Para
Penggiat Dunia Pendidikan Harus Pro Dengan Konsep “Happy School”
Oleh:
Marjohan, M.Pd
Guru
SMAN 3 Batusangkar
Dewasa ini banyak sekolah dan juga lembaga
pendidikan yang berlomba untuk meningkatkan prestasi akademik. Para policy maker (pengambil kebijakan)
merancang berbagai program. Mereka mungking meciptakan berbagai bentuk smart
program atau program unggulan lainnya. Program unggulan yang terkesan kaku,
banyak membuat siswa tertekan dan jauh dari konsep gembira atau happy.
Happy
atau gembira adalah sebuah kata sifat. Kata ini memang penuh dengan daya tarik.
Semua orang bisa membayangkan suatu nuansa atau suasana, kalau kata ini
disandingkan dengan sebuah peristiwa atau kata benda, seperti: happy home, happy family, happy people, happy
parents, happy policemen, happy classroom, etc, etc. Maka tentu yang
terbayang adalah suasana penuh gembira, kehangatan, saling menerima,
menghargai, dimana juga ada unsur motivasi atau saling memberi semangat.
Peristiwa-peristiwa di masa lalu yang penuh kehangatan dan kegembira (happy) pasti akan berkesan dan teringat
sepanjang masa.
Pengalaman yang penuh bahagia akan diingat oleh
banyak orang. Gwang-Jo Kim, direktur UNESCO di Bangkok juga punya pengalaman
yang demikian. Dia menceritakan pengalamannya masa kecil, bahwa dia punya rasa
ingin tahu yang besar (curiosity)
tentang segala-seuatu yang terdapat dilingkungannya, hingga ia terpancing untuk
melihat, menyentuh dan mendengar lebih banyak.
Dia dilahirkan dan tumbuh di sebuah desa kecil di
Korea Selatan. Sekolah dimana dia menuntut ilmu dan menimba pengalaman
berlokasi di pusat desa, sekaligus sebagai pusat komunitas. Paa saat itu anak-anak
merasa sangat berbahagia berada di sekolah. Mereka belajar dan bermain bersama
teman dengan penuh rasa gembira. Ya memang bahwa sekolahnya berada dalam
suasana gembira. Hubungan yang terbentuk antara siswa guru begitu penting, ini
ditandai oleh hubungan penuh kehangatan.
Hari-hari belajar yang demikian merupakan bagian
yang sangat penting bagi setiap siswa. Suasana sekolah yang gembira, hubungan
antar individu yang penuh kooperatif dan sangat hangat juga menjadi faktor yang
penting dalam membentuk karakter dan membangun jalan menuju masa depan. Apakah
ada sekolah-sekolah yang selain sibuk merancang program akademik, namun juga
peduli dalam merancang konsep happy school ?
Tentu saja ada. Selama beberapa dekade, konsep
pendidikan (juga atmosfir sekolah) menjadi semakin kompleks. Ini dapat kita amati
melalui kondisi sosio-ekonomi. Suasana yang kompleks ini terjadi sebagai efek
dari perubahan demografi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat. Juga
dengan dengan terjadinya perubahan struktur dan tuntutan dalam kehidupan keluarga (masyarakat). Sebagai
imbasnya juga terlihat pada iklim banyak sekolah, yaitu para siswa yang tampaknya
kurang begitu berbahagia.
Ini terjadi karena terlalu banyak tekanan, tuntutan
dan harapan yang tinggi pada siswa. Atas nama peningkatan kualitas, berbagai
lembaga pendidikan merancang program yang pro-program serba instant dan serba
hebat, tanpa peduli pada suasana hati dan kebahagiaan siswa. Memang dewasa ini
terjadi fenomena yang memberi penekanan yang berlebihan pada siswa. Utamanya
untuk sisi akademisi.
