Bagaimana
Memilih Profesi
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Profesi merupakan topik yang cukup
banyak diperbincangkan orang. Kata lain dari profesi adalah “pekerjaan atau
karir”. Mencari profesi telah terjadi sejak masa anak-anak. Seorang anak kecil
dengan lantang menyebutkan lusinan profesi yang bakal mereka raih bila dewasa
kelak. Ada yang ingin menjadi presiden, menteri, pilot, dokter, polisi,
perawat, tentara, dan beberapa profesi yang konkrit lainnya di depan mata
mereka.
Saya dan saudara saya sewaktu kecil
ingin menjadi “penjual ayam” dan abang saya ingin menjadi “penual jeruk”. Kalau
dijadikan dengan istilah kerennya bahwa kami ingin menjadi “pengusaha ternak
dan pengusaha buahan”. Kenapa demikian ?
Sewaktu kecil ayah saya seringmengajak
saya (dan abang saya)pergi rekreasi ke luar rumah- mengunjungi temannya.
Beberapa orang teman ayah sangat baik. Kami diajak ngobrol dan melihat-lihat
ternak ayam dan kebun jeruk mereka. Ketika mau pulang teman ayahmenyelipkan
oleh-oleh/ bingkisan ke dalam kantong kami. Betapa baiknya teman ayah itu
kepada anak kecil, sehingga kami berdua mengidolakan mereka dan kami ingin
memilih profesi kelak ingin seperti profesi yang mereka geluti.
Seiring bergulir waktu saya mencari
profesi buat masa depan saya. Saya ingin menjadi dokter karena kulit saya lebih
cerah dibanding abang saya. Sementara abang saya yang badannya lebih tegap dan
kuat ingin menjadi polisi atau tentara- ya persis profesi ayah sebagai seorang polisi.
Setamat SMA malah profesi kami ternyata masih belum
jelas. Saya ingin melanjutkan kuliah ke IPB karena ingin menjadi ahli dalam
bidang pertanian, sementara abang saya ingin masuk pendidikan taruna AKABRI.
Namun kami berdua gagal dalam pilihan profesi tersebut.
Setiap awal tahun, saya sering ikut menjadi tenaga
perekrut siswa baru buat sekolah tempat
saya mengajar. Saya mewawancarai para calon siswa dan mengajukan sejumlah
pertanyaan, contohnya:
“Kelak bila sudah dewasa, kamu mau jadi apa ?”. Mayoritas
calon siswayang sedang saya wawancarai
menjawab mereka ingin menjadi dokter, yang
lain ingin menjadi guru, perawat, pokoknya ingin jadi pegawai.
“Mengapa begitu banyak yang ingin jadi pegawai?”.
Setelah membalik-balik dokumen ternyata ayah dan ibu
mereka mayoritas berprofesi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ya beginilah
jadilanya kalau jumlah PNS di negeri ini begitu berlimpah ruah jumlahnya,
sehingga anak-anak dan cucunya juga
ingin menjadi PNS atau bekerja sebagai orang kantoran.
Cita-cita ingin menjadi pegawai atau
PNS lebih banyak diungkapkan oleh anak perempuan. Sementara calon siswa yang
pria memberikan jawaban sedikit lebih bervariasi. Ada juga yang ingin menjadi
dokter, juga ada yang ingin berprofesi dalam bidang teknik. Ada yang ingin berprofesi
di teknik perminyakan. Dalam imajinasi mereka bahwa kalau bekerja di perusahaan
perminyakan maka akan menyembur sangat banyak uang. Disamping itu juga ada yang
ingin berprofesi sebagai penguasaha.
“Pengusaha di bidang apa?”
Namun kata pengusaha itu sendiri cukup abstrak. Mereka protes saat saya klarifikasi apakah
mereka ingin berprofesi sebagai pengusaha tempe, pengusaha ayam potong, atau
pengusaha bahan bangunan. Semua klarifikasi tersebut memperoleh bantahan,
karena itu semua adalah pengusaha rendahan dan murahan.
Terkesan dari wajah mereka bahwa pekerjaan yang hebat itu
adalah pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan mata pelajaran yang mereka
anggap sangat bergengsi seperti “Kimia, fisika, matematik, biologi, akutansi, dan
ekonomi”.
