Kamis, 01 November 2007

Kesehatan Jiwa Syarat Bagi Guru Untuk Mengajar

Kesehatan Jiwa Syarat Bagi Guru Untuk Mengajar
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com

Kondisi fikiran menentukan kondisi jiwa. Sebetulnya pekerjaan otak, fikiran adalah juga kerja jiwa. Pekerjaan jiwa seperti menyayan­gi, mencintai, membenci dilakukan oleh fikiran dengan mengaktifkan suasana hati atau perasaan. Maka untuk mendapatkan kesehatan jiwa. Mustafa Fahmi dalam bukunya “Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat”, terjemahan Zakiah Daradjat mengatakan bahwa kita harus dapat menyesuaikan diri kepada lingkungan. Dan lingkun­gan itu adalah seperti lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan manusia sendiri.
Disamping itu kita juga harus dapat mengendalikan diri yang patut dan yang tidak patut. Maka dalam hal ini kita perlu belajar untuk mencari ilmu pengetahuan. Memperoleh pengetahuan dapat dilakukan melalui bacaan yang dewasa ini mudah diperoleh dimana saja. Namun sekarang banyak orang tidak memanfaatkan kesempatan balk untuk memperoleh den menguasai ilmu paling kurang untuk keperluan diri terlebih dahulu.
Dalam hidup ini kita memiliki banyak kebutuhan, begitu pula dengan kebutuhan yang bersifat psikis yang kerap disebut dengan kebutuhan pribadi. Jiwa kita akan sehat kalau kebutuhan pribadi yang kita sebut juga dengan kebutuhan Psikososial dapat kita penuhi. Kebutuhan pribadi yang terpenting adalah seperti rasa kasih sayang, rasa sukses, kebebasan dan kebutuhan akan pengalaman dan kebutuhan akan rasa kekeluargaan.
Kita dapat menemukan banyak anak-anak yang lincah dan ceria. Kasih sayang yang mereka terima dari orang tua dan anggota keluarga membuat suasana jiwa mereka menjadi riang gembira. Jauh berbeda dengan anak-anak yang tinggal di panti-panti asuhan dan anak-anak dari keluarga berantakan. Mereka sering hidup gelisah, banyak bersedih dengan tetapan mata kosong. Sebetulnya yang mereka harapkan supaya hidup gembira adalah kasih sayang.
Untuk mendapatkan generasi­-generasi yang sehat jiwanya maka kebutuhan-kebutuhan ini seharus­nya sudah dibiasakan sejak usia bayi. Begitu pula terhadap anak­-anak didik di sekolah, ibu dan bapak guru harus mengenal kebutuhan-kebutuhan ini dan kemudian memberikannya kepada anak-anak didik. Setelah itu kita harus ingat bahwa kebutuhan-kebutuhan psikososial ini akan bertambah dengan meningkatnya usia individu.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa jika suasana lingkungan dan sosial tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka seseorang akan berusaha mencari jalan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin saja jalan yang tidak wajar, dengan demikian terganggulah proses penyesuaian diri. Kita sering melihat banyak pemuda ngebut di jalanan. Ini bisa jadi karena mereka ingin dianggap hebat, barangkali di rumah kurang memperoleh kasih karena orang tua sibuk dengan diri sendiri.
Dalam penyesuaian diri, bila seseorang bersikap lincah maka ia akan memperoleh kemudahan dalam bergaul. Seseorang dalam penyesuaian diri ada yang tetap mempertahankan kepribadiannya. Dan orang yang beginilah orang yang memiliki kepribadian yang utuh. Sebaliknya ada pula orang melepaskan kepribadian. Tentu saja ini kurang baik dan malah dapat mendatangkan kegelisahan jiwa. Orang yang tidak dapat mempertahankan kepribadiannya dia akan sulit atau akan memperoleh masalah apabila ia pulang kampung, kalau ia seorang perantau, sebab tingkah lakunya, tentu tampak berbeda dari keadaan semula. Ini sering dalam art konteks negatif.
Untuk itu kita harus bersikap wajar-wajar saja. Sebab tidak diragukan lagi bahwa orang yang wajar dalam kehidupannya, maka dalam masyarakat ia tampak lebih tenang dan kurang dihadapkan kepada persoalan sosial. Ini biasanya dapat dirasakan oleh pembimbing sosial, pemuka agama dan profesi yang berkaitan dengan sosial lainnya. Sebab tingkat pengenalan mereka ter­hadap lingkungan menyebabkan mereka lebih mengerti. Di sini tidak kita ragukan lagi bahwa orang yang wajar-wajar saja dalam kehidupan akan memperoleh ketenangan dan kesehatan jiwa. Untuk itu, sehatkan dulu jiwamu, kawan. Percayalah, kau dalam gelisah.
Kalau begitu ketenangan dan kesehatan jiwa bukan kita peroleh dari kejeniusan, karena ia tidak menjamin dalam kehidupan jiwa dan kehidupan sosial. Dan bagi guru di sekolah kesehatan jiwa adalaha syarat mutlak untuk bisa mengajar secara lebih mantap Okay !

