rumah sakit pada saat event tertentu yang berhubungan dengan keramaian umum- seperti tahun baru, pada saat diselenggarakannya concert di kota, saat lebaran, saat tahun ajaran baru- sering menerima pasien ganteng- ganteng dengan anggota tubuh patah, tubuh robek, batok kepala luka atau bocor, sampai kepada tubuh yang sudah menjadi mayat. Sekali- sekali rumah sakit juga menerima pasien cantik, karena pelajar wanita juga sering menjadi korban dalam menggunakan sepeda motor.
Di mata pelajar, sepeda motor itu apakah sebagai sarana transportasi atau sarana untuk bergaya ? Jawabnya adalah sepeda motor di mata pelajar/ remaja adalah sebagai sarana untuk transport dan juga untuk bergaya. Malah sepeda motor juga sebagai sarana untuk game, untuk melakukan road race seperti game dalam play station yang sering mereka mainkan. Dan sekarang dengan kemurahan hati orang tua yang sebahagian tanpa pengawasan sudah membuat anak menjadi lakon- pelaku utama- dalam road race- ngebut- sambil pergi dan pulang sekolah. Yang bisa melaju cepat dengan kecepata 100 m/jam atau lebih itu yang jago. Yang bisa slalome, jalan mangalewa-ngalewa, untuk menghalangi teman dan juga mengganggu pengendara lain itulah yang jago jalanan. Kalau mendapat kecelakaan ya resiko dan tanggung sendiri.
Menjadi pengendara sepeda motor yang standar atau yang ideal sering dipandang kuno. Sepeda motor yang memasang dua buah kaca spion dianggap sebagai sepeda motor orang udik karena kaca spion nya ibarat dua tangan yang sedang mengemis. Menurut pandangan mereka harus diganti dan dibeli yang berukuran kecil. Mengubah bahagian sepeda motor ini disebut dengan istilah modifikasi.
Modifikasi sepeda motor adakalanya bisa memecahkan selaput gendang telinga orang lain dan kalau lepas kontrol dari pandangan polisi lalu lintas, seperti pelajar yang berada di daerah jauh dari jangkauan wibawa polisi, mereka seenak hati memasang knalpot racing dan ngebut sambil mengepulkan suara, menganggu masyarakat sepanjang jalan. Modifikasi negatif lain adalah memasang cahaya lampu yang menyilaukan mata pengenadara lain dan pejalan kaki. Sedangkan modifikasi yang membuat kendaraan lebih ceper akan berpotensi untk terjatuh dan mencederai tubuh sendiri, namun orang tua mereka sudah restu atau tidak mengerti ?
Pengendara yang ideal adalah pengendara yang selalu membawa SIM (Surat Izin Mengemudi) dan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor), menjaga kebugaran tubuh dalam berkendaraan, memeriksa kendaraan sebelum berangkat dan memakai helm dan memahami serta mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Namun sayang semua ketentuan ini direspon oleh sebahagian pelajar dengan cara basa-basi, atau sekedar mengambil muka saja pada Bapak dan Ibu polisi.
Perhatikanlah setiap pagi atau setiap waktu, bila jalan raya dipadati oleh pengendara remaja. Bila dalam kota, semua orang menjadi pengendara sepeda motor yang santun- pengendara yang standard. Sebagian sudah menjai safety driver. Namun cukup banyak pengendara yang terpaksa santun atau pura-pura santun sekedar menyenangi hati penegak hukum- polisi lalu lintas. Namun lepas dari kontrol polisi, di wilayah jauh dari pasar atau luar kota, maka timbul prilaku pengendara motor remaja yang ugal-ugalan.
Sebahagian pelajar lebih sayang pada model rambut- punk- berdiri ibarat bulu tupai karena diberi jelly, atau model rambut wet look, atau juga karena sisiran rambut, cara pasang selendang dan jilbab (bagi pelajar wanita) sedang lagi apik. Maka mereka merasa risih kalau memakai helm, dan karena wajib memakai helm, maka helm lebih baik dipegang saja- sebagai cara waspada kalau nanti melalui wilayah polisi, cukup ditenggerkan saja sedikit di atas sisiran rambut, jangan sampai sisiran rambut jadi kusut. Karakter memakai helm secara basa basi ini dilakukan oleh penumpang yang berboncengan dan tidak memakai helm secara tidak wajar telah mendatangkan banyak korban. Mereka cendrung berkarakter sama saat melaju kencang atau ngebut.
Kita berterima kasih kepada kepolisian pada beberapa kota yang punya prinsip say no to helmet non standard. Pengendara memakai helm non standard harus disita helm nya, karena helm ini telah berpotensi membuat puluhan kepala pengendara sepeda motor jadi terkoyak dan menghantarkan mereka kepada kematian yang dipercepat.
Entah mengapa nenek moyang kita merancang jalan raya dengan ukuran lebar yang sempit. Barangkali mereka berfikir bahwa pada masa selanjutnya yang akan lewat itu tetap kendaraann tradisionil seperti pedati, dokar, pejalan kaki, sepeda, beca, motor pit dan sekali- sekali lewat bus umum. Di tahun 1960-an, 1970-an dan tahun 1980-an bentuk transportasi umum masih bercorak tradisionil. Pengguna jalan raya masih bisa merasakan kenyamanan di jalan raya. Namun dalam tahun 2000-an bentuk transportasi sudah berubah drastis. Jalan jalan sudah terasa sangat sempit karena yang lewat adalah booming nya mobil dan sepeda motor. Ada ribuan kendaraan roda empat dan roda dua dengan sopir atau pengendara yang kadang-kadang kurang sadar dengan keselamatan nyawa orang lain sudah menggilas ribuan tubuh manusia.
Jalan raya sudah menjadi tempat parade bermacam-macam merek dan jenis kendaraan. Dari mobil baru sampai ke kendaraan tua yang selalu mengepulkan asap untuk merusak paru-paru manusia. Seharusnya semakin padat jalan raya, maka pengemudi- termasuk pengendara pelajar- seharusnya berkendaraan lebih hati-hati dan pelan-pelan. Namun ironisnya sekarang banyak pengendara roda empat dan roda dua yang seolah-olah kurang punya hati nurani lagi. Mereka mengendarai kendaraan cukup kencang dan menganggap jalan-jalan ini ibarat sirkuit balapan, dan nyawa orang lain sebagai taruhannya, seolah-olah nyawa tidak berharga lagi, Hampir setiap hari ada berita tabrakan dan mungkin tiap jam nyawa manusia melayang. Oknumnya apakah sengaja atau tidak sengaja harus dihukum untuk mempertanggung jawabkan prilakunya. Namun karena keberadaan uang maka perdamaian dapat dilakukan dan nyawa seolah-olah sudah bisa dibeli dengan uang. Sebahagian besar korban lalu lintas adalah para pelajar sendiri.
Pengenadara remaja harus memahami tentang safety riding. Sekali lagi bahwa fenomena yang sering terlihat bahwa banyak pengendara sepeda motor yang ugal-ugalan; ngebut, bonceng tiga, mengelewa ngelewa (slalome), mendahului pengendara lain dari sebelah kiri, sehingga mengganggu pengendara lain. Begitu juga banyak pejalan kaki yang terganggu oleh karakter pengenndara remaja, “Minta ampun ambo jo pengendara anak sikolsa kini, alah bajalan di tapi-tapi masih hampia nyo gilliang ambo- sangat disayangkan dengan karakter pengendara remaja, masih nekad melaju sampai ke pinggir jalan”. Memang demikian karakter sebahagian pelajar, kalau tidak kena tabrak ya menabrak orang lain.
Safety riding memang perlu keseriusan untuk disosialissikan di sekolah dan di rumah. Orang tua perlu commit untuk mengizinkan anak mengendara kalau sudah dibelikan kendaraan.
Kalau mereka tidak taat peraturan dan cendrung menjadi raja jalanan maka lebih baik mereka tidak dibelikan sepeda motor atau dicabut lagi kepemilikan sepeda motor mereka. Sangat patut bahwa pengendara sepeda motor harus menyayangi keselamatan diri dan menyayangi keselamatan orang lain lewat prilaku bersopan santun di jalanan.
15. Pengangguran Intelektual
Saat kakek - nenek kita, yang berusia 60 atau 70 tahun (di tahun 2010), masih berusia muda, kemungkinan mereka tidak mengenal istilah “pengangguran”. Demikian juga dengan generasi yang lahir sebelum mereka. Saat itu orang cuma lazim belajar di SR (Sekolah Rakyat) atau Sekolah Dasar, sekedar bisa berhitung, membaca dan menulis.Tamat dari SR, tidak banyak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, karena faktor sekolah yang amat jarang dan jarak yang jauh dari rumah.Mereka tidak patah semangat dan mereka berintegrasi dengan alam sebagai sekolah mereka. yang gurunya mungkin orang tua (ayah dan ibu), kakek, nenek, paman, bibi, tetangga atau kenalan yang memotivasi mereka untuk belajar tentang arti kehidupan. Mereka terlibat langsung dalam bertani, berternak, pergi jadi nelayan, berdagang, jadi montir, sampai kepada menjadi buruh kecil, atau ikut merantau untuk jadi pedagang. Sehingga tersebutlah saat itu bahwa orang Minang sangat piawai dalam berdagang.
Saat itu memang tidak ada orang yang menganggur, mengenal istilah kata-kata “jobless, unemployment, job seeker dan job creator”. Karena saat itu lapangan pekerjaan banyak dalam bentuk pekerjaan non formal. Tidak memerlukan ijazah atau surat lamaran yang rumit. Saat itu yang ada cuma orang yang pemalas, namun mereka bisa dibina dan dimotivasi untuk berpartisipasi- beraktifitas- dalam pekerjaan informal: bertani, beternak, bertukang, montir atau berwirasusaha kecil kecilan.
Zaman selalu berganti dan kemajuan selalu bertambah. Variasi ilmu pengetahuan dan pendidikan juga bertambah. Maka dibutuhkan banyak sekolah. Di sana-sini dibangun sekolah. Orang makin ramai memerlukan pendidikan formal, dari SD, SLTP dan SLTA. Orang tua juga makin peduli dengan pendidikan. Mereka berlomba memotivasi anak agar berhasil. Namun sebahagian ada yang salah sikap dan mengekspresikan harapanya, “Nak, fokuskan saja fikiranmu pada pelajaran, jangan fikirkan yang lain, kami tidak perlu dibantu asal kamu rajin belajar”. Demikianlah banyak orang tua yang sekedar peduli dengan kata “pendidikan” namun tidak memahami hakekatnya, karena telah membebaskan anak untuk tidak terlibat dalam beraktifitas di rumah. Ini adalah bentuk pemanjaan yang tdak mendidik. Dimana pada akhirnya lahirlah anak-anak yang manja yang cuma sekedar tahu pergi ke sekolah, tetapi tidak tahu cara membantu diri apalagi untuk membantu orang tua serta membantu lain.
Saat pendidikan mayoritas orang hanya sekedar tamat SLTA (SPG, SMEA, STM, dan lain-lain), yang saat itu mereka anggap sebagai pendidikan tertinggi. Merekapun cuma lulus dengan nilai “sekedar lepas makan” saja, memiliki kompetensi atau kecakapan hidup yang rendah maka mereka terdaftar sebagai perintis kelompok pengangguran. Mula-mula mereka disebut sebagai pengangguran PTT (Pengangguran Tingkat Tinggi). Mereka adalah para pemuda yang malas untuk menyinsingkan lengan baju dan lebih suka suka kongkow-kongkow, luntang lantung, dan duduk-duduk sepanjang hari dengan bibir dihiasi kepulan asap rokok.
Lagi zaman terus bergulir. Animo dan kesadaran masyarakat untuk belajar setinggi mungkin semakin meningkat. Mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Orang tua tetap merespon aspirasi anak-anak nya dengan kerja keras. Kapan perlu mereka harus menjual harta, emas perak, yang melingkar di leher sang bunda, atau menjual sawah dan ladang asal anak bisa kuliah di universitas. Tiap semester perguruan tinggi meluluskan ribuan atau puluhan ribu sarjana baru di negeri ini. Sebagian bisa memperoleh pekerja karena beruntung dalam taruhan (test) pada perusahaan swasta, BUMN dan CPNS. Yang tidak beruntung dalam mencari kerja kantoran ya terpaksa menjadi sarjana yang kebingungan. Mereka kemudian ikhlas untuk diberi gelar “pengangguran intelektual”.
Pengangguran intelektual menggantikan istilah “pengangguran tingkat tinggi”. Pengangguran intelektual adalah gelar yang menyedihkan yang disandang oleh sarjana yang baru tamat dari Perguruan Tinggi dan berstatus sebagai “job seeker”(pencaker- pencari kerja), bukan sebagai “job maker atau job maker”- pencipta atau pembuat lapangan kerja.
Istilah “pengangguran intelektual” sangat menyesatkan. Apakah mungkin seorang intelektual kok bisa menjadi penganguran ? Jangan-jangan yang menganggur itu adalah para sarjana yang justru intelektualnya rendah, dan bahkan tidak memiliki intelektual sama sekali. ‘Memang Pak sekarang banyak sarjana yang lulus dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) di atas 3.00 dan malah ada yang memperoleh predikat cumlaude”. Ini menunjukan bahwa banyak sarjana yang cuma cerdas di atas kertas, cerdas otaknya, namun menjadi penganggur gara-gara mereka tidak memiliki kreatifitas, kemampuan untuk berinovasi dan juga tidak memiliki jaringan komunikasi dalam sebuah komunitas yang sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari di perguruan tinggi, yang pada akhirnya memperoleh cuma selembar kertas yang bernama “ijazah”.
Mengapa pengangguran intelektual bisa terjadi ? Penyebabnya tentu saja banyak. Salah satu penyebabnya adalah karena pendidikan yang kita terapkan pada sang anak belum menyentuh atau salah sasaran. Karena seorang siswa didik oleh orang tua dan guru, maka pengangguran intelektual disebabkan oleh faktor salah pendidikan (mal edukasi) yang salah sasaran di rumah dan di sekolah.
Mal-edukasi di rumah, Secara instink bahwa semua anak yang berbadan sehat sejak dilahirkan sampai berusia balita (berusia lima tahun) terlihat lincah dan lucu. Namun semakin meningkat usia mereka, semakin besar pula perbedaan kualitas mereka. Orang tua yang kurang merangsang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak akan menciptakan anak-anak yang pasif- anak yang pemalas.
Ada beberapa karakter orang tua yang berpotensi yang menghambat kecerdasan anak, yaitu seperti orang tua yang tidak peduli dalam menyediakan fasilitas beraktifitas anak- belajar dan bermain. Alasanya bisa jadi mereka tidak punya uang untuk membeli fasilitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa tidak ada gunanya karena dapat membuat rumah sembrawut- alhasil buang buang duit saja. Tetapi patut diingat bahwa fasilitas berkreatifitas tidak harus berharga mahal- bisa jadi majalah loakan, komik dan buku cerita loakan. Kemudian orang tua bisa menyediakan cangkul kecil, sapu kecil, bangku kecil dan pisau tumpul agar anak tidak bengong sepanjang hari di rumah.
Juga banyak orang tua yang tidak merespon ayat pertama Al-Quran (96:16) yang berbunyi : “ikraq bismirabbilazi khalaq- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”. Seharunya orang tua merespon ayat ini dengan menyediakan sarana belajar dan perpustakaan bagi anak/ anggota keluarga agar terbisaa membaca dan belajar. Namun dalam kenyataan orang tua lebih peduli untuk memelihara keramik dan cendra mata (souvenir) dari berbagai propinsi atau dari negara lain. Sampai-sampai harus menyediakan lemari khusus, dipajang di ruang tamu agar memperoleh persepsi “wah inilah gambaran dari keluarga maju dan modern itu”. Atau orang tua sangat peduli untuk sarana hiburan. Begitu peduli untuk membuat home theatre di rumah: , ada TV set besar, VCD player, sound system, LCD yang diputar siang malam sehingga rumah jadi hingar bingar, susah untuk mendengar lawan bicara apalagi untuk berkosentrasi bagi anak-anak dalam belajar dan bekarya. Pada akhirnya orang tua berhasil menciptakan anak yang bermimpi menjadi artis sinetron , presenter, selebriti dan paling kurang menjadi pengamen dalam bis kota.
Hilangnya budaya yang melibatkan anak ikut bekerja dalam merapikan rumah- meringankan beban pekerjaan orang tua- juga berpotensi menciptakan anak yang kelak menjadi sarjana yang kebengongan. Fenomena bahwa orang tua dengan keluarga kecil, keluarga berencana, telah membuat anak cenderung tidak punya lahan pekerjaan di rumah gara-gara tidak dilibatkan dalam beraktifitas. Semua pekerjaan dari A sampai Z telah diborong oleh sang ibu dan ayah, “Wah kasihan mereka kan masih kecil-kecil”. Rasa kasihan yang memanjakan membuat anak memiliki pribadi yang lemah. Coba lihat sekarang, apakah masih banyak anak yang bisa untuk memasak, mencuci, menyapu, mencangkul, memasukan air ke dalam irigasi, menghalau itik pulang ke kandang, membuka dan menutup warung, sampai bagi anak petani untuk masuk ke dalam sawah atau bagi anak nelayan- ikut berlayar di lautan, agar kelak mereka bisa menjaga laut dan ikan-ikan tidak dicuri oleh bangsa lain.
Pengangguran intelektual juga karena akibat anak miskin dengan pemodelan dari orang tua.
Suatu hari seorang bapak menolak untuk memilik pembantu rumah tangga, karena berpotensi menciptakan anak-anak yang pemalas di rumah. “saya keberatan untuk punya pembantu walaupun kita sibuk bekerja di luar rumah. Lebih baik semua pekerjaan rumah diberesin oleh ayah, ibu dan melibatkan semua anggota keluarga untuk memasak, mencuci, merapikan pekarangan, mengurus usaha sampingan keluarga dan lain-lain. Lebih baik anak ikut terlibat dan juga melihat orang tua mereka juga beraktifitas. Anak-anak yang terbisaa melihat orang tua mereka santai, ogah ogahan, karena semua pekerjaan rumah telah diborong oleh pembantu, cenderung memiliki jiwa yang pemalas dan kurang semangat juangnya”.
Mal-edukasi dari Sekolah, Faktor dari sekolah bisa jadi akibat dari gaya PBM (Proses Belajar Mengajar) yang terjadi sejak dari bangku SD, SMP dan SLTA belum tepat sasaran. Sekarang dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) seharusnya membuka ruang dan kebebasan untuk terciptanya kreatifitas, membutuhkan kemampuan memecahkan persoalan hidup dan mengatasi masalah dengan cerdas. Namun sekolah sekolah sekarang menyelenggarakan PBM lebih berorientasi kepada UN (Ujian Nasional) agar bisa menjaga nama baik sekolah dengan skor UN yang tinggi. Maka kerja guru dan siswa hanya mempreteli Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralis.
Terlihat kebijakan pendidikan sekarang seperti yang diamanatkan oleh pemerintah adalah untuk membuat siswa sekadar terampil menjawab soal pilihan ganda. Ini dilakukan sebagai usaha meraih mutu pendidikan tinggi bagi pendidikan, berubah menjadi obsesi kompulsif akan standar. Maka guru sekarang mengajar hanya sekadar membuat siswa bisa lulus UN.
Bagi mahasiswa, belajar atau kuliah hanya sekedar mencari IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi, walau diperoleh lewat cara-cara kurang halal, seperti mencontek. Jika selama menjadi siswa dan mahasiswa, seseorang tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami pengalaman hidup, mempunyai motivasi dan minat belajar yang tinggi maka jangan pernah berharap bahwa kita bisa melihat para pemuda (sarjana) memiliki semangat berusaha dan kemandirian dalam hidup- berwirausaha.
Bapak rektor, Bapak dekan dan para dosen cobalah turun ke lapangan, dan temuilah apa saja aktivitas para mahasiswa di tempat kost mereka “ sungguh tidak kreatif”. Sebahagian mereka cuma tidur, bergitar, main domino, main HP, main game, begadang malam dan tidur siang sampai kepada yang gemar menonton clip porno. Nanti bila mereka menjadi sarjana pengangguran, itu gara-gara IPK tinggi yang diperoleh sekedar menghafal atau lewat contekan dan skripsi yang kadang kala lulus lewat transaksi, maka yang dapat getah adalah Perguruan Tinggi yang bersangkutan sebagai pabrik pencetak “intelektual pengangguran”.
Sekali lagi bahwa kebijakan UN yang berlaku sejak dari tingkat SD sampai SLTA dewasa ini, hanya menyiapkan siswa yang hanya mampu menjawab soal- soal ujian perlu untuk ditinjau ulang. Bukankah sangat tepat kalau para siswa belajar dengan learning by doing, learning by exploring, learning by experimenting dan beberapa metode dan strategi belajar yang member pencerahan.
Agaknya mengukur tingkat kualitas pendidikan antar Propinsi, Kabupaten dan antar sekolah melalui skor UN sudah sangat kadaluarsa. Sebab belajar hanya demi skor UN cendrung bersifat instant, “sekarang skor tinggi bulan depan belum tentu menjadi siswa yang cerdas lagi”. Mengapa tidak mengukur tingkat mutu pendidikan di negeri yang tercinta ini berdasarkan konsumsi bacaan siswa persekolah atau per Kabupaten, begitu juga dengan prestasi sekolah/ siswa yang berskala besar, misal “Propinsi X, atau kabuten Y, memiliki kualitas pendidikan peringkat satu karena rata rata siswa mengkonsumsi buku sastra 25 judul persemster dan guru yang menulis di media masa 20 judul per tahun”.
Juga, karena sekarang kita sudah berada dalam zaman ICT (Information Communication Technology) dimana mengakses dan belajar lewat internet sudah menjadi kebutuhan maka seharusnya ada usaha assessor yang kreatif untuk mengukur / mengklasifikasikan peringkat kualitas pendidikan berdasarkan penciptaan blogger atau webblog, misal “Sekolah A memperoleh peringkat terbaik di Indonesia karena siswa dan guru memiliki 40 Blogger yang berkualitas, Sekolah B terbaik di Propinsi karena sangat produktif menciptakan alat elektronik per tahun”. Apakah kini skor UN yang sering penuh dilemma masih menjadi acuan untuk mengukur kualitas pendidikan kita ? Wallahu alam bissawab.
16. Membina Karakter Positif di Rumah
Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebisaaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional. Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
Ciri- ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield, adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/ anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu sosial, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam juruan di SMA di negerim kita. Ya, ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains” Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan sosial dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”. Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on. Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal. Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka, adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- stydy tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.
Teakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.
17. Pendidikan Dan Parenting Dalam Keluarga
Orangtua (ayah dan ibu) merupakan figur yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, karena merekalah sebagai pembentuk karakter dasar seorang anak setelah lahir. Mereka juga sebagai guru pertama dalam kehidupan anak, karena perannya dalam memperkenalkan nama-nama, jenis-jenis kata, etika, sopan santun dan lain-lain, bagi mereka.
Barangkali dewasa ini masih banyak orang tua menumbuh-kembangkan anak-anak dengan cara meniru konsep mendidik generasi sebelumnya. Apabila generasi sebelumnya sukses sebagai orang tua pendidik maka pewarisan naluri mendidik tentu bisa berhasil namun bila yang ditiru adalah konsep mendidik yang sudah kadaluarsa, konsep mendidik yang tidak sesuai lagi- keras, kaku, dan otoriter, maka akan melahirkan generasi yang karakternya rapuh , dan mudah. Namun dalam zaman informasi dan telekomunikasi yang begitu pesat, setiap orang tua diharapkan agar mampu untuk mengenal konsep parenting, yaitu bagaimana menjadi orang tua yang bijak – menerapkan konsep mendidik yang yang mendorong kreatifitas, inovasi serta memberi pemodelan pada anak.
1). Orang tua Sebagai Manajer Keluarga.
Seperti yang dikatakan di atas bahwa ayah dan ibu punya peran dan tanggung jawab untuk menjadi pengasuh atau orang tua. Istilah ini dikenal dengan kata parenting. Orang tua dapat dikatakan sebagai manajer untuk rumah tangga, karena peran mereka sebagai pengelola situasi dan kondisi rumah. Oleh sebab itu bila semua orang tua ingin bahagia dan sejahtera maka mereka perlu menerapkan parenting manajemen. Bagaimana konsep parenting manajemen itu ?
Rata-rata orang tua sekarang sudah banyak yang memperoleh pendidikan SLTA (SMA, Madrasah Aliyah dan SMK) mereka tentu mengenal unsyr-unsur organisasi dan dan malah tentu ada yang ikut berorganisasi di sekolah atau dalam masyarakat. Di sana tentu mereka mengenal kata perencanaan (planning), pelaksanaan, dan evaluasi. Maka konsep atau rumusan untuk menjalankan melaksanakan manajemen parenting cukup sederhana yaitu melakukan planning, organizing, actuating (pelaksanaan) dan kontrol.
Orang tua sebagai direktur atau manager dalam rumah tangga perlu untuk duduk bareng antara ayah dan ibu, dan bila anak anak sudah bisa diajak untuk bertukar pikiran maka mereka juga perlu dilibatkan dalam melakukan planning (perencanaan) untuk kemajuan keluarga, untuk menambah pendapatan dan menggunakan anggaran, demikian juga rencana untuk kesejahteraan keluarga dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Menurut teori bahwa ada planning jangka panjang, jangka menengah dan planning jangka pendek- yaitu hitungannya mungkin dalam bentuk harian, mingguan dan bulanan. Rumah tangga tanpa perencanaan yang jelas kerap membawa prahara (kegaduhan) dalam rumah tangga, ayah dan ibu cendrung saling menyalahkan, misalnya dalam hal keuangan atau dalam cara mendidik anak. “Kau keterluan mama, uang untuk satu bulan kau habiskan untuk membeli hal yang tidak berhuna…!”.
Hal-hal yang telah direncanakan tentu perlu dikelola atau diatur (organized) dan seterusnya dilaksanakan (actuating) dengan konsisten oleh semua anggota keluarga- sesuai dengan porsinya. Tentu saja ayah dan ibu musti menjadi pengontrol yang baik. Mereka perlu melakukan control. Kemudian berdasarkan waktu yang ditetapkan mereka melakukan evaluasi dalam pertemuan informal keluarga- mungkin saat makan malam atau habis shalat bejamaah dalam keluarga. Kedengaranya begitu ideal atau seperti cerita dalam sinetron. Namun setiap keluarga musti melakukan hal yang demikian.
Manurung (1995) mengatakan bahwa leadership is the key to management. Pernyataan ini berarti bahwa “ kepemimpina adalah kunci atas manajemen”. Di sini diharapkan agar ayah dan ibu juga memperlihatkan model atau suri teladan sebagai “tokoh ibu dan sebagai tokoh ayah yang ideal”bagi seluruh anggota keluarga mereka. Dalam kehidupan ini dapat dijumpai bahwa begitu banyak rumahtangga berjalan tanpa manajemen yang jelas- mereka berprinsip bahwa biarkan rumahtangga ini mengalir seperti air. Ini terjadi karena leadership (kepemimpinan) dan management (pengelolan) rumah tangga tidak ada dan tidak berjalan menurut semestinya. Akibatnya bahwa rumah tangga tanpa leadrrship dan tanpa manajemen yang jelas akan digerakan atau dipengaruhi oleh orang yang berada di luar keluarga.
Selain menerapkan fungsi sebagai leader atau manager bagi rumah tangga, orang tua juga perlu mengenal atau memperhatikan perkembangan watak anak-anak mereka. Idealnya mereka harus tahu tentang perkembangan jiwa anak. Bagaimana watak seseorang pada waktu anak-anak maka demikian pula wataknya setelah dewasa. Kita bisa memperhatikan bagaimana karakter anak-anak Sekolah Dasar- cukup beragam, ada yang lucu, serius, penganggu, yang tenang dan lain-lain. Anak yang suka melucu, setelah dewasa juga suka melucu. Anak-anak yang suka memimpin setelah dewasa juga akan berwatak pemimpin dan anak-anak yang pasif atau penurut setelah dewasa juga akan jadi pasif dan penurut.
Teori manajemen yang diterapkan oleh suatu organisasi agaknya perlu untuk diadopsi. Kesuksesan sebuah organisasi atau keharmonisan sebuah keluarga akan terjadi bila manajemennya mengutamakan people oriented atau family oriented. Unsur manusia memegang peran yang sangat penting. Oleh sebab itu orang tua perlu tahu dan memperhatikan kebutuhan anak (anggota keluarga).
Kebutuhan kebutuhan anak sebagai manusia adalah dalam bentuk kebutuhan fisik, kebutuhan keselamatan, kebutuhan sosial/berkelompok, kebutuhan dihormati dan kebutuhab atas kebangaan /aktualisasi diri. Dalam pengalaman hidup yang terlihat bahwa banyak orang tua yang sangat peduli dalam memenuhi kebutuhan fisik anak saja, yaitu seperti memenuhi kebutuhan makan atas makan, minum, pakaian, kesehatan, demikian terhadap kebutuhan atas keselamatan dan kebutuhan sosial atau berkelompok. Namun bila masih ada orang tua yang terbisaa mendikte anak, serba mencampuri pribadi anak sampai detail, mencela anak atau mengejek anak maka ini berarti bahwa mereka tidak (atau kurang) memenuhi kebutuhan anak dari segi penghormatan dan kebutuhan aktualisasi diri anak.
Sebagai manager bagi rumah tangga, maka orang tua juga harus peduli dalam menjaga kerukunan keluarga dan dengan kemajuan atau prestasi anak. Untuk mendorong anak agar lebih berprestasi dalam hidup- di sekolah dan di rumah- maka orang tua perlu memberi penghargaan dan penghormatan. “Ibu bangga dengan kerajinan mu dalam bekerja, ….ayah senang karena kamu sopan dalam berbahasa,……Ibu mau membelikan kamu sepeda karena kamu rajin dalam belajar dan dalam membantu ibu, …atau ayah akan membelikan kamu computer karena kamu sudah bisa sholat yang teratur”. Penghargaan dan penghormatan yang diberikan orang tua bisa dalam bentuk kata-kata atau dalam bentuk reward (hadiah) yang konkrit.
2). Orang tua ideal
Seperti yang telah dikatakan bahwa agaknya semua orang tua bisa menjadi manager keluarga. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan agar mereka bisa menjadi orang tua yang ideal. Orang tua yang ideal musti punya wibwa didepan anak-anak, melakukan tindakan atau action positif. perlu bermasyarakat, punya sopan santun “tidak ngomong dan berpakaian seenak hati saja”, punya disiplin, punya prinsip hidup, peduli dengan tanggung jawab, dan peduli dengan keutuhan keluarga. Kemudian mereka musti berbuat untuk mendapatkan prinsip-prinsip ini.
Wibawa lebih berharga dari tubuh yang besar. Memang memiliki tubuh yang besar dan kuat adalah modal pribadi dan menjadi kebanggaan tersendiri. Tetapi kalau hanya sekedar memiliki tubuh yang gagah atau fisik yang besar, bila tidak berwibwa, karena karakter yang terpancar melalui kata-kata, perbuatan, dan fikiran, cara berpakaian tidak serasi dan kurang kualitas diri, maka tubuh besar yang ganteng atau cantik tidak ubah seperti patung yang diberi hiasan. Untuk itu, sekali lagi, orang tua perlu menjaga wibawa di depan anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Wibawa juga dapat terbentuk melalui keserasian antara kata-kata dan perbuatan. Pribahasa mengatakan “action speaks louder than words” maksudnya bahwa perbuatan lebih nyaring bunyinya dari pada kata-kata semata.