Terlihat bahwa pilihan profesi siswa yang saya wawancarai
cenderung bersifat konvensional dan berorientasi pada akademik. Atau kalau
ditanya lebih detail, maka mereka sendiri juga kebingungan untuk
mendeskripsikan profesi yang lebih
spesifik (cita-cita yang lebih jelas). Saat saya melakukan konfirmasi ulang
maka lagi-lagi mereka menyebutkan profesi yang sudah konvensional “menjadi
dokter, spesialis anak, spesialis jantung, dosen, insinyur, direktur bank, yang
ujung-ujungnya ingin menjadi PNS, pegawai BUMN atau orang bekerja di kantoran.
Pada hal dalam kebijakan Presiden Jokowi bahwa pintu PNS
sudah hampir ditutup. Untuk itu diharapkan kepada para mahasiswa bila telah
wisuda kelak harus mencari profesi selain PNS. Sangat bagus kalau mereka mampu
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Saat penerimaan pegawai PNS masih mudah, mahasiswa yang
punya IPK tinggi punya kesempatan yang kuat
buat jadi PNS atau menjadi dosen. Namun sekarang tidak lagi, kalau ada
yang menjadi dosen, ya tentu menjadi dosen honorer yang honornya sangat kecil-
karena perguruan tinggi bukan gudang uang. Uang lebih mudah datang kalau
bekerja di Perusahaan atau kalau berdagang. Maka sekarang bahwa IPK- Indeks Prestasi Kumulatif- yang tinggi
atau biasa-biasa saja hanya sebagai hiasan pada ijazah. Secara berseloroh
bahwa IPK hanya berguna untuk bisa
wisuda. Jadinya semangat berwirausaha dan leadership
jauh lebih berharga.
Suatu ketika saya berjumpa dengan
seorang wisatawan Malaysia, yang aslinya keturunan kota Batusangkar- Sumatera
Barat. Saya tertarik ngobrol dengan anak lelakinya bernama Raihan. Ia tergolong
anak cerdas dan masih sekolah di Primary
School di Malaysia. Saya tertarik mencari tahu tentang cita-citanya di masa
depan. Saya berfikir mungkin ia bakal tertarik menjadi seorang dokter,
apoteker, seorang pilot. Ya sebagaimana cita-cita anak-anak Indonesia.
Ternyata Raihan ingin bercita-cita dalam bidang kuliner.
Ia ingin memiliki restoran yang besar di kota Kuala Lumpur dan menyediakan
kebutuhan kuliner berbasis masakan Asia, seperti masakan Jepang, Korea,
Indonesia dan India. Mengapa ia tertarik berprofesi dalam bidang resto dengan
kuliner internasional ?, karena Raihan suka membantu ibunya memasak masakan
lezat di rumahnya di Malaysia. Cukup beda dengan cita-cita yang diungkapkan
oleh siswa saya, meski mereka diberi label sebagai siswa unggulan, namun mereka
hanya mampu menyebutkan profesi yang konvensional, atau profesi yang muluk-muluk,
yang mungkin jauh dari jangkauan mereka.
Memang benar, bahwa cukup banya siswa Indonesia, hanya
mampu bercita-cita dalam ilusi, yang tidak jelas, kurang spesifik dan terkesan
di luar jangkauan. Satu atau dua semester setelah mereka bersekolah sebagai
siswa di SMA Unggulan, saya kembali mencari tahu tentang profesi mereka.
Dan kali ini dari jawaban, mereka mayoritas ingin kuliah
di perguruan tinggi favorit. Dan mereka menyebutkan perguruan tinggi yang
bertengger di pulau Jawa. Kalau ditanya mau mengapa setelah tamat dari
perguruan tinggi favorit tersebut (?). Umumnya mereka terdiam, tidak tahu apa
pekerjaan yang spesifik setelah itu. Dengan demikian mereka- termasuk para siswa dari sekolah unggulan- hanya sebatas tahu untuk memburu tempat kuiah
yang favorit saja. Dalam fikiran mereka bahwa dibalik perguruan tinggi tersebut
akan terbentang sukses dan perguruan tinggi akan memberi mereka sebuah
pekerjaan yang mudah. Sehingga ada yang bercita-cita kuliah hebat dengan
deretan gelar yang panjang dan gaji yang berlipat. Ya demikian cita-cita banyak
siswa yang nggak jelas.
Suatu ketika saya berjumpa dengan grup student-exchange, ada rombongan siswa
dari Jerman. Saya sempat bertukar cerita yang panjang dengan salah seorang
siswa yang bernama Lewin Gastrich. Lewin menjelaskan tentang profesinya di masa
depan. Ia memberi perincian, bahwa selepas dari Secondary School, ia akan mendaftar di Akademi Penerbangan, karena
ia suka terbang dan senang dengan tantangan ketinggian. Dan lebih ke depan ia
akan bekerja di Badan Penerbangan Luar Angkasa.