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)



Siswa perlu tahu bahwa Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju

Siswa perlu tahu bahwa Tidak ada Istilah Terlambat Untuk Maju
(Berlatih Jangan 1 Kali Lipat Tapi 10 Kali Lipat atau lebih )
Oleh : Marjohan
marjohanusman@yahoo.com


Semua orang tentu sudah tahu bahwa masing-masing pribadi kita itu adalah unik. Kita menjadi unik kerena later belakang dan pen­galaman hidup yang kita lalui juga berbeda. Salah satu sifat kita yang unik adalah tentang bakat.
Memang setiap orang memiliki bakat yang berbeda dan bakat-­bakat yang ada pada did kita itu masih terpendam. Bakat yang ter­pendam ini kalau dapat kita gali akan membuat kita sendiri ter­heran-heran. Lebih-lebih setelah melihat kemampuan yang ter­simpan dalam diri kita itu.
Setiap orang bisa memperkembangkan bakat-bakat dan kecakapan- kecakapan sendiri asal ia ada mempunyai cukup has­rat untuk melakukannya. Ada seorang pelajar wanita, dulu ketika masih menjadi pelajar SD dan SMP hampir selalu diabaikan oleh teman-teman. Itu semua karena pribadi wanita itu dingin dan tidak menarik. Namun setelah berada di bangku SMU, lebih-lebih setelah duduk pada bangku kelas dua dam kelas tiga, ia tampak begitu dinamis dan menjadi kesenangan teman-teman. Malah setelah lulus SMU dan beberapa bulan kemudian ado kabar tentang dirinya bahwa us lulus dalam selek­si untuk memperoleh beasiswa untuk studi tentang ilmu mekanika di salah satu negara Eropa. Seorang familinya mengatakan bahwa ia dapat meraih kemajuan pada hari-hari akhir remajanya adalah karena ia mampu berfikir untuk mengembangkan bakat­-bakat yang tersimpan dalam diri setiap orang dapat mengem­bangkan bakat-bakat dan kecakapan yang terpendam asal ia mau. Banyak lagi orang-orang lain yang pada masa kecil dan masa remajanya biasa-biasa saja dan malah kurang diacuhkan oleh teman-temen dapat berhasil dalam perjalanan hidup berikutnya setelah bertekad untuk mengem­bangkan bakat-bakat yang terpen­dam. Ini pun akan dapat anda dan kita semua, alami asal kita mau berlatih dan berusaha sekeras­-kerasnya. Kita harus mau terus bertekun tanpa merasa bosan-bosan. Ada orang, sebagai contoh pada mulanya kurang memiliki rasa percaya diri karena tidak men­guasai cara berkomunikasi. Pada hal melihat dari latar belakang orang tua dan familinya menunjuk­kan bahwa ia bukanlah orang yang bertipe pendiam dan kaku. Maka ia melakukan praktek-praktek melatih diri dengan caranya sen­diri, akan tetapi tentu ia memer­lukan ketabahan den keberanian dan sampai pada akhirnya kekakuan-kekakuannya itu men­cair ibarat es diterpa panas mata­hari. Mereka yang kelak menjadi orang-orang yang pandai berbica­ra, mula-mula juga bersifat malu-malu dan merasa khawatir setelah mati.
Kebanyakan bakal ada yang membutuhkan pengekspresian lewat bahasa seperti bakat ber­pidato, menyanyi, bakat menjadi psikolog dan sebagainya. Tetapi kekakuan dalam berbahasa selalu sebagai kendala utama, kecuali setelah melatih diri. Bagi yang gering dilanda kegugupan dan mengekspresikan bahasa lisan mungkin baik sekali kalau setengah menit sebelum memulai berbicara untuk menarik notes dalam-dalam beberapa kali saja. Dengan demikian memasukkan banyak zat asam ke dalam badan kita dan ini akan menambah rasa percaya kepada diri sendiri dan menambah keberanian.
Dale Carnegie dalam bukunya “Cara mencapai sukses dalam memperluas pergaulan dan pandai bicara” mengatakan bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah jangan memperlihatkan kegelisahan seperti dengan membuka dan menutup kancing baju. Atau jangan pula memperlihatkan kegelisahan dengan memutar-mutar tangan. Jika perlu kita jelmakan kegelisahan kita dengan meletakkan tangan kita di belakang badan. Dengan cara begini terserah kita lagi.. Apakah kita menggerak-gerakan jari yang jelas tidak ada orang yang melihat dan tahu bahwa kita lagi. merasa gelisah.
Bagi orang yang ingin berpidato, dalam rangka mengembangkan bakat terpendam yang diperlukan bukanlah keberanian moril akan tetapi adalah kecakapan untuk menguasai syarat-syarat. Dengan berlatih terus menerus kita bisa menguasai syaraf dan diri sendiri. Dalam hal ini adalah kita harus membiasakan diri dengan cara mencobanya berulang-ulang kali. Dan kita harus tetap tekun dan jan­gan berhenti-henti atau seperti is­tilah umum hangat-hangat tahi ayam.
Salah satu kapuasan orang yang memiliki bakat memimpin adalah untuk mempengaruhi dan menguasai kawan-kawan. Tentu saja ini dalam arti positif. Maka bagi remaja yang berbakat dalam tentu dapat latih diri. Salah satu usaha adalah dengan mencoba untuk menjumpai lebih banyak orang yang mau belajar bersama dengan kita. Dan kemudian dengan suka rela kita coba untuk menjadi pemimpin. Sarana lain untuk melatih diri dalam hal kepemimpinan adalah dengan cara berlatih di depan kawan-kawan, di depan anak-anak dan di depan keluarga sendiri.
Comas dan ketakutan dapat mengganggu perkembangan bakat ini timbul akibat kebodohan dan keragu-raguan kita. Tetapi cemas disebabkan oleh kurang percaya diri kepada diri sendiri. Kecemasan dan ketakutan selalu timbul jika seseorang tidak tahu apa yang sesungguhnya harus dilakukan. Adapun jika kita senantiasa melakukan beberapa latihan maka, Insya Alah, kecemasan akan lenyap. Tentu saja kita jangan , terlatih sekali saja akan tetapi kalau perlu kita berlatih sampai sepuluh atau dua puluh kali.
Dalam usaha awal kita untuk mengembangkan bakat memang kita merasakan kesulitan. Sebab seperti dikatakan oleh orang bijak bahwa setiap permulaan itu susah dan setiap akhir itu adalah mudah. Bagi seorang calon guru yang sering berlatih berbicara atau seorang calon penulis yang ber­latih menulis tetapi sering dilanda kehabisan bahan. Maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan membuat kisah yang menarik asal kita tidak terlalu banyak berbicara tentang diri sendiri.
Ada orang yang apabila ber­cakap-cakap tentang pekerjaan hanya berbicara tentang soal-soal yang mengasyikkan dirinya sendiri belaka. Sebaliknya tidak, begitu. Kita mesti juga membicarakan yang menyinggung hal-hal yang menyenangkan bagi teman-teman dan orang lain. Untuk itu marilah kita berbacara dengan kawan-kawan dan kita bahas masalah kecil itu dari berbagai segi.
Orang membangun rumah den­gan membuat rencana lebih dahulu. Tetapi ada orang yang ingin untuk mengembangkan, bakat-bakat yang terpendam, seperti bakat untuk berpidato tanpa rencana. Perkembangan bakat adalah laksana perjalanan panjang yang mempunyai tujuan. Karena itu jalan ini harus kita rintis. Sebab siapa yang akan berangkat tanpa tujuan tentu akan tarsesat.
Seorang orator pemula atau penulis muda tentu ia perlu menyediakan catatan-catatan singkat. Sedangkan anak kecil yang berlatih berjalan, saja juga perlu memegang meja atau kursi untuk mengembangkan keinginan berjalannya.
Kita rasa dalam menggali bakat-.bakat terpendam ini tidak ada istilah terlambat. Maka sangatlah bijaksana kalau setiap orang senantiasa suka untuk mengembangkan bakat dan menggali bakat yang terpendam demi kemajuan diri terutama, dan dami kemajuan bangsa secara umum.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Memilih Sekolah Perlu Kearifan

