Orang
Tua Yang Ambisius Berpotensi Menciptakan Anak-anak Yang Penggugup
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Berkompetisi
atau perlombaan dan persaingan terjadi pada semua lini, termasuk pada dunia
pendidikan. Setiap awal tahun akademik banyak anak-anak dan memperoleh dorongan
dari papa dan mama agar bisa memasuki sekolah yang bergengsi. Cukup mudah untuk
mengenali sekolah yang punya nama, biasanya punya label ekstra seperti “sekolah
model, sekolah percontohan, sekolah excellent, sekolah unggulan, sekolah
perintisan, dll”. Mayarakat sangat mencatat nama-nama sekolah tersebut.
Sejak
level Sekolah Dasar, para guru, kepala sekolah untuh mewanti-wanti dan
mempersiapkan anak didik mereka buat meneruskan pendidikan ke SMP dan ke
Madrasah yang bergengsi. Begitu juga buat tamatan SMP/ MTsN juga memompa
motivasi siswa mereka untuk berlomba sebanyak mungkin untuk memasuki SMA
favorite. Itu sangat bagus karena di sekolah tersebut terjadi percepatan proses
pembelajaran. Lingkungan belajar terkondisi agar anak-anak bisa belajar lebih
mandiri dan lebih bertanggung jawab.
Apa
keuntungan bagi suatu sekolah mendorong para siswa untuk memasuki sekolah
favorite ? Tentu saja buat mendongkrak nama sekolah dengan sebutan sebagai
“sekolah yang berprestasi, sekolah yang sukses, sekolah berkualitas, sekolah
unggulan, dll” agar sekolah tersebut menjadi lebih laris dan selalu diincar
oleh para calon siswa dan para orang tua mereka.
Bagi
para siswa di tingkat SLTA (terutama di SMA, Madrasah) mereka berlomba-lomba
mempersiapkan diri buat melanjutkan ke Perguruan Tinggi favorite yang mana
utamanya berjejer di pulau Jawa. Semua siswa sudah hafal nama PT favorite
seperti ITB, UI, IPB, UNPAD, UNDIP, UGM, UB, ITS, UPI dan untuk di luar pulau
Jawa mereka menyerbu Jurusan Kedokteran, karena dianggap masa depannya lebih
cerah.
“Pucuk
dicinta ulam pun tiba- harapan bersambut”, maka para CEO industri pendidikan
berlomba mendirikan pelayanan bimbingan belajar (Bimbel) agar para siswa yang
berbakat bisa meraih skor yang tinggi. Pada mulanya tempat tempat bimbel hanya
berada di ibukota propinsi, seperti di Padang buat Propinsi Sumatra Barat.
Namun akses bimbel yang berkualitas sejak beberapa tahun terakhir telah hadir
dan menjamur hingga ibukota kabupaten. Malah bagi sekolah yang ingin selalu
menjaga gengsi sekolah sebagai sekolah peraih skor akademik tertinggi telah
berlapang dada dan membuka tangan untuk mendatangkan “Program Bimbel” di
lingkungan sekolah, dengan harapan anak didik mereka bisa megisi bangku-bangku
di PT favorite di pulau Jawa.
Memang
keberadaan program pencerdasan siswa fokusnya adalah pada bidang akademik. Anak
atau siswa yang dianggap hebat adalah kalau dia mampu meraih rata-rata skor
100, khususnya untuk bidang studi yang terlibat dalam UN (Ujian Nasional).
Untuk memotivasi agar semua siswa mampu meraih skor sempurna maka “nama siswa
yang jagoan bimbel” dengan skor tinggi,
fotonya dan pujiannya dipajang pada baliho dengan ukuran besar di sepan sekolah
dan di depan gedung bimbel.
Para
orang tua juga diundang agar terlibat untuk menggiring siswa buat menjangkau
skor setinggi mungkin, sebab bila skornya tinggi maka PT yang favorite juga
jurusan yang favorite sudah menunggu siswa cerdas di depan mata. Lagi pula bila
mampu kuiah di PT favorite maka lulusan dari sana bakal mampu berkarir di
perusahan hebat dengan gaji yang sangat menjanjikan.
Tentu saja para
orang tua menjaga baik-baik akan statement
ini. Jadi sejak awal sekolah, mungkin di semester satu, para orang tua
sudah memprogram agar anak mereka harus ikut bimbel di luar jam sekolah. Tentu
saja biaya bimbel cukup mahal, karena program pengayaannya memang bagus dan
ruang kelas dibikin sejuk- full AC-
dan terang benderang. Bagi orang tua harga bimbel memang terasa namun “Indak kayu janjang dikapiang- nggak ada
uang tetap akan diusahakan” buat membiayai bimbel putra-putri mereka.