Kebutuhan bersosial perlu dikembangkan. Sebagai konsekuen bahwa orang tua bertanggungjawab dalam mendidik anak untuk bergaul dengan masyarakat, karena anggota keluarga adalah juga sebagai makhluk sosial- yang juga perlu untuk hidup bermasyarakat. Sehingga kalau mereka hidup terpencil dari masyarakat, akan bisa memiliki jiwa yang kerdil. Maka keluarga yang memiliki pergaulan social yang luas akan menjadi keluarga yang cerdas, dan bahagia.
Peran orang tua sebagai guru utama bagi anak karena mlalui mereka anak-anak belajar tentang sopan santun (tata karma). Pribahasa yang berbunyi “air atap akan jatuh ke tuturan” bisa berarti bahwa prilaku orang tua bisa jadi akan ditiru oleh anak-anaknya. Kebisaaan bertegur sapa dan tutur bahasa yang ramah tamah, sebagai contoh, bisa ditiru anak dari orang tua nya. Orang tua yang terbisaa membentak-bentak anak akan cenderung melahirkan anak yang juga gemar membentak dan menghardik teman atau anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga memang sangat membekas pada diri anak, seperti yang diungkapkan oleh Dorothy Law. Ia mengatakan bahwa:
- Bila anak hidup dalam kecaman, dia belajar mengutuk
- Bila dia hidup dalam permusuhan dia belajar berkelahi
- Bila dia hidup dalam ketakutan, dia belajar menjadi penakut
- Bila dia hidup dikasihani, dia belajar mengasihani dirinya
- Bila dia hidup dalam toleransi, dia belajar bersabar
- Bila dia hidup dalam kecemburuan, dia belajar merasa bersalah
- Bila dia hidup diejek, dia belajar menjadi malu
- Bila dia hidup dipermalukan, dia belajar tidak yakin akan dirinya
- Bila dia hidup dengan pujian, dia belajar menghargai
- Bila dia hidup dengan penerimaan, dia belajar menyukai dirinya
- Bila dia memperoleh pengakuan, dia belajar mempunyai tujuan
- Bila dia hidup dalam kebijaksanaan, dia belajar menghargai keadilan
- Bila dia hidup dalam kejujuran, dia belajar menghargai kebenaran
- Bila dia hidup dalam suasana aman, dia belajar percaya akan dirinya
Dari ekspresi berdasarkan perlakuan orang tua terhadap anak tentu ada butir butir yang harus dihindari dan butir-butir yang perlu untuk dipertahankan. Kebisaaan menebar kecaman, permusuhan, ketakutan, kecemburuan, dan mempermalukan makan orang tua akan memperoleh anak yang juga gemar untuk mengutuk, berkelahi, menjadi penakut, merasa bersalah, dan tidak yakin akan dirinya. Sebaliknya orang tua yang membudayakan sikap toleransi, pujian, penerimaan, pengakuan, kebijaksanaan, kejujuran dan suasana aman makan akan diperoleh anak yang memiliki karakter suka bersabar, menghargai, menyukai dirinya, mempunyai tujuan, menghargai keadilan, menghargai kebenaran dan belajar percaya akan dirinya.
3). Beberapa hal yang perlu diketahui oleh orang tua
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh orang tua dalam hidup ini. Misalnya keluarga yang tidak bahagia cenderung mengeluarkan produk yang tidak bahagia pula. Memang kebahagiaan itu itu tidak datang dari langit, namun kebahagiaan itu perlu usaha untuk mendapatkanya. Orang bijak mengatakan bahwa orang yang bahagia adalah orang yang kaya hati dan fikirannya. Oleh sebab itu orang tua perlu melatih anggota keluarga agar kaya hati dan kaya fikiran. Ini diperoleh melalui banyak belajar secara otodidak atau secara terprogram.
Disiplin perlu ditegakan dalam keluarga. Melaksanakan disiplin dapat dilakukan melalui kegiatan keluarga. Tiap anggota keluarga perlu punya agenda kehidupan yang meliputi kegiatan belajar, bekerja, beribadah, bersosial, melakukan hobby, dan lain-lain. Ini smua perlu kontrol dalam pelaksanaanyya. Yang perlu untuk dihindarkan dalam pelaksaan displin adalah “cara-cara memaksa”. Karena banyak memaksa dapat mematikan kreasi anak. Kemudian orang tua juga perlu untuk membudayakan kegiatan belajar dalam keluarga. Sudah kuno kalau masih ada orang tua yang berpendapat bahwa “pendidikan adalah tanggung jawab penuh dari sekolah saja”, karena sekolah bukanlah bengkel yang akan memperbaiki anak yang sudah rusak. Akhir kata bahwa pendidikan yang utma dalah dalam keluarga, sedangkan guru atau sekolah hanya sebagai kelanjuta saja.
18. Proses Kreatif
SMA (Sekolah Menengah Atas) adalah sekolah yang sangat banyak dipilih untuk sekolah tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Di sekolah ini (SMA) dan juga di Madrasah Aliyah, jurusan sains dianggap jurusan paling favorit. Mula-mula jurusan ini bernama jurusan paspal, kemudian menjadi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), kemudian jurusan ini pecah dua menjadi jurusan fisika dan jurusan biologi, kemudian menjadi jurusan IA (Ilmu Alam), ada lagi yang menyebutnya dengan jurusan sains. Bidang studi yang meliputi jurusan ini adalah matematika, biologi, fisika, kimia, dan matematika. Sekarang ke empat bidang studi ini tercakup ke dalam bidang studi yang diuji dalam UN (Ujian Nasional).
Alasan mengapa jurusan IPA banyak dipilih (menurut anggapan siswa) karena kemungkinan untuk meraih sukses kuliah di universitas dengan jurusan bergengsi lebih luas. Kemudian, kesempatan untuk merair sukses dalam karir juga lebih besar. Namun apakah hal ini benar dan apakah mereka telah belajar secara kreatif ?
Menjadi kreatif di zaman modern saat ini sudah menjadi sebuah kewajiban. Suaru negara tentu akan menghadapi banyak masalah jika negara tersebut kurang memberdayakan sumber daya manusianya untuk bisa menjadi kreatif. Menjadi kreatif itu luas maknannya. Kreatif dalam berkarya, kreatif dalam berpikir bahkan berkreatif dalam menyelesaikan masalah.
Dalam belajar sains atau IPA, guru dan siswa seharusnya perlu mengenal background dari ilmuwan dan bagaimana mereka bisa menciptakan konsep ilmu/ suatu rumus. Dalam realita bahwa umumnya guru dan siswa juga mengenal konsep dan rumus dan proses pembelajaran kerap kali bercorak membahas rumus dan soal-soal saja. Sangat tepat rasanya kalau guru dan siswa juga mengenal proses kreatif para ilmuwan (seperti Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Isaac Newton, Charles Darwin dan lain-lain) dalam menemukan suatu fenomena lewat membaca buku biografi mereka.
1) Einstein, cara berbicaranya pada masa kecil tidak begitu menarik. Kemampuan berbahasa atau berbicaranya sangat lambat. Melihat kondisi itu orang tuanya sangat prihatin sehingga ia berkonsultasi dengan dokter. Karena kemampuan berbicaranya yang lambat membuatnya pernah gagal di sekolah dan kepala sekolah menyarankan agar ia keluar dari sekolah. Tentu saja ia memberontak kepada sekolah yang mengusirnya dan menganggapnya sebagai anak yang sangat bodoh.
Pada masa kecil, Einstein adalah anak yang baik dan ia punya karakter suka menolong, karakter ini membuatnya makin cerdas. Kemampuan berbahasanya memang lebih rendah dibandingkan kemampuan numerika atau matematika. Ia tidak pernah gagal dalam mata pelajaran matematika. Sebelum ia berumur lima belas tahun ia telah menguasai kalkulus diferensial dan integral yang dipelajarinya secara mandiri/ otodidak. Saat di sekolah dasar, dia berada di atas kemampuan rata-rata kelas, namun ia memiliki kegemaran untuk memecahkan masalah rumit dalam aritmatika terapan. Orang tuanya ikut mendukung minat Einstein dalam matematika. Ia membelikan buku-buku teks sehingga ia bisa menguasai pelajaran angka-angka selama liburan musim panas.
2) Thomas Alfa Edison, ia belajar bagaimana cara menemukan lampu. Sebelum lampu pertamanya menyala ia melakukan 5000 eksperimen yang selalu berakhir dengan kegagalan. Namun cara berpikir yang dimiliki oleh Thomas Alfa Edison sangatlah positive dan tahan banting, ini membawanya kepada kreativitas tingkat tinggi.
3) Isaac Newton, lahir di Woolsthorpe- Lincolnshire,Inggris. Ia adalah seorang fisikawan, matematikawan, ahli astronomi, filsuf alam, alkimiwan, dan teolog yang berasal dari Inggris. Ayahnya yang juga bernama Isaac Newton meninggal tiga bulan sebelum kelahiran Newton. Newton dilahirkan secara prematur; Ketika Newton berumur tiga tahun, ibunya menikah kembali dan meninggalkan Newton di bawah asuhan neneknya.
Newton memulai sekolah saat tinggal bersama neneknya di desa dan kemudian dikirimkan ke sekolah bahasa di daerah Grantham dimana dia akhirnya menjadi anak terpandai di sekolahnya. Saat bersekolah di Grantham dia tinggal di-kost milik apoteker lokal (William Clarke). Sebelum meneruskan kuliah di Universitas Cambridge (usia 19), Newton sempat menjalin kasih dengan adik angkat William Clarke, Anne Storer. Namun Newton memfokuskan dirinya pada pelajaran dan kisah cintanya menjadi semakin tidak menentu/ putus.
Keluarganya mengeluarkan Newton dari sekolah dengan alasan agar dia menjadi petani saja, bagaimanapun Newton tidak menyukai pekerjaan barunya. Kepala sekolah King's School kemudian meyakinkan ibunya untuk mengirim Newton kembali ke sekolah sehingga ia dapat menamatkan pendidikannya. Newton dapat menamatkan sekolah pada usia 18 tahun dengan nilai yang memuaskan.
Newton diterima di Trinity College Universitas Cambridge (sebagai mahasiswa yang belajar sambil bekerja untuk mengatasi masalah keuangannya). Pada saat itu, kurikulum universitas didasarkan pada ajaran Aristoteles, namun Newton lebih memilih untuk membaca gagasan-gagasan filsuf modern yang lebih maju seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Ia kemudian menemukan teorema binomial umum dan mulai mengembangkan teori matematika yang pada akhirnya berkembang menjadi kalkulus.
4) Charles Darwin lahir tanggal 12 Februari 1809 di Shropshire, Inggris. Ia anak ke lima Robert Waring Darwin. Ia belajar sesuai dengan kurikulum berbahasa Yunani Klasik. Ia tidak memperlihatkan prestasi yang banyak secara akademik. Kemudian ia mengambil jurusan kedokteran tetapi tidak banyak memperoleh kemajuan. Untuk itu ia melakukan usaha lain agar bisa maju. Ayahnya menyarahkan Darwin untuk menjadi pendeta dan belajar di Christ's College untuk belajar teologi. Tetapi ia juga tidak memperoleh kemajuan, ia malah senang berburu dan permainan menembak.
Ternyata Darwin mempunyai minat dalam mengkoleksi tanaman, serangga, dan benda-benda geologi. Ia tertarik dengan bakat berburu sepupunya William Darwin. Darwin mengembangkan minatnya dalam serangga dan spesies langka. Naluri ilmiah Darwin didorong oleh Alan Sedgewick, seorang ahli bumi, dan juga didorong oleh John Stevens Henslow, seorang professor botany. Darwin kemudian menjadi naturalist (pencinta alam) dan ikut melakukan ekspedisi dengan HMS Beagle. Tim ekspedisi HMS Beagle berlayar dan mengunjungi banyak negeri di lautan Pasifik Selatan sebelum kembali ke Inggris melalui Tanjung Harapan Baik di Afrika Selatan, dalam rangka mengelilingi dunia.
Darwin juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Malthus, dengan bukunya “Essay on the Principle of PopulationI”. Buku tersebut mengatakan bahwa populasi seharusnya bertambah sesuai dengan batas persediaan makanan, kalau tidak maka akan terjadi persaingan untuk memperebutkan makanan. Setelah membaca buku ini, Darwin memfokuskan teorinya bahwa “the diversity of species centered on the gaining of food - food being necessary both to survive and to breed”- semua jenis spesies terfokus dalam memenuhi kebutuhan makanan dan makanan berguna untuk kelangsungan hidup dan untuk berkembang biak.
Dari paparan di atas terlihat bahwa sukses seorang ilmuwan berskala dunia tidak jatuh dari langit, atau diperoleh saat kelahirannya. Kesukses sebagai ilmuwan diperoleh melalui proses kreatif (belajar kreatif) selama hidupnya.
Tidak semua orang memiliki kemampuan berganda yang hebat, Einstein misalnya pada masa kecil tidak beruntung dengan kemampuan bahasanya, namun ia mengembangkan kemampuan yang lain. Einstein bisa melejit pada bidang matematika. Bagi kita, mungkin bisa melejit pada bidang olah raga, musik, organisasi atau pada bidang lain.
Kesuksesan seorang anak juga akan terbentuk dengan dukungan orang tua seperti yang dialami Einstein, atau dukungan tokoh lain seperti yang dialami oleh Darwin. tidak mungkin seseorang bisa sukses untuk skala nasional, apalagi untuk skala internasional kalau mereka tidak betah membaca. Newton membaca gagasan-gagasan filsuf seperti Descartes dan astronom seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Darwin dipengaruhi oleh pemikiran (buku) Thomas Malthus, nah bagaimana dengan anda ? Orang bisa sukses karena memiliki karakter tidak mudah putus asa, Thomas Alfa Edison, misalnya, sangat tahan banting dan tidak suka mengeluh. Sebelum menemui sebuah lampu pijar yang bisa menyala, ia harus melakukn 5 000 kali eksperimen di bengkel milik ayahnya.
Bagaimana proses belajar kreatif para ilmuwan berskala internasional ? Cukup simple yaitu miliki suatu bakat atau minat dalam bidang ilmu (misal dalam seni, fisika, kimia, sejarah, ekonomi, geografi, dll), kemudian kembangkan minat tersebut dengan belajar keras dan lakukan otodidak. Mintalah dukungan dari orang terdekat, termasuk guru. Miliki karakter yang tahan banting (tidak suka putus asa dan mengeluh), miliki minat dan kesenangan membaca yang mendalam untuk mnambah wawasan. Untuk sukses maka diperlukan puluhan, ratusan atau ribuan kali latihan.
19. Having Fun Dalam Belajar
Kata menyenangkan dalam Bahasa Inggris berarti “fun”. Kata fun sekarang sangat disenangi oleh banyak pebisnis dan sangat fenomena. Banyak aktivitas sosial dan aktivitas pembelajaran yang menggunakan label fun. Yaitu seperti fun bike, fun learning, fun house atau having fun. Event atau kegiatan yang menggunakan kata fun pasti menyenangkan, karena terasa menantang dan sekaligus memberi hiburan. Sebaliknya kegiatan yang jauh dari suasana fun (menyenangkan) diperkirakan bahwa suasananya akan membosankan dan menyebalkan, itu karena suasananya banyak menekan dan menyiksa perasaan.
Dapat dibayangkan bahwa aktivitas yang bernuansa fun (menyenangkan) memang akan menggairahkan. Seperti dalam kegiatan fun bike, peserta yang bercucuran keringat namun masih menebar senyum karena di sana ada suasana riang gembira. Aktivitas fun learning yaitu suasana belajar yang membuat pesertanya selalu bersemangat dalam melakukan eksplorasi intelektual. Begitu pula aktivitas dalam fun house, yang mana anggota keluarganya selalu riang gembira karena diberi kehangatan dan komunikasi yang sangat menyenangkan.
Bayangkan kalau suasana di atas jauh dari kondisi fun, maka suasana tersebut tentu akan diganti oleh kondisi yang serba membosankan- bored atau boring. Maka selanjutnya label aktifitas akan menjadi boring bike, bored learning, boring house, atau yang lain mungkin menjadi boring school, boring game, boring hospital, dan lain-lain.
Belajar sudah menjadi kebutuhan primer kita. Banyak ungkapan ungkapan yang mendorong/ memotivasi kita untuk belajar, seperti; life long education atau belajar seumur hidup, tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahat, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina, menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan.
Belajar itu sendiri tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga harus terlaksana di rumah dan dalam masyarakat. Belajar dibimbingb oleh guru, orang dewasa- instruktur dan orang tua. Para pembelajarnya adalah anak-anak atau siswa-siswi. Seharusnya suasana belajar haruslah menyenangkan atau fun in learning.
Rasa menyenangkan- feeling fun- memang sangat penting dalam semua aktivitas kehidupan. Dengan feeling fun hidup ini akan jadi berarti dan bergairah. Jilatan atau belaian seekor induk kucing pada anaknya akan membuat anak-anaknya jadi bersemangat dalam melompat dan mencengkram. Kata-kata yang menyejukan, dan kehangatan belaian ayah dan bunda membuat sang bayi dan balita jadi lincah dan selalu kreatif untuk bereksplorasi melalui pandangan, pendengaran dan jari-jarinya yang mungil. Sungguh rasa menyenangkan bisa membuat seseorang menjadi kreatif.
Banyak bukti yang menunjukan bahwa rasa senang bisa menciptakan kreatifitas. Sekali lagi bahwa bayi dan balita yang diasuh oleh orang tua yang memberikan rasa senang- menerima kehadirannya dan memberi kehangatan- akan membuatnya kreatif: menjadi lincah, riang gembira dan selalu melakukan eksplorasi. Guru guru taman kanak-kanak yang selalu memberikan rasa senang akan membuat anak didik jadi lincah dan cerdas. Tempat-tempat penitipan anak yang memberikan rasa senang akan membuat anak merasakan tempat penitipan sebagai rumah mereka sendiri. Pusat belanja- shopping center- yang memberikan rasa senang akan membuat pembeli menyerbu tempat tersebut.
Salah seorang teman penulis mengatakan bahwa banyak orang yang mampu membuat rumah mewah dan cantik, dan banyak stake holder yang mampu mendirikan sekolah dengan gedung yang indah dan megah, namun anggota keluarga enggan untuk berada dalam rumah atau atau anak didik jadi malas berlama-lama berada di sekolah. Penyebabnya adalah karena di sana tidak ada rasa senang atau feeling fun.
Benar bahwa cukup banyak orang yang bosan berada di rumah, di sekolah, di kantor, di tempat pelatihan, di tempat klub lainnya. Penyebabnya adalah karena di sana miskin dengan suasana yang menyenangkan. Rumah kayu yang sudah tua bisa terasa sangat menarik karena di sana ada rasa senang yang dikondisikan oleh pemilik rumah dari pada tinggal di rumah megah namun di sana penuh dengan keangkuhan, kemarahan dan tekanan terhadap perasaan. Sekolah megah atau pusat bimbingan belajara yang mewah tidak ada gunanya kalau di sana tidak ada keramah tamahan dan rasa senang.
Faktor manusia adalah faktor penentu bahwa rasa senang bisa hadir atau tidak. Rasa senang yang ada selanjutnya akan membuat warga atau peserta suatu kegiatan menjadi kreatif- tidak pasif. Pedagang, walaupun ia cantik atau tampan dan dibaluti oleh busana yang sangat bagus, namun berlaku kasar kepada pembeli/ pengunjung, maka tunggulah bahwa dagangannya bakal tidak laris. Guru dan pekerja sosial yang memberikan jasa- pelayanan pada orang lain- bila tidak ramah/ bersikap kasar, maka nasibnya akan sama dengan pedagang yang berkarakter kasar – yaitu menjadi guru dan pekerja sosial yang tidak disenangi oleh orang lain (anak didik atau client mereka).
Guru yang cuma mengejar target kurikulum, sekedar tugas mengajar, dan mengabaikan perasaan anak didik akan membuat guru tersebut (juga mata pelajarannya) menjadi sangat tidak menarik, kreatifitas anak didik akan tidak berkembang. Kemudian orang tua yang hanya banyak berharap agar anak bersikap manis dan patuh, namun kurang memahami perasaan anak, tentu akan menjadi orang tua yang tidak menarik dan rumah sendiri tidak pernah memberikan rasa senang, begitu pula dengan sang anak akan tidak kreatif dan suka bengong.
Rasa senang atau feeling fun- bisa diciptakan oleh orang tua, guru dan pemimpin dari suatu instansi. Pemimpin yang hanya pintar memonitor, merenacanakan program dan melakukan evaluasi serta berharap banyak tanpa mampu bersimpati dan berempati akan berpotensi dalam menciptakan kantor, perusahaan dan instansi yang sangat tidak menyenangkan. Pada akhirnya bawahannya akan tidak kreatif kecuali hanya sekedar bermental ABS- asal Bapak Senang atau karyawan yang bermental “Oke Boss”.
Sebuah instansi dengan boss yang membanggakan powernya dalam menjalankan kepemimpinannya. Kemudian membuat jarak sosial dan jual mahal untuk tersenyum dengan harapan agar bawahan jadi segan dan risih untuk mendekat. Namun apa yang diharapkan adalah bukan prestasi dan produktivitas yang tinggi tetapi yang terjadi adalah bawahan yang serba pasif dan tidak kreatifitas. Pemimpin seperti ini harus berfikir untuk segera mengundurkan diri sebagai pemimpin atau segera mengubah karakter agar bisa menciptakan rasa senang di lingkungan kerjanya.
Untuk fenomena di sekolah, sekali lagi, bahwa apakah perlu anak didik merayu dan memajang frase “senyum guru adalah oksigen bagiku”. Atau senyum guru adalah semangat belajar bagiku. Ini bisa menjadi indikasi bahwa cukup banyak ruang kelas di banyak sekolah- saat proses belajar mengajar- kurang dihiasi oleh senyum tulus guru. Kecuali senyum jengkel yang akan membuat kelas dan sekolah kehilangan rasa senang. Apa lagi kalau sekolah/ kelas juga selalu diguyur oleh tindakan menekan, tindakan mengancam dan tindakan meremehkan pribadi siswa, dimana pada akhirnya siswa menjadi malas, masa bodoh dan tidak punya kreatifitas sama sekali.
Pebisnis yang bergerak dalam menjual jasa, seperi perusahaan penerbangan, perbankan, perdagangan dan bisnis hiburan (tentu berharap keuntungan dari klien) sangat peduli dalam pemberian rasa senang terhadap kliennya. Mereka berbusana serapi mungkin, memberi senyum dan keramah tamahan setulus dan sebanyak mungkin. Maka tidak heran kalau banyak orang betah datang, duduk kebih lama dan menghabiskan uang di sana sehingga bisnis mereka juga beruntung. Sementara perusahaan atau instansi yang enggan memberi rasa senang dan ramah tamah, tetapi karena orang banyak terpaksa datang ke sana karena tidak ada alternative, akan memanen omelan dan umpatan dari klien, “wah saya kapok untuk mengurus surat ini atau akte ini lagi karena orangnya kasar dan sombong’.
Sungguh feeling fun, mudah untuk diucapkan, tetapi perlu realisasi. Feeling fun membuat suatu tempat (rumah, sekolah, kantor, klub, pabrik, dan lain-lain) akan jadi menarik. Feeling fun terbentuk oleh faktor tempat, waktu dan faktor kehangatan dan keramahan orangnya (orang tua, guru, pemimpin) dan selanjutnya feeling fun (rasa senang) akan membuat banyak anak, siswa, bawahan dan warga akan menjadi kreatif dan riang gembira selalu.
20. Kita Sudah jadi Bangsa Pemarah
Agaknya media massa di negara kita, terutama Televisi, telah mengadopsi gaya pemberitaan Barat bahwa “good news is the bad news”. Berita yang baik adalah berita yang mengabarkan tentang hal-hal yang buruk. Berita buruk yang kerap menjadi berita menarik untuk ditayangkan oleh media televisi adalah seputar kerusuhan supporter pemain bola yang membela tim idolanya, kerusuhan penonton konser music gara-gara bersenggolan saat saling bergoyang, tawuran antara pelajar gara-gara masalah sepele, kerusuhan antar warga kampung, malah juga kerusuhan antara orang cerdas yang duduk dalam lembaga negara.
Gambaran di atas, dan juga fenomena yang diperoleh dari dari tayangan televisi, terkesan bahwa bangsa kita sudah menjadi bangsa yang suka kerusuhan, kemarahan, dan tawuran, “Isi beritanya banyak yang seram-seram: criminal, perampokan, perekelahian dan tawuran”. Sementara itu banyak cerita-cerita dan pernyataan yang datang dari luar mengilustrasikan bahwa bangasa Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah. Sekarang mana yang benar, apakah kita masih bangsa yang ramah tamah atau memang menjadi bangsa yang suka melakukan tawuran dan suka marah ?
Wilayah georafi Indonesia memang sangat luas dan penduduknya juga sangat banyak. Kemudian kedua bentuk karakter ini- karakter pemarah dan ramah tamah- memang selalu ada. Suasana ramah tamahan masih terasa kental bila kita berada di daerah atau di pelosok. Begitu juga di perkotaan bagi warga yang masih menjungjung tinggi nilai sopan santun dan ramah tamah. Berita yang ditayangkan oleh televisi , tentang kerusuhan dalam konser musik dan sepak nola, tawuran antara dua kubu preman, tawuran antar pelajar sampai kepada perbedaan pendapat orang orang cerdas yang lepas kendali yang berada dalam instansi negara juga sudah menjadi fenomena.
Kita sekarang sedang berada di atas dunia dan bukan berada dalam soraga. Berada di dunia berarti bahwa kita akan tetap mendengar “bad news sebagai good news”. Sejak dulu tentang “bad news” seperti peperangan, perkelahian, kerusuhan, tawuran dan kemarahan memang selalu ada. Bad news yang menjadi good news sebagai versi berita media masa sekarang boleh saja ada. Namun kalau boleh frekuensi dan porsinyanya janganlah terlalu gede sebagaimana ada sekarang ini.
Dalam realita bahwa bisa jadi porsi karakter kemarahan kita makin bertambah. Coba simak tentang berita TV dan surat kabar, yang mana porsi berita kriminal- pembantaian, perampokan, penipuan, korupsi dan kekerasan- juga semakin meningkat. Kalau ini semua adalah gambaran superficial- gambaran permukaan- maka bagaimana keadaan bagian dalamnya ? Gambaran superficial bisa jadi berasal dari masalah dan karakter yang juga tumbuh di dalam kepribadian bangsa ini. Patut kita pertanyakan sekarang bahwa, apakah keramah tamahan bisa menjadi barang yang langka kelak di negara ini ? Apakah kemarahan, kekerasan dan tawuran akan menjadi karakter kita, sebagai penggantinya ?
Pasca masa balita, seorang anak akan memasuki masa bersekolah dan dimulai dengan belajar di bangku SD, terus ke bangku SMP dan SLTA (SMA, MA dan SMK). Memasuki usia belajar berarti mereka harus mampu memahami konsep mata pelajran. Apakah mereka masih merasakan indahnya belajar bersama guru TK dan PAUD- penuh pujian dan dukungan motivasi ketika di SD, SMP dan SLTA ?. Bisa jadi “ya” dan bisa pula “tidak” dan mereka merasakan pembelajaran di sekolah ibarat berada dalam pusat rehabilitasi jiwa dan penjara. Ini bisa terjadi bisa sang pendidik (guru) lebih banyak memberikan porsi kemarahan dan kejengkelan.
“Wah kamu sulit sekali mengerti dengan konsep yang saya ajarkan, kesabaran saya jadi habis ?”.Kalimat begini bisa jadi pemandangan umum bagi kita. Namun perlu dipertanyakan bahwa apakah banyak guru yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan kurikulum walau siswa mengerti / tidak mengerti dan segera memaksakan kehendak agar mereka bisa tenang dan mengikuti pembelajaran dengan tatapan mata yang kosong atau memprioritaskan pencapaian belajar siswa. Pembelajaran yang hanya sekedar mengejar target kurikulum, memaksa siswa untuk patuh , tidak boleh banyak bergerak dan saling mengganggu, “lipat tangan dan duduk yang manis” sungguh membelenggu kreatifitas anak. Metode enteng ini memang membuat anak patuh dan tenang, namun serba pasif dan juga agresif. Suasana yang penuh menekan berpotensi menciptakan anak jadi agresif dan menjadi pemarah kelak.
Kehidupan sosial dalam dunia anak-anak kerap sering bercorak kehidupan ala rimba, “yang kuat itulah yang akan menjadi pemenang, yang kuat akan menguasai yang lemah”. Tidak percaya ? Mari perhatikan suasana bermain anak-anak. Mereka yang bertubuh kuat dan berbadan gede merasa jagoan, mereka bergerak leluasa sambil menyenggol dan mendorong teman-teman yang bertubuh kecil dan bertubuh lemah, sehingga satu- dua anak sengaja menghindar karena ketakutan. Akhirnya mereka yang berotot kuat dan bertubuh gede menjadi jago, disegani dan ditakuti. Fenomena seperti ini perlu mendapat pehatian dari orang dewasa- guru dan orang tua. Sebab ini adalah cikal bakal dari karakter premanisme di dunia anak-anak..
Kekerasan mudah terbentuk di bangku SD dan SLTP (SMP dan tsanawiyah). Fenoma prilaku bullying (menggertak dan menakuti teman) ada di sekolah ini. Anak anak pintar sering memperoleh ancaman dari teman yang bertubuh gede dan otot kuat (namun pemalas dan bodoh) agar bisa member bantuan/bocoran selama ujian. Anak baik-baik dan lugu sering menjadi permainan bagi mereka yang merasa jago. “awas kalau kamu tidak kasih saya dalam ujian, kamu akan ku jitak”. Sungguh sekolah yang budaya belajar dan bersosialnya kurang kondusif akan subur dengan karakter gertakan dan ancaman, sehingga anak anak tertentu akan kehilangan rasa aman dalam belajar.
Karakter bullying pada anak anak perlu untuk diatasi, bila tidak mereka berpotensi menjadi trouble maker dalam masyarakat. Di sekolah yang suasana pembelajaran sangat miskin- ekstrakurikuler tidak berjalan dan tidak ada pemodelan dari figure guru (karena guru hanya bersembunyi dalam menara gading/ kantor majelis guru)- akan melahirkan siswa yang gemar keluyuran dan melakukan hal iseng- mengganggu orang lain. Kalau begitu sekolah sekolah yang perpustakaanya terkunci sepanjang masa dan sekolah yang siswanya miskin dengan aktivitas positif perlu untuk mengubah performent sekolah tersebut.
Populasi penduduk Indonesia makin bertambah. Kerumunan orang dalam ruangan (dalam kota, dalam rumah, dalam kantor, dalam gedung) juga makin bertambah. Akibatnya orang akan mudah menjadi stress, apalagi jumlah pengangguran juga meningkat. Tersenggol sedikit bisa membuat orang jadi bentrok, salah omong dan salah lihat orang bisa jadi marah. Dalam hal ini, kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki.