MEMILIH SEKOLAH PERLU KEARIFAN
Oleh: Marjohan
marjohanusman@yahoo.com

Sudah menjadi pendapat umum bahwa sekolah yang berlokasi di kota kualitasnya lebih bagus dari pada sekolah yang berlokasi di desa. Sehingga fenomena yang terlihat setiap awal tahun pelajaran adalah adanya mobilisasi remaja/pelajar ke kota untuk mencari sekolah yang mereka idamkan. Mereka yang me­miliki nilai ijazah tinggi dari sekolah sebelumnya, tentu saja boleh merasa bangga dan berharap agar mimpi untuk belajar di sekolah yang bermutu itu bukan di desa. Mencari sekolah berkualitas merupakan faktor yang mendorong untuk ikut melakukan urbanisasi. Masalah juga ada siswa yang memiliki nilai rendah ikut-ikutan melakukan urbanisasi pendidikan.
Berbicara tentang sebuah sekolah, kualitasnya tentu saja ditentukan oleh berbagai aktor seperti kondisi input dan proses yang ada dalam suatu sekolah dan faktor lingkungan, kualitas guru serta sarana pendukung untuk memperoleh output atau lulusan yang berkualitas. Setiap anak didik tentu punya hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harapan agar memiliki ilmu, keterampilan, wawasan dan pergaulan yang lebih luas.
Setiap anak didik perlu untuk cerdas dalam memilih sekolah. Disamping itu orang tua perlu untuk memberi pertimbangan yang masuk akal. Orang tua harus selalu bersikap arif terhadap anaknya. Dalam kenyataan banyak ditemui orang tua dan yang kurang arif (tidak punya pengalaman) dalam memilih sekolah. Tiap awal tahun ajaran mereka ikut meramaikan arus mobilisasi untuk mencari sekolah di perkotaan. Atau bagi mereka yang berdomisili di perkotaan untuk mencari sekolah yang jauh dari rumah dengan kata lain jauh dari orang tua, sehingga mereka harus men­cari tempat kos atau rumah kontrakan. Untuk selanjut­nya tinggal bersama teman-teman dan lingkungan yang belum tentu berkualitas baik. Padahal sebetulnya mereka bisa belajar di sekolah yang terdekat agar bisa tetap berada di bawah penga­wasan dan kasih sayang or­ang tua. Kita tahu bahwa anak-anak usia SD sampai SMA seharusnya masih be­rada dalam pengawasan or­ang tua dengan suasana rumah yang harmonis penuh dengan berbagai kegiatan agar dapat tumbuh cerdas dan sehat secara intelektual, emosional dan spiritual. Dari pengalaman dapat dijumpai banyak anak-anak yang ketika masih kecil, di SD dan SMP, tergolong dalam kategori pintar dan berbudi pekerti terpuji tetapi setelah berpisah dari orang tua, karena sekolah jauh, kurang bisa mengontrol diri dan memilih pergaulan yang te­pat. Sehingga mereka telah membuat orang tua menjadi resah, karena jangankan memperoleh nilai akademis baik malah memperoleh kualitas dan reputasi yang jelek.
Kadang-kadang orang tua latah dengan kata “demok­rasi” dan kata “pendidikan” tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat kedua kata tersebut. Ada penga­laman yang terjadi pada seorang orang tua dan anak laki-lakinya yang baru saja tamat SD, tergolong cerdas termasuk dalam berkomuni­kasi. Dalam usia yang tergolong relatif masih kecil tapi atas nama mencari pendidikan berkualitas di kota yang jarak rumah dengan sekolah itu cukup memakan waktu. Tentu saja orang tua tidak bisa memantau perkembangan anak secara berkala tiap hari atau tiap minggu. Pada mulanya hanya bisa memantau anak sekali dua minggu, menjadi sekali sebulan dan terus molor dan akhirnya sekali enam bulan. Tapi catatan yang diberikan pihak sekolah berbeda dengan catatan anak yang banyak membela diri. Pihak sekolah menyodorkan fakta data bah­wa anak sudah menjadi or­ang pemalas dan tidak disip­lin. Kalau begitu idealnya sejak awal orang tua ini harus punya pendapat dan pandangan yang mantap tentang hakekat mendidik dan membesarkan anak dan dunia yang luas agar tidak menyesal di belakang hari.
Banyak orang tua berfikir dan bertanya tentang kapan sebaiknya sorang anak bo­leh bersekolah jauh dari orang tua (?). Jawabannya sangat relatif sesuai dengan perspektif masing-masing.
Keberhasilan pendidikan seorang anak tidak ditentu­kan oleh jauh atau dekatnya lokasi sebuah sekolah. Bila kualitas sekolah dekat rumah lumayan bagus buat apa harus mencari sekolah yang jauh (?).