Setelah
putra-puti mereka ikut bimbel yang berharga mahal, maka para orang tua
memotivasi, menagih hingga memaksa mereka ikut program bimbel hingga tuntas. Kalau
malas berarti mengecewakan orang tua. Kini semua anak peserta bimbel harus bisa
membuktikan dan memberikan skor yang tinggi.
“Wah sebagian
merasa senang dan cukup banyak merasa terpaksa dan stress. Apalagi mereka
dipaksa bisa menjadi perfek: hebat dengan angka, hebat dengan huruf dan hebat
pengetahuan umum. Ibarat seekor hewan ajaib dimana dia harus hebat berenang,
hebat terbang, hebat memanjat dan dan hebat merayap”. Inilah hakikat dari
pengejaran untuk pencerdasan secara kognitif.
Dari jatah waktu
anak yang berjumlah 24 jam, mayoritas hanya tersedia buat tidur dan amat banyak
untuk urusan akademik. Al-hasil mereka kesulitan mencari waktu buat ikut
kegiatan sosial, utuk bisa berbagi dengan sesama, untuk melatih otot dan
kesenian mereka. Memang cukup banyak peserta bimbel yang saat mengakhiri bangku
SLTA mereka menorehkan skor akademik yang tinggi dan akhirnya disambut oleh PT
favorite.
Setelah melalui
proses pembelajaran di PT selama 8 semester, tentumereka juga terbiasa dengan
pola tumbuh dan berkembang yang kurang luwes, sekedar cerdas akademik namun
miskin dengan keterampilan hidup. Akhirnya bisa wisuda, namun mereka terlahir
sebagai orang cerdas namun hanya sebagai penumpang kendaraan atau “pencaker-
pencari kerja”. Buka sebagai driver/ pengemudi atau seorang yang punya naluri
untuk mendirikan lapangan pekerjaan.
“Headline pada koran Singgalang (13
Januri 2017), sebuah koran terbitan Padang, dengan yaitu: Lowongan di PT Seen
Padang, Kuota kurang dari 100, namun pelamar 40 ribu orang” Apa maksudnya ?
Bahwa 40 ribu pelamar termasuk bagi mereka yang sangat yakin bahwa kalau IPK
Tinggi, kalau Juara Satu sejak dari bangku sekolah maka hidup akan muda.
Pernyataan ini sangat diyakini oleh para guru, kepala sekolah, para siswa dan
banyak orang tua.
Tidak ada
ruginya bagi kita- para orang tua yang mampu secara finansial- untuk
mendaftarkan anak untuk ikut belajar di lembaga bimbel. Karena bisa memperkaya
wawasan kognitif anak dan juga membantu anak buat memahami pelajaran yang
kurang dia pahami. Yang kurang bijak adalah “mendaftarkan anak ke bimbel
kemudian memberi tekanan padanya agar mampu menjadi orang yang “the best” untuk semua bidang studi. Bila
sang anak mampu meraih skor setinggi mungkin maka kelak jalan mudah menuju PTN
favorite terbuka lebar dan pada akhirnya kehidupannya, lewat kemampuan kognitif
yang hebat, hidupnya akan indah dan mudah. Apakah memang benar ?
Cerdas hanya
sebatas kemampuan “kognitif atau teori yang diperoleh dari sekolah saja” tidak cukup buat sukses dalam kehidupan. Namun
juga harus punya multi-intelegensia, terutama cerdas afeksi dan soft-skill (keterampilan sosialnya).
Tony Wagner,
dalam bukunya The Global Achievement Gap (2008) menulis tentang cerdas afeksi.
Kalau anak mau survive di abad 21, maka dia perlu memiliki tujuh skill, yaitu:
1)
Critical
Thinking and Problem Solving
2)
Collaboration
across network and leading by influence.
3)
Agility
and adaptability
4)
Initiative
and entrpreneurealism
5)
Effective
oral and written communication
6)
Accessing
and analyzing information
7)
Curiosity
and imagination.
Nah telah banyak
putra-putri kita yang kuliah di PT dan wisuda menjadi sarjana, tetapi mengapa ?
Dari 100 % yang lulus, yang mampu mencari kerja sebanyak 20 % dan yang menjadi
pengangguran cukup banyak, yaitu 80 %. Kenapa demikian...?? Ya karena mayoritas
hanya sekedar menonjol untuk cerdas dalam berteori- sekedar jago dengan
kognitif. Dan teori- teori yang dipelajari dalam ruangan kelas tidak bisa
diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Apa yang harus mereka miliki ?