Agar bisa meraih predikat “excellent- unggul” atau
menciptakan seorang anak bisa begitu hebat atau suatu sekolah menjadi cukup
bonafide, maka lihatlah pada prestasi akademinya. Jadinya untuk mewujudkan
mimpi atau ambisi ini, para siswa dijejali dengan “tes-tes-tes.....dan bentuk
tes lainnya”. Dengan arti dibentuk iklim multi persaingan atau karakter pro
berkompetisi.
Dalam dunia pendidikan dewasa ini juga ada lagi
tuntutan untuk penngkatan mutu. Bahwa para siswa harus mampu memiliki
keterampilan berfikir tingkat tinggi atau higher
order thinking skills (hots). Bahwa selama ini telah banyak dilakukan
pembenahan disana-sini, khusus untuk bidang edukasi. Seperti mendirikana pusat
belajar, workshop edukasi dan sekolah
keunggulan, dimana anak-anak dilatih dan diprogram untuk menjadi lebih hebat
dan siap berkompetisi. Namun begitu selesai dari program studi, mereka (para
siswa) ternyata telah menjadi warga yang sunyi, tidak mampu berkreasi atau
berbuat apa-apa. Usut punya usut itu semua terjadi gara-gara suasana belajar
atau pendekatan gaya belajar (PBM) yang banyak bernuana keterampilan berfikir
tingkat rendah atau Lower Order Thinking
Skills LOTS).
Sebagai konsekuensi juga terjadi reformasi pada gaya
mengajar para guru, yaitu megajar yang pro pada saintifik. Jadnya mereka juga
perlu belajar keras dan mandiri agar bisa menjadi para guru yang mampu
menciptakan PBM yang bernuansa HOTS. Tentu saja para siswa menjadi ujung
sasaran dari harapan yang tinggi. Maka kembali mereka memperoleh stressing dari para guru. Namun itu
tidak mengapa sepanjang atmosfir belajar dan mengajar penuh suasana damai,
kehangatan, kasih sayang, penghargaan dan saling menerima. Karena atmosfir yang
begini sangt penting.
Kita memahami bahwa semua anak (para siswa) berhak
untuk merasa bahagia dan menikmati kehidupan sosial yang positif di sekolah.
Bahwa suasana dan rasa bahagia hanya bisa diperoleh dengan membangun hubungan
persahabatan yang positif di antara warga sekolah- para guru, siswa, dan
stakeholder pendidik- dan juga melalui rasa memiliki dalam komunitas dan
masyarakat yang lebih luas.
Lebih lanjut, bahwa semua siswa juga berhak untuk
menjadi generasi yang bahagia dan damai (sejahtera). Generasi yang berbahagia
akan sangat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang penuh damai dan
sejahtera. Selanjutnya juga menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bagi
dunia.
Banyak orang berpendapat bahwa para oknum yang
menjadi trouble maker (pembuat
kerusuhan) dalam masyarakat berasal dari orang-orang yang juga merasa kurang
berbahagia (kurang punya arti) dalam hidup mereka. Bisa jadi mereka berasal
dari rumah yang tidak bahagia dan sekolah (lingkungan pendidikan) yang juga
tidak memberikan rasa bahagia.
Dorothy Law Nolte, seorang seorang pendidik dan ahli konseling keluarga dari
Amerika Serikat, karyanya yang membahas tentang anak akan belajar dari apa yang
mereka jalani. Cuplikan karya atau puisinya nya adalah sebagai berikut:
- Jika anak hidup dengan kecaman,
mereka belajar untuk mengutuk.
- Jika anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk melawan.
- Jika anak hidup dengan ejekan, mereka belajar untuk merasa malu.
- Jika anak hidup dengan kecemburuan, mereka belajar untuk merasa iri.