Sangat wajar orang tua, untuk memahami sekolah untuk anaknya dan meng­hindari sekolah dengan bu­daya belajar jelek, suasana belajar santai, guru-guru tidak disiplin dan anak didik dengan kontrol diri dan moti­vasi belajar rendah. Bila suasana belajar di sekolah terdekat seperti demikian maka sangat patut orang tua mencarikan sekolah dan pemondokan anak yang cu­kup terjamin baik. Namun orang tua perlu tahu bahwa apakah anak sudah cukup matang untuk mandiri dan berpisah dari orang tua?
Suasana pemondokan di luar sekolah dan dalam komplek sekolah bagi sekolah khusus ikut menentukan bagaimana output anak di kemudian hari. Sebelum me­lepas anak untuk hidup man­diri di pemondokan, baiknya orang tua melakukan “Cek dan Ricek” atau melakukan observasi langsung ke tem­patnya. Jangan minta pen­dapat orang agar bebas dari kesan pembohongan. Se­kolah dengan pemondokan yang didampingi oleh tenaga pembina yang bebas dari sikap otoriter tapi disiplin adalah sungguh sangat bagus. Pemondokan tanpa ada tenaga pengontrol atau pembina, maka disana akan mun­cul bibit penyimpangan dalam usia dini seperti pencurian kecil-kecilan, penyemaian hukum rimba dimana yang berkuasa adalah anak yang berotot kekar, dan tak terkecuali juga terjadi akti­fitas seksual iseng-iseng dengan kawan sejenis atau beda jenis kelamin (?), karena usia remaja adalah usia sek­sual sekunder dengan ciri-ciri dorongan libido yang cukup tinggi, perlu penyaluran posi­tif seperti olahraga, seni dan lain-lain. Kisah-kisah demi­kian dapat diperoleh lang­sung dari anak-anak muda yang pernah tinggal di asrama atau pemondokan dengan kontrol yang rapuh.
Sekolah dengan pemondokan yang terjamin kualitasnya, dalam komplek sekolah atau di rumah-rumah penduduk seputar sekolah, yakni dengan hadirnya orang dewasa pengganti figur orang tua sendiri yang hangat pribadinya dan tahu dengan disiplin adalah harapan orang tua untuk menempatkan anaknya untuk menuntut ilmu. Tetapi pemondokan atau asrama sekolah yang dikelola asal-asalan saja maka disana akan terjadi pelabuhan berbagai watak­ yang hasilnya adalah cenderung jelek. Anak dari keluarga baik-baik tetapi lemah kontrol diri setelah bergabung dengan anak-anak yang berwatak amburadul akan memperlihatkan karakter kompensasi untuk dapat diterima menjadi anggota genk dengan membuat tato, tindik te­linga, rambut funk-rock, ce­lana metal dan segudang aksesoris lain yang menghiasi tubuh mereka. Sementara itu tanggung jawab untuk belajar dikesampingkan.
Kalau kualitas pribadi anak akan cenderung jelek gara-gara sekolah jauh dari rumah lebih baik orang tua membuat alternatif terakhir yaitu daripada sekolah jauh dari rumah, tinggal di pe­mondokan atau rumah kos yang kualitasnya centang prenang, lebih baik sekolah dekat orang tua sebagai pe­ngontrolnya. Tidak ada salahnya bersekolah di pe­desaan karena keberhasilan seorang tidak ditentukan oleh faktor desa atau kota tapi ditentukan oleh priba­dinya sendiri.
Apa yang musti dilakukan oleh orang tua agar bisa memiliki anak yang berkua­litas adalah dengan mena­namkan budaya belajar man­diri, belajar secara otodidak dan mengembangkan anak agar memiliki kecerdasan berganda. Agus Nggermanto (dalam buku Quantum Quotient, cara melejitkan IQ, EQ dan SQ:2003) menja­barkan kecerdasan berganda seperti : cerdas matematika, cerdas berbahasa, cerdas intrapersonal dan interper­sonal, cerdas dengan seni dan gerak dan cerdas dengan spiritual. Untuk mele­jitkan kecerdasan berganda adalah dengan mengkondisikan otak, buku-buku, psi­komotorik, rasa cinta atau emosi positif, spiritual dalam bentuk mengamalkan ajaran agama dan bersikap selalu aktif dan kreatif.
Beberapa usaha untuk mencapai hal-hal diatas ada­lah seperti menggalakan ke­biasaan membaca dan dis­kusi keluarga agar anak men­jadi mantap dalam melakukan komunikasi. Usaha lain ada­lah membiasakan anak untuk melakukan penjelajahan da­lam rangka menambah wa­wasan anak, melakukan rek­reasi edukasional seperti per­gi ke toko buku, tempat ber­main anak, pabrik, tempat-tempat profesi lain agar anak memiliki segudang cita-cita dan tak kalah pentingnya adalah menyediakan sarana dan prasaran serta memberi contoh langsung pada keluarga.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)