Wagner melakukan
survey ke berbagai perusahaan. CEO perusahaan-perusahaan besar seperti Apple
mengaku tidak tertarik dengan score test- seperti Score IPK (Indeks Prestasi
Kumulatif) atau nilai Ujian Nasional. Kalau mereka merekrut tenaga atau SDM,
yang mereka perhatikan bukan hasil ujian tulis, tetapi adalah mereka yang
“Pandai Bertanya” dalam berdiskusi. Assumsinya adalah bahwa orang yang pandai
bertanyaberarti orang yang punya critical thingking dan tahu masalah. Maka
tinggal lagi buat encari solusinya.
Tujuan utama
pendidikan adalah bukan untuk anak punya skor UN yang tinggi dan lulus ujian
sekolah. Tetapi mengantarkan siswa menjadi manusia yang punya pikiran kritis
dan dan bisa memecahkan masalah. Selanjutnya cerdas membangun kerjasama serta
jiwa kepemimpinan. Ini tidak mungkin dimiliki oleh siswa yang banyak mengurung
diri, kurang bergaul dan tidak terbiasa dengan tanggung jawab.
Siswa yang punya
waktu buat aktif dalam peran sosial tentu akan memiliki kecerdasan adaptif,
punya inisiatif, juga cerdas mengakses dan menganalisis informasi. Melalui
pergaulan yang berkualitas mereka akan memiliki kecerdasan berkomunikasi lisan
dan tulisan dengan baik.
Prof. Dr
Zainudin Maliki, Guru Besar UNAIR, yang tulisannya saya peroleh lewat grup
WhatsUP, menulis bahwa hanya perusahaan yang enggan untuk maju yang terbiasa
merekrut SDM berdasarkan skor UN dan nilai yang tinggi. Sementara itu banyak
maju lebih tertarik mencari SDM yang cerdas affektif nya, mau kerja keras- ini
bagi mereka yang suka berolah raga, inovatif, imajinatif, kreatif, pandai
berteman dan membuka jaringan, serta berani mengambil resiko.
Orangtua bukan
guru (a teacher) yang bertugas untuk bidang kognitif (proses berfikir) namun ia
adalah seorang “educator” yang punya peran dalam membentuk karakter- seperti
keberanian, disiplin, kerajinan, tanggung jawab, dll. Namun selama ini orang
tua hampir-hampir melepaskan peran sebagai pembentuk karakter dan akhlak. Dia
telah berperan pula dalam membentuk kognitif anak, dan ini tidak salah, yang
salah adalah dia memaksa anak untuk menjadi jago pada semua bidang studi.
Anak-anak lewat,
senyumnya, dipaksa-paksa untuk menjadi jago matematika, jago fisika, jago
kimia, jago baha inggris, jago akuntansi, dan semua bidang studi. Anaknya lelah
dan tumbuh menjadi orang pencemas dan penggugup. Mengapa ? Karena mereka punya
orang tua yang “ambisius”.
Bagaimana
seharusnya ? Apa orang tua dari negara maju juga ambisius sehingga
memaksa-maksa untuk jago pada semua bidang studi ? Meggy Tandjaja-
seorang Hotelier di Beringin Dua Hotel- Provinsi
Maluku (https://www.linkedin.com/pub/meggy-tandjaja) berbagi opini tentang bagaimana
menumbuhkan (mendidik) anak-anak agar menjadi maju, dengan meniru prinsip
positif para orang tua di negara maju, seperti di Jepang dan Amerika. Apa yang
membuat suatu negara maju? Berdasarkan pengamatannya selama berinteraksi dengan
orang-orang dari negara maju seperti Jepang dan Amerika, ada beberapa hal yang
sama yang membuat mereka tampak lebih "tua" dari pada kita orang
Indonesia.
Inilah prinsip
dan nilai yang lebih ditekankan oleh orang tua pada anak- anak mereka;
- Mandiri, Sejak
dini, mereka sudah diajarkan untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri, seperti
membereskan piring setelah makan dan mencucinya, hingga mereka remaja.
- Tidak Mudah Menyerah, Secara
finansial, tidak semua orang asing berasal dari keluarga berada. Secara
psikologis, rata-rata dari mereka akan tetap mencoba melakukan sesuatu sendiri,
tidak merengek atau meminta tolong orang lain kecuali terpaksa. Contoh
sederhana saja, si A yang masih mendapat uang jajan dari orang tuanya. Ternyata
uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidupnya, jadi ia putuskan mencari
pekerjaan untuk menambah uang sakunya daripada meminta kepada orang tua.