Ungkapan di atas adalah sebab dan akibat yang
berbentuk negatif. Penyebab anak berprilaku negatif terbentuk oleh sebab-sebab
yang negatif. Anak-anak (para siswa) akan meraup rasa berbahagia apabila mereka
memperoleh perlakuan-perlakuan positif, sebagaimana digambarkan dalam sambungan
puisi (ungkapan) berikut:
- Jika anak hidup dengan dorongan, mereka belajar
percaya diri.
- Jika anak-anak hidup dengan toleransi, mereka belajar kesabaran.
- Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi.
- Jika anak-anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai.
- Jika anak-anak hidup dengan kebaikan dan pertimbangan, mereka belajar
menghormati.
- Jika anak hidup dengan keamanan, mereka belajar untuk memiliki iman dalam
diri
mereka dan orang-orang tentang
mereka.
- Jika anak-anak hidup dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia
adalah
tempat yang bagus untuk hidup.
Bagi penulis bahwa “sekolah yang punya suasana
bahagia adalah segala-galanya”. Sekolah yang bahagia akan bisa menciptakan
kesejahteraan dan keharmonisan bagi generasi muda dan generasi-generasi
selanjutnya. Selanjutnya bahwa sebuah sekolah yang bernuansa “Happy School”
juga akan berkorelasi dengan dua hal, yaitu:
“Kalau di suatu sekolah terbentuk hubungan yang
positif (hubungan yang bahagia) maka kualitas pendidikan di sekolah tersebut
juga akan terbentuk”. Dua timbal balik dari kedua varibel ini (hubungan bahagia
sesama warga sekolah dan kualitas pendidikan) akan selalu berkaitan dan penulis
berharap agar semua sekolah perlu memberi kepedulian untuk selalu membangun
kondisi sekolah yang bahagia. Karena ini secara signifikan akan memberi dampak
pada eksistensi kualitas pendidikan di sekolah-sekolah kita.
Ada empat keterampilan belajar yang perlu dimiliki
oleh setiap iswa, sebagaimana yang disarankan oleh UNESCO. Semua siswa yang
pergi ke sekolah, maka mereka harus memahami konsep:
“learning to
do, learning to be, learning to get knowledge, and learning to live together.
Maka konsep Learning
to Live Together, merupakan dasar yang sangat penting untuk membentuk
konsep “Happy Schools”. Jadinya konsep
Happy School bisa menjadi prioritas
kompetensi kita sebagai kompetensi non-alademik. Kompetensi lain yang perlu
dimiliki oleh setiap siswa adalah seperti: kreativitas (mampu berkreasi), mampu
berkomunikasi dan mampu untuk kerja sama dalam tim atau teamwork. Mempersiapkan warga sekolah (para siswa) untuk memiliki 4
kompetensi ini merupakan persiapan yang sangat penting untuk menghadapi
hubungan masyarakat antar bangsa dan kehidupan nasional dan di internasional
yang selalu berubah.
Kini ada ribuan sekolah dan lembaga pendidikan yang
tersebar di Republik Indonesia. Semua sekolah dan lembaga pendidikan perlu merujuk
pada ketentuan Sistem Pendidikan
Nasional, dan setelah itu juga perlu memperhatikan arahan kebijakan pendidikan
yang di sarankan oleh UNESCO sebagai salah satu badan pendidikan dunia, karena
kita adalah juga warga dunia.
Sangat penting bagi para
penggiat dunia pendidikan agar harus pro dengan konsep “Happy School”. Mereka bisa menciptakan
sekolah yang bernuansa gembira atau happy
school bisa dalam bentuk konsep happy
classroom, happy students, happy teacher
dan happy parent. Ini harus mejadi
sumber inspirasi bagi semua sekolah, pembuat kebijakan, dan para ahli
pendidikan. Dengan demikian kita harus membawa rasa bahagia ke sekolah, karena
rasa bahagia akan mampu membangun suatu perdamaian (rasa damai) bagi setiap
siswa dan juga kesejahteraan bagi lingkungan sekitar, lingkungan nasional,
hingga lingkungan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them