Adaptasi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri, yaitu kemampuannya dalam menerima dan memahami kekurangan temannya. Ia harus memahami apakah sang teman punya karakter “talk active, hyperactive, pembosan, easy going, ceroboh” dan mereka harus bisa saling memahami dan bisa hidup berdampingan. Kemampuan bersimpati juga bisa meningkatkan keharmonisan dalam bergaul. Simpati adalah kemampuan memahami apa yang sedang dirasakan oleh teman/ orang lain, sehingga ia kemudian bisa hidup berdampingan bersama.
Kemampuan bersimpati dan beradaptasi mutlak diperlukan dan dimiliki oleh seseorang. Kemampuan beradaptasi dan bersimpati perlu untuk dimiliki oleh orang dewasa terahadap remaja dan anak, dari pemimpin terhadap bawahan, oleh guru terhadap murid, oleh orang tua terhadap anak dan dari orang yang melayani (aparat pemerintah) terhadap masyarakat (orang yang dilayani), kalau tidak maka mereka- orang dewasa, guru, orang tua, dan stakeholder/ pemilik kekuasaan akan leluasa untuk mengumbar kemarahan- menggunakan kekuasaan mereka sebagai sumber untuk memarahi orang yang berada dalam posisi bawah.
Karakter suka marah juga bisa tumbuh subur dalam suasana yang pengap- sempit, ramai, tidak ada pembagian kerja, tidak ada manajemen rumah tangga dan miskin toleransi. Rumah rumah yang begini cukup banyak, apalagi sejak migrasi ke kota sudah jadi budaya. Umumnya banyak keluarga yang hanya mampu membuat atau mengontrak rumah dengan ruangan kecil dan dihuni oleh anggota keluarga yang cukup ramai. Bagaimana kalau di sana juga tidak ada house management ?.
Rumah tangga yang tumbuh tanpa manajemen akan cenderung jatuh pada kebiasaan “gali lobang tutup lobang”, yang maksudnya adalah meminjam uang untuk menutup hutang sebelumnya. Kemudian rumah tangga yang kurang jelas dalam job description sehingga anggota keluarga yang laki-laki kebingungan dalam mencari kegiatan dan kaum wanita kelebihan beban kerja. Soalnya dalam pola keluarga berciri tradisionil, pekerjaan mencuci, memasak, mengasuh/ mendidik anak dianggap pekerjaan feminin dan pria merasa maskulin merasa jatuh harga dirinya kalau kebetulan ikut serta. Akibatnya maka berlipat gandalah beban kerja kaum wanita- dan akhirnya stress, depresi dan meledak dalam bentuk kemarahan. Ini kemudian akan menjadi bagian dari hidupnya.
Anak yang tubuh bersama ibu yang pemarah dan ayah yang masa bodoh, tentu juga kurang memiliki pribadi yang kurang stabil- mereka juga pemarah, mudah menarik diri dan juga kurang punya pribadi yang stabil karena mereka melihat tokoh di rumah- ayah dan ibu- juga demikian. Dikatakan oleh orang bijak bahwa anak belajar dari kehidupan- anak yang diberi cinta dan kasih sayang akan juga menyayangi, anak yang tumbuh dengan cercaan dan amarah akan menjadi orang yang suka mencerca dan marah-marah.
Terus kalau ditelusuri ke dalam dunia institusi- kantor, PNS, swasta, BUMN, dan usaha lain bahwa adakalanya orang yang menempati posisi atas menunjukan powernya terhadap yang berada dibawah. Power tersebut mereka perlihatkan kadangkala dengan suasana amarah. Itulah fenomena hidup bahwa yang merasa berkuasa leluasa untuk memarahi yang dikuasai, yang merasa kuat leluasa untuk menekan dan memarahi yang lemah. “Kenapa kok menonjolkan kekuasaan dan amarah bisa menjadi fenomena ?, Mengapa tidak kita tidak menonjolkan kompromi dan persuasive, serta mempengaruhi orang lain (partner dan teman). Sekali lagi mari kita pertanyakan bahwa apakah kita memilih menjadi bangsa pemarah ataukah menjadi bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai ramah tamah ? Setiap orang tentu akan punya jawaban tersendiri.
21. Memacu Diri Untuk Maju
Sikap kurang sabar dan suka terburu-buru adalah bahagian dari karakter anak muda secara umum. Termasuk karakter pelajar dan remaja. Di jalan raya prilaku ini terlihat dalam kebiasaan ngebut dan mengambil jalan pintas. Melihat prilaku yang agresif dan suka terburu buru ini mungkin ada orang nyelutuk dan berkata “wah anak muda sekarang, kalau di jalan suka ngebut tetapi kalau belajar suka lambat”.
Pelajar, guru, orang tua dan semua orang sudah tahu bahwa bahwa kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara maju (Singapura, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Perancis, dan lain-lain) masih jauh tertinggal. Maka agar bangsa ini bisa maju dan tidak tertinggal terus maka sudah saatnya semua warga Indonesia untuk memacu kualitas diri. Salah satu cara yang mungkin untuk diterapkan adalah dengan melakukan program percepatan pembelajaran.
Percepatan pembelajaran adalah terjemahan dari accelerated learning. Dave Meier (2002) menulis buku dengan judul “The Accelerated Learning Handbook”. Ia mengatakan bahwa untuk percepatan pembelajaran maka diperlukan keterlibatan total dalam pembelajaran itu sendiri. Belajar haruslah berpusat pada aktifitas dan bukan pada presentasi atau kehadiran semata.
Percepatan pembelajaran seharusnya tidak hanya konsumsi untuk siswa SMA dengan program akselerasinya. Apalagi kalau program akselerasi tersebut hanya berupa pemaksaan dari orang tua, memenuhi ego orang tua agar merasa bangga mempunyai anak yang dicap jenius dengan cara bergabung dalam program akselerasi. Apalagi program akselerasi atau percepatan untuk mempercerdas anak hanya untuk bidang sains dan matematika, pada hal kelak masa depan mereka yang pas belum tentu berada dalam koridor sains dan matematika, mana tahu pada bidang, olah raga, seni atau bahasa.
Suasana pembelajaran pada banyak sekolah, mulai dari tingkat SD sampai ke tingkat SLTA masih banyak bersifat teacher centered. Walaupun sudah banyak guru yang mengetahui jenis-jenis metode pembelajaran, namun mereka tetap merasa senang dengan metode konvensional atau metode beceramah, mencatatkan, mendiktekan atau metode bank- menyuruh siswa menghafal semua ucapan guru dan mengujinya pada hari berikutnya. Pemandangan umum adalah bahwa siswa selalu berkutat dengan kegiatan mencatat, menghafal dan mengerjakan lusinan latihan sehingga jari pegal-pegal. Sesungguhnya belajar bukanlah sejenis olah raga untuk ditonton, tetapi menuntut peran semua pihak.
Orang awam berpendapat bahwa belajar adalah aktivitas verbal dan kognitif. Namun yang lebih tepat untuk mengatakanya adalah bahwa belajar paling baik dengan melibatkan unsur emosional, seluruh tubuh, seluruh indera dan segenap pribadi. Untuk memantapkan daya serap saat belajar maka suasana belajar perlu bersuasana gembira. Ini bisa menjadi penentu utama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar.
Kegembiraan dalam belajar bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan hiruk pikuk. Kegembiraan dalam belajar berarti bangkitnya minat belajar anak. Maka guru dan orang tua perlu menjaga rasa dan suasana gembira pada saat anak belajar, karena rasa gembira bisa mempercepat proses pembelajaran. Sebaliknya orang tua dan guru perlu menghindari rasa negatif, kebiasaan marah-marah dan mengomel pada anak, karena rasa negatif dapat memperlambat dan menghentikan pembelajaran itu sendiri. Sekali lagi bahwa guru dan orang tua perlu untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari stress dan menjadikan pembelajaran itu bersifat sosial.
Belajar yang baik adalah belajar dengan kontek atau belajar dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Misal, belajar berenang dengan berenang, belajar bernyanyi dengan bernyanyi , bukan dengan menyuguhkan sekeranjang teori melulu, kemudian belajar menjual dengan menjual, belajar bahasa asing dengan menggunakan bahasa. Dengan belajar dalam konteks maka akan diperoleh pengalaman kongkrit. Pengalaman kongkrit atau pengalaman nyata dapat menjadi guru terbaik- karena kita terjun langsung, mendapat umpan balik dan terjun kembali.
Pengalaman tentang cara terbaik, atau tentang pengalaman hidup, dapat diperoleh melalui pengalaman orang-orang sukses- mendatangi orang sukses yang ada di seputar kita- atau membaca biografi orang-orang sukses itu sendiri di perpustakaan atau di internet. Cara belajar yang terbaik bukanlah dengan mendengarkan ceramah atau memandang layar komputer melulu. Namun belajar yang terbaik adalah dengan mengalami dan melakukan pekerjaan itu sendiri.
Cara dan prilaku belajar anak laki dan perempuan juga perlu untuk dipahami. Anak laki-laki belajar dalam cara yang berbeda dengan karakter anak perempuan. Anak laki-laki atau pelajar laki-laki mungkin akan lebih sukses belajar dengan cara bersaing, menggunakan logika dan bersifat dominant-atau menguasai. Sementara itu anak perempuan dan juga pelajar perempuan merasa lebih cocok kalau belajar dengan cara kerja sama, melibatkan perasaan dan prilaku mereka bersifat mengasuh.
Colin Roze dan Malcolm (2003) juga berbicara tentang percepatan pembelajaran. Ia mengatakan dalam bukunya “Accelerated Learning For the 21st Century, Cara Belajar Cepat abad 21” bahwa belajar harus dimulai sedini mungkin dan tidak boleh berhenti sampai tua, atau sampai manusia meninggal dunia. Demi pendidikan maka tidak relevan lagi kalau kita bertanya pada siswa atau pada anak; “Ingin jadi apa kalau kamu besar nanti ?”. Tetapi pertanyaan Yang lebih tepat adalah, “Apa yang dapat kamu kerjakan kalau kamu sudah besar nanti ?”.
Berarti untuk menjadi maju dan untuk mengajak anak menjadi maju, maka tentu musti ada perubahan. Untuk menguasai perubahan maka diperlukan “cara belajar cepat” atau percepatan dalam pembelajaran. Percepatan pembelajaran sangat berguna untuk menyerap dan memahami informasi yang cepat. Percepatan pembelajaran , sekali lagi, tidak mutlak hanya untuk konsumsi sekolah sekolah mewah. Sekolah apa saja bisa menerapkan program percepatan pembelajaran. Percepatan pembelajaran dapat terjadi dengan cara mengubah ruang kelas secara total, gunakan permainan, rancang berbagai aktivitas, masukan suasana emosi, ada unsur musik, ada dekorasi dan proses belajar mengajar (PBM) yang bebas dari tekanan demi tekanan.
Percepatan pembelajaran juga perlu dukungan orang tua di rumah. Pada beberapa sekolah yang memiliki program akselerasi- anak dipacu belajar dan melahap semua mata pelajaran yang ada sekarang dan mata pelajaran untuk kelas yang lebih tinggi. Anak anak yang masuk dalam program akselerasi di sekolah, seharusnya juga memperoleh respond dan dukungan atas program percepatan pembelajaran tersebut. Namun orang tua dan kondisi rumah jarang yang memberi dukungan. Seharusnya orang tua menyediakan kondisi rumah yang kaya stimulasi dan bebas stress agar anak dapat tumbuh mandiri (bukan berarti anak tidak perlu mengenal stress, namun jangan memberi stress sepanjang hari). Dalam menerapkan percepatan pembelajaran, para pendidik- guru dan juga orang tua, dihimbau untuk melibatkan diri, memasukan unsur emosional (suasana yang hangat), keceriaan dan kebahagiaan, dan menggunakan latihan relaksasi.
Guru sebagai pendidik dan orang tua sebagai pengasuh harus memahami bahwa tidak guna terlalu mudah menjadi bad tempered, mudah marah-marah dan mencerca anak saat mendampingi mereka dalam belajar, walau tujuannya untuk membuat anak disiplin, “Hei… nanti ku jewer kuping mu, jangan banyak canda belajar sajalah … !!”. Ya demikianlah, cukup banyak orang tua dan guru terbiasa menggunakan kekuasaanya untuk membentak, memukul, menjewer anak atau anak didik. Pada hal belajar yang diikuti dengan cara-cara kekerasan, cercaan, dan bad mood (suasana hati guru dan orang tua yang jelek) akan membuat belajar itu sendiri menjadi beban dan mendatangkan stress. It is not good, maka cobalah belajar dan menemani anak belajar dengan cara yang baru ; pemberian pujian, hadiah atau reward. Sudah saatnya ada perubahan dalam mendorong anak belajar, sekali lagi, mendampingi anak belajar dengan tepuk tangan dan penghagaan.
Menyelenggarakan program percepatan pembelajaran, apakah untuk konsumsi diri, untuk anak di rumah, atau program akselerasi di sekolah, maka musti tahu dengan prinsip belajar yang menyenangkan. Prinsip-prinsip belajar yang menyenangkan, sekali lagi, adalah; ciptakan suasana rileks dan keceriaan, ada humor, ada unsur musik, ada dekorasi, ada reward atau upah dan menggunakan semua unsur indera yaitu mata, mulut, telinga dan gerakan. Ini memang mirip dengan pembelajaran di taman kanak-kanak (dalam arti mempertahankan suasana keceriaan dan motivasi dari guru). Bukan dengan suasana penuh tekanan, kekerasan, ancaman yang berpotensi membuat anak takut, dan kehilangan minat serta motivasi belajar.
Pertahankanlah prinsip pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan adalah dengan memperhatikan bagaimana anak anak kecil di Taman Kanak-Kanak belajar, bukan berarti kita harus kekanak-kanakan. Mereka adalah pembelajar yang hebat karena mereka mereka menggunakan seluruh unsur tubuh dan semua indera tubuh dalam belajar. Tanpa kita sadari bahwa ternyata anak kecil belajar dengan menggunakan unsur somatic- belajar dengan berbuat/ bergerak, auditory- belajar dengan berbicara dan mendengarkan, visual- belajar dengan mengamati dan melihat, dan intelektual- yaitu belajar dengan memecahkan masalah dan berdasarkan pengalaman.
Percepatan pembelajaran bisa jadi program yang penting untuk memacu ketertinggalan kita. Program ini tidak mutlak dikonsumsi oleh program sekolah dengan program akselerasi, namun bisa diterapkan untuk keperluan pribadi atau percepatan pembelajaran anggota keluarga di rumah. Belajarlah secara total, dengan melibatkan unsur panca indera dan belajarlah dengan kontek. Yang penting untuk diingat adalah bahwa suasana percepatan pembelajaran harus bersikap ceria dan terfokus pada siswa.
22. Jangan Berteman dengan Stress
Banyak orang mengungkapkan kata “stress” saat mengekspresikan perasaan tertekan yang ia alami. Namun orang jarang menggunakan kata “depressi” saat ia mengalami perasaan murung atau melankoliknya. Kadangkala saat murung mereka juga mengungkapkan bahwa mereka lagi stress. Stress dan depressi bisa menjangkiti pribadi siapa saja. Untuk itu kita perlu mengenalnya namun tidak perlu berteman dengan stress dan depressi tersebut.
1. Stress
Stress ternyata telah ada sejak usia kecil- sejak kanak-kanak. Banyak orang dewasa yang beranggapan stress itu hanya milik remaja dan orang dewasa. Sementara anak-anak mungkin jauh dari stress karena mereka selalu hidup riang dan gembira. Mereka belum punya beban fikiran. Dalam kenyataan bahwa anak-anak juga punya masalah dan punya stress. Itu diawali oleh perasaan khawatir dan cemas- sebagai penyebab stress. Stress merupakan perasaan tertekan dalam diri seseorang. Stress sendiri tentu punya sumber.
Jennifer Shroff (2008) mengatakan bahwa sumber stress yang melanda setiap orang dan termasuk anak-anak bisa berasal dari keluarga, teman dan sekolah atau tempat kerja. Namun stress juga bisa bersumber dari dalam diri sendiri. Rasa tertekan yang ada dalam diri terjadi karena adanya kesenjangan (ketidak sesuaian) antara apa yang diharapkan- apa yang difikirkan- dengan realita yang ada.
Seperti dinyatakan di atas bahwa stress bisa menjangkiti siapa saja. Anak kecil, dalam usia pra sekolah, juga bisa mengalami stress atau cemas, misal kalau ditinggalkan oleh orang tua. Kemudian saat anak berusia lebih besar, di usia remaja, maka sumber stress mereka bisa berasal dari faktor akademik dan tekanan sosial. Stress karena faktor akademik bisa terjadi karena dibebani oleh segudang tugas dan kegiatan sekolah. Problem akademis itu sendiri terjadi karena sang anak tidak bisa mengelola dan memanfaatkan waktu dengan baik.
Ada pribahasa sebagai berikut “little pitcher has big ear”- kendi yang kecil punya telinga besar. Ini berarti bahwa anak-anak (anak kecil) selalu memasang kuping untuk mendengar pembicaraan orang yang ada di sekitar mereka. Misal pembicaraan dari orang tua, kakak dan anggota famili yang lain. Anak kecil memang punya rasa ingin tahu yang besar. Mereka selalu memasang kuping untuk menangkap pembicaraan orang lain. Maka apabila orang tua sering berbicara tentang susahnya hidup, di rumah atau di tempat kerja. Ini pun juga membuat anak turut peduli dan ikut merasa cemas. Anak ikut cemas melihat pertengkaran ayah- ibu. Begitu pula dengan berita penyakit dan kematian orang yang mereka cintai. Ini juga penyebab stress atau cemas bagi anak.
Berita media massa, misal tentang dunia yang seram, tentang penculikan, berita kriminal dan berita tentang bencana alam, perang juga tentang terorisme mencemaskan tentang keselamatan diri sendiri dan orang yang mereka cintai. Berita tentang penyakit, kematian orang yang dicintai dan juga perceraian orang yang mereka cintai membuat mereka cemas dan stress.
Stress mempunyai tanda-tanda atau gejala. Namun tidak mudah bagi kita untuk mengenal kapan anak kita sedang dilanda stress. Perubahan suasana hati (mood) bisa jadi isyarat bahwa anak sedang dalam keadaan stress. Isyarat lain adalah seperti perubahan pola tidur, berkeringat dingin, dan salah tingkah. Kemudian juga perasaan sakit kepala, sakit perut, gangguan dalam kosentrasi dan gangguan dalam penyelesaikan pekerjaan rumah, sampai pada prilaku suka menyendiri. Karakter negative seperti suka berbohong, menggertak (bulying), menentang otoriter orangtua dan guru, mimpi buruk, respon yang berlebihan atas masalah kecil hingga merosotnya prestasi kerja atau prestasi belajar juga merupakan isyarat bahwa seseorang lagi stress.
Stress harus diatasi, paling kurang dikurangi. Stress dapat dikurangi lewat inisiatif sendiri dan juga lewat bantuan orang lain. Orang tua dapat menguarangi stress anak-anaknya. Anak sendiri perlu untuk memperoleh nutrisi dan istirahat yang cukup. Karena kekurangan gizi membuat badan akan terasa kurtang nyaman. Badan juga terasa kurang nyaman kalau kurang istirahat/ kurang tidur. Dimana rasa stress mudah datang.
Orang tua seharusnya melowongkan waktu buat anak agar bisa bermain dan ngobrol bareng. Tentu saja bukan ngobrol yang bersifat mendikte dan banyak mengeritik. Orang tua perlu mengungkapkan perasaan positif pada anak- menyatakan bahwa keberadaan mereka sangat penting. Pernyataan yang demikian agar membuat hidup sang anak menjadi berarti. “Papa merasa senang karena kamu bisa bekerja dengan papa di kebun ini,…..mama bahagia sekali bisa ngobrol tentang pelajaran dengan mu”.
Orang tua dan anak juga perlu ngobrol tentang teman mereka, tentang sekolah, guru atau hobi mereka. Anak dan remaja juga perlu bahwa perasaan marah, khawatir, cemas, takut adalah perasaan yang normal pada setiap orang. Stress bisa melanda siapa saja. Lebih ideal bila rasa yang demikian untuk dibagi dengan orang yang mampu mendengar- yakni mendengar suara hati mereka.
2. Depressi
Depressi juga merupakan masalah mental yang juga umum terjadi. Depressi bisa melanda siapa saja dan semua tingkat umur. Ciri-ciri awal dari gejala depressi adalah adanya gejala bad mood, melankolik atau murung, merasa down atau sedih. Suasana begini juga bisa terjadi pada anak-anak. Namun jumlah penderita depressi pada usia remaja dan dewasa bisa lebih banyak. Bila seseorang dalam keadaan murung, bad mood dan merasa sedih yang berkepanjangan dalam waktu lama hingga berminggu minggu atau berbulan-bulan maka inilah yang disebut dengan depresi.
Michele New (2008) mengatakan bahwa depressi juga ada penyebabnya. Depressi tidak disebabkan oleh suatu peristiwa atau oleh seseorang, tetapi hasil dari beberapa faktor. Penyebab depresi juga bervariasi untuk setiap orang. Orang yang punya keluarga depressi kemungkinan juga bisa mengalami depressi- factor genetik. Peristiwa hebat atau trauma yang pernah terjadi dalam hidup seperti kematian orang yang dicintai, terjadinya perceraian, pindah ke daerah baru, dan putus hubungan dengan kekasih yang begitu mendalam bisa menimbulkan gejala depressi.
Stress yang berkepanjangan juga bisa sebagai faktor penyebab timbulnya depressi. Selanjutnya bahwa penyakit kronis juga bisa membuat orang jadi putus asa dan depressi. “Aduhai lebih baik aku mati saja dari pada susah berjalan begini terus…!”. Kemudian bahwa dalam usia remaja, gejolak emosi dan gejolak sosial gampang terjadi, sehingga segala sesuatu menjadi sulit. Tentu saja emosi mereka jadi kacau, melankolik dan bad mood, hingga akhirnya menjadi depressi.
Orang yang dilanda depressi sering merasa kehilangan harapan atau perasaan tidak berguna. Sekali lagi bahwa orang yang lagi depressi sering bersifat pesimis, “Aduh mak, hidup ku tidak berguna, lebih aku meninggal dunia saja….”. Kita perlu memahami karakter anak/ famili atau kerabat yang lagi depressi. Yaitu mereka merasa bersedih tanpa beralasan, kehilangan tenaga/ semangat, tidak mampu merasakan indahnya dunia atau hidup ini, tidak bersemangat untukl berteman, merasa marah, cemas dan juga tidak mampu berkosentrasi. Tidak berselera makan sehingga berat badan menurun. Begitu pula adanya gangguan dalam pola tidur, merasa sakit pada seluruh tubuh, tidak peduli tentang masa depan dan sering berfikir untuk bunuh diri atau mati saja.
Bila anak atau keluarga kita menunjukan gejala depresi, maka kita perlu untuk melakukan tindakan. Kita perlu ngobrol dengan anak dan juga minta bantuan dokter jiwa. Mengatasi masalah keluarga secara pribadi juga tepat. Dalam masa anak-anak sebenarnya ada periode “storm and stress- masa badai dan stress” atau masa-masa sulit. Namun dalam masa sulit ini banyak problem anak dan remaja yang tidak diselesaikan. Tentu saja orang tua merasa bertanggung jawab atas masalah yang terjadi pada anak, namun orang tua bukanlah penyebab depresi itu.
Anak anak atau remaja yang sedang depresi tentu butuh banyak didengar (dipahami). Mereka kadang-kadang merasa tidak berguna. Orang yang lagi dilanda depresi melihat dunia ini dengan negative, ini terbentuk karena perasaan depresinya. Anggota keluarga yang dilanda depressi perlu dirawat melalui psikoterapi- yaitu kombinasi terapi dan obat. Psikiater memberi resep obat untuk membuatnya rilek. Psikoterapi akan fokus pada penyebab depresi itu sendiri.
Stress dan depressi adalah masalah mental. Kita perlu mengenalnya tetapi kalau boleh tidak perlu berteman dengannya. Oleh sebab itu stress dan depressi perlu dikurangi atau dicegah.
Perasaan khawatir dan cemas bisa menjadi penyebab stress. Anak perlu dilatih/ dibisaakan agar bisa mengelola dan memanfaatkan waktu dengan baik. Kita tidak perlu membenani fikiran anak dengan beban fikiran yang belum mampu mereka fikirkan. Kita juga perlu meluangkan waktu untuk melakukan kebersamaan – ngobrol dan bermain dengan anak. Kemudian bahwa stress dalam waktu yang lama bisa menyebabkan depressi. Orang tua perlu mengungkapkan bahwa kehadiran anak adalah penting, ini agar anak merasa hidupnya berguna. Namun bila ada anggota keluarga yang dilanda depressi maka kita harus mencari bantuan ahli (dokter dan psikiater) sedini mungkin.
23. Peduli Pada Kecerdasan
Hidup ini sering terasa unik, khusus yang berhubungan dengan kisah-kisah belajar di sekolah. Ada yang mengatakan bahwa saat belajar di SMP, SMA dan di Perguruan Tinggi termasuk orang yang cerdas. Natanya setelah dewasa menjadi orang biasa-biasa saja. Ada pula yang mengakui bahwa ketika belajar di SD dan SMP termasuk anak yang nakal, namun berubah jadi baik saat belajar di SMA dan di Perguruan Tinggi sehingga potensi dirinya bisa jadi melejit. Sementara itu ada pula yang mengaku termasauk orang yang kurang beruntung saat belajar di SMP dan SMA, malah kuliah di Perguruan Tinggin terancam D.O (Drop Out), namu setelah dewasa bisa sukses dalam berbagai lini kehidupan.
“Dulu ketika aku sekolah di SMA, aku tergolong pintar, tetapi sekarang ya biasa- biasa saja. Teman ku ketika di SMA termasuk bandel sering berurusan dengan guru, sering kena hukum, namun sekarang mereka semua menjadi orang gede”. Ternyata untuk berhasil kelak dalam kehidupan tidak ditentukan semata-mata oleh kepintaran otak , tetapi juga ditentukan oleh kepintaran yang lain- yaitu kepintaran emosional, kepintsaran sosial dan kepintaran spiritual. Pernyataan seperti ini sering terdengar dalam percakapan antar teman setiap hari. Dan inilah realita kehidupan kita.
Tulisan ini tidak berbicara tentang sukses atau tidak sukses secara umum, tetapi berbicara tentang prilaku akademik kita. Salah seorang teman saat bersekolah di SMA dan Perguruan Tinggi termasuk orang yang gemar membaca dan menulis, namun di usia dewasa kebiasaan belajarnya menjadi menurun. Teman yang lain mengatakan bahwa saat ia belajar di SD, SMP danSMA selalu menjadi bintang kelas, malah kuliahnya bisa selesai sesuai target. Namun di usia 40-an ia merasa sebagai orang yang bodoh, menjadi gatek- gagap teknologi. Tidak tahu dan tidak berani dalam mengoperasikan barang-barang elektronika. Ia kemudian merasakan kecerdasannya menjadi menciut.
Memang banyak orang kita yang merasakan bahwa dengan bertambahnya umur maka kecerdasan terasa menciut- menurun dratis. Padahal sebagian ada yang tamatan dari Perguruan. Tinggi- Kim Kyung (2010) mengakui tentang fenomena ini. Ia sendiri telah menulis artikel dengan judul “Berjalan mencegah otak menciut di hari tua”. Judul artikelnya terasa tepat dengan kenyataan yang dirasakan sebagian orang. Bila kita hubungkan dengan kebiasaan orang Eropa, seperti yang diceritakan dalam buku pertualangan, yang memang senang berjalan kaki- hiking atau menjelajah. Ternyata mereka diakui lebih cerdas.
Tidak merendahkan diri bahwa kita kadangkala malas berjalan kaki, terlalu memanjakan diri. Menempuh jarak setengah kilometer saja kita cenderung pakai sepeda motor atau buru-buru mencari ojek. “Ojek…sini dong antarkan aku ke persimpangan…!” Akhirnya tubuh kita kurang bergerak. Kita kurang keringatan, akibatnya suplai oksigen yang dibawa aliran darah ke otak kurang lancar. Maka lambat laun otak kita menjadi tidak fit and fresh (segar dan bugar). Itulah termasuk penyebab kalau akhirnya fikiran kita jadi mandeg.
Berjalan kaki sampai badan kita jadi keringatan setiap hari, mungkin berjalan untuk 2 atau 3 km, adalah salah satu cara paling mudah untuk mencegah otak cepat menyusut/ menciut di hari tua. Untuk melakukan hal ini kita tidak perlu menghabiskan banyak uang. Penyusutan ukuran otak pada orang lanjut usia dapat menyebabkan masalah memori pada otak mereka akibatnya mereka mudah lupa. Maka kebiasaan berjalan kaki dapat mencegah kepikunan.
Kita tidak perlu mencari contoh terlalu jauh. Mari kita amati orang tua yang ada di seputar kita. Mereka yang segera memutuskan untuk pensiun dalam usia yang belum terlalu tua. Apalagi kemudian mereka juga tidak melakukan aktivitas fisik, berpotensi akan cepat jadi pelupa dan pikun. Sementara mereka yang masih aktif hingga tua dan suka beraktivitas, mereka terlihat masih segar bugar hingga usia 70 dan 80 tahun (Dengan catatan bahwa mereka punya gaya hidup yang cukup istirahat dan cukup mengkonsumsi makan yang sehat).
Tidak bermaksud berlebih lebihan bahwa kakek dan nenek penulis dahulu yang tinggal di pedesaan Lubuk Alung , hidup bertani dan pola hidup sederhana: banyak melahap makanan yang serba alami, memiliki umur hingga 80 dan 90 tahun. Sementara kerabat penulis yang lain, berada di perkotaan- kurang banyak bergerak, kurang keringatan dan banyak mengkonsumsi fast food- akibatnya sering sakit sakitan di usia 60-an.
Selain kebiasaan berjalan kaki , kebiasaan mengkonsumsi makanan yang alami juga bisa mencegah merosotnya kecerdasan kita. Anna Heart (2009) juga menulis artikel tentang “makan versus vitamin untuk mencegah penyusutan otak atau alzeimers”. Dikatakan bahwa mengkonsumsi vitamin dan bahan makanan yang banyak mengandung bahan kimia, apakah itu atas nama supplement, bisa membahayan kesehatan. Mengkonsumsi vitamin dan bahan makan yang banyak mengandung zat kimia tentu tidak sebagus vitamin yang langsung dikonsumsi dari bahan alami, seperti buah buahan dan biji bijian. Sekali lagi bahwa Mengkonsumsi vitamin dari bahan makanan yang mengandung bahan kimia- penyedap dan pewarna yang terlalu berlebihan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan, seperti gangguan pada ginjal, hati dan jantung.