Tekhnologi penerbangan luar angkasa yang sudah ia baca
adalah seperti di Jerman, Perancis, NASA- di Amerika Serikat,Rusia, dan China.
Ia memperkirakan bahwa yang lebih mudah untuk ia akses kelak adalah Badan Luar
Angkasa dari Rusia. Namun ia terkendala dengan bahasa. Maka dari sekarang ia
sangat rajin belajar Bahasa Rusia secara otodidak dengan memanfaatkan Google di
internet. Sayamemahami bahwa cita-cita yang dipaparkan oleh Lewin Gastrich
lebih jelas dan lebih terperinci untuk menggapainya.
Saya tidak bermaksud menyanjung dan
memuci siswa dari Malaysia, Jerman dan dari negara lain. Kita berharap agar para
siswa di Indonesia, apalagi dari sekolah berlabel unggul, mampu untuk mendesain
cita-cita mereka. Cita-cita itu adalah tujuan dan perlu perencanaan yang lebih
jelas dan lebih terarah. Mengapa siswa luar negeri memiliki cita-cita yang
jelas dan para siswa di sekitar kita bingung dalam mencari profesi masa depan
mereka?
Faktor wawasan, informasi atau ilmu
pengetahuan adalah sebagai faktor penentu seorang siswa bisa memiliki cita-cita
atau memiliki visi dan misi di masa depan. Adalah fenomena bahwa membaca yang
intensive belum menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Coba lihat berapa
betul orang yang terbiasa membaca- berlangganan koran dan majalah. Ya betul
berlangganan koran adalah sesuatu yang amat langka dalam masyarakat kita,
apalagi buat berlangganan majalah.
Selanjutnya bahwa tidak begitu banyak masyarakat kita
yang terbiasa membaca buku. Buku yang berkualitas menjadi hal yang langka buat
kita temui di rumah-rumah masyarakat. Jadinya masyarakat kita adalah masyarakat
yang minim ilmunya- pantaslah peringkat SDM negara kita di dunia tidak begitu
menggembirakan.
Guru di sekolah yang berfungsi buat mencerdaskan
anak-anak bangsa juga belum membudaya untuk membaca- membaca koran, majalah dan
buku-buku motivasi.Kalau para guru sendiri juga malas dalam membaca maka Ilmu para
guru hanya sebatas menguasai buku teks, sementara kebutuhan hidup anak didik mereka
melebihi dari ilmu buku teks.
Sudah jadi fenomena, karena lemahnya konsep literasi,
banya anak-anak sejak dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi juga tidak
terbiasa membaca. Itulah jadinya banyak anak-anak di sekolah belajar hanya
sebatas 4D, yaitu datang, duduk, dengar dan diam.
Kalau di Sekolah Dasar, seorang anak harus menguasai
kemampuan tiga R, yaitu Reading, wRiting
dan aRismetic. Untuk reading atau
membaca, para siswa hanya sebatas mampu membaca satu huruf, satu kalimat, atau
sebatas tahu A-Be-Ce dan De. Belum lagi sebatas mampu membaca dan menamatkan
lusinan buku. Itulah jadinya anak didik tidak banyak yang memahami tokoh-tokoh
kehidupan lagi. Karena mereka tidak terbiasa membaca, mereka tidak memiliki
majalah lagi. Dalam zaman cyber,
anak-anak tenggelam dalam permainan game
on-line.
Seperti yang kita lihat pada judul bahwa”siswa kita perlu
memiliki cita-cita yang lebih jelas”, dalam kenyataan mereka memiliki cita-cita
yang ngawur, ngambang, kalau kuliah, hanya sebatas memburu universitas
bergengsi, setelah wisudamalah jadi bengong. Ini adalah problema bagi kita.
Suatu problema dapat disorot dari sudut “sebab dan akibat”.
Penyebab mengapa siswa kita tidak memiliki cita-cita yang
jelas, adalah karena mereka memilki ekplorasi yang minim. Ekplorasi diperoleh
lewat menjelajah atau mengenal lingkungan secara langsung. Namun mereka
terbiasa mengurung diri di seputar rumah, kurang mengenal lingkungan yang dekat
hingga lingkungan yang jauh. Program rekreasi dan eksplorasi belum menjadi
agenda ke luarga. Kemudian, ekplorasi juga bisa bisa diperoleh lewat membaca,
sesuai dengan pernyataan sebuah ungkah “dengan membaca buku kita bisa menjelah
dunia”. Nah siswa kita sendiri adalah orang belum terbiasa membaca hingga jelajah
mereka terbatas.