Makin Berkurang Bagi Murid Untuk...


MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)









MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)


























Makin Berkurang Bagi Murid Untuk...


MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

















Makin Berkurang Bagi Murid Untuk...


MAKIN BERKURANG KESEMPATAN MURID
MENUANGKAN GAGASANNYA
Oleh: Marjohan.
marjohanusman@yahoo.com

Apakah kira-kira yang dapat kita harapkan dari perubahan-perubahan sistem pendidikan ini? Kurikulum tiap sebentar diganti. Semboyan-semboyan seperti peningkatan SDM, pembentukan sekolah unggul, mari tingkatkan gemar membaca, dan lain-lain terus menerus didengungkan lewat semua media massa. Tentu ini semua merupakan upaya untuk memperbaiki nasib bangsa ini juga. Namun sekarang ada yang kurang tersentuh, yaitu bagaimana usaha kita agar dapat meningkatkan kemampuan murid dalam mengekspresikan gagasannya lewat lisan dan tulisan. Seolah-olah sekarang terjadi proses pembisuan terhadap murid-murid.
Dapat kita amati mulai dari pendidikan rendah sampai ke jenjang pendidikan tinggi tentang hal berkomunikasi. Kesempatan murid untuk menuangkan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam aktivitas belajar di sekolah semakin berkurang. Kegiatan belajar di sekolah tampak begitu monoton dan membosankan. Secara umum yang sering terlihat adalah murid datang ke sekolah mendengar guru, menulis dan pulang. Saat ini semakin jarang guru-guru yang memberikan tugas membaca dan menceritakan kembali. Begitu pula untuk bidang studi tertentu, jarang sekali guru memberikan tugas mengarang kepada murid-muridnya. Padahal tugas menceritakan kembali isi bacaan dan mengarang amat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Terutama pada tahun-tahun awal masa sekolah.
Meskipun kita telah berada amat dekat kepada ambang tahun 2000, namun karakter interaksi guru dengan murid lebih dominan bersifat “one way communication” daripada “two ways communication”. Cobalah hitung berapa kali betul guru memberi kesempatan pada murid untuk bertanya. Malah kalau ada murid yang tergolong vokal dalam berargumen maka ada guru mengisyaratkan agar anak tersebut lebih baik menjahit mulut. Malah anak atau murid yang agak kritis dianggap sebagai murid yang suka usil dan membuat keributan dalam belajar. Kalau dahulu atau sebelum tahun 1994, kita mengenal ada istilah “proses belajar”.
Istilah proses pembelajaran mengandung makna yang sungguh positif. Guru harus memperlihatkan peranannya sebagai fasilitator, motivator, dan konselor. Namun ini semuanya adalah sebatas kata-kata manis dan kenyataannya adalah kebalikan dari fakta. Sampai sekarang kita patut merasa risau tentang terbatasnya peluang bagi murid di sekolah untuk bertanya dan mengemukakan pendapat.
Dari bahan-bahan bacaan dan dari orang tua, kita dapat membaca dan mendengar bahwa pada zaman dahulu kegiatan membaca yang menceritakan kembali isi bacaan sangat diutamakan. Pada semua pelajaran, guru selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan kepada muridnya. Sedangkan guru sekarang, walau tidak semua, banyak yang gemar mencatatkan ringkasan buku untuk dihafal murid. Kalau begitu guru zaman dahulu banyak yang gemar membaca dan ingin mengembangkan intelektual murid. Dan guru sekarang senang mencatat dan mencatat serta menggunakan satu jenis buku selama bertahun-tahun dan akibat dari cara belajar mencatat melulu dan menghafal saja maka seolah-olah guru sekarang telah menciptakan murid menjadi manusia “beo” yang mana pintarnya cuma berbicara dari apa yang diingat tetapi tidak tau bagaimana mengaplikasikan.
Sekilas kita perhatikan bahwa orang kita masih memiliki budaya suka mengambil muka atau pribadi yang butuh selalu diawasi. Misalnya bagi pengendara sepeda motor, ia hanya sudi memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi. Tampaknya dia lebih merasa kasihan pada sisiran rambut daripada keselamatan nyawanya. Begitu pula budaya melanda guru-guru.
Rata-rata guru menulis Buku Satuan Pelajaran hanyalah sekedar pamer saja kepada kepala sekolah bahwa ia pun melaksanakan tugas-tugasnya. Sering kali guru-guru yang memiliki buku Satuan Pelajaran yang menarik, barangkali karena disalin dari orang lain, tapi caranya mengajar tidak becus. Tidak sedikit guru-guru yang telah mengikuti berbagai seminar, penataran, apakah dalam bentuk sanggar-sanggar tetapi toh kembali cara mengajarnya “asal jadi saja” atau “asal hutang terbayar”. Barangkali guru-guru begini mati-matian mengikuti penataran-penataran ini hanyalah agar dapat memperoleh piagam agar dapat dipergunakan untuk kenaikan pangkat dan bukan untuk menambah wawasan serta meningkatkan cara pelayanan dalam proses belajar mengajar. Kalau begitu, banyak guru-guru yang berniat kurang benar.