Mengkonsumsi vitamin D (vitamin yang hanya larut dalam lemak) akan bisa menjadi racun bagi tubuh dan menyebabkan gangguan ginjal. Sebaliknya, kekurangan vitamin D dalam tubuh bisa mengganggu kesehatan tulang dan otak, sehingga lambat laut kesegaran otak juga akan terganggu. Sebagaimana vitamin D banyak terkantung dalam susu, maka mengkonsumsi susu untuk kesehatan dan kecerdasan otak, tereutama selama masa anak-anak dan masa remaja, sangat dianjurksa. Kalau boleh kebiasaan minum susu berlanjut hingga usia dewasa.
Kemudian bagaimana pola makan kita ? kemiskinan membuat kita dan banyak orang tidak bisa menyediakan hidangan yang ideal buat keluargsa. Ungkapan tentang kebiasaan makan yang sehat yaitu empat sehat lima sempurna sering menjadi ungkapan sekedar pajangan saja.
Hidangan empat sehat lima sempurna sering sulit untuk kita penuhi. Alasan klasik adalah karena kesulitan finansial. Bukankah banyak famili dan tetangga kita yang sulit memenuhi kebutuhan pangan, tidak mampu membeli lauk pauk dan susu. Ada yang makan nasi, tetapi lauk pauknya terbuat dari jengkol kerupuk jengkol atau kerupuk singkong . Bagaimana kebutuhan gizi dan vitamin akan terpenuhi. Bagaimana asupan gizi untuk otak akan mencukupi. Inilah alasan mengapa otak kita menjadi kurang segar dalam berfikir.
Hal yang kontra bahwa ada yang memiliki kelebihan finansial, namun kurang mengenal gaya hidup sehat. Mereka mengkonsumsi fast food dan makanan kaya kolesterol hingga mengganggu kesehatan otak dan jantung. Ya, mana mungkin orang yang kesehatannya kurang prima bisa berfikir dengan segar dan bugar. Ini pun termasuk penyebab mengapa kecerdasan cepat menciut.
Kognitif kita akan cepat mengkerut/ menciut, ini bisa terjadi karena otak itu sendiri jarang dipakai atau jarang diasah. Bagaimana cara menggunakan atau mengaktifkan otak ? secara umum bahwa otak atau fikiran banyak dipakai dalam bentuk kegiatan membaca, menulis, bertukar fikiran. Malas membaca dan menulis adalah fenomena negatif di kalangan kita.
Ayat pertama yang diturunkan Allah Swt adalah tentang Iqra’ atau membaca. Ini memberi isyarat bahwa kita (pemeluk Islam) harus senantiasa membaca dan menjadikan membaca sebagai bagian dari hidup. Ini memberi isyarat bahwa dalam masyarakat, mulai dari rumah, hingga sekolah dan di tempat pendidikan lain musti ada perpustakaan. Namun kenyataannya belum demikian. Bahwa yang mudah ditemukan pada banyak rumah adalah rak atau lemari sekedar memajang keramik, boneka, fasilitas hiburan atau home theatre. Ini tidak salah, namun porsi untuk sarana bacaan keluarga belum berimbang dengan fasilitas lain. Kemudian di berbagai sekolah, terutama di Sekolah Dasar, begitu banyak perpustakaan yang ditutup dan terlihat cuma sebagai gudang buku. Sehingga murid murid belum merasakan betapa indahnya membaca itu. Kebiasaan tidak suka membaca berlanjut hingga pendidikan selanjutnya sehingga bagaimana kita mau cerdas dan bagaimana otak akan berfungsi otminal.
Kebiasaan menulis juga belum jadi budaya kita. Kita lebih terbiasa dengan budaya oral atau lisan yaitu kebanyakan ngobrol dan ngerumpi. Manakala kita tidak terbiasa dalam menulis, maka menulis menjadi suatu hal yang berat. Begitu kita duduk di perguruan tinggi, harus menulis proposal, laporan penelitian untuk skripsi, tesis dan disertasi. Ini menjadi satu hal yang sulit. Kalau begini caranya maka D.O (Drop Out) dari Perguruan Tinggi akan menjadi fenomena yang jelek bagi sebagian mahasiswa.
Menciutnya kecerdasan kognitif atau kecerdasan otak perlu kita atasi. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membiasakan diri untuk banyak berjalan- kalau perlu hingga badan jadi keringatan, aliran darah dan aliran oksigen dalam tubuh begitu lancar. Otak akan jadi segar. Kemudian kita perlu menghindari gaya hidup yang berlebihan mengkonsumsi kurang sehat- fast food, makanan berkolesterol, banyak zat pewarna dan penyedap mrasa. Untuk asupan vitamin D buat otak, segelas susu hangat sangat baik untuk dikonsumsi. Last but not least (akhir kata) bahwa kita perlu membudayakan gemar membaca, menulis dan gemar bertukar fikiran.
24. Remaja Sumatra Di di Negara Paman Sam
Mengikuti proram pertukar pelajar ke manca negara adalah program yang banyak diminati oleh pelajar dari seluruh pelosok Indonesia. Program tersebut adalah AFS (American Field Service), Yes (Youth Exchange Studies), dan Jenesys (program ke Jepang) masing-masing untuk satu tahun, namun juga ada program Jenesys untuk dua minggu. Karena program ini terbatas untuk beberapa orang saja dan juga cukup bergengsi maka tentu saja setiap peminat harus punya persiapan yang matang untuk memenangkan seleksi penyisihan.
Miftahul Khairi (17 tahun), siswa SMAN 1 Bukittinggi, putra dari Bakri Harun (Kepsek SD 15 Matur, Agam) dan Rasmiati (Hakim Pengadilan Agama di Maninjau), dan juga sebagai keponakan Penulis, telah beruntung bisa mengitu program pertukaran pelajar Yes (Youth Exchange Studies) di Amerika Serikat yang juga disebut dengan Negara “Uncle Sam” atau “Paman Sam”. Tentu saja Miftahul (Ari) terlebih dahulu melakukan persiapan yang cukup matang sehingga bisa mengikuti program Program Yes ini dan tinggal serta belajar di Amerika Serikat dengan orangtua angkat selama satu tahun.
Seperti remaja pada umumnya, Ari biasa-biasa saja, rajin tapi kadang-kadang juga malas. Suka membantu orang tua, suka belajar dan juga suka main game online.”Namun kenapa kamu tertarik mengikuti program pertukaran pelajar ?”. Itulah pentingnya bergaul dan bertukar cerita dengan banyak orang. Suatu hari kakak teman yang baru saja kembali mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri berbagi cerita dengan Ari sehingga rasa ingin tahu dan motivasi Ari juga muncul. Faktor lain yang mendorong Ari ingin mengikuti program ini adalah karena ingin melihat dan merasakan tentang bagaimana budaya orang lain dan juga ingin merasakan pengalaman baru tinggal di Amerika.
Ia memperoleh informasi bahwa peserta yang kemungkinan akan lulus dalam program American Field Service ini adalah mereka yang selain mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris juga memiliki pengalaman leadership dan aktif dalam organisasi. Ia pun juga aktif dalam organisasi di sekolah dan organisasi di sekitar rumah. Ia harus memiliki banyak wawasan, setiap hari mengikuti berita-berita dan mencatat semua issue berita pada buku catatan khusus. Kadang-kadang Ari juga pergi ke internet untuk melakukan browsing tentang berita terkini dari seluruh pelosok Indonesia dan dari seantaro dunia- tentang global warming, tentang proliferasi nuklir, tentang cloning, tentang kematian Michael Jackson, tentang perkawinan kaum homo seks, dan lain-lain.
Ari melompat hampir setinggi langit, riang gembira karena dinyatakan lulus dalam mengikuti seleksi pertukaran pelajar tersebut. Ia mengatakan bahwa “preparation is mother of successfulness”. Tentu saja persiapan Ari yang lain, selain kemahiran dalam bahasa Inggris, adalah juga dalam hal berdebat, menguasai kesenian dan life skill lain- ia belajar memasak gulai dan rendang Padang. Ari juga belajar tari minang, silat minang, masakan minang, dan juga membaca buku-buku tetang budaya Indonesia secara keseluruhan karena Ari kelak adalah menjadi duta bangsa. Kebiasaaan berdebat sangat penting dalam membentuk mental yang kuat dan berani dan sebab program pertukaran pelajar tidak perlu menjadi anak manis yang serba penurut, patuh tapi susah dalam berkomunikasi.
Ari bebagi cerita bahwa saat itu ada sekitar 600-an peminat program pertukaran pelajar dari seluruh Sumatera Barat dan juga mungkin dari Riau. Yang ia ambil adalah program YES (Youth Exchange Studies) dan yang diambil dari seluruh pelamar hanya 5 orang. Ari termasuk satu dari lima orang yang beruntung. Seleksi program ini meliputi test tertulis, wawancara dalam bahasa Inggris, wawancara non Bahasa Inggris tentang pengetahuan umum, wawasan lain, kepribadian, penilaian individu tentang kerja kelompok atau team-work.
Tip dan trick agar menang dalam seleksi program pertukaran pelajar tersebut adalah “be your self”. Penilaian dengan skor rendah selama aktifitas team work adalah kalau seseorang memperlihatkan sikap hiperaktif, suka memonopoli, egois dan adanya kesan arrogant atau angkuh. Selanjutnya karakter yang tinggi skor penilaiannya adalah untuk karakter cooperative, leadership, dan kreatif. Tipe “be yourself” yang disenangi oleh program pertukaran pelajar adalah untuk semua karakter orang- ada yang agak pendiam, suka usil, humoris. Yang dinilai tidak hanya cerdas, ramah, cooperative, leadership dan kreatif, tetapi juga harus bersifat “out going, easy going dan humoris”.
“Apa yang kamu rasakan begitu kamu dinyatakan lulus dalam seleksi ?”. kelima peserta yang lulus kemungkinan “feeling between belive or not believe” kalau mereka lulus, kemudian merasa excited dan mulai membuat seribu impian dan sejuta andai, “Kalau…. Kalau….kalau…., saya akan…..”. Mereka juga ingin tahu tentang seperti apa sih USA itu. Pokoknya ada harapan yang begitu tinggi dengan sejuta mimpi. Namun kemudian bercampur dengan emosi kesedihan. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sedih berpisah dengan teman dan sedih kehilangan waktu- tertunda belajar di sekolah selama satu tahun.
“Apa persiapan kamu menuju negara Paman Sam ?”. Selain faktor bahasa dan pengeahuan budaya juga harus menyiapkan logistik. Menyiapkan pakaian yang digunakan seperlunya, buku-buku yang diperlukan , paspor, visa dan souvenir. Sekali lagi karena pertukaran pelajar adalah juga berarti pertukaran budaya, maka peserta juga harus punya persiapan budaya- belajar tari, belajar seruling, belajar gitar dan lagu daerah.
Sebelum keberangkatan ke negara tujuan maka semua peserta yang lolos seleksi dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarrta, tentu saja diantarkan oleh orang tua. Mereka diberi program orientasi- pembekalan untuk mengenal negeri orang dan mengenal negeri sendiri. Mereka memperoleh materi pelajaran CCU atau “Cross Culture Understanding- pemahaman lintas budaya”. Dan setelah itu acara Talent Show- penampilan bakat- yang disuguhkan buat orang tua peserta yang baru saja mengantarkan anak-anak mereka untuk program pertukaran pelajar.
“Bagaimana perasaan kamu saat terbang melintasi samudra pasifik ?”. Peserta program AFS dan Yes tidak terbang melintasi samudra Pasifik. Itulah kondisi pesawat GIA (Garuda Indonesia Airways) tidak memperoleh izin untuk mendarat di bandara Eropa, karena diangap kurang memenuhi standard keselamatan dan mungkin karena pesawat sudah agak tua (maaf), maka peserta terbang dengan MAS (Malaysia Airline System) dari Jakarta ke Kuala Lumpur selama dua jam. Dari Kuala Lumpur terbang lama selama 12 jam dengan pesawat menuju Frankfurt. Hari terasa selalu siang selama 12 jam karena pesawat terbang menyonsong matahari. Agar bisa tidur maka pilot menyarankan agar menutup semua jendela pesawat dan sebagian penumpang bisa tidur.
Peserta transit di Frankfurt. Bandaranya sangat rapi, bersih dan udaranya bearoma harum sehingga setiap pengunjung merasa dimanja. Kemuian peserta terbang dengan pesawat United Airline menuju Washington, DC selama 7 jam melintasi samudra Atlantik. Peserta menjadi too excited karena sudah begitu dekat dengan negara Paman Sam, tetapi bercampur degan emosi kesedihan “ada yang menangis” karena sudah terasa begitu jauh dari tanah air dan dari mama dan papa tercinta.
“Apa kesan kamu melihat orang-orang dalam pesawat terbang moderen ?”. Bule-bule dalam pesawat umumnya tampak sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan laptop, sibuk dengan phone cell, sibuk membaca, atau tidur. Sementara orang-orang kita- peserta yang dinyataan menang dan lulus selesi pertukaran pelajar- terlihat sibuk dengan orang lain. Mengurus orang lain, sibuk ngobrol, sibuk tersenyum. Di sinilah beda kepribadian individualitas dan masyarakat social. Dalam masyarakat barat atau budaya individu terkesan bahwa “no personal space”.
Akhirnya pesawat United Airline mendarat di bandara Washington DC. Sebelum menyebar maka peserta YES diberi orientasi tentang way of life di USA. Program Yes adalah program scholarship penuh dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang disediakan buat pelajar atau pemuda dari negara muslim. Makanya kegiatan orientasi di Washington juga ada pelajar dari Malaysia, Arab, Mesir, Turki, dan negara-negara muslim lainnya. Program Yes didirikan setelah adanya tragedi peledakan gedung WTC (World Trade Centre) oleh teroris, dan rakyat USA saat ini memendam rasa marah pada masyarakat muslim dunia. Maka untuk mengenal agama Islam masyarakat muslim, USA mengundang para pelajar muslim melalui program Yes tersebut.
Semua peserta Yes disebar ke 50 negara bagian Amerika Serikat dan tidak ada pelajar yang sebangsa tinggal bersama dalam satu tempat. Ari ditempatkan di kota Mineappolis, negara bagian Minnessota. Minneapolis adalah juga termasuk kota pelajar, ibarat Yogyakarta. Kota ini termasuk kota menengah dan di sana ada Universitas St. Cloud dan di kota ini Ari tinggal dengan Host Family.
“Apa yang kamu lakukan Ari, pertama kali tinggal dengan host famiyy ?”. Semua peserta pasti melakukan adaptasi. Adaptasi dengan bahasa, budaya, makanan, pendidikan dan bagaimana supaya bisa “fit with new famiy and new culture”. Walaupun peserta sudah yakin memiliki bahasa Inggris yang baik namun kadang kala kurang mengerti dengan bahasa Inggris penduduk setempat, karena mereka berbicara cepat dan accent berbeda. Untuk memahami komunikasi maka peserta mengandalkan (memahami) eye contact dan body laguage. Tentang akanan, masakan Indonesia lebih mengutamakan taste and flavour, sementara masakan Amerika lebih mengutamakan nilai gizi, walau sering kurang pas menurut lidah orang Indonesia.
Sistem sekolah di sana juga berbeda dengan Indonesia. Di sana pelajar choose own class dan untuk tingkat SMA mereka tidak memakai seragam, tetapi free clothes. Dalam kelas terdapat banyak tempelan-tempelan yang memberi info kepada siswa/pelajar. Kertas yang ditempel selalu di-update, tidak dibiarkan terpajang selama berbulan-bulan, apa lagi tempelan selama bertahun-tahun. Pendidikan di sekolah kita “guru-guru terlalu banyak ngomong”, namun di USA gaya pembelajaran bersifat memberi “explanation, practicing, dan pemahaman concept”. Maka pembelajaran di Amerika bercirikan banyak simulasi, game dan pemberian reward pada siswa seperi permen dan coklat- walau materi sedikit. Di Indonesia materi terlalu padat dan siswa disuguhi dan harus menghafal banyak materi. Namun tugas-tugas sekolah di sana juga banyak.
Ari secara langsung melihat dan merasakan pebedaan pembelajaran di sana dengan di kampungnya sendiri (Sumatera Barat). Di kelas Amerika, guru-guru memajang nilai yang diperoleh siswa dan selalu mengupdatenya, tiap kali ada penilaian. Suasana pembelajaran kadang-kadang juga lewat menonton dan membahasnya, misalnya dalam kelas poloitik (atau KWN- kewarga negaraan). Dalam pembelajaran ini ada kalanya juga dengan bermain peran, sebagai presiden, anggota partlemen, sebagai pengacara, sebagai narapidana.
Pelajaran seni di Indonesia sudah berciri “praktek” dan di Amerika malah lebih banyak praktek, misal kelas memahat, kelas menjahit, kelas membuat keramik. Ada kesan dari kebisaaan pelajar di Indonesia, kalau pulang sekolah buru-buru pergi les, les matematik, les bahasa Inggris, kimia, fisika dan les komputer. Namun para pelajar Amerika pulang sekolah cenderung pergi berolah raga- mengikuti team basket, team bola kaki, atletik. Makanya tubuh pelajar di sana terbentuk lebih sehat dan kuat. Penduduk di sana sangat mencintai kegiatan olah raga, oleh karena itu mereka terkesan berani dan agresif dalam bekerja dan bersosial. Inilah dampak positif dari kebisaaan berolah raga bagi masyarakat Amerika.
Kemudian masih dalam hal olah raga, bahwa selalu ada kompetisi antara sekolah. Tingginya semangat berolah raga dalam sekolah dan dalam masyarakat membuat self-believe, life skill, team work, hard work, dan self determination mereka sangat tinggi dan sudah menjadi karakter mereka. Di USA, orang tidak melihat status atau “kamu anak siapa”, semua orang sama-sama punya kesempatan untuk maju, seorang guru tidak membandingkan latar belakang siswanya apakah dari orang tua miskin, kaya, kulit putih, kulit berwarna, katolik atau non katolik dalam peniaian dan dalam pelayanan (tentu ini juga bergantung pada karakter seseorang). Umumnya siswa di sana memiliki “self determination” menentukan sikap untuk masa depan mereka, makanya pelajar di sana sudah membayangkan apa yang akan mereka kerjakan kelak bila sudah dewasa. Kalau mereka tidak memiliki self determination- menentukan arah diri sendiri, maka itu berarti mereka “gagal dalam hidup”.
“Di negeri kita anak yang dipandang baik adalah sweet kid (anak manis) yaitu patuh, penurut dan rajin”. Di negara Paman Sam, jarang sekali karakter “sweet kid”, semua orang berkarakter “assertive” yaitu say what you feel dan tidak ada istilah bahasa yang berbelit-belit atau berbasa basi. Tentang hal ini antara Indonesia dan Amerika tentu berlaku istilah “different fish different pond- lain lubuk lain ikannya”. Jadi pola berkomunikasi di Amerika adalah berkarakter clear, direct communication dan tidak berbelit-belit”.
Tentang appellation atau panggilan, Ari cukup memanggil nama saja untuk host family (orang tua angkat) dan pada gurunya. Bagi mereka ini menandakan closeness- kedekatan. Sementara di Sumatera Barat “Panggilan” disesuaikan dengan empat tingkat kata: kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng. Ada yang panggil adik, uni, uda, ibu, etek, sumando, menantu, dan lain-lain”.
Keluarga Amerika menerapkan berbagi kerja dalam mengurus tugas rumah. Walaupun di sana sudah serba mesin. Dan hukuman buat pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak yang diterapkan oleh host family atau orang-orang lain adalah “grounded punishment”. Misalnya seorang anak melanggar peraturan rumah maka selama seminggu Phone Cellnya, Lap topnya, MP 3 nya disita, fasilitas buat dia dicabut, dan tidak boleh keluar rumah sehingga mendatangkan efek bosan dan jera. Sementara hukum spangking “melampang” pantat anak, apalagi sampai menempeleng kepala, mencambuk kaki anak, mencewer telinga dan hukuman fisik lain. sudah lama ditinggalkan karena bisa dipandang bertetangan dengan hak azazi manusia. Pelaksanaan hukum tergantung pada karakter pribadi, karena juga ada orang tua yang menganiaya dan sampai menelantarkan anak mereka.
“Bagaimana teman-teman mu di Sekolah Amerika dalam memandang negerimu- Indonesia ?”. Ternyata banyak pelajar di sana yang buta dengan informasi budaya dan informasi geografi tentang negara lain, termasuk tentang Indonesia. Mereka masih memandang Indonesia sebagai negara yang jauh tertinggal atau primitive, sehingga muncul pertanyaan yang lucu-lucu. “Apa kamu pernah makan daging orang utan…? Apa kamu tinggal dalam goa atau di atas pohon kayu besar ?”
Orang di negara Paman Sam memandang Indonesia sebagai negara yang indah apalagi orang di sana menyukai derah tropis, menyukai warna kulit yang terbakar matahari sebagai “sun tanned skin” sebagai lambang kulit yang sehat makanya orang di sana gemar berjemur saat musim panas. Orang di sana juga menyukai budaya Indonesia seperti tari dan kreasi seni, karena di sana tidak ada tari atau seni yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mereka juga memandang orang Indonesia sebagai bangsa yang hospitality- ramah tamah.
Host family memandang Ari sebagai remaja yang riang, lucu, smart. Di sekolah Ari sangat jago dengan pelajaran matematika dan umumnya anak-anak Asia jago di sekolah. Ternyata pelajaran Indonesia lebih tinggi- Ari sering sering tampil dalam mata pelajaran matematika, namun kita cuma kaya dengan hafalan dan mereka kaya dengan praktek. Di mata mereka bahwa Ari adalah anak yang suka membantu, suka memotret-motret, hospitality dan clever. Walau Bahasa Inggris Ari terasa sudah bagus tetapi di telinga mereka bahasa Inggrisnya terkesan lucu dan enak untuk didengar, ibarat kita mendengar mereka berbahasa Indonesia dengan aksen yang cadel.
Suasana kehidupan sosial di daerah perkotaan terasa sangat individu, mungkin sama juga dengan kondisi di kota besar Indonesia. Namun di country side- di pedesaan agak sama dengan di desa Indonesia- juga ada suasana bersosial yang tinggi. Beda tentang berteman, kalau di Indonesia seorang remaja mengenal “a lot of close friend”, namun di sana remaja mengenal “few close friends”. Di mata mereka bahwa keramah tamahan itu hanya sekedar memperlihatkan kebaikan saja. Di sana remaja active mencari teman yag memiliki minat yang sama, misal dalam bidang olah raga dan musik. .
“Bagaimana tentang hubungan orang tua dan anak di Amrik ?”. Hubungan orang tua dan anak di sana, ya sama dengan kondisi keluarga demokrasi di Indonesia. Mereka memberi anak “freedom to choose” tetapi tetap selalu ada nasehat-nasehat. Anak-anak di sana diajar untuk mandiri dan banyak remaja melakukan kerja “part time”- kerja paroh waktu di swalayan, street construction, di restorant fast food. UMR (Upah Minimum Regional) di sana adalah 7.25 Dollar Amerika per jam, atau setara dengan Rp. 72.000. Namun mereka dibatasi kerja perminggu oleh undang-undang. Untuk memperoleh kerja part time, mereka menulis resume atau lamaran. Hasil pendapatan part time mereka tabung untuk kepentingan berlibur, jalan-jalan ke luar negeri, untuk beli mobil, untuk membantu uang kuliah dan membeli barang yang mereka butuhkan. Part time diberikan untuk remaja minimal usia 16 tahun.
“Setelah kamu berada di Amerika, bagaimana kamu melihat Indonesia dari arah luar ?”. Ari merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena alamnya cantik apalagi Ari juga dipandang oleh orang sana termasuk remaja yang creative, dan kulitnya dianggap bagus. Apalagi ada persaan emosional, bangga atas nilai kebersamaan yang ada di Indonesia, kemudian Indonesia juga sangat kaya dengan budaya dan seni.
Orang Amerika kagum dengan anak-anak Indonesia karena kecil kecil sudah mahir berbahasa Inggris, mereka saja hanya bisa berbahasa Inggris (bahasa Ibu) dan mempelajari bahasa asing seperti bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan bahasa Jerman hanya saat duduk di bangku SMA saja. Tentang jurusan favorite di universitas ya sama fenomenanya dengan di Indonesia, mereka menyukai jurusan ekonomi, jurusan kedokteran, bisnis, hukum dan tekhnik atau engineering.
Mengikuti program pertukaran pelajar di luar negeri, walau kehilagnan waktu belajar selama satu tahun, namun di sana Ari juga belajar di SMA Amerika dan juga memperoleh ijazah atau sertifikat tanda tamat belajar yang nilainya sama dengan diploma satu untuk Indonesia, dengan diploma tersebut Ari pun bisa melamar kuliah di jurusan yag menggunakan bahasa Inggris di universitas Indonesia. Saat sebelum mengikuti pertukaran pelajar, Ari terlihat sebagai anak yang manis- baik dan patuh. Namun setelah mengikuti program pertukaran pelajar selama setahun, rasa nasionalismenya bertambah, semangat bekerja dan belajar lebih progresif seperti anak anak di Amerika dan kemandirian dan self determinasi Ari juga lebih meningkat.
25. Menghargai Waktu
Apakah ungkapan time is money masih ada di sekolah-sekolah dan apakah warga sekolah masih ada yang memahaminya ?Tentu saja ada. Kalau ada kenapa kok begitu banyak siswa yang keluyuran saat jam belajar. Ibu dan bapak guru melangkah dengan penuh enggan ke dalam kelas ?. Kenapa siswa dan warga sekolah yang lain ( yang menyebut diri sebagai orang moderen dan peduli dengan teknologi, namun membenamkan kepala sampai berjam-jam hingga lupa untuk pulang, beribadah dan lupa dengan tanggung jawab lainnya di rumah, gara-gara kecanduan dengan game online pada internet. Tampaknya anak-anak sekarang tidak takut apalagi sedih bila rapor mereka penuh dengan tinta merah. Namun yang lebih cemas adalah orang tua mereka. Kalau begitu terpantau fenomena bahwa yang sekolah itu bukan lah siswa itu sendiri tapi yang kuat untuk menyuruh mereka bersekolah adalah orang tua mereka. Ya itulah zaman yang tumbuh makin gila.
Memotivasi dan mengajak anak dengan seruan “time is money” dan “assa’ah kas syaif- waktu itu laksana pedang” mungkin terasa sudah sangat klasik bagi mereka. Namun bagi orang yang senantiasa menghayati dan mengaplikasikannya dalam kehidupan akan menjadi sukses. Yang kurang menggubrisnya,tentu akan menjadi the losser- orang yang kalah di dunia ini, karena mereka benar- benar terbunuh oleh waktu.
Orang yang sukses dalam karir dan dalam cita-cita dapat dijumpai dimana-mana. Mengapa mereka bisa sukses ? Jawaban secara klasik adalah karena mereka bersahabat dengan waktu. Implikasi dari ungkapan “time is money” adalah bahwa kita musti membiasakan hidup dengan disiplin tinggi, penuh semangat, suka bekerja keras dan senang melakukan eksplorasi- melakukan penjelajahan. Orang-orang sukses di negara maju seperti di Jerman, Prancis, Singapura, Jepang dan Amerika, atau juga di negara kita sendiri, adalah karena mereka memiliki karakter endeavour atau semangat suka bekerja keras dan menggunakan waktu secara efektif dan effisien.
Menjamurnya produk ICT (information communicative technology) di pasaran seperti cellular phone, TV, note book, LCD, MP3, internet, facsimile, dan lain-lain adalah hasil dari kerja keras para inventor (penemu) dalam bidang ICT ini. Karena produk-produk tersebut diciptakan secara massal dan biaya atau harganya juga reasonable telah membuat masyarakat luas mampu memiliki, mengakses atau mengkonsumsi nya secara massal pula. Cara dan pola mengkonsumsi produk ICT tersebut menentukan gaya hidup mereka, apakah mereka menjadi pengguna teknologi yang passif atau menjadi pengguna teknologi yang cerdas sehingga mampu melejitkan potensi diri mereka.
Kelompok usia remaja remaja (mulai dari siswa SMP, SLTA sampai kepada mahasiswa) tercatat sebagai pemakai produk ICT yang terbanyak di dunia. Coba perhatikan siapa yang banyak lalu lalang di keramaian kota, di mall/ plaza sampai kepada sambil mengotak atik HP atau MP3 dan yang duduk di dalam boxnya warnet atau café net, maka pastilah kelompok usia remaja. Kualitas para remaja yang hidup pasa zaman sekarang akan menentukan kualitas bangsa di masa depan. Namun bagaimana semangat hidup remaja sekarang secara umum, masihkah mereka memiliki endeavour- suka bekerja keras- dan senang menghargai waktu seperti ayah dan kakek mereka ?
Karakter remaja sekarang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu mereka mereka yang cenderung bergaya hidup endeavour dan bergaya hidup hedonis. Endeavour yaitu, sekali lagi, senang bekerja keras, memanfaatkan waktu secara efektif, effisien, memiliki motivasi dan memiliki semangat hidup yang hebat. Sementara gaya hedonis adalah gemar mencari kesenangan hidup dengan sedikit usaha. Prilaku ini terpantul dari kebiasaan suka kongkow, bermalas-malas, dan tidak mau tahu dengan urusan waktu.
Kemungkinan jumlah kelompok remaja yang berkarakter endeavour tidak sebanyak mereka yang berkarakter hedonis. Bisa jadi jumlah mereka yang bergaya hidup hedonis cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Mereka yang berprilaku hedonis punya semboyan hidup “hidup santai dan masa depan cerah”. Ini terpantau pada kelompok remaja yang gemar kongkow-kongkow, dan hura-hura secara berlebihan di mall, di plaza, di café, di keramaian jalan raya, dan sampai kepada remaja dalam bis kota. Gaya hidup yang begini perlu untuk diobah. Bila tidak bahwa suatu waktu akan muncul ledakan patologi social, dimana sejumlah besar orang remaja tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak berdaya, suka memelas, tidak bersemangat dan miskin dengan motivasi hidup. Akhirnya mereka menjadi beban bagi kehidupan orang- family, teman atau pemerintah.
Dari mulut ke mulut dikatakan bahwa nenek moyang kita adalah orang-orang pekerja keras. Mereka adalah pelaut ulung, pedagang dan pekerja yang rajin. Bila mengalami kesusahan maka mereka segera pergi merantau untuk mencari sumber penghidupan baru. Mereka sangat menghargai waktu. Namun bagaimana eksistensi kita sebagai cucu mereka, apakah kita sama dengan mereka- suka kerja keras, dan mengharai dan bersahabat dengan waktu ?
Prilaku remaja yang menjadi fenomena umum saat ini adalah kita (sebahagian remaja) suka mengeluh, mengeluh kalau diberi tugas rumah dan tugas sekolah. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu hanya untuk urusan hiburan, mendengar dan melahap program hiburan dan musik hampir sepanjang waktu. Kita mengkonsumsi acara televise hingga berjam-jam. Kita menjadi untuk malas bergerak dan berolah raga, suka menunda pekerjaan, dan juga menjadi maniakdengan permainan digital dan sebagainya. Karakter-karakter ini berpotensi menjadi batu penyandung dalam meraih kesuksesan kita di masa depan, Maka untuk itu kita perlu menendang karakter yang kurang terpuji ini secepatnya.