Karena guru dan orang tua juga terbatas wawasan mereka,
maka mereka juga tidak mampu menjawab tantangan cita-cita mereka. Jadinya
setiap kali sang anak bertanya “Apa cita-cita saya yang terbaik ?”. Maka
jawabnya selalu, ingin menjadi PNS, guru, dokter, bidan, perawar, insinyur,
kerja di Bangk. Pokoknya bekerja menjadi anak buah terus. Hingga anak mereka
belajar dan kuliah, memperoleh IPK yang tinggi tetapi selalu tertarik sebagai “Job Seeker”- pencari kerja, menjadi
kerja kantoran, menjadi bawahan anak buah.
“Jadi apa yang diperlukan ?”
Para siswa membutuhkan bimbingan karir atau profesi.
Itulah ketinggalan kita. Di sekolah luar negeri, guru-guru dan terutama guru counseling membantu anak dalam
membimbing profesi mereka. Bukan selalu menjadi guru yang mengurus anak
bermasalah hingga selalu memasang wajah angker dan suara killer. Di sekolah Secondary
College di Norwood, yang sempat saya lihat, guru counseling adalah guru tempat curhat tentang profesi/karir dan
kehidupan bagi para siswa. Menjadi guru yang dicari, disenangi, bukan guru yang
ditakuti.
Ya siswa kita memang membutuhkan bimbingan karir, agar
mereka memiliki profesi yang lebih jelas. Siswa kita banyak yang sudah sukses
dalam mengejar skor- skor yang tinggi. Mereka cukup pintar dalam belajar, mampu
menjadi sang juara di kelas- menjadi juara umum. Mereka belajar serius di
sekolah, rumah dan malah juga ikut kursus atau bimbel (bimbingan belajar).
Namun bingung dalam mencari cita-cita.
Cita-cita klasik mereka yaitu ingin jadi presiden, jadi
menteri, jadi dubes, jadi gubernur, jadi dokter, jadi tentara/ polisi, dll. Ya
sebuah cita-cita dari yang tertinggi sampai yang terendah. Atau cukup banyak
yang bengong dengan cita-cita dan jawaban mereka:
“Bingung dengan masa depan, tergantung papa dan mama.
Tergantung nilai raport, tergantung wali kelas, tergantung hasil ujian/ hasil
T.O. Atau itu belum kepikir sekarang…yang penting saya harus belajar dulu”.
Karena cita-cita mereka mengambang dan kurang jelas
jadinya cita-cita mereka jadi berubah-ubah. Apa efek dari cita-cita yang berubah?. Ya tentu saja pilihan jurusan
berubah, pilihan gaya belajar berubah, pilihan tempat kuliah berubah. –Visi
hidup juga bisa berubah.
Mereka perlu memahami pemilihan
profesi. Paling kurang pemilihan
profesi ala Box-Hill (2011) atau John L. Holland, yang sempat saya kunjungi di
Melbourne. Yaitu pemilihan pekerjaan/
profesi yang merupakan hasil dari
interaksi antara faktor, seperti hereditas (keturunan), pengaruh budaya, teman
bergaul, orang tua, mentor atau orang dewasa yang dianggap memiliki peranan
yang penting.
John Lewis Holland merupakan
seorang Professor Sosiolog dan Psikolog di Universitas John Hopkin, Amerika
Serika. Ia terkenal sebagai pencipta model pengembangan profesi. Setiap siswa perlu tahu bahwa ada enam tipe
pribadi berdasarkan pilihan kerja (yang telah diciptakan Holland), yaitu tipe
realistis, intelektual, sosial, konvensional, usaha, dan artistik.
1) Tipe realistis
Ciri-cirinya yaitu;
mengutamakan kejantanan, kekuatan otot, ketrampilan fisik, mempunyai kecakapan,
dan koordinasi motorik yang kuat, kurang memiliki kecakapan verbal, konkrit, bekerja praktis, kurang
memiliki ketrampilan sosial, serta kurang peka dalam hubungan dengan orang
lain. Orang yang bertipe ini sukanya tugas-tugas yang konkrit, fisik,
eksplisit/ memberikan tantangan. Untuk memecahkan masalah memerlukan gerakan,
kecakapan mekanik, seringkali suka berada di luar gedung. Contoh pekerjaan:
operator mesin/radio, sopir truk, petani, penerbang, supervisor bangunan, ahli
listrik, dan pekerjaan lain yang sejenis.
