Budaya
Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Saat saya terbang dengan pesawat
Qantas dari Jakarta menuju Melbourne, saya menemui pemandangan dan pengalaman
baru di bandara Ngurah Rai- Bali, Bandara Sydney dan bandara Tullamarine
Melbourne. Tiga bandara dengan banyak orang asing. Saya menyukai Indonesia dan
mengapresiasi warga Indonesia sangat banyak. Namun saya lihat ada perbedaan dalam pemanfaatan waktu
senggang.
Yang berkulit coklat, saya asumsikan
sebagai orang kita, selama dalam pesawat lebih suka ngobrol dan anak-anak muda
sibuk main game dengan gadget.
Sementara yang berkulit putih lebih memilih tidur, mendengar e-book atau
membaca buku yang sengaja mereka persiapkan dari rumah buat dibaca selama
perjalanan.
Saya jadi teringat dengan catatan
membaca literasi para siswa di dunia yang saya baca pada salah satu dinding
bagian dalam di rumah puisi Taufik Ismail di Aie Angek dekat Padang Panjang,
Sumatra Barat. Sella Panduarsa Gareta (2014) menyelami sastra di rumah Taufik
Ismail, menyatakan bahwa ada beberapa negara yang mewajibkan siswa mereka untuk
membaca buku- novel, biografi, dan buku sastra lainnya, yakni sebagai berikut:
“Bahwa siswa Thailand Selatan,
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam diwajibkan oleh pihak sekolah membaca 5
sampai 7 buku dalam waktu sekitar dua tahun. Siswa Rusia, Kanada, Jepang, Swiss
dan Jerman diwajibkan pihak sekolah membaca 12 hingga 22 judul buku. Siswa
Perancis, Belanda dan Amerika Serikat diwajibkan pihak sekolah membaca 30 judul
buku dalam waktu dua tahun.” Bagaimana dengan di Indonesia ?
Siswa SMA di Indonesia tahun 1929
hingga 1942 juga membaca sekitar 25 judul buku pertahun. Yaitu di saat nama
sekolah AMS Hindia Belanda, AMS itu singkatan dari Algemeene Middlebare School.
Saat di sekolah AMS Hindia Belanda dahulu siapa yang membaca 25 judul buku
pertahun ? Itu yang namanya Soekarno, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara,
Muhammad Natsir, Ali Sastromijoyo dan Muhammad Yamin. Namun dari tahun 1943-
2008, siswa wajib membaca nol buku pertahun.
Di negara-negara maju yang saya
tangkap pengertiannya bahwa betapa pendidikan di negara tersebut kegiatan
membaca literasi telah melampaui target ketuntasan sehingga semua anak-anak
sekolah sangat menyukai membaca dan membaca telah menjadi kebutuhan utama
mereka. Sementara kemampuan membaca untuk pendidikan kita- dari kacamata dunia,
kemungkinan belum mencapai target sempurna. Hanya baru sebatas kenal abjad dan
mampu membaca peggalan dongeng ringan.
Membaca dalam pendidikan kita baru
sebatas pemberian PR. Guru-guru menugaskan siswa buat membaca dan membuat
ringkasan. Siswa membuat ringkasan dan membaca dengan perasaan enggan, bosan
dan mendongkol.
Saat membaca terasa sangat berat dan
membosankan bagi kebanyakan siswa SD di negeri kita, sementara itu membaca di
negara Skandinavia terasa sebagai kebutuhan primer. Begitu pulang sekolah para
siswa dari kelas rendah membawa buku cerita atau novel anak-anak yag ukurannya
cukup tebal. Membaca dengan antusias dengan bantuan orang tua di rumah. Membaca
kemudian meningkatkan kualitas verbal dan komunikasi mereka, juga menggugah
imajinasi mereka hingga mereka menjadi siswa terkemuka.
Ngainun Naim (2013: 1-7) memaparkan
tentang potret buram membaca literasi di negara kita. sebuah data paradoks
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang sukses menjadi model untuk
pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik. Namun angka yang sedemikian
menggembirakan ternyata tidak seiring dengan hasil survei UNESCO tentang minat
membaca masyarakat Indonesia. Survei tersebut menunjukan bahwa minat membaca
masyarakat Inonesia sangat redah. Tahun 2006, minat membaca masyarakat
Indonesia berada pada posisi paling rendah di kawasan Asia. Sementara International Educational Achievement
mencatat bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan
ASEAN.