Menikmati hiburan (entertainment) sangat kita perlukan untuk mengendorkan saraf menenangkan jiwa dan fikiran yang tegan. Secara umum orang mendengarmusik/ lagu, tidur atau menonton film atau sinetron untuk mengendorkan ketegangan jiwa. Orang yang peduli dengan waktu dan kualitas hidup, mereka melakukan hal ini hanya sekedar pelepas lelah saja. Namun banyak yang menjadi maniak: gila hiburan, melahap semua program televisi dari saat bangun tidur hingga malam tiba. Mereka melahap lagu album demi album dan melahap semua kepingan VCD film dari sinetron.
Fenomena miring sebagaimana disebutkan di atas bisa jadi kita lakukan dan juga dilakukan oleh banyak rumah tangga lain. Sementara itu bagaimana dengan fenomena prilaku remaja pada banyak sekolah ? Banyak pelajar atau remaja yang kurang peduli dengan waktu. Ini terlihat dari kebiasaan mereka yang suka begadang, suka hura-hura, suka menunda waktu, suka mejeng di mall/ plaza, dan jalan-jalan tidak karuan atau kecanduan dengan game online hingga menghabiskan iuran sekolah atau uang jajan hingga berjam-jam. Campur tangan dari orang tua dan nasihat dan bimbingan dari guru tetap sangat dibutuhkan untuk memotivasi mereka tentang cara penggunaan waktu yang tepat untuk belajar, istirahat, dan melakukan aktivitas lain di rmah.
Umumnya orang orang sukses di dunia ini seperti pebisnis, pedagang, pemikir dan tokoh tokoh sukses lainnya adalah orang orang yang tidak suka begadang, hura-hura, mejeng di mall/ plaza, dan jalan-jalan tidak karuan hingga kecanduan dengan game online. Mereka adalah orang orang yang suka bersahabat dengan waktu dan memiliki semangat kerja keras yang hebat. Tidak mungkin para remaja yang tercatat sebagai peraih medali emas dalam ajang olimpide sains (kimia, fisika, biologi dan matematika) adalah orang-orang yang gemar hura-hura dan mejeng di mall dan plaza.
Remaja- remaja yang hafal dengan al-Qur’an, jago dalam lomba akademik tentu saja tidak suka kongkow- bermalas malas di kafe, di warung kopi sampai berjam jam atau bersikap suka menunggu-nunggu. Kalau demikian halnya, maka untuk mengejar kesuksesan, setiap orang musti mampu menendang karakter negatif tadi jauh-jauh. Sebagai gantinya mereka musti memiliki karakter menghargai waktu, bersahabat dengan waktu, dan bersikap penuh semangat. Sikap ulet (penuh semangat) tidak akan tumbuh dengan sendirian. Sikap ini perlu pengkondisian, tekad dan komitment, serta dukungan lingkungan.
Sikap dan semangat hidup seseorang ternyata bisa menular pada orang lain ibarat virus. Bila seseorang banyak dikelilingi oleh orang yang pesimis, passif, tak berdaya,suka mengejek dan kurang pandai menghargai orang lain maka dipastikan bahwa pribadi mereka akan jadi hancur lebur.Untuk menumbuh sikap endeavour (semangat kerja keras) dan sikap bersahabat dengan waktu, sangat membutuhkan pemodelan dari orang tua, guru-guru, teman-teman dan tokoh yang dipilih. Adalah suatu hal yang positif bila banyak kaum remaja yang membiasakan diri untuk melakukan brbagai kesibukan- mengerjakan hobi posititif, membantu orang tua, aktif dalam organisasi dan aktif dalam mengerjakan tugas sekolah. Ini adalah langkah awal untuk menjadi orang yang memiliki sikap endeavour.
Strategi untuk menghargai waktu adalah dengan cara, sekali lagi, menjauhi kebiasaan hura-hura, kongkow, menunda pekerjaan, maniak dengan game dan hiburan dan seterusnya musti mempunyai agendakehidupan. Orang sukses mempunyai sejumlah aktifitas harian, dari pagi hingga sore/ malam, kemudian juga [unya sejumlah kegitan mingguan- seperti mendalami agama, olah raga, menguasai bahasa asing lainnya atau menyelesaikan proyek dalam membantu ekonomi orang tua. Saat semangat kerja keras dan menghargai waktu mulai langka di sekolah , maka marilah kita menjadi orang pertama sebagai pionir untuk mengajak teman, keluarga dan orang lain, dengan harapan untuk menngkatkan kualitas diri dan kualitas angsa ini. .
26. Gaya Hidup Bukanlah Segalanya
Istilah competence dan performance sering muncul berdampingan. Competence atau kompetensi berarti kemampuan dan performance berarti penampilan. Kompetensi adalah prilaku yang tidak terlihat yang dimiliki oleh seseorang, kompetensi atau kemampuan merupakan energi penggerak bagi seseorang dalam melakukan aktifitas. Sementara itu, performance atau penampilan adalah prilaku seseorang yang bisa dilihat. Penampilan seseorang, kualitasnya tergantung pada gaya hidup seseorang.
Kesadaran dan kepedulian orang terhadap keberadaan kompetensi cukup tinggi. Hampir semua orang tua mendorong anak-anak mereka agar memiliki kompetensi yang tinggi. Sejak usia bayi, anak dilatih berbicara agar memiliki kompetensi berkomunikasi dengan anggota/ anggota keluarga masyarakat. Kemudian melatih mereka dalam berhitung dan begerak agar memiliki kompetensi numerical (angka-angka) dan kompetensi kinestetik (gerak). Selanjutnya orang tua menyerahkan pendididikan anak ke mushola dan mesjid agar mereka memiliki kompetensi relijius atau kompetensi spiritual.
Sebenarnya cakupan kompetensi itu cukup luas. Dahulu anak yang cerdas atau kompeten kalau ia memiliki IQ (intelligent quotient) yang tinggi. Kemudian anak yang kompeten adalah anak yang memiliki kecerdasan berganda. Selanjutnya anak yang kompeten menurut Bobbi De Porter (dalam Zamroni, 2000: 131) adalah kalau mereka memiliki kecerdasan berganda dengan delapan kompetensi (kecerdasan) yaitu: kecerdasan space (mengenal ruangan), kinestik (gerak), music, intrapersonal (mengenal/ memahami pribadi sendiri), interpersonal (memahami pribadi orang lain), logika/ matematik dan verbal atau bahasa.
Sejak kecil hingga dewasa atau sejak sekolah di bangku SD hingga bangku SLTA atau bangku Universitas, setiap orang mungkin telah melalui puluhan kali test (ujian), apakah itu namanya ulangan harian, ulangan semester, ulangan umum, kemudian ujian nasional, ujian masuk sekolah, dan ujian masuk Perguruan Tinggi. Ujian atau ulangan itu semua berguna untuk menguji dan mengukur kompetensi yang dimiliki seseorang atas mata pelajaran atau mata ujian tertentu. Ada banyak guna ujian dalam kehidupan, seperti ujian untuk memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi), ujian untuk memperoleh sertifikat, kemudian ujian dalam sekolah, ujian dalam organisasi dan dalam klub-klub sosial- misal ujian untuk seleksi pertukaran pelajar antar negara.
Saat berusia muda, banya orang yang peduli dengan eksistensi kompetensi atau kemampuan. Tamat dari SMP banyak siswa yang mencari sekolah lanjutan yang menjanjikan bisa meningkatkan kompetensi akademik mereka. Ayah dan ibu juga sangat peduli untuk memilihkan sekolah terbaik buat anak-anak mereka. Malah tidak itu saja, atas nama untuk meningkatkan kompetensi maka banyak siswa yang setelah pulang sekolah buru buru untuk mengikuti bimbel (bimbingan belajar) dan kursus mata pelajaran yang lain. Sekali lagi bahwa itu semua mereka lakukan agar memiliki kompetensi akademik yang bagus.
Seiring dengan kata kompetensi, sekali lagi, ada kata performance atau penampilan. Banyak orang yang sejak kecil juga sangat peduli dengan eksistensi performance. Cakupan performance itu sendiri juga banyak, tergantung kepada paparan seseorang. Gadis kecil kelas satu atau kelas dua sekolah dasar,sebagai contoh, merengek minta dibelikan tas berwarna pink, celana jean, boneka Barbie dan pita rambut. Ini semua adalah demi penampilan atau gaya hidup yang ia mimpikan. Sementara itu seorang anak laki-laki kecil mendesak sang ayah agar membelikan mainan pistol, sepatu boot, topi, jaket untuk bisa bermimpi dan meniru penampilan toko kartunnya.
Performance atau gaya hidup seseorang memang berbeda berdasarkan selera. Gaya hidup juga memang bisa berbeda sesuai dengan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, latar belakang, kekuatan financial dan berdasarkan musim serta tempat tinggal. Gaya hidup dalam usia remaja tentu berbeda dari gaya hidup anak-anak dan orang dewasa. Remaja sangat sibuk memperhatikan penampilan fisiknya. Mereka, misalnya, sangat peduli dengan kondisi rambut, kulit dan kondisi tubuh. Mereka merasa sangat sedih dan risih kalau ternyata kondisi tubuh tidak ideal, misal merasa kegemukan, merasa kurus, merasa pendek, terlalu jangkung atau warna kulit beda dari teman.
Dalam usia ini mereka ingin terlihat serba ideal dan tidak ingin tampil terlalu berbeda dari kelompok mereka. Merasa merasa sedih kalau ternyata berbeda. “Mengapa papa ku miskin dan papa teman kaya, mengapa aku bodoh dan teman pintar, mengapa rumahku jelek dan rumah teman bagus, mengapa penampilan mamaku agak kampungan dan mama teman ceras dan cantik”.
Secara umum bahwa ada orang yang peduli dengan competence dan sekaligus dengan performance/ gaya hidup. Ada orang yang hanya peduli dengan competence dan ada yang hanya peduli dengan gaya hidup dan masa bodoh dengan urusan competence.
Salah seorang teman penulis, dua puluh lima tahun yang lalu, tergolong berotak encer. Hari hari diisi hanya dengan belajar melulu dan hampir masa bodoh dengan urusan gaya hidup. Teman-teman hanya mencari dan membutuhkannya saat menjelang ujian dan selepas itu seolah-olah ia dilupakan lagi. Ya itu karena ia kurang peduli dalam bergaya dan mengikuti trendy dalam bergaul.
Juga salah seorang (pria), yang tidak perlu disebut namanya, memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas. Ia sendiri telah menyelesaikan pendidikan post graduatenya di luar negeri namun ia tidak banyak peduli dengan persoalan gaya hidup atau penampilan. Sehingga saat diundang untuk berceramah dalam seminar dan ia datang dengan sepeda motor bebek. Ternyata peserta tidak banyak yang mendengar isi ceramahnya. Dan pada lain kesempatan ia pun diundang untuk berceramah ditempat lain, kali ini kebetulan ia datang/ diantar dengan mobil cadilac mengkilat. Ternyata peserta banyak yang memnyambutnya malah pengunjung membludak. Sungguh competence perlu diimbangi dengan penampilan/ gaya hidup.
Adalah suatu fenomena bahwa saat liburan panjang banyak orang yang mengadakan acara reuni. Begitu pula saat lebaran banyak orang mengadakan kegiatan halal bil halal. Mereka menyelenggarakan temu ramah, temu kangen atau silaturahmi dalam gedung atau tempat yang ditentukan. Ada teman teman penulis mengatakan bahwa ia mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan acara reuni saat melangkah ke dalam lokasi acara. Karena ia melihat penampilan teman-teman yang “serba wah”. Istri cantik, anak anak lincah dan lucu. Ia sendiri merasa penampilannya biasa-biasa saja. Sementara itu ditempat parkiran telah berjejer mobil mobil mewah. Sang teman sendiri sampai ke tempat acara hanya dengan menyewa ojek. “Wah aku batal untuk ikut acara reuni, soalnya teman-teman lama saya tidak level dengan saya mereka semua datang pake mobil mewah dan saya takut kalau sangat berbeda dengan mereka”.
“Wah jangan berfikian begitu dulu, kawan. Satu dua dari mereka memang punya mobil mewah milik mereka sendiri. Namun yang lain tentu sama saja dengan kita, mereka kan juga pegawai kecil dan pedagang kecil. Jangan terpedaya dengan penampilan mobil mewah, karena bisa jadi mobil mereka adalah mobil kreditan jangka lama dan mencicil untuk memaksakan gaya hidup. Dan yang lain bisa jadi mobil mewah mereka adalah mobil pinjaman dan mobil rental”. Memang benar, ada telpon dari hape teman mengatakan bahwa ia harus memperpanjang rentalan mobil buat tiga hari lagi. Wah lagi-lagi gaya hidup bisa jadi pelipur kehidupan.
Kadang kadang kita terlalu menomorsatukan gaya hidup dan mengabaikan kualitas. Malah ada yang berpendapat bahwa biar hidup susah di rantau orang namun bila pulang kampung pantang untuk memperlihatkan penampilan hidup yang susah. Maka bila musim mudik lebaran tiba, mereka membenahi gaya hidup, pinjam sana- pinjam sini (maaf) ada yang memakai perhiasan pinjaman atau perhiasan imitasi sehingga orang kampung tetap berdecak kagum memandang mereka sebagai orang yang sukses di rantau “wah enak ya di rantau..!”.
Kompeten memang penting untuk dimiliki dan gaya hidup juga penting. Melalui gaya hidup orang bisa memperlihatkan jati dirinya. Sebagian ada yang tampil dengan busana keagamaan, memberi isyarat bahwa mereka mengamalkan ajaran agama yang sempurna (tentu sangat bagus). Ada yang berpenampilan bahwa mereka adalah pencinta group musik metalika atau penggemar olahraga tertentu. Lewat penampilan mereka juga ingin menunjukan bahwa mereka adalah orang elite dan orang yang eksklusif.
Banyak orang yang juga peduli dengan kualitas diri (kompetensi diri). Hari hari mereka diisi dengan aktivitas belajar. Bila pulang ke rumah ya selalu membawa tas yang berisi banyak buku. Namun bila masa belajar usai- buku buku dilempar dan kebiasaan belajar banyak yang terhenti secara total. Buku hampir tidak tersentuh lagi. Majalah dan korang yang dibaca juga dipinjaman dari kantor atau dari tetangga. Mereka tidak butuh buku dan bahan bacaan lagi, namun mereka lebih peduli untuk mengejar gaya hidup.
Kaum pria dan wanita sama saja, mereka juga butuh gaya hidup. Ada para pria yang setiap kali duduk sibuk membahas tentang merek mobil atau berencana untuk ganti mobil. Para wanita sibuk membahas pernak pernik tentang penampilan rumah agar terlihat mewah. Sering percakapan di tempat kerja berubah total, bukan membahas tentang bagaimana menjadi pekerja yang professional namun bagaimana untuk meningkatkan gaya hidup.
Sebahagian orang gara-gara sibuk membicarakan tentang gaya hidup dan penampilan, namun hampir hampir tidak punya waktu untuk mengurus keluarga. “Tugas ku adalah memikirkan kesejahteraan dan penampilan rumah dan urusan pendidikan anak kan bisa diserahkan ke sekolah dan ke guru les mereka”.
Pedulilah dengan gaya gaya hidup atau penampilan, karena penampilan kita menjadi pandangan pertama bagi orang lain dalam menyukai atau tidak menyukai kita. Gaya hidup perlu diimbangi dengan kompetensi hidup. Bukankah setiap orang ingin terlihat cantik luar dan dalam. Namun kalau kita mengutamakan gaya hidup dan mengabaikan kualitas diri, maka ini adalah kesenjangan dalam diri. apa lagi demi mengejar gaya yang penuh pelipur atau fatamorgana. Cantik di luar saja, yang ideal adalah, sekali lagi, cantik luar dalam. Maka kejarlah gaya hidup dan kejar pula kualitas diri untuk kehidupan ini.
27. Sarjana Yang Rendah Hati
Dunia usaha selalu membutuhkan orang-orang yang cerdas. Orang-orang cerdas bisa jadi berasal dari keluarga cerdas dan sekolah yang hebat. Seseorang mungkin berfikir bahwa sekolah yang hebat mampu menghasilkan siswa yang hebat atau cerdas karena sekolah tersebut memiliki standard disiplin yang tinggi, guru yang tegas, berwibawa dan mahal senyum, sementara fokus aktivitas siswanya adalah selalu belajar dan berlatih. Namun dalam kenyataan bahwa kondisi pembelajaran di sekolah yang hebat, bukanlah demikian (?).
Pengalaman saat mengunjungi sekolah- sekolah berkualitas- sekolah unggulan, dengan uang sekolahnya sangat mahal- dijumpai kondisi sekolahnya yang begitu harmonis dan damai, hubungan antara guru-siswa yang rileks, berinteraksi melalui bahasa yang lembut dan santun. Sementara staff dan kepala sekolah tidak pernah memperlihatkan karakter yang berlebihan- dingin dan arrogant. Sebaliknya ada sekolah yang dipromosikan sebagai sekolah- lembaga pendidikan yang berkualitas- menerapkan disiplin yang hebat- ketat dan kaku- dalam kenyataan populasi siswanya merosot terus.
Pemilihan ketua osis (organisasi intra sekolah) yang dicampuri oleh kekuasaan sekolah biasanya akan memilih ketua osis yang yang cerdas namun dipandang berkarakter arrogant dan suka mengatur oleh sebahagian anggotanya. Demilkian pula dalam pemilihan Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan pemilihan Gubernur yang dipengaruhi oleh kekuatan dari atas biasanya juga akan memilih tokoh yang hebat dalam berpidato, namun berkarakter otoriter, arrogant dan suka mengatur. Sebaliknya pemilihan tokoh (ketua osis, Kepala Desa, Wali Nagari, Bupati/ Wali Kota dan Gubernur) yang dipilih oleh anggota/ rakyat, mereka akan memilih tokoh/ figure yang cerdas atau hebat namun rendah hati.
“Pilihlah orang yang cerdas dan rendah hati..!” Fenomena ini juga terjadi dalam dunia usaha/ dunia kerja: perusahaan swasta, dan BUMN. Ada salah seorang sarjana lulusan Universitas di daerah bisa memperoleh posisi pekerjaan di perusahaan yang bergengsi di ibu kota (Jakarta). “Mengapa anda bisa memperoleh pekerjaan dengan posisi yang bagus di metro politan dan mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan hebat seperti UI, ITB, IPB, UNPAD, Gajah Mada, dan lain-lain ?” Dia menjawabnya bahwa keunggulannya yang dinyatakan selama wawancara- ia dinyatakan sebagai sarjana berkualitas yang rendah hati. Kalau ini menjadi fenomena maka sarjana cerdas namun berkarakter angkuh, arrogant, otoriter dan egoist akan tidak laku dalam dunia kerja. Namun apakah banyak mahasiswa dan para sarjana yang tahu dengan fenomena ini ? Bisa jadi “ya” dan bisa jadi “tidak”.
Sampai detik ini, cukup banyak orang tua yang memasung anak di rumah atas nama pendidikan atau kasih sayang. Mereka hanya memaksa dan memotivasi anak sekedar belajar dan mengikuti berbagai macam kursus mata pelajaran. Namun mereka tidak diberi pengalaman tentang kecakapan hidup- mengikuti kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan di luar rumah lainnya, karena dianggap sebagai buang-buang waktu dan mengganggu pelajaran. Pada akhirnya anak memang tumbuh jadi cerdas secara akademik namun mereka kurang memilki kepekaan sosial- cuek, acuh dan masa bodoh terhadap sesama.
Begitu pula dengan kodisi pembelajaran di banyak sekolah. Para guru mungkin sekedar mengejar pencapaian kurikulum. Menghardik, membentak dan mengancam agar siswa bisa tertib dan mengikuti disiplin. Ini merupakan suasana belajar dengan guru-guru yang bergaya otoriter. Dalam kenyataan bahwa gaya belajar yang memaksa, menggertak, mendikte, mengejek bisa berpotensi dalam mematikan motivasi dan semangat belajar anak didik.
Namun, saat sarjana cerdas yang rendah hati, menjadi fenomena di dunia. Orang cerdas yang rendah hati lebih disukai dari pada mereka yang cerdas namun sombong, arrogant, dan tinggi hati. Maka kini masyarakat- guru dan orang tua perlu untuk meresponnya dalam praktek edukasi di rumah dan di sekolah.
Program belajar yang diyakini bisa membuat anak bisa jadi cerdas namun rendah hati selalu diminati. Learning center yang bisa membantu anak jadi cerdas dan rendah hati juga menjadi ngetrend, walau biaya belajarnya mahal- selalu diserbu.
Ada learning center sebagai tempat belajar dan bermain, yang merancang program belajar dan bermain agar anak tumbuh cerdas dan peka terhadap sosial (www.playhousedisney-asia.com) menawarkan aktivitas seperti :let your preschooler get a headstart through fun learning in the world filled with discovery and imagination on play house, designed for kids- fun learning in a world. Tentu saja aktivitas ini berada di tempat belajar yang menyenangkan- membuat anak cerdas namun rendah hati- adalah dengan menyediakan sarana belajar dan bermain dalam kelompok teman sebaya. Di sana mereka ditemani oleh guru yang berkarakter penyayang- menyayangi dan membimbing anak-anak untuk melakukan discovery (penemuan).
Sarana belajar yang berorientasi discovery tidak perlu serba mahal. Sarana belajarnya bisa jadi berupa tanah, pasir, kerikil, rumput, serangga, hewan kecil, balok-balok, cangkul kecil, bangku kecil, pisau tumpul, dan lain-lain yang bisa digenggam oleh tangan kecil dan mengoperasikannya. Yang penting di sana tidak ada suasana menakutkan- gertakan, kemarahan guru/ orang tua, penekanan dan permusuhan. Namun yang ada musti suasana pencarian, kebersamaan, semangat eksplorasi yang diperkaya dengan pujian dan pompa semangat.
Mushola dan surau juga bisa menjadi learning center di daerah perumahaan- untuk menciptakan anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Kegiatan didikan subuh, dimana ada anak yang bertanggung jawab sebagai protokol, pembaca do’a, pembaca ayat/ bacaan sholat, juz amma, zikir dan kultum (kuliah tujuh menit) yang mengkondisikan mereka tampil di depan sesamanya. Ini cukup ampuh untuk membuat mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi. Selanjutnya bahwa musholla dan surau juga bisa efektif sebagai learning centre untuk daerah perumahan apabila di sana juga ada kegiatan reading society, kesenian dan olah raga.
Kini apalagi ? Ya, orang tua yang berkarakter cerewet, pemarah, dan suka menekan dalam mendidik sudah tidak zamannya lagi. Juga sudah tidak zamannya lagi bagi guru yang cuma mendidik sekedar membayar tugas. Lebih peduli terhadap kerapian dan kelengkapan administrasi/ RPP namun tidak berkarakter kreatif dan inovatif sebagai seorang guru. Apalagi bila mereka miskin dengan pengalaman paedagogi, wawasan dan informasi, serta lfe skill.
How to do and what to do ? Sri wahyudi, salah seorang murid penulis ketika belajar di SMA, adalah cuma seorang anak pedagang es keliling yang selalu meningkatkan kualitas percaya diri. Ia ikut tampil dan ikut berbicara di depan teman-teman. Kesempatan seperti itu bisa meningkatkan rasa percaya diri. Di rumah ia juga ikut meringankan kerja orang tua. Ia juga ikut bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak tetangga- berendam air, main lumpur, mencari serangga, mengembara di sawah, namun juga serius dalam belajar dan membaca. Ia mencoba untuk berdialog dengan banyak orang dan mengunjungi banyak tempat. Setelah tamat kuliah, maka ia menjadi sarjana yang rendah, mengikuti kompetisi bursa kerja dan segera mrmperoleh posisi kerja yang cukup punya gengsi.
Dari pengalaman hidup kita ketahui bahwa orang-orang cerdas yang rendah hati bukanlah orang yang memperoleh pendidikan secara karbitan. Namun mereka adalah orang yang tumbuh dari tempaan pengalaman hidup yang kaya variasinya. Mereka ikut bersosial, beribadah, meringankan beban hidup orang tua, peduli dengan aktivitas tetangga dan tidak gengsi gengsian dalam bekerja. Sarjana- orang cerdas- yang rendah hati adalah orang yang pas dengan karakter bangsa ini.
28. Karakter Hebat Untuk Prestasi Besar
Ternyata orang-orang hebat tidak hanyak datang dari benua Eropa atau Amerika, atau tidak hanya datang dari Jepang atau Australia, namun juga bisa berasal dari Indonesia. Barangkali orang hebat tersebut bisa jadi kita sendiri. Markis Kido dan Hendra Setiawan (Bobo, tahun XXXVI, 11 September 2008) misalnya adalah dua tokoh berusia sangat muda berasal dari Indonesia. Mereka begitu kompak meraih medali emas pada olimpiade Beijing melalui olah raga bulu tangkis.
Untuk mampu meraih prestasi hebat, apalagi untuk tingkat dunia, tentu tidaklah mudah. Semua harus melalui perjuangan yang berat dan hebat. Mereka harus melewati hadangan permainan dunia yang lain, yang juga sangat hebat dan tidak terkalahkan. Bagi Markis Kido dan Hendra Setiawan, saat meraih juara dunia, usia mereka barus berkisar 23 dan 24 tahun. Tentu titik awal sukses pada usia tersebut telah mereka rintis sejak dini. Mungkin pada masa anak-anak atau pada masa remaja- yaitu usia belajar di SD atau di SMP. Di mana pada masa anak-anak lain banyak bermanja-manja atau berhura-hura, mereka tekun merintis mimpi mereka. Yaitu berlatih dengan tingkat porsi belajar/ berlatih/ berkarya yang juga hebat untuk menuju prestasi yang besar.
Dalam kenyataan bahwa orang Indonesia juga mampu meraih juara dunia dalam usia yang relatif muda. Gita Gutawa yang saat itu berusia 14 tahun (Nurhayati, 2008: 2-3) mengikuti festival music pada Nile Song Festival yang berlangsung di Cairo mampu mendapat penghargaan Grand Prix winner- penghargaan tertinggi. Ia juga mendapatkan predikat terbaik dari seluruh kelompok peserta hingga meraih juara umum. Ini merupakan seleksi dari 85 negara. Tim juri juga mengatakan bahwa mereka belum pernah menemukan penyanyi usia remaja yang berkualitas seperti Gita.
Prestasi besar yang ia peroleh sebagai juara dunia bukan terjadi secara kebetulan. Prestasi tersebut diraih bukan secara instant- “sekarang berlatih, besok juara”- atau prestasi yang ia peroleh juga tidak jatuh dari langit. Namun ia peroleh melalui serangkaian persiapan dan proses yang hebat.
Dunia musik bukanlah hal yang baru bagi Gita. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan pemusik. Faktor lingkungan sangat menentukan keberhasilan bagi seseorang. Ketika duduk di kelas 2 Sekolah Dasar, ia sudah mulai belajar bermain piano klasik. Ia juga memperkuat ilmu musiknya dengan mempelajari music jazz, bahkan melengkapi dengan mengikuti privat piano dan gitar. Dukungan orang tua juga menentukan. sejak kecil orang tuanya menanamkan sistem belajar yang mandiri dan bekerja juga mandiri. Ia bukan tipe anak manja.
Tulisan ini tidak terfokus tentang juara dunia asal Indonesia, tetapi tentang bagaimana seseorang bisa meraih prestasi level dunia. Ada artikel yang membahas tentang karakter yang perlu dimiliki bila seseorang ingin berprestasi yang hebat- ya seperti prestasi untuk level dunia (http://arifperdana.wordpress.com). Artikel tersebut menjelaskan bahwa tokoh olah raga yang ngetop di tahun 1970-an dan 1980-an, yaitu Muhammad Ali, adalah jago tinju sejati sedunia. Itu karena ia berkali-kali menang adu tinju kelas dunia. Kemudian Joe Girad adalah jago jual sedunia- world class achiever- karena selama 12 tahun berturut turut ia berhasil menjual puluhan ribu mobil sedunia.
Ia juga tokoh hebat, namun dalam dunia bisnis, yang bisa disejajarkan dengan Rudy Hartono (pemain bulu tangkis), Karpov (jago catur), Pele (jago sepak bola). Pengalaman Joe Girad menjadi jago dunia tentu karena ia memiliki karakter hebat. Karakter hebat ini mungkin bagus untuk disadur.
Paling kurang ada sepuluh karakter hebat atau karakter positif yang dimiliki oleh seseorang yang berprestasi hebat tersebut. Karakter tersebut adalah seperti memiliki tekad baja, memiliki visi dalam berkarya, berkarakter tekun dan tabah, selalu berfikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan dalam relasi antar manusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten.
Siapa saja bisa berhasil apalagi sampai pada level dunia. Untuk itu ada beberapa kebiasaan negative yang perlu diusir yaitu mengatasi rasa malas, rasa takut, keterbatasan pengetahuan, dan keterbatasan relasi dengan manusia lain. Bahwa adakalanya orang yang berprestasi level dunia tidak lulus SMA dan bearasal dari keluarga yang miskin. Namun mereka punya tekad atau motivasi untuk berhasil dan berjuang untuk melawan kelemahan diri dengan mencari banyak pengalaman. .
Untuk meraih sukses ternyata perlu mimpi atau visi. Visi tentu mempunyai manfaat. Manfaat terbesar dari visi adalah untuk memberi arah dan tuntutan. Dengan demikian upaya dan kegiatan menjadi efektif dan sekaligus juga efissien. Orang yang tidak punya visi tentu akan gampang teralihkan dan kemudian terombang ambing. Sebahagian remaja sekarang ada yang belum punya visi, sehingga mereka bingung tentang aktivitas apa yang akan mereka tekuni di masa depan. Kalau demikian bahwa visi sangat perlu untuk dimiliki.
Menjadi orang yang sukses, apalagi untuk level dunia, musti memiliki karakter tekun dan tabah. Bayangkan andai Zidane tiba-tiba malas berlatih bola kaki atau Lance Amstrong malas latihan balap, mereka tentu tidak akan jadi juara dunia. Bertekun dalam mengerjakan sesuatu tentu memerlukan pengorbanan. World class achiever sangat memahami arti ketekunan ini. Menunda sebuah pekerjaan yang penting demi nonton filem adalah contoh ketidak tekunan.
Kemudian mereka juga perlu memiliki fikiran positif. Fikiran positif adalah sikap dasar yang harus dipertahankan. Sikap positif tentu berasal dari fikiran yang positif. Mereka perlu berfikir bahwa bekerja itu sehat, kejujuran adalah modal hidup, komitmen sangat diperlukan dalam kerja, kerjasama dan ketabahan sangat penting dan juga perlu memiliki sikap pemaaf. Poin-poin yang kita sebutkan tadi adalah bagian dari karakter positif untuk memperkuat pikiran positif. Selalu berfikir positif dapat menyehatkan jiwa menjadi pribadi yang positif.
Para jago dunia dan orang-orang sukses selalu bersemangat dan antusias. Antusias sendiri berarti “kegairahan, semangat yang besar dan kegembiraan yang besar (Echols dan Shadilly, 2006). Gaya bersemangat dan antusia dari Joe Girard terlihat saat ia memberikan seminar. Ia berlari, melompat dan berteriak. Suaranya melengking, bergetar dan membahana. Lain kali suaranya mengecil dan berbisik sambil menangis. Ia berbicara dengan hati dan emosinya. Tentu saja tiap orang punya karakter antusias dan semangat yang berbeda. Namun paparan karakter tadi adalah deskripsi emosi antusia dari Joe Girard.