Meninjau dari makin berkurangnya kesempatan murid untuk menuangkan gagasannya di sekolah, agaknya karena faktor pribadi guru (?).
Keinginan untuk memberikan peluang kepada murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapat di kelas terpulang pada pribadi setiap guru. Dorongan ekonomi atau jiwa materialis telah mempengaruhi semangat guru dalam mengejar nilai materi. Segala sesuatu diukur dengan uang. Sehingga sekarang terlihat bahwa guru terlalu enggan untuk berbuat banyak dan menghabiskan waktu karena murid kecuali kalau diimbangi oleh nilai materi.
Keadaan semacam ini membuat guru enggan memberikan tugas-tugas mengarang, mengupas isi satu buku dan juga memberikan ulangan yang bersifat essay.
Menilai tugas mengarang tentunya tidak bisa hanya mengukur panjang-pendeknya tulisan tetapi harus membaca isi dan melihat sistematiknya. Ini sulit dilakukan bila guru tidak punya cukup waktu lagi untuk mengoreksi pekerjaan murid di luar jam mengajar. Lebih-lebih bagi guru yang suka memperhitungkan jerih payah dengan materi daripada menghitung jerih payah atau kebaikan berdasarkan nilai agama. Mungkinkah nilai rohani guru-guru turut meluntur? Ini patut kita pertanyakan.
Semua orang sudah tau bahwa persaingan hidup pada masa depan lebih sulit dan lebih ketat. Murid yang intelektualnya selalu terpenjara dan murid yang berwatak “beo” tentu bakal tersingkir, maka gejala makin berkurangnya kesempatan bagi murid untuk menuangkan gagasannya patut kita antisipasi secepatnya. Untuk itu kesempatan bagi murid untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya semestinya melekat dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Tanpa ada kesempatan bagi murid untuk bertanya atau mengemukakan pendapat, kelas tentu akan menjadi serba monoton, tidak menarik dan kurang bergairah. Kalau selama ini guru merasa lesu dalam mengajar dan murid tidak kerasan di kelas adalah karena suasana yang serba membosankan. Salah satu penyebab adalah dari pihak guru, yakni karena rasa egoisme atau kelewatan dalam menghitung jerih payah dan kurang menambah wawasan diri.
Kita mengakui bahwa guru tidak cukup berani untuk memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk bertanya. Di tingkat SMU, misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa bisa memojokkan guru atau mempermalukan guru di depan kelas, meskipun sebagian murid tidak bermaksud demikian. Ini terjadi karena kurang tau strategi saja, padahal ini tidak perlu terjadi bila guru membuat persiapan mengajar yang memadai. Guru sebetulnya tidak perlu merasa malu bila tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan muridnya.
Guru harus selalu jujur. Bila tidak bisa menjawab pertanyaan murid, sebaiknya katakan terus terang tidak tahu, dan menjanjikan akan menjawabnya pada kesempatan berikutnya. Murid akan tahu bahwa ternyata guru itu adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Bila tidak jujur, apalagi bila guru bersikap sok atau angkuh, maka anak atau murid justru tidak akan menghormati gurunya lagi. “Wah, itu saja Pak Guru atau Buk Guru ini tidak bisa menjawabnya”, bisa jadi murid menyeletuk demikian dalam hatinya atau terang-terangan.
Kemajuan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber ilmu, seperti anggapan orang pada masa lalu bagi murid-muridnya. Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya. Ia bahkan secara jujur harus mengakui bila informasi yang dimilikinya tertinggal dibandingkan informasi yang diperoleh oleh murid-muridnya.
Di kota-kota besar atau kota metropolitan, adakalanya murid memiliki internet di rumahnya. Atau bisa jadi bagi anak yang bersekolah di daerah namun pada saat libur mengunjungi famili yang mungkin saja tergolong orang berada di kota besar, dan memiliki internet dan ikut pula menikmati internet. Sedangkan bagi guru, jangankan memiliki internet, menyentuhnya saja belum pernah. Karena itu bila tidak bisa menjawab secara persis pertanyaan murid, lebih baik guru menyatakan secara jujur “tidak tahu”.
Patut selalu kita ingat bahwa guru-guru tidak layak buta informasi sama sekali.
Maka agaknya setiap guru perlu untuk menjadi guru yang ideal, yaitu guru yang selalu menambah wawasan, bersikap bersahabat agar dapat digugu dan ditiru. Dalam menjalankan profesi, guru musti berbuat ikhlas dan menjauhi sikap egoisme yaitu sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu menghitung jerih payah berdasarkan nilai materi. Maka apa yang kita harapkan dalam mengaktifkan proses kegiatan pembelajaran adalah selalu berusaha memberikan kesempatan kepada murid untuk mengungkapkan dan menuangkan gagasan mereka. Bila hal ini dapat diterapkan maka apa yang kita khawatirkan atas makin berkurangnya kesempatan murid menuangkan gagasan dapat kita atasi.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

