Apa yang menjadi penyebab membaca
belum bisa menjadi budaya ? Sesungguhnya siapapun orangnya, apa pun profesinya,
memiliki tradisi membaca. Maka semua profesi punya kontribusi positif untuk
membangun budaya membaca. Namun profesi yang paling menggalakan minat membaca
adalah mereka yang berasal dari dunia pendidikan. Apalagi kegiatan sehari-hari
mereka juga dekat dengan dunia pengembangan ilmu.
Namun tampaknya dunia pendidikan
juga belum terlalu dekat dengan tradisi membaca. Banyak dosen dan guru ternyata
belum banyak yang membaca secara tekun. Pada hal bagi mereka membaca merupakan
sarana yang paling efektif untuk memperkaya wawasan. Himbauan bahwa dosen dan
guru yang baik musti terbiasa membaca dan terus membaca untuk memperbarui dan
menambah wawasan serta ilmu pengetahuannya hingga mereka layaknya mencari orang
berlevel internasional.
Kesukaan
terhadap membaca yang tinggi saya temui pada Craig Pentland, teman Australia
saya, dimana kami sudah berteman sejak 22 tahun yang lalu. Setiap kali datang
ke Sumatra untuk berlibur dia selalu membawa dua atau tiga buku yang dibaca
selama berada di Sumatra. Tak jarang begitu liburannya berakhir dan ia telah
menyelesaikan membaca 2 atau 3 buku. Begitu juga dengan teman-teman saya dari
Eropa- Louis, Annes Bedos dan Francois, juga memanfaatkan waktu istirahat
mereka buat membaca buku-buku. Saat membaca mereka terlihat sangat fokus dan
sangat menikmatinya.
Desi
Anwar (2015: 90-93) seorang wartawan yang produktif dan seorang host pada Metro
TV juga berbagi pengalaman tentag betapa membaca itu sangat penting dan sangat
menyenangkan. Dia sudah gemar membaca sejak masih kanak-kanak. Pengalaman
membacanya dimulai dengan membaca novel pada usia 7 tahun. Dia masih ingat
betapa asyik rasanya memegang buku, terasa berat dan serius. Pada mulanya Desi
membaca degan susah payah, halaman demi halaman, seperti mahasiswa yang
bersemangat menghadapi ujian. Dia sudah bertekad menyelesaikannya dan ia
mengharuskan dirinya menyelesaikannya. Akhirnya dia merasakan kesenangan dalam
membaca. Membaca telah membawanya ke masa yang lain, membaca telah menjadi
sumber kesenangan yang sejati. Ya benar bahwa membaca adalah keunikan sejati
yang dapat kita miliki karena membaca berarti menyerahkan diri kita kepada
semua indra.
Pertama
kali membaca bukusaya memang merasakan kesulitan dan kejenuhn dalam menaklukan
halaman demi halaman. Dan buku pertama yang taklukan adalah sebuah buku
biografi milik teman satu kos saya. Nama bukunya “Pasang Surut Pengusaha
Pejuang- Otobiografi Hasyim Ning”. Buku tersebut hanya setebal 392 halaman,
namun terasa sangat tebal dan sangat berat saat itu.
Yang
penting saat itu saya sudah punya motivasi untuk membaca keseluruhan isi buku
tersebut. Maka mulailah saya menamatkan buku tersebut dengan cara memaksa diri.
Pada mulanya saya coba membaca 10 halaman, kemudian istirahat dan membaca 10
halaman lagi. Saya buat target buat menamatkan keseluruhab halamannya. Saya
biasakan membaca buku dengan menggunakan pensil.
Bila
ada hal-hal yang penting buat saya maka akan saya garis bawahi. Nanti setelah
saya menamatkan buu tersebut baru saya pindahkan ke buku catatan saya. Akhirnya
dengan susah payah saya berhasil mematkan membaca buku tersebut dalam waktu
hampir 2 minggu. Saya kemudian membaca tiap, sekarang setelah hampir 30 tahun ,
membaca sudah terasa sebagai kebutuhan primer saya.
Setiap
orang yang telah terbiasa dengan budaya membaca mereka akan sangat beruntung.
Sementara itu membaca sangat direkomendasikan oleh Al-Quran (oleh Allah Swt): Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (Surat 96:1).
Budaya
membaca akan mampu buat melejitkan potensi diri. Ngainun Naim (2013:155-189)
mengupas tentang membaca dalam rangka menangkap makna dan meraih prestasi. Ada
banyak orang yang berubah karena membaca, misal lewat membaca biografi yang
bisa mengantarkan menjadi penulis hebat.