2) Tipe intelektual
Kesukaanya adalah model
pekerjaan yang bersifat akademik, kecenderungan untuk merenungk, berorientasi
pada tugas, kurang suka terlibat dalam bersosial. Membutuhkan pemahaman,
menyenangi tugas-tugas yang bersifat abstrak, dan kegiatan bersifat intraseptif (keras/tegas). Sukanya tugas dengan kemampuan
abstark, dan juga bersifat kreatif. Ia suka memecahkan masalah yang memerlukan
intelejensi, imajinasi, peka terhadap masalah intelektual. Kriteria
keberhasilan bersifat objektif dan bisa diukur, tetapi perlu waktu yang cukup
lama dan bertahap. Ia tertarik pada kecakapan intelektual dari pada manual.
Kecakapan menulis juga mutlak untuk dimiliki. Contoh pekerjaan: ahli fisika,
ahli biologi, kimia, antropologi, matematika, pekerjaan penelitian, dan
pekerjaan yang sejenis.
3) Tipe sosial
Ciri-cirinya: suka membantu
orang lain, pandai bergaul dan berbicara, bersifat responsive, bertanggung
jawab, punya rasa kemanusiaan, bersifat religious membutuhkan perhatian,
memiliki kecakapan verbal, punya
hubungan antar pribadi yang baik, menyukai kegiatan-kegiatan yang rapi dan
teratur, menjauhkan bentuk pemecahan masalah secara intelektual, lebih
berorientasi pada perasaan. Sukanya menginterpretasi dan mengubah perilaku
manusia, serta berminat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Contoh
pekerjaan: menjadi guru, pekerja sosial, konselor, misionari, ulama, psikolog
klinik, terapis, dan pekerjaan lain yang sejenis.
4) Tipe konvensional
Ciri-cirinya: kecenderungan
terhadap kegiatan verbal, ia
menyenangi bahasa yang tersusun dengan baik, senang dengan numerical (angka) yang teratur, menghindari situasi yang kabur atau
abstrak, senang mengabdi, mengidentifikasikan diri dengan kekuasaaan, memberi
nilai yang tinggi terhadap status dan materi, ketergantungan pada atasan.
Sukanya proses informasi verbal dan
menyukai matematik secara kontinu, suka kegiatan rutin, konkrit, dan bersifat
sistematis. Contoh pekerjaan: sebagai kasir, statistika, pemegang buku, pegawai
arsip, pegawai bank, dan pekerjaan lain yang sejenis.
5) Tipe usaha
Ciri-cirinya: menggunakan ketrampilan berbicara dalam
situasi dan kesempatan untuk menguasai orang atau mempengaruhi orang lain,
menganggap diri paling kuat, jantan, mudah beradaptasi dengan orang lain,
menyenangi tugas-tugas sosial. Menyenangi kekuasaan, status dan kepemimpinan,
bersifat agresif dalam kegiatan lisan. Sukanya tugas dengan kemampuan verbal untuk mengarahkan dan
mempengaruhi orang lain. Contoh pekerjaan: sebagai pedagang, politikus,
manajer, pimpinan, eksekutif perusahaan,
perwakilan dagang, danpekerjaan lain yang sejenis.
6) Tipe artistik
Ciri-cirinya: senang
berhubungan dengan orang lain secara tidak langsung, bersifat sosial dan suka
rmenyesuaikan diri. Sukanya adalah artistik, memerlukan interpretasi atau
kreasi bentuk artistik melalui cita-rasa, perasaan dan imajinai. Suka
mengekspresikan diri dan menghindari keadaan yang bersifat intra-personal, suka
keteraturan, atau keadaan yang menuntut ketrampilan fisik. Contoh pekerjaan:
menjadi ahli musik, ahli main drama, pencipta lagu, penyair, dan pekerjaan lain
yang sejenis.
Dari uraian di atas dapat kita
simpulkan bahwa anak didik perlu memiliki cita-cita yang lebih jelas. Untuk itu
dari usia dini, mereka sudah terbiasa bereksplorasi, budaya membaca untuk
menambah wawasan sangat penting bagi orang tua, guru dan siswa sendiri.
Kemudian mentor, guru dan orang tua perlu memberikan bimbingan karir bagi
siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them