Jago dunia yang bergerak dalam bidang bisnis, seperti pemiliki merek dagang Philip, Samsung, Carrefour, Pizaa Hut, dan lain-lain mutlak perlu berhubungan dengan banyak orang. Semakin maju bisnis mereka maka semakin banyak mereka harus berhubungan dengan orang lain. Pemilik merek dagang yang kita sebutkan tadi tentu telah melayani puluhan atau ratusan juta orang di dunia. Dapat ditebak bahwa kunci sukses mereka dalam bisnis karena mampu menangi kebutuhan manusia. Tentu mereka harus mengiklan diri dan menjumpai banyak orang, mendengar keluhan dan memperkecil keluhan tadi. Prinsip human relation mereka adalah mereka menyukai orang dengan sungguh-sungguh. – love customers honestly, genuinely and sincerely.
Jangan biarkan otak ngawur atau blank. Karena sukses level dunia harus kreatif otaknya. Menjadi jago dunia tentu dambaan banyak orang. Untuk itu mereka musti punya energi, semangat, antusias, keterampilan dan percaya diri yang gede. Bila ini sudah dimiliki namun belum punya strategi maka akan sia-sia. Strategi adalah tugasnya otak yang kreatif atau kognitif yang kreartif. Ide-ide yang baru berasal dari otak yang kreatif- yang kaya dengan imajinasi. Otak yang kreatif tidak mutlak monopoli dari pendidikan formal atau dari universitas. Otak yang kreatif tergantung kepada pemilik otak tersebut dalam merawat dan menumbuhkan kembangkan kekuatan imajinasi dan keberanian.
Juga perlu diingat bahwa kejujuran adalah kunci suskses. Ada orang yang beranggapan bahwa kejujuran itu tidak penting, namun begitu seseorang tahu bahwa ia telah dibohongi maka pelaku kecurangan (orang yang tidak jujur tadi akan ditinggalkan). Kejujuran adalah landasan kepercayaan dan kepercayaan adalah basis dari hubungan baik. Selanjutnya hubungan baik sarana dalam berbisnis. Maka kalau ingin berbisnis yang selalu langgeng maka kita perlu berlaku jujur pada pelanggan.
Ada pribahasa berbunyi : hewan diikat dengan tali dan manusia diikat dengan kata. Manusia diikat dengan kata berarti bahwa kata-kata sebagai alat berkomunikasi itu sangat penting. Menjadi sukses untuk level apa saja- apalagi untuk level nasional dan level dunia maka perlu memiliki kemampuan berkomunikasi. Orang yang ingin sukses tidak perlu pasif dalam berkomunikasi- dengan arti kata harus mampu berkomunikasi. Musti aktif bertanya, aktif menyapa, aktif memuji, aktif mensugesti dan aktif mendengar akhirnya kita terbawa aktif. Tidak hanya menggunakan mulut, tapi juga bahasa tubuh, mata, tangan dan senyuman. Pokonya musti menjadi orang yang aktif, positif dan dinamis dalam berkomunikasi. Rasa takut dan jarak antar manusia tidak perlu ada dalam berkomunikasi. Namun yang perlu ada adalah suasana fun- menyenangkan- ada rasa menerima, menyenangi dan mendengar dengan siapa kita berkomunikasi. Kalau begitu orang jago musti pintar mengkomunikasikan isi hati dan isi fikiran kepada teman bicaranya.
Terakhir bahwa orang yang ingin menjadi jago atau suksesd perlu mempunyai karakter konsisten. Kalau aktif dalam bidang bisnis dan berhubungan dengan orang banyak maka mereka harus bersikap ramah, baik, melayani, menolong, memberi perhatian, menghormati dan berusaha memuaskan klien. Tentang hal ini sudah diketahui oleh banyak orang. Tapi mereka hanya sebatas tahu saja- idealnya menerapkan secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Ya benar bahwa untuk meraih prestasi hebat maka dibutuhkan persiapan besar. Orang hebat tidak mutlak monopoli dari benua Eropa dan Amerika, atau juga bukan monopoli Negara maju atau lembaga pendidikan yang maju. Siapa saja bisa jadi jago atau sukses. Untuk menjadi jago maka perlu persiapan, latihan dan proses usaha yang posrsinya cukup besar. Mereka perlu lingkungan kondusif- yang memberikan rangsangan dan tantangan serta dukungan dari guru dan orang tua. Selanjutnya mereka perlu memiliki karakter dan sikap positif seperti memiliki tekad baja, memiliki visi dalam berkarya, berkarakter tekun dan tabah, selalu berfikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan dalam relasi antar manusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten.
29. Bersikap Realita
Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik juga mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi negara berkembang, termasuk negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
Gaya pendidikan atau pembelajaran kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang yang tidak jelas manfaatnya. Kebiasaan banyak melarang malah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil inisiatif atau prakarsa, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita gagap untuk melakukan prakarsa (inisiatif) dalam suatu aktifitas dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur oleh orang lain, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Maka kini saatnya perlu perubahan. Dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif. Bagaimana pembelajaran yang ideal ? Kita bisa mencari contoh dari sekolah yang maju dari dalam negeri atau dari luar negeri, Amerika misalnya. Bukan berarti kita berkarakter ke-Barat-baratan.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org), yang kebijakan pendidikan membuat sekolah punya magnet/ daya tarik untuk studi global dan internasional. Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada siswa untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
Ciri- ciri keunggulan pertama dalam pembelajaran di sekolah MLC (Metropolitan Learning Center) yang berlokasi di 1551 Blue Hills Avenue Bloomfield, adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di negara- negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik disana cendrung terbelenggu, kurang tampak saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara- teacher centered. Dalam event-event sekolah anak didik cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan, dan melupakannya setelah itu.
Kepemimpinan di sekolah unggulan MLC ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepemimpinan dan manajemen sekolah selalu memotivasi, memberi model dan menemani warga sekolah/ anak didik untuk merencanakan masa depan. Bukankah hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, maka setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah tersebut memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan (kualitas rendah) yang menjadi ciri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang (anggota mereka sendiri) untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bisa sukses. Mereka sangat yakin dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah berkah yang bisa datang kalau digapai dan dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional dalam belajar- jadi juga ada “siswa professional”. Begitu waktu untuk belajar datang maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan dating dulu”.
Sekolah SMA di negeri kita mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang tua siswa dan siswa sendiri sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA MLC ini pada core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada primadona kelas atau jurusan fovarite seperti SMA- SMA yang ada di negeri kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan atau elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, musik, latihan sains, bahasa dunia, dan seminar. Setiap siswa memahami bagaimana menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) adalah dengan menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan tadi ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Mata pelajaran pokok yang ada pada core class juga dipelajari di jurusan lain. Selanjutnya coba kita lihat mata pelajaran dalam juruan di SMA di negerim kita. Ya, ibarat tiga linggaran yang hampir tidak bersinggungan. ”Gara gara dilemparkan ke dalam jurusan ilmu sosial, maka ada siswa yang bermohon nilai mata pelajaranya diturunkan saja agar tidak melampaui nilai mata pelajaran sains” Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu sosial atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang berkarakter arrogant, atau arrogant berjamaah- mass arrogant, mereka sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi. Hubungan guru dan murid di sana bercirikan kekeluargaan. Siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan dalam berinteraksi.
Kalau begitu tentu tidak ada disana guru-guru yang kualitasnya bersifat karbitan atau guru-guru yang ilmunya tua semalam dari siswa. Guru guru disana telah memandang karir guru sebagai profesi serius. Guru guru di sana tidak mengenal budaya minta dilayani, ”tolong hapuskan papan tulis, tolong isikan tinta board maker ini, tolong pasangkan kabel OHP (overheard projektor), tolong ambilkan ambilkan air minum di kantin, apalagi sampaii menyuruh siswa membelikan rokok”. Guru disana penuh persiapan dan menguasai apa saja yang berhubungan dengan pembelajaran dan mata pelajaran. Mereka tentu malu kalau ternyata tampil di depan siswa sebagai guru yang blo-on.
Selain memperhatikan kompetence, punya wawsan keilmuan, paedagogi, sosial dan komunikasi, mereka juga memperhatikan performance atau penampilan. Pakaian mereka necis dan rapi, kalau begitu guru guru juga perlu well-groomed, berdandan rapi dan baik, tapi tidak perlu seperti model, bintang sinetron atau toko-mas berjalan.
Ciri lain dalam pembelajaran di sekolah yang maju adalah let them teach, yaitu guru- guru yang bebas berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka tak perlu takut bakal disupervisi, karena supervisi disana tidak mencari kesalahan apalagi sampai menggurui dan mendikte. Di sana tidak berlaku istilah juara kelas, yang ada adalah juara mata pelajaran. Bagi siswa yang jago dalam satu mata pelajaran maka guru dan sekolah segera bereaksi untuk memberikan penghagaan dan merayakan kemenangan dan sekaligus memotivasi siwa yang lain agar juga bisa meraih penghargaan.
Budaya kuper atau ”kurang pergaulan” ternyata bukan budaya siswa di sekolah unggulan atau di negara maju. Untuk itu mereka megenal istilah ”let them join” atau ayo bergabung. Mereka mungkin bergabung ke dalam paduan suara, musik, olah raga, teknologi dan kegiatan ekstra sekolah yang lain. Tentu saja ada guru pendamping untuk memberi motivasi dan mendukung spirit mereka.
Experience is the best teacher- pengalaman adalah guru yang terbaik. Sekolah MLC juga menyediakan kegiata eksra seperti kelompok olah raga catur, kelompok pencinta alam, music production, penggunaan ICT, essay writing, basket ball dan football, sewing atau menjahit, kegiatan koran sekolah, kelompok dansa atau tari, pelatihan kepemimpinan. Ternyata jenis ektra sekolah hanya berlaku untuk satu semester dalam setahun. Untuk semester berikutnya ada lagi kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) seperti pembahasan atau kritik film, klub bahasa Perancis, kritik film asing, basketball dan softball, musik, drama, tari, belajar bahasa Cina dan Jepang, kepemimpinan, dan pencinta alam.
Ternyata anak anak di negara maju tidak membudayakan menjadi “anak rumahan”, yaitu bila libur mereka hanya di rumah, karena ini berpotensi membat diri kurang kreatif dan pendidikan kecakapan hidup (life skill) kurang optimal. Saat waktu senggang dari sekolah, mereka tidak kongkow-kongkow, main domino, atau bengong dan bermenung sampai berjam-jam. Mereka akan ikut aktif dalam pengembangan bakat seperti masuk grup seni, klub- olahraga ski atau klub robot, pokoknya ikut beraktifitas. Dalam melakukan aktifitas dan belajar, mereka memperlihatkan keseriusan dan tanggung jawab serta datang tepat waktu.
Hal-hal yang dilakukan siswa di sekolah MLC tiap hari, sebagai komitmen mereka, adalah mematikan bunyi-bunyian (HP dan MP3) saat belajar, akrab dalam bersahabat, berhenti ngobrol saat belajar, tidak bercanda saat belajar, mendengar pembelajaran dengan sepenuh hati, sign in dan sign out, atau ada absent masuk dan absent mengakhiri kegiatan, membuat tekat atau pledge “untuk menjadi yang terbaik” dan ikut aktif atau berpatisipasi dalam belajar/ kegiatan.
Kegiatan atau event yang ada di sekolah unggulan adalah bahwa siswa harus peduli pada karir di masa depan. Maka bila ada pekan raya karir, career fair, mereka ikut hadir. Mereka memandang penting untuk bergabung dalam kegiatan kepemimpinan, kegiatan, amal sosial, seni dan olah raga. Hal yang paling mereka tunggu adalah memperoleh pengalaman dari global travel, mengunjungi negara lain seperti, Mesir, Jepang, China, dan negara lain. Tentu saja hal ini terasa sangat mahal dan ekslusif bagi kondisi siswa kita. Namun kita kan juga sudah membudayakan acara jalan-jalan- study tour, walau kesannya baru sebatas mengunjungi shopping center dan pusat keramaian.
Teakhir bahwa yang juga dibudayakan di sekolah unggulan adalah membuat album dan memori. Sungguh para siswa di sekolah yang berbudaya maju menyebut diri sebagai “realtor”, orang yang berfikiran nyata dan bukan selalu menjadi dreamer atau pemimpi. Maka sejak di bangku SMP dan SMA mereka sudah punya rencana, bukan seperti kita yang banyak bingung memandang masa depan, dan ikut terjebak mengidolakan satu karir, dan satu universitas, tanpa memahami dan mengenal potensi diri. Sering banyak ditanya ”Tamat SMA kamu kuliah dimana ? dan kalau udah gede apa yang dapat kamu kerjakan ?”. Maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban klasik ”I don’t know”. Kini saatnya siswa kita tidak menjadi dreamer tapi berubah menjadi realtor”.
30. Mental Yang Sehat
Banyak orang merasa hidup kurang beruntung. Mereka merasakan dunia ini tidak indah- terasa suram, sempit dan kurang berpihak kepada mereka. Hal ini terjadi gara-gara mereka dibesarkan di rumah- di lingkungan- dengan orang tua (keluarga) yang mengasuh anak tanpa memberikan rasa aman dan rasa tenang. Suasana ramah tamah dan komunikasi yang penuh dengan kelembutan menjadi sesuatu yang mahal untuk diperoleh.
Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua (juga pengganti orang tua) yang bersifat kaku- banyak menonjolkan unsur kekerasan dan amarah- sangat berpotensi menjadikan anak sebagai manusia yang pribadi kacau balau. Karakter mereka juga bisa jadi kasar, emosional, beringas, mahal senyum- hingga juga cenderung menjadi skizoprenia (pribadi yang terbelah) atau juga disebut dengan gila.
Perubahan pola asuh yang dilalui seseorang dalam hidupnya, terutama selama masa anak-anak dan remaja- yang begitu kontra sangat berpotensi melahirkan mentality-shocked (kejutan mental) pada diri seseorang. Hendro mengalami mentality shocked saat masih berusia muda. Itu gara-gara perobahan pola asuh. Betapa sebelumnya ia merasa bahagia karena dibesarkan oleh ibunya sendiri yang penyabar dan lembut. Ibunya sendiri punya karakter sangat pencemas dan berprasangka bahwa lingkungan bisa menjadi sumber kerusakan moral bagi anaknya.
Sang ibu khawatir kalau Hendro menjadi anak nakal/ bandel. Maka mulailah ia memberikan sejumlah larangan. “Tidak boleh menonton film sembarangan dan acara TV yang dipandang jorok, tidak boleh bergaul dengan anak tetangga, tidak boleh pulang terlambat, tidak boleh berbohong”. Jadinya aktivitas Hendro hanya terfokus di dalam rumah semata.
Suatu ketika musibah datang. Ibu tercintanya terkena serangan jantung dan meninggal. Untuk selanjutnya, Hendro pindah ke dalam asuhan Bude (kakak mama), seorang janda dengan enam orang anak. Ia berkarakter tegas. Apakah si kecil Hendro bisa beradaptasi dengan pola asuh bude yang sangat kontra dengan ibunya sendiri ?
Selama tinggal bersama Bude, Hendra hampir tidak pernah memperoleh senyuman, kelembutan kata-kata dan juga kesempatan bertutur kata- berbagi cerita dengan siapa saja dalam rumah. Barangkali karena beban hidup yang pelik dan anak-anak yang banyak membuat Budenya juga sulit untuk tersenyum dan beramah tamah. Lengkap sudah Bude menjadi figur ibu pengganti yang kaku dan dingin.
Gaya komunikasi (gaya bahasa) Bude dengan Hendro cukup kaku, hanya sebatas memberi perintah dan larangan. “Selama tinggal di rumah ini, tugas kamu adalah ini…, ini… dan ini…,(membersihkan kamar mandi, menjaga air bak mandi tetap penuh dan juga menjaga pekarangan rumah bebas sampah sepanjang hari), kemudian kamu dilarang melakukan ini ….dan itu…” Usai melaksanakan tugas yang diberikan Bude, maka Hendro mengurung diri dalam kamar. Ia tidak berani untuk banyak ngobrol dengan Bude yang mudah galak (pemarah). Sementara itu ia kurang punya pengalaman dalam pergaulan.
Hari-hari terasa panjang. Hendro menyibukan diri dengan membaca dan dengan fikirannya sendiri. Di sekolah, ia juga tidak punya teman akrab. Ia malah cenderung menyendiri, ini disebabkan karena kurang mengenal seni bergaul yang baik.
Hendro hanya mampu bertahan hidup bersama budenya dengan fikiran normal selama tiga tahun. Tahun keempat ia terlihat depresi. Ia tidak mampu lagi menatap wajah orang, kalau dilihat maka ia mengalihkan pandangannya atau berjalan merunduk. Selanjutnya ia menjadi acuh terhadap penampilannya, rambut awut-awutan, muka jerawatan dan gigi tidak terurus. Barangkali itulah awal gejala skizoprenia- alias pribadi yang terbelah.
Kemudian ada figur yang bernama Gope. Ia lebih beruntung karena tinggal bersama kakak-adik dan ke-dua orang tuanya. Ia dibesarkan oleh orang tua sendiri, namun mengapa ia bisa jadi depressi ?
Sejak kecil hingga akhir masa remaja, Gope terlihat normal seperti halnya anak-anak lain. Ia bisa bergaul secara normal di sekolah dan di rumah. Ia mengikuti kegiatan sepak bola dan ikut bergabung dengan klub sepak bola. Namun dalam hal berkomunikasi, Gope cuma bertutur kata/ berbagi cerita dengan teman-teman sebaya. Di rumah sendiri ia memilih banyak diam. Itu karena kakak dan kedua orang tuanya tidak mengembangkan pola kebersamaan. Di rumah jarang terjadi canda dan tawa. Yang ada malah suasana marah dan bahasa yang bernada memerintah dan melarang. Kakak-kakak cuek dan ibu bapa berkarakter masa bodoh. Pola komunikasi di rumah memang terasa kaku dan dingin.
Gope tidak memiliki cita-cita di masa depan. Tamat dari SMA ia mengalami kebingungan dan tidak tahu dengan siapa harus berbagi rasa- curhat. “Dengan kakak, takut diejek dan dengan orang tua juga tidak ada respon”. Mereka juga tidak mengerti dengan hakekat masa depan. Jadilah Gope beranjak dewasa tanpa cita-cita, selanjutnya ia membenamkan diri dalam kamar. Masa depannya suram, diri terasa tidak berguna dan emosinya mudah meledak. Gope mengalami putus asa, stressed dan depresi dan butuh pil penenang setiap saat. .
Zamri dan Yung Tenek, dua orang anak muda yang tumbuh dengan kondisi mental porak pranda sebelum dijemput oleh kematian dalam usia sangat muda. Derita kemiskinan yang dialami oleh orang tua mendorong Zamri untuk memilih sekolah SMK sebagai jalan pintas, dengan harapan pendidikan bisa cepat selesai dan cepat pula dalam memperoleh pekerjaan. Itu berarti cepat pula ia untuk bisa berbakti kepada orang tua.
Zamri menjadi anak yang sangat diharapkan orang tua agar bisa mengubah hidup. Ternyata Zamri yang miskin dengan pengalaman hidup dan pengetahuan yang tidak memadai merasa terbebani oleh harapan orang tua yang sangat berlebihan. Zamri hanya mampu bermimpi dan berandai-andai. Sekali lagi bahwa ia sendiri tidak punya banyak pengalaman hidup- life skill- untuk mewarnai kehidupan ini. Zamri merasa bahwa sekolah hanya bisa memberi mimpi dengan segudang teori dan bukan solusi.
Tamat dari SMK, Zamri mencoba untuk mengadu untung di metropolitan. Dengan modal nekad dan selembar ijazah, ia berangkat menuju ibu kota. Ia terdampar dan tidak tahu untuk berbuat apa maka ia dipulangkan oleh Dinas Sosial ke kampung halaman. Merasa hidup gagal dan juga kepribadian yang lemah membuat zamri jadi depresi, kesehatan yang memburuk terus membuatnya menutup mata di usia muda.
Hal yang sama juga dialami oleh Yung Tenek. Ia anak yang tumbuh ibarat rumput liar- tumbuh sendiri dan tidak banyak memperoleh sentuhan lembut orang tua dan sanak saudara. Peran orang tua hanya sebagai pemberi makan, minuman dan pakaian. Tidak begitu peduli tentang urusan pendidikan. Bila ia melakukan kesalah sebagai seorang anak kecil- berkata jorok dan mencuri hal hal kecil milik saudaranya, maka Yung Tenek segera memperoleh corporal punishment- hukuman fisik- seperti tendangan, pukulan dan cambukan.
Bisa jadi ayahnya salah memahami pribahasa yang berbunyi ”saya dengan kampung ditinggalkan dan sayang dengan anak dilecuti”. Atau orang tuanya pernah berteori bahwa supaya karakter anak tidak menjadi-jadi maka ia perlu disakiti. Cara mendidik/ pola pengasuhan yang demikian membuat Yung Tenek merasa “tidak ada rasa aman dan rasa damai di rumah lagi”.
Pola asuh yang keras dan kasar terjadi karena gaya kepemimpinan orang tua yang otoriter, berpotensi membuat anak berkarakter keras dan jahat, Yung Tenek agaknya juga berkarakter agresif terhadap teman-teman. Pada akhir masa remaja, ia merasa kesepian. Teman-teman sebaya sudah pergi merantau atau mencari jodoh dan pekerjaan. Ia kurang mampu beradaptasi dan bergaul dengan banyak orang. Dalam keluarga ia merasa ditolak dan dengan teman teman juga merasa tidak diterima. Ia merasakan dunia begitu kelabu, sempit dan tidak bersahabat. Ia banyak mengurung diri dan sibuk membenamkan diri dalam illusi, jadi depresi dan berakhir dengan kematian juga di usia dua puluhan.
Pola asuh yang kaku berpotensi membuat seseorang berkarakter kaku pula. Pola asuh ini membuat seseorang menjadi miskin dengan pengalaman emosional dan bersosial sehingga susah untuk mengekspresikan perasaan. Gejala ini dialami oleh Miss.Eti dan Zulmai.
Miss Eti terlahir sebagai putri- anak kedua- dari tujuh orang bersaudara. Kematian sang ayah membuat ibu menjadi janda, tanpa keterampilan hidup yang memadai. Maka anak-anak terpencar-pencar berpindah ke dalam pengasuhan orang lain. Miss Eti jatuh ke dalam pengasuhan sebuah keluarga tanpa nak dan kurang memiliki pengalaman tentang membesarkan anak.
Agar Miss Eti tidak menjadi gadis yang berandal menurut versi fikiran ibu asuh, maka ia memberikan sejumlah aturan dan sejumlah larangan. “Dilarang bergaul dengan anak-anak tetangga yang diperkirakan nakal, dilarang mengenal laki-laki, dilarang pulang terlambat, dilarang bersenang-senang agar tidak jadi pemalas”. Maka Miss Eti diperlakukan mirip sebagai pembantu oleh ibu asuhnya.
Miss Eti memang bisa beradaptasi dan ia tumbuh menjadi gadis yang patuh dan tidak suka protes. Hidupnya terlihat sunyi, mungkin ia tidak mengenal betapa indahnya jatuh cinta. Over protektif dan banyak larangan membuat Miss Eti susah untuk bisa tersenyum apalagi untuk beramah tamah. Ia sempat menikah, namun karena tidak belajar mengenal pria membuatnya ketakutan dalam perkawinan. Untung sang suami bisa menerimanya sebagai istri apa adanya- kehilangan percaya diri. Ia sendiri sering menjadi bad mood dan berucap “Apakah aku masih cantik ?”
Kesulitan hidup dan perceraian dengan suaminya membuat Ibunya Zulmai menyerahkan pola pengasuhan Zulmai kepada pamannya. Namun zulmai dalam pengasuhan tidak memperoleh banyak sentuhan emosi- ungkapan kasih sayang. Ia hanya diberi tugas memelihara ternak, bila ada kesalahan “ya dibentak dan dimarahi”. Ia melalui hari-hari yang juga tidak indah, namun mampu beradaptasi dengan kehidupan yang keras ini melebihi dua puluh tahun. Hingga akhir usianya sudah di atas kepala tiga (usia 35 tahun). Pihak keluarga segera memintanya untuk mengakhiri masa lajang, namun ia berkata “Bagaimana aku bisa menikah karena aku tidak bisa mencintai wanita dan mengatakan I Love You”.
Di saat persoalan hidup makin sulit dan makin rumit. Tekanan hidup dari luar makin bertambah, maka apakah masih layak bagi kita yang hidup di zaman moderen ini mengadopsi pola pengasuhan yang kaku terhadap orang-orang dan anak-anak yang berada dalam pengasuhan kita. Sangat bijak bagi kita menyingkirkan karakter kaku tersebut. Yang tepat untuk kita terapkan adalah memberikan suasana aman, damai dan penuh kasih sayang. Kita perlu menjauhan orang yang berada dalam pengasuhan dari kata-kata kasar. Karena manusia itu unik, setiap orang tentu punya karakter tersendiri. Kita perlu beradaptasi dengan semua karakter yang berada dalam pengasuhan kita. Bila kita ingin merubah karakter mereka, mari pakai cara-cara yang sejuk tanpa pemaksaan dan yang persuasive. Tokoh-tokoh di atas nyata, namun nama dan settingnya sudah dimodifikasi.
31. Bermimpilah Menjadi Orang Kaya
Sebagian remaja (siswa dan mahasiswa) ada yang peduli dengan kehidupan ini dan ada juga yang masa bodoh. Ada yang sudah memikirkan bagaimana hidup mereka di masa depan dan ada juga yang belum. “Yang penting aku enjoy aja, tidak terlalu banyak fikir dan soal masa depan aku serahkan ke mama dan papa”. Demikian beberapa komentar dari mereka yang berpaham hedonism- mencari kesenanngan hidup semata-mata. Bagi mereka yang penting bias belajar dan bermain, tidak mau diberi pekerjaan yang susah. Bila ada keperluan ya cukup minta saja duit pada orang tua. Pokoknya tahu beres saja.
Tidak hanya siswa, namun juga mahasiswa yang kehidupan mereka juga serba monoton. Kerjanya cuma pergi ke kampus dan pulang ke kos, sepanjang hari belajar, begossip, otak atik hand phone, sampai pada kecanduan dengan game on line. Kalau uang habis ya merengek lagi sama orang tua. “Ma…kirimkan kan lagi uang ke ATM ku ya…..!”. Tidak ada uang ya cukup kontak orang tua agar mengirimkan dana ke rekeningnya. Ini tidak salah, karena orang tua juga masih punya tanggung jawab untuk menjamin kelancaran kuliah anak-anak mereka. Namun kalau boleh para mahasiswa/ para pemuda juga perlu tahu tentang seluk beluk dari mana dan kemana uang itu mengalir. “Kalau boleh bermimpilah menjadi orang kaya”.
Saat penulis mengikuti KKN (kuliah kerja nyata) lebih dari 20 tahun yang lalu di sebuah desa dekat Payakumbuh. Di sana ada seorang pemuda, Yung Karaben namanya, yang cuma tamatan Sekolah Dasar, namun ia menjadi ngetop karena menjadi pemuda yang kaya raya. Ia memiliki banyak uang, punya harta, sawah dan ladang. Ia juga punya gilingan padi dan beberapa rumah sewaan sebagai pabrik uangnya. Ia bukan tamatan Perguruan Tinggi, malah sarjana tamat Perguruan Tinggi juga ada yang hidup melarat. Mengapa ia bisa menjadi kaya dalam usia muda ? Itu terjadi karena ia mengerti dengan aliran uang, kemana dan dari mana uang tersebut mengalir.
Kondisi kesejahteraan dan kekayaan orang pada suatu negara bisa berbeda- beda. Di negara maju- atau negara kaya, ada kalanya satu persen penduduk (para pemilik uang) bisa menguasai 50% peredaran uang. Atau ada negara yang 5 % penduduk kaya yang menguasai 90 % uang di negara tersebut. Kalau begitu sungguh menyedihkan bila kita menjadi orang yang 90 persen (orang yang lemah keuangannya). Uang yang sepuluh persen kalau dibagi rata untuk 90 persen penduduk yang kekurangan uang, maka setiap orang mungkin akan memperoleh sepuluh ribu rupiah. Sungguh sulit untuk meyangga kehidupan ini hari demi hari.
Dalam fenomena sosial bahwa banyak orang yang secara mendasar hanya mencari kenikmatan dan menghindari kesengsaraan. Menjadi PNS dianggap lebih enak karena mudah dan tidak punya resiko, sakit pun gaji juga dating, dibanding dengan menjadi pengusaha. Sementara itu menjadi pengusaha terasa susah dan beresiko. Kalau berhasil uangnya banyak namun resikonya tinggi. Namun bagi kita bila ada unsur kesusahan dalam bekerja maka kita cenderung untuk menjauhinya. Malah bila kita hidup sebagai orang yang sengsara, para sanak keluarga juga agak enggan untuk mendekat pada kita. Bila ada unsur yang menyenangkan maka kita cenderung mendekatinya.
Kaya atau miskin memang relatif. Secara finansial memang ditentukan oleh jumlah uang yang kita miliki. Tentang uang, bahwa ada orang yang sangat mencintai uang, ada yang tak peduli pada uang dan sampai pada yang membenci uang. Mereka beranggapan bahwa uang adalah sumber kejahatan. Akibatnya tanpa disadari mereka (mungkin juga kita) tidak ingin menjadi kaya. Kita berfikiran bahwa lebih baik jadi sederhana saja dan malah ada yang tidak punya uang.
Dikatakan bahwa orang yang uangnya sedikit- miskin- sebagai orang dengan posisi tangan di bawah. Orang yang kaya, dikatakan sebagai posisi tangannya di atas. Karena ia mudah memberi. Agama Islam mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada posisi tangan di bawah. Maka menjadi kaya lebih mulia dari pada jadi miskin.
Untuk menjadi kaya memang tidak mudah. Mengapa kita tidak kaya ? penyebabnya adalah karena kita tidak tahu strateginya. Kita tidak mengetahui jalur alamiah atau jalur paling mudah untuk mencapai tujuan. Selanjutnya bahwa fikiran kita juga tidak realistik, tidak melakukan tindakan sesuai dengan rencana. Namun mengapa pada segelintir orang bisa menjadi kaya? Tentu saja karena mereka punya karakter yang kuat.
Ternyata menjadi kaya bukan secara instan- bukan disulap- sim salabim. Kecuali bagi yang menang quiz who want to be millionaire. Jalan menuju kaya perlu dirintis. Ya memang untuk menjadi kaya secara baik-baik perlu dirintis.
Dari biografi tentang tokoh dan orang yang sukses/ kaya hidup seputar kita, kita ketahui bahwa mereka sudah merintis suksesnya sejak usia muda, misalnya sejak mahasiswa. Umumnya mereka menjadi mahasiswa yang tekun dan rajin. Mereka menyiapkan diri dengan berbagai kepintaran. Mereka senang berkompetisi dan mengikuti berbagai ajang kompetisi. Mereka memiliki banyak wawasan, banyak bergaul dan tahu dengan seni berkomunikasi.