Salah
seorang yang hidupnya berubah karena membaca, khususnya membaca biografi
orang-orang terkenal, adalah Edward Bok. Pada masa kecilnya, Bok yang merupakan
imigran Belanda di Amerika hidup dalam kubangan kemiskinan. Dalam sejarah
hidupnya, Bok tidak pernah bersekolah lebih dari enam tahun.
Dia
meninggalkan sekolah ketika berumur tiga belas tahun. Sebagai gantinya ia mulai
mendidik dirinya sendiri. Dia menabung sampai dia mendapatkan cukup uang untuk
membeli ensiklopedi biografi Amerika. Kemampuan membeli ensiklopedi ini
membuatnya memperoleh banyak inspirasi dan membangun kreativitas dirinya.
Pengaruh bacaan tersebut mendorongnya untuk melakukan hal yang luar biasa. Dalam
perjalan selanjutnya, Bok menjadi penulis biografi yang ternama. Ia telah
mewawancarai ratusan tokoh terkenal dan menulis biografi mereka. Semua itu
bermula dari sebuah langkah mendasar, yaitu membeli dan kemudian membaca secara
intensif biografi mereka.
Salah
seorang pakar psikologi Indonesia adalah Prof. Dr. Ashar Sunyoto Munandar.
Dalam perjalanan panjang hidupnya, Ashar mengaku bahwa ia begitu dipengaruhi
oleh kata-kata yang tersusun rapi dalam aneka buku dongeng. Beberapa buku
cerita dari masa kecilnya yang berkesan adalah Dik Trom, Piltje Bel, dan buku
cerita karya Dr. Karl May. Bahkan, tanpa disadarinya, buku cerita itu pula yang
memberikan rangsangan imajinasi dan wawasan luas tentang kehidupan.
Kesempatan
meminjam buku bacaan di usia belia ini menjadi penanda signifikan bagi
munculnya minat besar Prof. Ashar untuk membaca. Sejak itu, minatnya membaca tumbuh pesat. Membaca dan terus
membaca telah menjadikan Prof. Ashar sebagai pribadi penuh kualitas sehingga ia
menjadi seorang pakar psikolog ternama di negeri ini. Bacaan cerita di masa
kecilnya telah menjadikan dia sebagai pribadi yang terus tumbuh dan berkembang.
Besarnya
pengaruh buku cerita juga dialami oleh penuis cerita yang cukup populer di
dunia melalui bukunya Harry Potter, dia adalah J.K Rowling. Ia menulis novel
legendaris tersebut dalam tujuh seri. Itu tentu saja merupakan hasil kerja
keras dan perjuangan J.K Rowling yang sangat luar biasa. Orang mungkin hanya
melihat dari sisi hasilnya saja. Padahal, kesuksesan yang diraihnya sesungguhnya
dipegaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah pengaruh bacaan pada masa
kecilnya.
J.K
Rowling menuturkan tentang kenangannya yang paling jelas mengenai masa kanak-
kanaknya. Adalah ayahnya yang duduk dan membacakan buku buatnya The Wind in the Willows. Bacaan demi
bacaan yang terus digelontor orang tuanya pada masa kecil J.K Rowling secara
tidak disadari telah membuat kesan hebat pada dirinya. Maka J.K Rowling mulai
memimpikan cerita- cerita fantasis yang anehnya memiliki alur yang bagus dengan
tokoh-tokoh yang begitu nyata.
Pengaruh
bacaan kemudian mendorongnya untuk menjadi seorang penulis. Menulis baginya
merupakan dorongan yang sangat hebat. Yang jelas membaca telah memberi
kontribusi besar pada kemampuan J.K Rowling dalam menulis. Kesuksesan yang kini
diraihnya merupakan akumulasi dari bacaan yang telah lengket dalam kehidupannya
semenjak kecil. Begitulah, membaca kisah hidup para tokoh telah mengubah
kehidupannya. Tentu saja ada banyak orang yang telah memperoleh manfaat positif
dari kebiasaan membaca.
Catatan:
Aa
Navis (1986). Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Otobiografi Hasyim Ning. Jakarta:
Grafiti Pers
Ngainun
Naim (2013). The Power of Reading-
Menggali Kekuatan Membaca Untuk Melejitkan Potensi Diri. Yogyakarta: Aura
Pustaka
Sella
Panduarsa Gareta (2014). Menyelami Sastra di Rumah Taufik Ismail. Jakarta:
Antara News (www.antaranews.com)
Desi
Anwar (2015). Hidup Sederhana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them