- Berani Keluar dari Zona
Nyaman, Rasa ingin tahu yang tinggi membuat mereka berani
mengeksplorasi sesuatu. Meskipun itu berarti harus meninggalkan negerinya
selama beberapa waktu. Mereka percaya bahwa eksplorasi membuka lebih banyak
wawasan dari sekedar teori buku atau cerita pembawa acara di TV. Mereka
cenderung lebih suka beraktifitas di luar ruangan dan pergi ke tempat-tempat
yang belum mereka kunjungi sebelumnya, sekalipun hal tersebut dilakukan seorang
diri.
- Menghargai Privasi, atau yang lebih
dikenal dengan kata "cuek". Mungkin sikap yang satu ini agak
bertentangan dengan kebiasaan kita yang senantiasa peduli dengan lingkungan
sekitar kita. Saking pedulinya kita, terkadang sampai masalah pribadi orang
lain juga ingin tahu.
- Sederhana, karena
sejak muda sudah terbiasa hidup mandiri, biasanya mereka cenderung berpikir
praktis, tidak berbelit-belit. Yang paling nampak adalah dari segi penampilan.
Mereka cenderung tampil apa adanya dalam keseharian mereka. Yang wanitanya pun
hanya memakai makeup yang menonjolkan sedikit saja kelebihan wajah. Aksesoris
yang dikenakan pun tidak mencolok.
- Peduli Lingkungan, masalah
kesehatan dan kebersihan adalah keluhan umum yang sering didengar. Sehat
tidaknya makan pagi hari itu, bersih tidaknya toilet umum, sampai polusi udara
yang membuat mereka menggunakan masker saat keluar gedung. Meskipun bukan
aktifis lingkungan yang sering terjun ke lapangan, mereka mengupayakan
setidaknya di tempat tinggalnya memenuhi kriteria kebersihan dan kesehatan yang
mereka harapkan, atau paling tidak mendekati.
- Menghargai Waktu, ini
hal klise yang akan terus diulang sampai seluruh masyarakat Indonesia sendiri
disiplin waktu. Orang asing dikenal sangat disiplin waktu. Untuk hal janji
bertemu, rata-rata mereka biasanya sudah siap di tempat yang dijanjikan 5 menit
sebelumnya. Dalam hal keseharian mereka, meskipun hanya pelajar, mereka punya
segudang kegiatan layaknya orang-orang pada tahap usia orang bekerja Indonesia
misalnya seperti bertemu teman baru, bekerja paruh waktu, atau membaca buku.
Penggunaan telepon genggam atau smartphone sangat minim bila bersama
teman-teman karena waktu bersama teman-teman pun sangat berharga.
- Sikap Baik, baik
dan sopan pada siapa saja bahkan kepada orang yang paling menyebalkan
sekalipun. "Selama orang itu tidak mengusik hidupku, aku akan baik-baik
saja padanya." Bahkan bagi orang Jepang, mengajak orang seperti itu pergi
makan bersama lebih baik. "Ia sudah berusaha keras (menjadi orang baik),
hanya belum berhasil. Kita harus menyemangatinya (dengan mengajaknya pergi
makan bersama)."
- Hidup Selayaknya Makhluk
Sosial, meskipun dari negara maju yang teknologinya serba
canggih, mereka masih memilih berkomunikasi secara riil dengan orang lain.
Bahkan mereka lebih suka dikirimkan kartu pos atau surat daripada surel.
Menurut mereka, komunikasi langsung sangat penting, bisa mempererat hubungan
sosial satu dengan yang lain.
Itulah
beberapa sikap positif yang tumbuh dan berkembang, dimana para orang tua sangat
punya peran untuk menumbuhkannya. Jadinya orang tua di negara kita tidak perlu
terlalu ambisius hanya membentuk anak untuk cerdas secara kognitif, namun ia
tumbuh tanpa memiliki nilai disiplin, kemandirian, keberanian, tanggung jawab,
kreativitas, dll.
Jadi yang perlu
dikembangkan pada anak kita adalah nilai nilai seperti: mandiri, tidak mudah
menyerah, berani keluar dari zona nyaman, menghargai privasi, sederhana, peduli
lingkungan, menghargai waktu, sikap baik, dan hidup selayaknya makhluk sosial.
(Catatan:
Tony Wagner (2008). The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don't
Teach the New Survival Skills Our Children Need--And What We Can Do About It. New York: Basic Books.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them