Kemandirian Dalam Belajar Perlu Untuk Ditingkatkan

KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR PERLU DITINGKATKAN
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar,
Program Layanan Unggulan Kab. Tanah Datar
Mhs. Pascasarjana UNP
marjohanusman@yahoo.com

Kita tidak perlu merasa kaget apabila mendengar pengakuan seorang mahasiswa yang baru saja kuliah pada sebuah perguruan tinggi negeri atau swasta tetapi masih merasa ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Cukup banyak contoh-contoh seperti itu di seputar kita.
Agak memprihatinkan, remaja-remaja sekarang kurang menenggang perasaan atau kesulitan orangtua. Mereka lebih memperhatikan kebutuhan dan kesenangan diri. Ada seorang mahasiswa baru, sebagai contoh, menuntut ilmu pada jurusan teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Walaupun orangtuanya telah mengeluarkan dana hampir 5 juta rupiah sejak dari mengikuti kegiatan bimbingan belajar sampai dengan membayar SPP semester pertama tetapi ia belum bisa merasakan kesulitan orangtua. Tentu saja ketampanan wajahnya tidak dapat menutupi keletihan fisik dan jiwa orangtua dalam memikirkannya.
Kemandirian dalam belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Ada guru yang mengatakan bahwa pelajaran sekarang banyak yang bersifat seperti ‘paku’, ia baru bergerak kalau dipukul dengan martil. Pelajar sekarang, walau tidak semuanya, banyak bersifat serba pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, kalau tidak disuruh atau diperintahkan oleh guru maka buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan akan selalu utuh karena tidak dibaca.
Aktivitas guru-guru pada waktu senggang mereka, yang mana lebih gemar mengambil topik-topik ringan dan mengambang dalam berdialog sementara tugas-tugas murid banyak yang tidak diperiksa dan persiapan mengajar serba belum beres adalah gambaran ketidakmandirian kalangan pendidik dalam menjalankan profesi mereka. Tidak hanya guru-guru tetapi malah pegawai-pegawai lainnya, barangkali juga menunjukkan adanya gejala ketidakmandirian dalam belajar. Prilaku mereka seperti suka berpikir mengambang, melakukan debat kusir dan berkelakar hampir sepanjang waktu, mereka baru melakukan tugas dengan baik kalu masih dikontrol oleh pihak atasan saban waktu adalah ciri-ciri dari ketidakmandirian dalam belajar meski secara biologis mereka sudah sangat dewasa.
Cukup banyak penulis lain Cuma membahas kegagalan pendidikan atau membahas dan tema tentang ketidakmandirian siswa dalam belajar, lebih mempersalahkan faktor sekolah. Mereka lupa untuk membahas secara rinci tentang faktor lingkungan rumah.
Lingkungan rumah cukup dominan untuk menentukan atas kemandirian dalam belajar. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang cukup rendah dan sikap suka menyerahkan urusan pendidikan anak kepada sekolah semata adalah faktor penyebab di samping faktor lain. Kealpaan orang tua untuk mengajar anak dalam memanfaatkan waktu telah meyebabkan anak terbiasa berkeliaran, hidup tidak teratur sejak bangun tidur sampai kembali memejamkan mata pada malam berikutnya.
Pelajar-pelajar yang gemar berkeliaran pada jam belajar, meski mereka bersekolah pada kelas atau sekolah favorit, dan hanya untuk pergi mengobrol dengan teman-teman adalah produk lingkungan rumah, atau orang tua yang tidak acuh atas masalah pendidikan sementara itu mereka mengabaikan pelajaran dan keberadaan buku-buku yang ada dalam tas mereka atau pada perpusatan. Gambaran sekolah sekarang tidak lagi mewarnai sebagai tempat arena untuk menuntut ilmu, dimana para pelajar asyik menekuni aneka buku ilmu pengetahuan, tetapi citra atau gambaran sekolah sekarang adalah sekedar huru-hara, atau pergi ke sekolah hanya sebagai suatu mode saja.
Dari tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif yang harus dikembangkan terhadap pelajar melalui PBM dan kegiatan ekstra kurikuler terlihat kurang berimbang. Dalam kegiatan ekstra kurikuler saja, kegiatan pengembangan afektif atau pembinaan sikap cukup kurang karena wadah-wadah penyaluran tidak ada. Dan wajar saja kalau sikap pelajar sekarang cenderung makin lama makin beringas, karena di rumah mereka tidak diwarisi dengan sikap dan nilai-nilai moral dan agama yang mantap kecuali hanya segelintir keluarga saja yang memperhatikannya. Dan sekolah lebih memperhatikan pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik yaitu berupa pemberian ilmu pengetahuan dan pelaksanaan latihan keterampilan dan olahraga.