Namun sayang banyak pula pemuda cerdas yang cuma pintar mengirim lamaran untuk jadi PNS, atau menjadi orang biasa-biasa saja pada sebuah perusahaan. Mereka akhirnya puas memperoleh gaji kecil
Ternyata gaji yang diterima oleh rata-rata orang Indonesia termasuk sangat kecil standardnya dibandingkan dengan orang yang bekerja di negara tetangga yang lebih kaya. Orang orang di sana memiliki motivasi kerja dan motivasi untuk sukses yang sangat tinggi. Mereka tidak gampang untuk mudah merasa puas. Sekali lagi bahwa mereka selalu memotivasi diri- membaca banyak buku, mencari banyak inspirasi dari banyak orang dan tokoh-tokoh sukses.
Kalau fenomena kita kadang-kadang cukup aneh. Saat kita mempunyai sedikit kelebihan uang ekstra maka gaya hidup kita juga berubah drastis. Karena gaji telah meningkat, maka pengeluaran kita juga berlipat. Ukuran rumah juga bertmbah dan motor pun juga mengkilat. Seharusnya uang kita boleh bertambah namun pengaturan penggunaan uang juga harus effektif. Yaitu tetap dalam batasan tidak boros.
Banyak juga orang kaya yang baik hati. Mereka dikatakan demikian karena juga kaya hati, kaya rohani dan kaya dengan kebaikan lain. Mereka senang untuk berbagi cerita dan berbagi pengalaman sukses. Mereka jadi kaya karena juga memiliki property sewaan lainnya.
Waringin (2008) mengatakan bahwa untuk bisa jadi kaya maka kita memerlukan leverage. Leverage berarti pendongkrak. Leverage tersebut bisa dalam bentuk sumberdaya (SDM)- bisa berarti modal, juga dalam bentuk ide dan gagasan, kenalan dan keahlian. Kemudian agar orang yang punya uang (sebagai sumber uang) mencari dan membutuhkan kita, maka kita perlu memiliki nilai tambah yang harus kita komunikasikan (kita iklankan). Kita juga harus punya kontak dengan orang yang tepat dan dengan cara yang tepat pula.
Di beberapa perusahaan mengapa ada karyawan yang mampu memperoleh bonus gede atau kenaikan gaji dua atau tiga kali dalam setahun ? Ini terjadi karena mereka mempunyai nilai tambah seperti “ia bisa dipercaya”. Dan tidak itu saja, ia juga punya keunggulan lain melebihi teman-temannya seperti memiliki kinerja yang hebat dan bisa bekerja mencapai target- atau melebihi target. Ia juga memiliki inisiatif- tidak berkarakter senang menunggu atau senang diperintah-, ia juga memiliki prilaku yang menyenangkan ia juga peduli dengan penampilan, kedisiplinan, kesopanan, omongan yang baik di depan dan di belakang orang.
Ternyata jarang juga PNS dan orang orang berprofesi sebagai pegawai yang kaya raya. Kebanyakan orang jadi kaya, itu lewat berwiraswasta. Ada yang kaya dan sukses gara-gara membuka bengkel mobil. Memberi nilai tambah yang hebat buat pemilik mobil atau sang klien. Nilai tambah yang hebat berupa service yang memuaskan: lebih cepat, lebih dekat, lebih murah, lebih lengkap, lebih modern dan lebih ahli. Kemudian membuat cabang atau franchise sehingga ia bisa melayani banyak pelanggan. Bila ia sudah punya franchise, maka ia kemudian bisa go public atau menjual saham untuk memperbesar modal- dan juga memperbesar usaha.
Menjadi kaya secara baik-baik dapat terwujud dengan berwirausaha atau entrepreneur dengan ketentuan membelanjakan lebih sedikit uang daripada yang diterima dan menginvestasikan selisihnya. Pelaku wirausaha juga memberikan nilai tambah yaitu mempermudah urusan, mempercepat proses dan juga membuat orang lebih senang. Ternyata orang berwirausaha juga ditentukan oleh bakat atau karakter usahanya. Apakah mereka termasuk berkarakter mechanic, creator, star, support, deal maker, trader, accumulator dan the lord.
Roger Hamilton (dalam Waringin: 2008) mengatakan bahwa orang bertipe mechanic suka mengandalkan/ mengikuti sistem untuk jadi kaya. Ray Kroc tahu cara memasarkan hamburger, walau ia bukan penemu hamburger. Orangnya tekun, suka detail dalam mengikuti sistem. Kemudian orang yang bertipe creator suka menciptakan hal baru. Steve Job mendirikan apple computer. Ia mempunyai karakter kreatif, inovatif, suka hal baru dan tantangan baru.
Orang bertipe star jadi kaya karena mengandalkan keahlian khusus yang sulit ditiru orang lain. Penyanyi Celine Dion dan Mike Tyson misalnya punya bakat khusus. Sangat menonjol dibidangnya. Orang bertipe support jadi kaya karena jago dalam mendukung dan mengelola. Orang dengan karakter ini memiliki leadership dan manajerial yang bagus.
Orang bertipe deal maker bisa jadi kayak arena keahlian dalam bernegosiasi dan mempertemukan dua kepentingan. Ia punya banyak teman, senang bergaul dan senang sebagai connector atau penghubung. Orang bertipe trader dapat kekayaan dari keahlian berdagang. Ia peka tentang waktu- tahu kapan harus membeli dan kapan harus menjual, tidak malu dalam berjualan, berorientasi mencari keuntungan secara cepat dan dalam jangka waktu pendek.
Adalagi orang yang jadi kaya karena tipe accumulator, suka menumpuk atau berinvestasi. Orang seperti ini cukup penyabar, senang menganalisa, punya jiwa kepemimpinan, tidak emosional dan suka keuntungan jangka panjang. Terakhir adalah orang yang bertipe lord, menjadi kaya karena punya banyak bisnisnya. Ia suka melihat peluang di mana-mana, mampu mendelegasi atau membagikan tugas dan pintar memilih dan menilai orang yang ia percayai.
Kaya itu tidak jatuh dari langit, namun kaya itu perlu diusahakan, oleh karena itu menjadi kaya perlu punya ilmu, punya keberanian dan punya usaha. Untuk menjadi kaya maka kita perlu belajar dan menggali potensi dari orang lain. Agama Islam mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Kalau begitu menjadi kaya lebih baik dari pada jadi orang miskin. Agaknya untuk jadi kaya maka kita perlu bermimpi. Daripada kita tenggelam dalam menyesali kelemahan kita, maka lebih baik kita tenggelam dalam meningkatkan kelebihan kita, agar kita punya nilai plus, selanjutnya bermimpi dan berusaha agar menjadi kaya..
32. Sayangilah Tubuh
Saya termasuk orang yang tidak suka melahap semua acara televisi. Bila acara terasa tidak berguna maka televisi cenderung dimatikan. Namun rasa ingin tahu saya tergelitik saat melihat sekilas acara Kick Andy di Metro TV. “Wah acara apa ini , kok pakai kata kick segala, mungkin acara sepak bola atau acara olah raga yang lain ?”.
Kick Andy bukanlah acara olahraga walau di sana ada kata “kick”, namun ia adalah acara olah rasa atau olah emosi. Acara ini menjadi menarik karena memuat atau melibatkan unsur emosional. Berisi informasi, pengalaman, liku-liku kehidupan manusia yang penuh dengan ketegaran dan pencerahan. Jadi acara tersebut terkesan punya nilai pendidikan dan juga nilai hiburan.
Selanjutnya, bahwa saya bukanlah orang yang cengeng yang mudah menangis, meneteskan air mata, dan saya sendiri sudah lama tidak menangis lagi. Namun saat mengikuti alur cerita dalam acara kick andy, tiba-tiba air mata saya meleleh, dan terasa panah di pipi. Emosi saya terasa diaduk aduk oleh plot-plot dialog oleh presenter dan tokoh tokoh hebat yang langsung terlibat dalam acara “Kick Andy Hero” di awal bulan Maret (2010) tersebut.
Penyerahan anugerah pada seorang tokoh, pemuda buntung total, jalanya seperti merangkak, namun sangat kreatif, inspiratif dan inovatif bagi saya dan banyak penonton. Ia adalah pemuda hebat, walau kedua kaki buntung total ternyata mampu menghidupi banyak karyawan dari usaha yang ia rintis. Begitu pula dengan tokoh lain, juga seorang pemuda, namun buta total, jalanya hampir meraba-raba, mampu menciptakan sound track untuk produk ICT (information communicative technology) dengan menggunakan komputer, bagaimana ia melihat dan menciptakan dengan ketajaman syaraf jari dan ketajaman mata hatinya. Kedua tokoh cacat yang sangat hebat tadi pasti telah menjadi motivator dan inspirator yang luar biasa bagi jutaan penonton metro TV yang memiliki kondisi tubuh yang normal. Kita dan mereka harus malu dengan dua kaki dan dua mata yang mereka miliki bila ternyata tidak berdaya dalam hidup ini.
Acara kick Andy berikutnya, masih dalam bulan Maret ini, adalah tentang transplantasi ginjal atau cangkok ginjal. Betapa amat berharganya sekeping ginjal apalagi dua keping ginjal dalam rongga tubuh kita yang berguna dalam menyangga kelangsungan hidup kita, namun banyak orang (kita) kurang menyadari tentang harkat dan harga sekeping ginjal tersebut bagi kehidupan. Sementara itu betapa orang yang menderita gangguan ginjal mendambakan kesehatan ginjal, berharap agar mampu memperoleh tubuh yang segar bugar (fit and fresh) dan ingin merasakan “betapa indahnya dan nikmatnya kalau bisa kencing (maaf) secara normal lagi”.
Betapa gangguan ginjal telah membuat dunia ini terasa dan terlihat tidak indah dan menarik lagi bagi sang penderita gangguan ginjal. Kemudian betapa mulianya jiwa seorang bapak yang amat rela untuk mendonorkan sekeping ginjalnya untuk kelangsungan hidup anak kandungnya dan ia pun ikhlas atas resiko sebagai pendonor ginjal. Atau betapa tulusnya hati seorang kakak yang telah menyerahkan sekeping ginjalnya pada adiknya, walau akhirnya tidak lama bisa bertahan hidup dan ia pun meninggal dunia (setelah bertahan hidup selama lima tahun). “Sedikitpun aku tidak menyesal, telah menyerahkankan ginjal saya pada adik sya walau akhirnya ia pun meninggal, namun ia kan mampu bertahan hidup selama lima tahun dan sekarang ginjal ku pun ikut pergi bersamanya”.
Kini bagaimana halnya dengan saya dan kita semua. Kita sering kali tergila gila mengejar kepuasan dunia dan kepuasan hidup belaka. Kita hanya puas dan bangga dengan karir yang meningkat, mobil mengkilat dan rumah yang begitu megah. Pergi jalan-jalan keluar negeri yang memberikan kebahagian, sekali lagi, kepuasan yang semu. Betapa mulianya tokoh tadi yang begitu ikhlas menyerahkan sekeping organnya (ginjal) pada orang yang sangat mendambakanya demi menyambung kelangsungan hidupnya. Juga betapa kaya dan bahagianya jiwa tokoh buta dan tokoh buntung yang bisa hidup dengan penuh arti, sekaligus telah menjadi motivator dan inspirator bagi jutaan orang dengan tubuh lengkap untuk mempedayakan diri mereka.
Ada pelajaran tersirat dari tayangan televisi tadi, yaitu bagaimana agar kita bisa berbagi dengan sesame, menyayangi dan mencintai organ tubuh kita. Mengajak banyak orang untuk bisa memelihara tubuh dan oragan tubuh mereka, seperti mata, paru-paru, jantung, rambut, ginjal dan kulit. Betapa banyak orang kurang peduli dalam memelihara dan menyayangi mata. Lihatlah bahwa banyak buruh las karbit di bengkel yang bekerja tanpa menggunakan masker mata.
Atas nama gaya hidup moderen, banyak orang yang tergiur oleh tipuan iklan bahwa yang hebat dan moderen itu adalah kalau seseorang selalu mengkonsumsi rokok, minuman bir/ minuman keras, sampai kepada minuman dan makanan yang kaya dengan zat pewarna dan penyedap rasa (sebagaimana dianjurkan iklan oleh belasan stasiun televisi di Indonesia ini). Kurikulum di berbagai sekolah tidak pernah mengajarkan tentang tekhnik merokok yang hebat. Namun konser dan ivent olah raga yang disponsori oleh industry rokok sangat sukses dalam membujuk dan menciptakan ribuan pelajar untuk menjadi pencandu rokok. Coba lihat sekarang bahwa dimana ada keramaian- konser music atau acara olah raga, maga disana spanduk iklan rokok menyambut mereka dengan semarak. .
Percuma saja pada beberapa tempat mangklnya para remaja dibuat semboyan dan ajakan seindah mungkin “jauhi narkoba dan say no to drug”, kalau pintu untuk mengkunsi rokok dibuka lebar-lebar. Karena merokok itu sendiri adalah pintu untuk memasuki dunia narkoba. Omong kosong kalau tiba-tiba saja seorang siswa bisa menjadi pengguna narkoba. Hampir dipastikan bahwa mereka menyentuh benda haram (narkba) ini setelah terlebih dahulu sukses sebagai perok- pelajar pria atau pelajar wanita. Merokok, apalagi mengkonsumsi narkoba, sungguh membahayakan paru-paru, otak, dan jantung.
Media massa- cetak dan elektronik- sangat efektif dalam membius dan mengobah pola fikir bangsa Indonesia. “wah kamu kuno kalau tidak mencoba fast food ini, wah kamu kampungan kalau tidak mengkonsumsi makanan bermerek ini”. Kini bangsa kita telah menjadi bangsa yang paling gemar menonton dan hampir malas untuk berolah raga. Bagi yang memiliki sarana transport- sepeda motor dan mobil- telah menjadi pemalas untuk bergerak dan berjalan kaki. Yang lain mungkin juga kurang tahu bagaimana kiat hidup segar dan bugar- fit and fresh- itu.
Di suatu tempat ada pemuda yang maniak dalam mengkonsumsi minuman berlabel, cuci muka dengan air mineral, dan selanjutnya untuk minuman saat sarapan pagi, makan siang dan makan malam adalah minuman berlabel (mengandung zat pengawet, penyedap dan pewarna) yang dikemas dalam botol atau kaleng. Setelah mengkonsumsinya dalam rentang waktu agak lama maka ia mengalami gangguan empedu dan ginjal. Gaya hidup dan pola makan dan minum yang salah telah mendatangkan resiko bagi kesehatan tubuh dan jiwa mereka. Badan yang sakit telah membuat dunia ini tidak indah lagi untuk di jalani. “Sayangilah tubuh, lakukan pola makan dan hidup yang sehat dan cintailah organ tubuh mu”. Mungkin demikianlah anjuran dan nasehat orang yang sedang dilanda penyakit serta gangguan organ tubuh terhadap orang lain.
Untuk hidup sehat, kita pemeluk Islam sangat tepat bila mengikuti anjuran dan cara hidup Rasullullah SAW. Dalam sejarah nbi diketahui bahwa Nabi selalu tidur lebih awal, tidak menyukai aktifitas begadang. Dan bangun malam untuk beribadah pada Sang Pencipta langit dan bumi- shalat tahajjud dan inipun dilaksanakan untuk mencapai kesucian dan kebersihan jiwa. Rasullulah, para ahabat dan banyak orang sholeh menghindari (mengharamkan) khamar- minuman keras- menjauhi rokok, melaksanakan puasa sunat dan kalau makan maka berhenti sebelum kenyang.
Banyak minum air putih, mengkonsumsi makanan berserat, kaya vitamin dan protein bisa membuat tubuh sehat. Cukup olah raga, cukup istirahat dan cukup tidur adalah anjuran cara hidup sehat dari dunia kesehatan yang selalu up to date. Bila kita telah melaksanakan pola dan cara hidup sehat yang demikian, namun tiba-tiba kita sakit- mengalami gangguan organ, barangkali inilah yang dikatakan sebagai takdir yang harus kita terima dengan sabar dan tawakal. Namun secara umum bahwa pola hidup yang sehat akan mendatangkan berkah kesehatan bagi kita, merasa bugar dan sehat selalu. Kini lakukanlah pola hidup sehat karena harga kesehatan tubuh itu sangat mahal.
33. Menghargai Wong Kecil
Umumnya orang ingin dianggap penting. Minggu lalu seorang teman mengirim sms (short message service) mengatakan bahwa ia sedang di Semarang mengikuti konferensi yang tempatnya di sebuah hotel bagus. “dear friend,saya lagi di Semarang mengikuti konferensi”. Tentu saja yang ia butuhkan adalah kata-kata ucapan atas partisipasi, posisi dan prestasinya, “selamat ya sobatku….!” Anak kecil yang baru saja dibelikan satu stel pakaian bagus dan sangat disukainya, akan memamerkan pakaian tersebut. Ia akan menceritakanya pada banyak orang di rumahnya, atau malah juga menceritakanya kepada teman-temannya di sekolah tentang pakaian bagusnya tersebut. Ia juga menceritakan betapa ia disayangi oleh om dan tantenya.
Seorang ibu yang memiliki anak cerdas di mana-mana juga akan sering bebagi cerita bahagia dengan tetangga dan teman-temannya tentang anaknya.”Anak ku ada-da saja sudah bisa memainkan piano dengan lagu Mozart”. Fenomena ini menunjukan bahwa betapa penting dan berhaganya dirinya dan diri keluarganya. Pendek kata banyak orang ingin dipandang sebagai orang beharaga- orang penting atau orang nomor satu.
Menjadi orang penting atau menjadi orang nomor satu termasuk kebutuhan jiwa- kebutuhan aktualisasi (actualization need). Namun dalam kenyataan cukup banyak orang yang kurang menyadari dan kurang tahu cara membuat orang merasa nomor satu. Terutama terhadap orang-orang kecil. Mungkin kecil usianya, kecil pengalamannya, kecil uangnya dan juga kecil status sosialnya.
Walau seorang anak usia play group atau TK (Taman Kanak Kanak) memperoleh banyak perhatian dan pemanjaan, namun dalam berkomunikasi sering dinomorduakan oleh papa dan mamanya. Bila ia ngobrol, orang tua jarang mendengar dengan sepenuh hati atau pura-pura mendengar dan menjawab sembarangan. “Ibu…bumi itu bulat,….”, “Ibu….sekolah Sani akan dikunjungi tokoh cilik …” Dan ibu merespon “ya…, ya…, ya….”. “Ah mengapa ibu bilang ya…ya …terus”.Celetuk sang anak dengan jengkel.
Respon yang demikian masih tergolong bagus. Pada beberapa rumah malah ada orang tua akan membentak atau mengeluh atas pertanyaan anak yang tidak henti-hentinya. “Wah Eriko …kamu bertanya terus….aku bosan,….udah tutp mulutmu”. Mencela anak yang demikian selanjutnya akan membuat anak menjadi enggan untuk banyak berbicara. Membentak dan mencela anak sangat berpotensi mematikan kemampuan berkomunikasinya atau juga akan meniru gaya komunikasi tersebut, sehingga ia kelak juga akan mendamprat anak anak dan orang lain yang dipandangnya banyak ngomong. Mengomel dan menomorduakan anak akan membuat mereka jadi malas untuk berkomunikasi, mengekspresikan fikiran/ perasaanya dan kelak bila remaja atau dewasa mereka akan menjadi orang yang senang menutup diri.
Menomorduakan orang kecil tampaknya sudah menjadi fenomena sosial. Di sekolah siswa atau remaja yang merasa pintar (atau di kampus, mahasiswa yang merasa pintar) adakalanya memonopoli kegiatan akademik. Teman yang dianggap kurang pintar cenderung menjadi penonton dan orang yang pasif. Di kantor, sering seorang kepala atau seorang boss yang sedang sibuk dengan gampang marah-marah dan membentak karyawan yang dipandangnya sebagai orang-orang kecil, orang orang yang mereka anggap remeh- rendah pangkat dan posisinya. Orang orang kecil ini terpaksa menerima bentakan atau terpaksa ikhlas sebagai tumbal tempat kesal.
Sungguh tidak enak menjadi orang yang dinomor-duakan. Sekali lagi bahwa orang cenderung dinomorduakan karena faktor usia, derajat akademik, kepintaran, posisi status sosialnya dan lain-lain. Orang-orang yang cendeung menjadi nomor dua juga cenderung memperoleh pelayanan kurang prima pada beberapa akses public.
Suatu kali teman penulis dengan pakaian santai melewati tempat pesta orang gede. Tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang sekuriti dan menggiringnya agar menjauh- tidak melewati wilayah pesta. “Maaf mas, mohon tidak lewat di sini”., “Wah sial amat aku tadi siang, bisa jadi kalau aku bergaya lebih keren dari yang sedang berpesta itu”. Celetuk sang teman dengan kecewa. Lagi-lagi betapa hati tidak enak menjadi orang kecil dan orang yang dimor-duakan.
Namun pada lain kesempatan, teman penulis mau mengikuti seminar. Berpakaian necis dan memakai parfum harum hingga ia terlihat sangat tampan, Tiba-tiba angin nakal bertiup dan butiran partikel kecil masuk ke dalam mata dan membuat matanya amat perih. Beruntung ia bisa pergi ke UGD (Unit Gawat Darurat) pada rumah sakit terdekat dan seketika enam orang para medis dan dua dokter bersimpati dan memberi bantuan- pelayanan ekstra prima padanya. “‘Amit-amit gara-gara penampilan aku yang sangat keren aku memperoleh pelayanan prima tadi siang, pada hal di sana ada tiga orang yang juga butuh bantuan”.
Tidak enak menjadi warga yang dinomor-duakan. Respon orang juga berbeda atas perlakuan ini. Seorang ibu yang sebenarnya kaya dan termasuk orang terpandang, memiliki tiga ruko cemberut terus gara-gara merasa dimor-duakan oleh seorang penjual nasi goreng di restoran kecil. Esoknya dia pergi membeli nasi goreng lagi naik mobil mengkilat dan memakai gelang emas dua kilo dan kalung empat kilo. Maka buru-buru pelayan restoran melayaninya.
Gara-gara merasa dinomor-duakan seorang ggadis, mahasiswa sebuah Universitas, minta putus hubungan dari kekasihnya. Gara-gara dinomor-duakan- dilupakan saat memberi oleh oleh buat saudaranya-seorang remaja tanggung mencuri uang dari kantong ayahnya “Ayah tidak adil, aku tidak dibelikan sate…mereka makan enak, aku dilupakan”. Gara-gara dinomor-duakan oleh pedagang langganannya, maka seorang pembeli menjadi ngambek untuk jadi pelanggan. Gara-gara dinomor-duakan dalam pelayanan kesehatan maka banyak orang yang memilih pergi berobat ke Melaka, di negeri jiran- Malaysia.
Sebenarnya kita tidak perlu berkecil hati dan sedih, apalagi sampai jadi anarkis bila diperlakukan sebagai manusia kelas dua oleh seseorang. Karena bisa jadi penyebabnya gara-gara penamplan kita sendiri. Kalau betul demikian maka mari kita lakukan perombakan penampilan , instropeksi diri, dan lakukan perubahan di sana-sini. Di sini terlihat bahwa changing is power- perubahan adalah kekuatan.
Seorang remaja SMP selalu merasa dinomor-duakan, itu gara-gara penampilannya- tubuhnya kurus dan lemah dan juga tidak begitu menonjol dalam belajar. Sedih memang menjadi mentimun bungkuk- masuk karung ada, tapi tidak jadi perhitungan. Maka suatu hari ia terinspirasi oleh sebuah artikel, maka ia belajar keras. Ia makan yang banyak dan berolah raga yang teratur. Dalam waktu enam bulan, ia jadi mahir berbahasa inggris, jago matematik dan juga jago dalam main volley. Teman-temannya di sekolah sangat senang bergau dengannya. Malah ia juga sering memperoleh sms dengan nomor baru mengungkapkan kata simpati dan mengucapkan “I love you”.
Seorang pemuda yang baru bekerja di kantor pemasaran selalu merasa rendah diri dengan penampilannya gara-gara sering diremehkan- dinomorduakan- oleh rekan sekantor. Ia akhirnya memutuskan untuk meningkatkan penampilannya. Maka hampir setiap malam ia berlatih berpidato dan berbicara di depan cermin, kemudian tiga kali dalam seminggu ia kut kegiatan binaraga. “Kalau penampilan saya kurang bergairah, lunglai , tentu tidak ada orang yang akan menghargai ku”. Bisiknya. Latihan berpidato dan latihan binaraga membuat penampilannya agresif dan jantan, maka kemudian banyak orang yang senang bergaul dengan nya.
Masih banyak kisah kisah tentang fenomena menomor-duakan orang, rekan kerja, bawahan dan anggota keluarga sendiri terjadi di seputar kita. Fenomena meremehkan dan menomor-duakan ini membuat banyak orang berubah, termasuk berubah dalam penampilan.
Seorang bapak yang biasanya tampil bersahaja, kemana mana pergi selalu dengan sepeda motor penampilannya mirip dengan tukang ojek. Suatu hari ingin membeli mobil dan oleh seorang teman ia ditawari untuk membeli mobil super second- yang sering masuk bengkel dan keluar bengkel.”Untuk bapak cukup beli saja mobil seken keluaran tahun 1980-an dengan harga miring” Ia merasa amat tersinggang karena merasa diremehkan- datangpun kurang disapa dan kurang disambut. Maka ia memutuskan membeli sedan cadilac baru berwarna metal dan dengan cat mengkilat. Begitu hari pertama dia datang mengantarkan anak dan istri ke sekolah, maka teman-teman lamanya berhamburan ke luar untuk melihat penampilannya dan mengucapkan selamat.”wah bapak tampak gagah, selamat ya Pak !”
Ya sungguh tidak enak menomorduakan orang dan juga menjadi orang yang sering dinomor duakan. Pasti orang yang punya karakter positif- tidak suka meremehkan dan menomor-duakan orang- akan menjadi orang yang disenangi, dikagumi dan dihormati. Sementara itu orang yang terbiasa dan cenderung meremehkan orang lain tentu akan kurang disenangi dan kalau boleh bahwa orang mendekat hanya untuk sekedar basa basi dan setelah itu menjauh lagi .
Selanjutnya bagi orang yang selalu menjadi korban sebagai manusia nomor-dua atau orang yang direndahkan, lebih ideal untuk melakukan perubahan. Apakah kita direndahkan gara-gara kurang bisa bergaya, maka mari kita update penampilan kita. Andaikata kita direndahkan gara-gara postur dan penampilan tidak smart, maka mari berlatih menguatkan otot dan otak (kecerdasan) agar kita menjadi orang gagah luar dalam (cantik luar dalam) sehingga kita menjadi orang tidak lagi direndahkan martabat dan harga diri kita.
34. Siswa Kampung Juga Bisa Jadi Doktor
Suatu hari penulis berjumpa dengan seorang teman baru yang diperkirakan bahwa ia adalah lulusan dari Universitas terbaik di Indonesia seperti UI, ITP, UGM, atau Universitas di Pulau Jawa yang sudah dikenal luas. Universitas tersebut pada umumnya terkenal dengan lulusan atau alumni yang cukup cerdas, punya wawasan, punya motivasi dan semangat kompetisi yang tinggi. Penulis bertanya apakah ia juga lulusan dari salah satu perguruan tinggi tersebut. “Saya cuma lulusan Perguruan Tinggi di daerah dan sukses itu ada di mana-mana. Di desa pun orang juga bisa sukses”, jawab teman baru tersebut. Pernyataan tadi telah member inspirasi atas judul artikel ini bahwa siswa kampung juga bisa jadi Doktor.
Pengalaman menjadi guru (walau bukan di sekolah perkotaan) di daerah atau desa. Bahwa Kecamatan Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar seputar tahun 1990-an mungkin masih dianggap sebagai daerah yang bersuasana desa atau kampung. Itu karena pada masa itu fasilitas transport masih terbatas. Banyak siswa yang cerdas dan berbakat belum banyak yang terprovokasi untuk memilih sekolah di luar kecamatan- yang mereka anggap unggul atau berkualitas. Ternyata bahwa mereka merasa sangat senang belajar di sekolah daerah ini. Setelah lebih dari lima belas tahun penulis juga mendengar bahwa cukup banyak alumni (siswa yang belajar dari sekolah di daerah ini) yang menjadi orang- memperoleh posisi kerja yang sangat bagus.
Face Book pernah jadi fenomena unik dan dinyatakan haram. Ini tentu tergantung pada cara memandang dan menggunakan kacamata warna apa ? Dalam kenyataan bahwa Facebook malah memberi manfaat positif sebagai jejaring sosial- menemukan teman yang hilang atau yang terputus komunikasi. Lewat Facebook penulis sendiri berjumpa kembali dengan banyak teman lama dan bekas murid di tahun 1990-an. Memang ternyata mereka banyak yang menjadi orang. Ada dua bekas murid yang paling berkesan dalam memori, namanya mereka “Revalin Herdianto dan Oki Murasa”. Dahulu kedua-duanya juga belajar di sekolah desa (Kecamatan Lintau Buo yang saat masih terasa seperti kampong yang terisolir), sekarang mereka mampu meraih posisi Doktor. Profil mereka pun member inspirasi atas tulisan ini.
Revalin Herdianto dapat dikatakan sebagai figure yang berhasil dalam menggapai mimpinya dalam bidang akademik. Di awal tahun 1990-an ia hanya belajar di SMAN 1 Lintau, sekolah yang masih bersuasana kampong saat itu. Ia tidak pernah mengikuti bimbel (bimbingan belajar) seperti lazimnya anak-anak sekarang. Ia hanya banyak belajar sendirian dan telah menjadi siswa yang mandiri dalam belajar. Agaknya ia tidak membutuh komando orang tua dan guru dalam belajar. Orang tuanya tidak akan berteriak teriak menganjurkanya dalam belajar. Ia dan teman-teman (kelompok belajarnya) sudah punya kebiasaan belajar sebagai kebutuhan.
Bukan berarti ia harus terpaku pada meja belajar sepanjang hari dan membenamkan kepala di atas tumpukan buku-buku sepanjang hari. Sebagai warga sosial, Revalin juga melibatkan diri dalam berbagai aktifitas masyarakat di kampong. Ia ikut ke ladang, ikut gotong royong membangun jalan desa, dan juga ikut menjelajah alam bersama teman-teman. Saat di SMA, kemampuan belajar Revalin biasa-biasa saja- namun ia duduk di kelas unggulan. Pada saat duduk di perguruan tinggi ia memperoleh strategi belajar yang tepat dan kemampuan akademiknya melejit.
Ada prinsip belajar yang ia jalani yaitu “study while studying and play while playing- belajarlah saat belajar dan bermainlah saat bermain. Banyak siswa sekarang kurang menerapkan prinsip belajar yang begini. Mereka malah mengadopsinya menjadi prinsip belajar yang berbalik arah yaitu “play while studying dan study while playing- bermainlah saat belajar dan di sini bearti kurang ada keseriusan dan konsentrasi dalam belajar.
Belajar di sekolah berarti harus terjadi komunikasi dua arah antara guru dan murid. Anak-anak yang berasal dari rumah yang punya komunikasi dua arah maka di sekolah akan terbiasa juga dengan komunikasi dua arah. Di rumah, Revalin juga terbiasa dengan suasana komunikasi dua arah. Orang tuanya tidak sekedar menyuruh dan melarang. namun orang tua/ keluarganya juga melibatkan fikiran dan tenaga Revalin dalam menjalankan kegiatan harian di rumah.
Ia memperoleh beasiswa penuh untuk mengikuti program master ke Australia. Pelamar beasiswa ke luar negeri harus bisa memperoleh standar TOEFl- Test Of English as Foreign Language yang disaratkan oleh program, mungkin skornya 500 atau lebih. “Apa rahasia agar kita bisa memperoleh TOEFl yang tinggi ?”
Ada tiga hal yang diuji dalam TOEFL yaitu kemampuan membaca, mendengar dan tata bahasa (structure). Cara yang terbaik untuk meraih TOEFL tinggi adalah dengan berlatih dalam mengerjakan soal-soal. Kemudian membiasakan diri dalam membaca teks bacaan yang agak panjang. Sementara untuk meningkatkan kemampuan listening kita harus tahu strateginya- apakah pertanyaan dalam listening menanyakan tentang informasi umum, informasi tersirat, informasi rinci, menanyakan tujuan dari reading dan yang paling penting adalah banyak latihan mendengar.
Ia bisa menyelesaikan program master tepat waktu dan sekarang juga sedang menyelesaikan program post-graduatenya (program Doktoral). Setiap orang, termasuk siswa yang bearasal dari kampung bisa mencari beasiswa untuk program master dan program doctoral dalam negeri, maupun dari luar negeri. Revalin Herdianto sendiri merampungkan program graduate melalui beasiswa IALF- Indonesia Australia Language Foundation yang punya kantor di Bali dan Surabaya.
Di awal tahun 1990-an penulis juga sempat berbincang-bincang dengan seorang pelajar cerdas yang bernama Oki Murasa- seorang siswa SMP yang punya fenomenal dengan peringkat NEM (Nilai Ebtanas Murni ) paling tinggi di Kabupaten Tanah Datar saat itu. Daya serap belajar Oki Muraza sangat bagus- daya rekamnya ibarat mesin fotokopi. Ternyata Oki bisa menjadi siswa yang fenomenal dengan peringat nilai tertinggi bukan lewat pemanjaan. Karena orang tuanya tidak memberikan pemanjaan, namun ia memberikan kasih sayang, perhatian, tanggung jawab dan penghargaan kepada Oki. Pemanjaan berarti mengikuti semua kemauan anak tanpa pengontrolan. .
Ketika belajar di SMP (di Lintau Buo) malah tinggal hanya dengan orang tua tunggal- ibu kandung yang memperoleh pendidikan sarjana di Universitas Sriwijaya. Ibunya juga memberi Oki tanggung jawab untuk mandiri dalam belajar, namun juga ikut meringankan pekerjaan ibunya- mengupas kelapa, mencat pagar, mencuci piring atau mungkin pekerjaan lain. Aktifitas ini penting untuk memperkaya anak dengan pengalaman hidup- life skill. Sukses dalam bidang akademik di bangku SMP/ SMA tentu akan memberikan kemudahan bagi siswa untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi melalui jalur bea-siswa. Bagi Oki sendiri ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke sekolah SMA Taruna Nusantara, sekolah unggulan yang paling diminati oleh lulusan SMP se Indonesia, dan sejak tahun 1993 penulis tidak mendengar banyak tentang Oki Muraza.
Setelah 17 tahun tidak mendengarnya maka Penulis di tahun 2010 ini mengetahuinya sebagai Doktor Oki Murasa. Lagi-lagi ia menjadi inspirasi bagi penulis untuk menulis tentang siswa kampung juga berhak jadi Doktor. Facebook lagi-lagi memberi kemudahan bagi penulis untuk tahu banyak tentang dia secara langsung. Oki juga memiliki blogger.
Melalui blognya (http://murazza.multiply.com) penulis juga bisa mengetahui tentang kisah sukses dan perjalanan hidupnya. Dalam usia muda (30 tahun) Oki bisa menjadi Doktor dan bekerja sebagai tenaga peneliti di Abu Dhabi, United Arab Emirates. Dan sebelumnya ia bekerja di beberapa institute di Eropa. Meski berada jauh dari kampung (Indonesia), namun kecintaannya terhadap tanah air masih tergores.
Pendidikan Oki dalam menggapai mimpi menjadi Doktor adalah, setelah menyelesaikan pendidikan SMP Negeri 1 Lintau, ia melanjutkan pendidikan ke SMA Taruna Nusantara di Magelang. Selanjutnya ia memilih studi di ITB Bandung, kemudian program masternya pada Chemical Engineering, Technische Universiteit Delft, Delft, the Netherlands dan selanjutnya untuk doctoral (PhD) pada Chemical Engineering, Technische Universiteit Eindhoven, Eindhoven, the Netherlands. Ia mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing mutlak diperlukan untuk studi yang lebih tinggi, apalagi kalau di luar negeri.
Oki Muraza juga memperoleh “honor and award” dalam menggapai mimpi menuju Doktoral, yaitu seperti dari NIOK (Netherlands Institute for Catalysis Research- Institut Belanda untuk Riset Catalysys). Oki memperoleh nilai tertinggi saat menyelesaikan program Doktoralnya. Ia memperoleh berbagai beasiswa dan termasuk beasiswa yang disponsori oleh Unesco- Belanda.
Anak anak yang sekarang sedang belajar di SMP dan SLTA (SMK dan SMA) di kampung atau di pedesaann juga bisa sukses, menjadi Doktor seperti halnya Revalin Herdianto dan Oki Muraza. Yang suka bersantai saja tentu saja tidak akan berhasil, namun yang bisa banting stir- paling kurang seperti pola dan gaya hidup Revalin dan Oki kemungkinan bisa juga menjadi Doktor. “Bagaima karakter anak-anak desa/ kampung yang diperkirakan bakal sukses kelak ?”
Ya mereka harus menjadi siswa yang mandiri dalam belajar. Jangan pernah butuh komando/ diperintah orang tua dan guru untuk memulai belajar, “Belajar lagi nak….buat Pe-er nya segera….!” Orang-orang yang telah sukses dalam profesi mereka, saat belajar di bangku SMP dan SMA bukan berarti mereka harus terpaku pada meja belajar sepanjang hari. Namun mereka juga melibatkan diri dalam berbagai aktifitas masyarakat. Mereka serius dalam belajar, belajarlah saat belajar dan bermainlah saat bermain. Mereka memiliki komunikasi dua arah di rumah (yaitu antara anak dan orang tua) dan di sekolah (antara siswa dan guru). Mereka juga ikut serta/ berpartisipasi dalam mengurus diri dan mengurus rumah. Mereka bisa sukses (karena rido dari Allah Swt). Kemudian juga memiliki kemampuan bahasa Inggris dan meraih skor TOEFl- Test Of English as Foreign Language yang disaratkan oleh program mungkin seputar 500 atau lebih. Selanjutnya mereka juga memiliki mental yang tangguh, tidak cengeng, tidak gemar minta bantuan- tapi mereka terbiasa dengan “help your self terlebih dahulu, gampang beradaptasi dan bergaul dengan berbagai macam karakter dan pola fikir orang. Akhir kata bahwa mereka juga terbiasa punya tanggung jawab atas diri sendiri dan dalam membantu orang lain.
35. Suasana Kerja Selalu “Fun”
Bekereja adalah kebutuhan manusia dan lingkungan tempat bekerja bisa jadi di rumah, di sekolah, di kantor, di pabrik, di perbankan, di lembaga swasta, dan lain-lain. Suasana di tempat kerja bisa menyenangkan dan juga bisa membosankan. Suasana di tempat kerja bisa jadi membosankan gara-gara karakter yang kaku tumbuh pesat. Karakter ini bisa membuat banyak orang menjadi stress dan pekerjaan terasa beban yang berat. “Apakah pekerjaan terasa sebagai beban hidup ?,...wah ini tidak perlu”. Suasana begini terjadi karena kita terjebak dalam suasana kaku, beku dan juga suka “jaga imej” alias mahal senyum. Karakter ini selalu kita pelihara sepanjang hari di tempat kerja.
Kegembiraan dalam bahasa Inggris adalah “fun”. Kegembiraan di tempat kita bekerja dan juga di tempat belajar, seharusnya menjadi trend yang baru. Banyak orang makin menyadari manfaat atas kata “fun” ini. Di beberapa tempat bisnis (pendidikan berkualitas, tempat bermain, perdagangan) banyak orang memajang kata “fun atau kegembiraan” sebagai daya terhadap pelanggan, ya karena di sana betul-betul ada pelayanan dengan aktivitas yang menyenangkan.
Kegembiraan di tempat kerja merupakan satu-satunya ciri penting dari organisasi dan sekolah yang terkenal kesuksesannya. Banyak orang dapat melihat dan merasakan hubungan langsung antara kegembiraan di tempat kerja dengan kreatifitas mereka. Untuk dunia pendidikan adalah kegembiraan siswa dengan hasil belajar mereka. Tempat kerja yang menyenangkan akan membuat seseorang bisa jadi produktif, bersemangat dan merasa puas. Mereka juga mempunyai rasa memiliki, rasa dilayani atau rasa melayani yang tulus.
“Fun” tidak hanya harus dilakukan oleh seseorang tapi juga oleh perusahaan. Sebuah perusahaan bisa sukses karena telah menjandikan kegembiraan (fun) sebagai bagian dari budaya perusahaan. Kegembirran telah menjadi strategi organisasi untuk mencapai hasil yang luar biasa di tempat kerja tersebut, mulai dari sesi pelatihan, rapat, hingga praktik perekrutan semuanya penuh dengan suasana “fun”.
Kalau begitu kegembiraan adalah elemen penting dalam kelangsungan hidup. Namun mengapa kita sering melupakannya dan menyisihkasnnya dari kehidupan kita. Gara-gara suasana kegembiraan kita buang atau kita jauhkan dari hidup maka ketegangan bisa timbul dalam jiwa kita. Diperkirakan bahwa awal dari munculnya gangguan jiwa adalah karena hilangnya perasaan senang dalam hidup ini. Coba amati, pasti teman-teman kita yang lagi stress atau depresi terjadi karena suasana “fun” sudah jauh dari mereka.
Sebenarnya suasana fun atau kegembiraan dapat kita ekspresikan dalam bentuk humor. Ya, bahwa humor bisa membantu seseorang dalam melewati krisis dan perubahan dalam hidup. Kegembiraan mampu membantu kita untuk mengendurkan ketegangan dalam fikiran. Dengan kata lain bahwa kegembiraan (mungkin dalam bentuk humor) dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menghadapi stress.
Orang-orang yang mampu mengintegrasikan kegembiraan ke dalam pekerjaan akan membuat mereka betah berada di tempat kerja. Siswa yang bergembira di kelas akan betah berada di sekolah. Kegembiraan yang diciptakan di tempat kerja (begitu juga untuk di sekolah) akan menular satu sama lain.
Umumnya fokus kegiatan yang kita lakukan dalam lingkungan tempat kerja meliputi kegiatan berkomunikasi, memberikan pelatihan, dan mengikuti rapat. Hemasth dan Yerkes (1997) mengatakan bahwa seharusnya setiap orang tidak perlu berpenampilan serius saat bekerja, tetapi cobalah untuk tertawa. Komunikasi mereka (kita) tidak perlu kaku, namun kita juga boleh membuat lelucon atau guyon. Kemudian bila kita memberikan pelatihan, maka kita tidak perlu berbelit-belit/ bertele-tele. Idealnya kita musti mempelajari saja hal- hal yang fundamental/ penting. Selanjutnya dalam rapat maka setiap individu perlu memperoleh penghargaan. Berikut ini adalah prinsip-prinsip bagaimana kita bisa “fun” dalam bekerja agar selalu enjoy dalam bekerja dan jauh dari suasana stress dan rasa bosan.
1). Sempatkan tertawa/ tersenyum saat bekerja. Siapa saja dapat menciptakan tempat kerja yang menyenangkan karena suasana menyenangkan berpengaruh positif pada produktifitas. Untuk meng-update lingkungan kerja dengan semangat yang penuh gembira maka kita harus menghargai kegembiraan sebagai hal penting. Kita harus yakin bahwa kegembiraan itu sangat essential. Jika kita ingin kegembiraan meresap ke dalam budaya kerja maka kita musti memulainya dengan diri sendiri, yaitu berusahalah untuk ceria.
Sebuah lingkungan kerja yang mendorong tumbuhnya suasana “fun” atau kegembiraan bisa ditandai oleh adanya energi positif. Di lingkungan ini musti ada penghargaan diri yang tinggi, dan semangat kerja sama- atau kerja kelompok. Untuk dapat melatih setiap orang agar dapat melakukan apa saja, maka terlebih dahulu kita harus memiliki motivasi. Suasana “fun” sendiri bisa meningkatkan motivasai. Kalau pekerjaan dan lingkungan kerja sudah menyenangkan maka hasilnya akan lebih baik.
Suasana kerja yang terlalu serius dapat mematikan semangat kerja. Banyak orang di tempat kerja yang terlihat serius, akibatnya kita dan juga setiap orang yang berada di dalamnya bisa menjadi stress. Orang yang bekerja dalam keadaan stress maka sifat kreatifnya akan rusak. Siswa yang belajar dalam keadaan stress juga tidak akan begitu kreatif. Di tempat kerja yang serius, maka humor dan keceriaan adalah hal yang langka. Padahal humor itu sendiri bisa akan memudahkan hubungan antar manusia. Humor dan lelucon yang tidak menyakitkan hati seseorang dapat menciptakan kegembiraan bagi kita dan teman di tempat kerja. Selanjutnya suasana yang humoris dan suasana ceria membuat setiap orang bisa beraktivitas tanpa ada rasa takut.
Dari pengalaman di dunia pendidikan terlihat bahwa guru yang memiliki rasa humor akan bekerja (mengajar) lebih baik daripada guru yang kurang memiliki rasa humor. Guru yang punya rasa humor akan menikmati pekerjaan/ profesinya. Seorang siswa yang berkarakter “serius dan gampang mendongkol” akan bekerja dengan suasana hati yang kurang enjoy dan hasil belajarnya juga akan nihil.
Adalah fenomena dalam masyarakat kita bahwa kehadiran anak anak dan bayi umumnya disambut gembira oleh anggota keluarga. Kedatangan anak-anak ke Play Group, TK dan PAUD juga disambut gembira guru pengasuh dan pembina. Para pedagang juga menyambut kedatangan pembeli. Namun tidak demikian halnya dengan kedatangan dan kehadiran siswa di SD, SMP, SMA/MA dan SMK. Mereka tidak lagi memperoleh perlakuan khusus. Kecuali pada beberapa sekolah yang menerapkan pelayanan unggul, “memberikan senyum, keramahan dan suasana yang menyenangkan”, hingga semua siswa akhirnya menjadi betah berada di sekolah. Idealnya suasana penyambutan siswa dan anak harus dihidupkan lagi. “Sambutlah kedatangan anak ke rumah, ke datangan siswa ke sekolah, ke datangan klien ke tempat bisnis” niscaya mereka merasa betah dan mereka menjadi kreatif.
2). Musik, selain suasana humoris, dan bercanda, menghidupkan musik juga bisa mendatangkan suasana gembira. Musik adalah bahan bakar yang bisa mendatangkan suasana “fun” atau kegembiraan. Penulis masih ingat bahwa ada seorang teman yang bekerja di percetakan. Ia selalu mendengar/ memutar musik yang ia sukai, maka produktivitasnya jadi meningkat “kalau tidak pakai musik aku merasa bosan dan mengantuk di ruangan ini”. Karyawan yang mendengarkan musik di tempat kerja akan merasa lebih antusias dan lebih santai. Hal yang kontra, penulis pernah mengajar pada sebuah sekolah berasrama (boarding school). Kebijakan di sana bahwa para siswa dilarang memutar music karena dianggap mengganggu belajar, namun akibatnya siswa menjadi agressif, bosan dan satu demi satu pindah dari boarding school ke sekolah lain. Kini sekolah tersebut selalu kekurangan murid sepanjang tahun, malah terancam akan gulung tikar.
3). Komunikasi adalah kunci dari kelangsungan aktifitas di tempat kerja. Komunikasi sebaiknya juga diekspresikan dengan suasana riang gembira. Mengapa banyak tempat kerja suasana komunikasainya serba serius, miskin bercanda dan tertawa? Yak arena banyak orang beranggapan bahwa bekerja itu harus serius dan bercanda itu dianggap bermain-main. “Tidak ada waktu, tidak cukup dan tidak akurat suasananya...!” Keluhan itulah yang paling sering didengar ketika seseorang membicarakan proses komunikasai di tempat kerja. Akhirnya orang suka menutup diri. Menutup diri berarti tidak lancer berkomunikasi dan memperoleh informasi. Kurangnya informasi bisa menjadi faktor penentu dalam keberhasilan atau kegagalan dalam mengambil keputusan, negosiasi dan hubungan social.
Seorang karyawan yang tidak memperoleh informasi tentu tidak akan bertanggung jawab secara penuh “Wah aku tidak diberitahu dan aku tidak mau bertanggung jawab”. Informasi adalah kekuatan- information is power. Tempat kerja (begitu juga dengan lingkungan sekolah dan rumah) yang sehat emosinya harus kaya dengan informasi. Model pendekatan terbuka sangat tepat untuk meningkatkan keterlibatan dan pengayaan informasi pada anggota (juga terhadap karyawan dan siswa).
Informasi di tempat kerja perlu disampaikan dengan cara yang tepat dan dengan kepekaan. Jika suasana komuniksasi sangat menyenangkan dan mengesankan maka kita akan memperoleh perhatian dari orang yang diajak dalam berkomunikasi. Komunikasi juga merupakan kunci penting untuk meraih keberhasilan dalam aktifitas di tempat kerja.
Bila kegembiraan telah menjadi budaya kita, maka kita (dan banyak orang) akan lebih santai dan terbuka untuk memikirkan ide-ide baru yang kreatif dan inovatif. Sebuah senyuman akan berpengaruh positif pada suara kita. Orang biasanya akan merespon kita lebih baik jika kita tersenyum saat berbicara dengan mereka. Kalau kita perhatikan fenomena di zaman phone mobile ini bahwa orang tidak hanya tersenyum saat berbicara langsung, namun saat menelpon orang juga tersenyum dengan partner yang tidak terlihat yang jaraknya mungkin puluhan kilometre. .
Orang yang suka jaim (jaga imej- istilah anak muda sekarang untuk orang yang mahal senyum) mungkin sering komunikasai mereka tidak lancar. Padahal dalam memuluskan komunikasai, senyum bisa menjadi kunci keberhasailan atas aktifitas mereka. Komunikasi yang buruk akan bisa menciptakan kerumitan dan kebingungan. Orang yang berbahagia adalah orang yang memperhatikan kualitas komunikasi- menciptakan suasana kegembiraan dan mengurangi konflik, hingga akhirnya setiap orang akan merasa puas.
4) kegembiraan dalam Pelatihan dan rapat. Pelatihan dan rapat adalah dua bentuk kegiatan yang selalu ada di tempat kerja. Idealnya pelatihan jangan bertele-tele, tetapi harus menyentuh hal-hal yang fundamental (hal yang mendasar). Sering suasana rapat sangat membosankan. Yang berbicara adalah orang yang berbakat ngobrol dan sisanya menjadi pendengar atau menjadi pelengkap saja, dimana mereka tiap saat selalu melihat putaran jam dan berharap agar rapat segera berakhir.
Rapat itu idealnya harus bersuasana gembira. Bayangkan, biaya rapat itu kadang-kadang cukup mahal. “Ya ada biaya transport, biaya konsumsi, biaya key noter-speaker”. Namun apakah ada hasil sepadan yang diperoleh ? Apalagi kalau rapat diwarnai oleh pemimpin yang killer atau yang pemarah. Seharusnya suasana rapat juga harus gembira, karena gembira bisa menjadi katalis untuk sebuah rapat yang efektif. Kegembiraan dan humor juga dapat digunakan dengan tepat. Ini dapat mengurangi ketegangan dalam rapat dan menciptakan suasana yang mendorong terciptanya dialog yang terbuka, adanya keberanian untuk mengungkapkan opini dan keterbukaan pemikiran.
Dalam rapat dan dalam berkomunikasi sangat mutlak diselipkan unsure penghargaan. Karena penghargaan adalah alat manajemen yang paling efektif dalam mengurus sosial, namun kita (dan banyak orang) kadangkala kurang memanfaatkannya. “Semua orang ingin penghargaan, bukan ?”.
Ya, semua orang butuh penghargaan. Kita tahu bahwa saat menghargai orang maka mari kita bumbui dengan kegembiraan (dengan senyum), agar suasananya jadi lebih hidup dan akan selalu dikenang orang. Kalau ada orang yang berfikir bahwa keseriusan adalah milik orang dewasa, orang yang senang bercanda dianggap “ke kanak-kanakan”. Kalau boleh kita tidak seperti demikian. Karena orang dewasa yang berkarakter serba serius akan mudah jadi tegang dan stress. Oleh sebab itu, sekarang mari kita berfikir bahwa suasana “fun” (bergembiraan dan bercanda) juga harus dilakukan oleh orang dewasa saat bekerja, ini perlu dilakukan agar suasana di tempat kerja selalu menyenangkan.
36. Kualitas Diri
Tidak saja Indonesia yang menggunakan sekolah berlabel unggul untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Amerika Serikat yang pendidikannya sudah dapat dikategorikan sangat baik masih mempelopori sekolah unggulan. Walau Negara ini tidak menggunakan label yang kentara dengan sebutan “school plus” atau “excellent school”. Walau bagaimana gebrakan Amerika selalu menjadi kiblat bagi Negara lain, termasuk Negara kita yang juga sering mengadopsi program sekolah Amerika.
Pendidikan kita, kadang kala, terasa masih bercorak gaya tempo dulu. Orang tua dan guru masih suka banyak melarang. Kebiasaan banyak melarang telah membuat anak menjadi sulit untuk mengambil nisiatif, miskin inovasi dan kreatifitas. Kalau kita sulit untuk melakukan prakarsa dan mengambil keputusan, suka menunggu dan senang untuk diatur, maka ini adalah buah dari hidup dalam rumah dan sekolah yang membudayakan “suka melarang”. Kini saatnya berubah, dalam pendidikan tidak tepat lagi kalau terlalu banyak melarang dan mengatur, namun memberi kebebasan positif.
Salah satu pusat belajar unggulan di Amerika Serikat, yaitu metropolitan learning center interdistrict magnet school for global and international studies (http://www.mlc.crec.org). Stakeholder pendidikan menjanjikan kecerdasan pada anak didik untuk menghadapi masa depan yang maju. Prinsip pengajaran yang dianut oleh pusat belajar ini adalah “let them talk, let them lead, let them learn, let them join, let them play, let them live, let them dance/ move, in the break time- let them eat”. Dari semua frase tadi, yang perlu dicatat adalah kata “let” atau “biarkan”. Ini berarti sebuah kata untuk pembebasan dan mendorong mereka untuk menjadi kreatif dan inovatif, serta kontra dengan kemalasan dan suasana yang statis.
Ciri cirri keunggulan pertama dalam pembelajaran di sekolah MLC adalah kebebasan dalam berekspresi atau let them talk. Di Negara Negara berkembang atau di sekolah yang kualitas pendidikannya rendah, kebebasan dalam berekspresi kurang terwujud, malah ekspresi anak didik cendrung terbelenggu atau tidak ada saluran untuk mengekspresikannya. Dalam kelas hanya guru yang sibuk berbicara, dalam event-event sekolah anak didik Cuma pintar berekspresi berdasarkan hafalan.
Kepemimpinan di sekolah unggulan ini bukan bercirikan “one man show” dalam arti hanya monopoli atau otoriter seorang kepala sekolah. Namun kesuksesan kepemimpinan sekolah unggulan ini adalah karena team work antara Kepla Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Eksistensi Staff sekolah, juga eksistensi dari ketua jurusan untuk mata pelajaran . Team work kepala sekolah memotivasi, member model dan menemani agar anak didik untuk merencanakan masa depan dan hidup ini perlu ambisi atau cita-cita, setiap anak didik harus punya ambisi.
Cinta belajar adalah budaya utama di sekolah MLC yang telah membuat sekolah memiliki daya tarik ibarat magnet atau magnet school. Di sekolah sekolah yang kualitasnya sering dipertanyakan yang menjadi cirri khas atau budaya adalah warga sekolah yang gemar hura hura atau kongkow, duduk bareng bareng dan tertawa terbahak bahak. Saling meledek, saling meremehkan berpotensi membuat orang untuk malas berkembang. Anak didik yang telah membudayakan gemar belajar selalu berfikir dan berusaha bagaimana mereka bias sukses. Mereka sangat yakit dengan ungkapan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah berkah yang bisa datang kalau dikejar.”Belajar ketika belajar dan bermainlah ketika bermain”. Siswa di sekolah MLC tampak sangat professional, begitu untuk belajar dating maka mereka segera serius dan berkosentrasi dan berharap tidak ada yang mengganggu, “Maaf teman saat saya belajar mohon jangan mengganggu”.
Sekolah SMA di Indonesia mengenal ada tiga jurusan yaitu jurusan IPA (sains), jurusan IPS (Ilmu Sosial) dan jurusan Bahasa. Maka entah mengapa orang dan siswa sangat mengagungkan jurusan IPA dan memandang sebelah mata jurusan bahasa, dan jurusan IPS sebagai jurusan kelas dua. Di sekolah MLC (metropolitan learning center) juga ada penjurusan. Ada siswa yang belajar di SMA dengan core class (Kelas Inti), elective class (kelas elektif) dan essential class (kelas Esensial). Semua jurusan ini terisi oleh anak didik, ini berarti tidak ada prima dona kelas seperti kelas di sekolah kita.
Mata pelajaran pokok pada core class adalah matematika, ilmu social, bahasa Inggris, bahasa asing dan sains. Di jurusan elective class, siswa mempelajari mata pelajaran “seni, sejarah dunia, geografi manusia, bahasa Spanyol, sastra dan kalkulus, akuntasi, anatomi dan ilmu jaringan, fitness dan ilmu gizi. Sedangkan di kelas essensial, anak didik mempelajari seni, kesejahteraan personal, literature keuangan, music, latihan sains, bahasa dunia, seminar. Setiap siswa memahami agar menjadi orang yang well-rounded (orang berguna) maka harus menjadi well-educated (orang yang kaya ilmu dan wawasan).
Mata pelajaran yang diajarkan pada ketiga jurusan ini ibarat lingkaran yang saling bersinggungan. Coba kita lihat mata pelajaran dalam juruan di SMA, ibarat tiga linggaran yang hamper tidak bersinggungan. Anak anak yang lulusan dari jurusan IPA, saat kuliah akan melahap semua jurusan yang semestinya disediakan untuk jurusan ilmu social atau ilmu bahasa. Penjurusan di SMA telah menciptakan siswa yang sangat membanggakan jurusan IPA dan secara tidak langsung jurusan social dan bahasa menjadi inferior.
Ciri-ciri lain dari sekolah unggulan, atau sekolah yang berkualitas adalah para siswa yang sangat bangga dan menghargai guru-guru mereka. Tentu saja ini terjadi karena guru guru di sana sangat professional, menguasai mata pelajaran dan hangat dalam berkomunikasi dan bergaul dengan siswa mereka. Hubungan guru dan urid di sana bercirikan kekeluargaan, siswa atau murid dengan leluasa mengekspresikan isi hati dan fikiran pada guru mereka dan tentu saja sang guru akan memberikan respon positif, appresiati atau penghargaan.
Daftar Pustaka
Aning S, Floriberta.(2005). 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta :
Narasi.
Anna Heart (2009). Makanan Versus Vitamin Untuk Mencegah Penyusutan Otak dan Alzeimers. Sacramento: UCLA
Beatrice, Didiot. 2001. L’etat Du Monde: annuaire economique geopolitique mondial. Paris: Editions La Decouverte & Syros.
Colin Roze dan Malcom J. Nicholl. (2003). Accelerated Learning For the 21st Century, Cara
Belajar Cepat abad 21. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
David Meier,(2002). The Accelerated Learning Handbook. Bandung: Kaifa.
De Porter, Dkk.(2002). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Didiot, Beatrice. (2001) L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial. Paris: La Decouverte.
Echols, John M dan Hassan Shadily .(2006). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Pt Gramedia,
Nurhayati Tafsir (2008). Meniti Karir Masa Depan. Jakarta: Pt. Tunas Melati.
Hemsath, Dave dan Leslie Yerkes. 1997. 3001 Cara Agar Fun Di Tempat Kerja. Jakarta: Erlangga.
Jennifer Shroff (2008) Reducing Kid’s Stress .(http://kidshealth.org)
Kim Kyung-Hoon (2010). Berjalan Mencegah Otak Menciut di Hari Tua. London: reuters (http://www.tempointeraktif.com)
Manurung, M.R dan Manurung, Hetty (1995). Manajemen Keluarga. Bandung: Indonesia
Publishing House.
Michele New (2008) Understanding Depression.(http://kidshealth.org)
Waringin, Tung Desem (2008) Financial Revolution. Jakarta: PT. Gramedia Utama
Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zoeverdi, Ed.(1995). Siapa Mengapa Sejumlah Orang Minang. Jakarta: BK3AM DKI)
Biografi Penulis
Marjohan, M.Pd, adalah Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Program Pelayanan Keunggulan Kabupaten Tanah Datar, pernah menjadi Guru Teladan Tingkat Propinsi Sumatra Barat. Tulisannya sering terbit pada koran Singgalang, Serambi Pos, Haluan dan Sripo (Sriwijaya Post), juga pada situs wikimu.com dan E-newsletterdisdik (Situs Departemen Pendidikan Sumatra Barat). Pernah menulis pada jurnal Speleologie, Perancis. Ia telah menulis buku dengan judul “School Healing- Menyembuhkan Problem Sekolah (Pustakan Insan Madani, Yogyakarta)” dan “Generasi Masa Depan-Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan (Bahtera Buku, Yogyakarta). Ia menikah dengan Emi Surya dan memiliki dua orang anak- Muhammad Fachrul Anshar dan Nadhilla Azzahra. Korespondensi dengan Marjohan dapat dilakukan pada Mobile Phone : 085263537981 atau e-mail) : marjohanusman@yahoo.com .
I am MARJOHAN USMAN, the teacher at Senior High School. I like to meet many people and I like travelling. I love teaching and I love the world of kids. I have email : marjohanusman@yahoo.com and my youtube channel is: https://www.youtube.com/results?search_query=marjohan+usman
Kamis, 09 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"
SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...
-
Semangat Eksplorasi Dan Kualitas Pendidikan Oleh. Marjohan M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar Kata lain dari “eksplorasi” adalah menjelajah....
-
Orang Lintau Juga Bisa Jadi Doktor (Inspirasi dari pr...
-
Naskah Buku The Inner Changing-Perubahan Dari Dalam Diri Ditulis oleh : MARJOHAN M.Pd Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Kab. Tanah Datar, S...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them