Kerap kali siswa yang telah belajar di tingkat SLTA sekalipun dalam mengambil azas manfaat masih bersikap sebagai anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika PBM sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal kalau terasa ada manfaatnya mereka harus menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa kalau guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya ya buat apa dibaca. Kalau begitu terlihat kecenderungan bahwa konsep mereka belajar yaitu baru berbuat kalau baru disuruh. Jadi kalau mereka tidak disuruh maka tentu agak terhentilah proses peningkatan pengembangan pribadi mereka.
Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar akan berlanjut terus. Andai kata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering memilih jurusan yang salah dan kemudian memendam rasa sesal. Sering mereka mengambil jurusan hanya sekedar mode saja. Padahal sudah nyata sikap belajar mereka sangat santai maka mereka tetap memilih jurusan yang mana bagi pribadinya akan menemui banyak kesulitan dalam penyelesaian. Atau mereka memilih jurusan pada perguruan tinggi karena pengaruh atau setengah paksaan dari berbagai pihak. Efeknya adalah bertambah membengkak angka ‘drop out’ mahasiswa di perguruan tinggi. Meskipun disana ada dosen sebagai ‘penasehat akademis’ tetapi seringkali belum melakukan peranan sebagaimana idealnya.
Dan andai kata mereka yang tidak memiliki kemandirian dalam belajar, tidak beruntung untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, tentu akan terjun ke tengah masyarakat untuk menambah angka pengangguran yang telah bengkak juga. Untuk kesudahannya adalah mereka sering menjadi parasit dalam sosial. Pergi merantau untuk pengalaman hidup dan mengadu untung, akan tidak berani dan kalau tetap tinggal di kampung akan tetap bersandar, atau malah juga mengganggu pihak sosial lainnya. Kemudian apabila mereka berumah tangga, tentu juga akan mengganggu pihak wanita, paling kurang keberadaannya adalah sebagai beban bagi mertua. Kecuali kalau mereka telah berani untuk mengambil keputusan dan melakukan perobahan sikap hidup secara total.
Untuk zaman sekarang sudah mulai cukup banyak pria yang bertekuk lutut kepada kaum wanita. Penyebabnya adalah sekarang banyak wanita yang sukses dalam menuntut ilmu dan memperoleh pekerjaan yang mapan sebagai tempat untuk mengembangkan kepribadian mereka. Dan cukup banyak pria yang tidak mandiri menikah dengan wanita mandiri dimana pada akhirnya keberadaan mereka adalah bukan sebagai pemimpin bagi wanita tetapi adalah sebagai pembawa bencana.
Ketidakmandirian pelajar, guru-guru dan siapa saja dalam proses pematangan diri adalah merupakan batu penyandung untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata SDM tetap diserukan oleh pemerintah lewat berbagai media massa kalau setiap individu, warga negara tidak melakukan usaha kemandirian dalam belajar untuk menambah ilmu dan keterampilan-keterampilan lain.
Ketidakmandirian belajar seorang mahasiswa adalah warisan dari cara belajar ketika masih berada di tingkat SLTA. Begitu pula, ketidakmandirian siswa-siswa di tingkat SLTA adalah produk dari cara belajar ketika masih belajar di tingkat sekolah-sekolah yang lebih rendah dan seterusnya. Agaknya sampai saat sekarang memang masih banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat ‘instruction’ atau mengajar daripada bersifat ‘education’ atau mendidik. Penyebabnya adalah bisa jadi karena guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi semata dan tidak pula begitu mendalam. Disamping itu pengabdian guru belum sepenuhnya bersifat ideal sebagai guru. Ada kalanya pengabdian guru bersifat pamrih atau berdasarkan nilai ekonomis dimana mereka baru sudi untuk berbuat kalau ada imbalannya.
Untuk masa-masa sekarang agaknya kemandirian dalam belajar perlu untuk ditingkatkan. Ada banyak pihak perlu untuk melakukan introspeksi diri dan langsung bertindak. Bukan hanya melakukan introspeksi dan kemudian berteori. Sebab teori tanpa tindakan atau aplikasi tentu akan tetap sia-sia hasilnya.
Taman Kanak-kanak sekarang, sebagian kecil telah ada mendorong usaha anak didiknya untuk melakukan kemandirian dalam belajar. Dulu Taman Kanak-kanak lebih terfokus untuk tempat belajar, menyanyi, menari dan kemudian dilupakan. Sekarang TK telah memiliki kurikulum yang lebih dewasa dan tidak lagi hanya sebagai teori. Kita merasa salut melihat telah ada sekolah yang mewajibkan anak-anak didiknya untuk berlangganan majalah dan memesankan kepada orang tua di rumah untuk ikut serta membimbing anak. Usaha-usaha positif dan lebih serius sungguh kita harapkan terhadap tingkatan sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Disamping menyediakan fasilitas belajar bagi anak-anak kita juga menginginkan orang tua ikut mengontrol pemanfaatan waktu yang baik. Kemandirian dalam belajar agaknya perlu ditingkatkan untuk menyongsong masa depan.

(Marjohan, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program Layanan Keunggulan. rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...