MEMILIH SEKOLAH PERLU KEARIFAN
Oleh: Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Sudah menjadi pendapat umum bahwa sekolah yang berlokasi di kota kualitasnya lebih bagus dari pada sekolah yang berlokasi di desa. Sehingga fenomena yang terlihat setiap awal tahun pelajaran adalah adanya mobilisasi remaja/pelajar ke kota untuk mencari sekolah yang mereka idamkan. Mereka yang memiliki nilai ijazah tinggi dari sekolah sebelumnya, tentu saja boleh merasa bangga dan berharap agar mimpi untuk belajar di sekolah yang bermutu itu bukan di desa. Mencari sekolah berkualitas merupakan faktor yang mendorong untuk ikut melakukan urbanisasi. Masalah juga ada siswa yang memiliki nilai rendah ikut-ikutan melakukan urbanisasi pendidikan.
Berbicara tentang sebuah sekolah, kualitasnya tentu saja ditentukan oleh berbagai aktor seperti kondisi input dan proses yang ada dalam suatu sekolah dan faktor lingkungan, kualitas guru serta sarana pendukung untuk memperoleh output atau lulusan yang berkualitas. Setiap anak didik tentu punya hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harapan agar memiliki ilmu, keterampilan, wawasan dan pergaulan yang lebih luas.
Setiap anak didik perlu untuk cerdas dalam memilih sekolah. Disamping itu orang tua perlu untuk memberi pertimbangan yang masuk akal. Orang tua harus selalu bersikap arif terhadap anaknya. Dalam kenyataan banyak ditemui orang tua dan yang kurang arif (tidak punya pengalaman) dalam memilih sekolah. Tiap awal tahun ajaran mereka ikut meramaikan arus mobilisasi untuk mencari sekolah di perkotaan. Atau bagi mereka yang berdomisili di perkotaan untuk mencari sekolah yang jauh dari rumah dengan kata lain jauh dari orang tua, sehingga mereka harus mencari tempat kos atau rumah kontrakan. Untuk selanjutnya tinggal bersama teman-teman dan lingkungan yang belum tentu berkualitas baik. Padahal sebetulnya mereka bisa belajar di sekolah yang terdekat agar bisa tetap berada di bawah pengawasan dan kasih sayang orang tua. Kita tahu bahwa anak-anak usia SD sampai SMA seharusnya masih berada dalam pengawasan orang tua dengan suasana rumah yang harmonis penuh dengan berbagai kegiatan agar dapat tumbuh cerdas dan sehat secara intelektual, emosional dan spiritual. Dari pengalaman dapat dijumpai banyak anak-anak yang ketika masih kecil, di SD dan SMP, tergolong dalam kategori pintar dan berbudi pekerti terpuji tetapi setelah berpisah dari orang tua, karena sekolah jauh, kurang bisa mengontrol diri dan memilih pergaulan yang tepat. Sehingga mereka telah membuat orang tua menjadi resah, karena jangankan memperoleh nilai akademis baik malah memperoleh kualitas dan reputasi yang jelek.
Kadang-kadang orang tua latah dengan kata “demokrasi” dan kata “pendidikan” tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat kedua kata tersebut. Ada pengalaman yang terjadi pada seorang orang tua dan anak laki-lakinya yang baru saja tamat SD, tergolong cerdas termasuk dalam berkomunikasi. Dalam usia yang tergolong relatif masih kecil tapi atas nama mencari pendidikan berkualitas di kota yang jarak rumah dengan sekolah itu cukup memakan waktu. Tentu saja orang tua tidak bisa memantau perkembangan anak secara berkala tiap hari atau tiap minggu. Pada mulanya hanya bisa memantau anak sekali dua minggu, menjadi sekali sebulan dan terus molor dan akhirnya sekali enam bulan. Tapi catatan yang diberikan pihak sekolah berbeda dengan catatan anak yang banyak membela diri. Pihak sekolah menyodorkan fakta data bahwa anak sudah menjadi orang pemalas dan tidak disiplin. Kalau begitu idealnya sejak awal orang tua ini harus punya pendapat dan pandangan yang mantap tentang hakekat mendidik dan membesarkan anak dan dunia yang luas agar tidak menyesal di belakang hari.
Banyak orang tua berfikir dan bertanya tentang kapan sebaiknya sorang anak boleh bersekolah jauh dari orang tua (?). Jawabannya sangat relatif sesuai dengan perspektif masing-masing.
Keberhasilan pendidikan seorang anak tidak ditentukan oleh jauh atau dekatnya lokasi sebuah sekolah. Bila kualitas sekolah dekat rumah lumayan bagus buat apa harus mencari sekolah yang jauh (?).
Sangat wajar orang tua, untuk memahami sekolah untuk anaknya dan menghindari sekolah dengan budaya belajar jelek, suasana belajar santai, guru-guru tidak disiplin dan anak didik dengan kontrol diri dan motivasi belajar rendah. Bila suasana belajar di sekolah terdekat seperti demikian maka sangat patut orang tua mencarikan sekolah dan pemondokan anak yang cukup terjamin baik. Namun orang tua perlu tahu bahwa apakah anak sudah cukup matang untuk mandiri dan berpisah dari orang tua?
Suasana pemondokan di luar sekolah dan dalam komplek sekolah bagi sekolah khusus ikut menentukan bagaimana output anak di kemudian hari. Sebelum melepas anak untuk hidup mandiri di pemondokan, baiknya orang tua melakukan “Cek dan Ricek” atau melakukan observasi langsung ke tempatnya. Jangan minta pendapat orang agar bebas dari kesan pembohongan. Sekolah dengan pemondokan yang didampingi oleh tenaga pembina yang bebas dari sikap otoriter tapi disiplin adalah sungguh sangat bagus. Pemondokan tanpa ada tenaga pengontrol atau pembina, maka disana akan muncul bibit penyimpangan dalam usia dini seperti pencurian kecil-kecilan, penyemaian hukum rimba dimana yang berkuasa adalah anak yang berotot kekar, dan tak terkecuali juga terjadi aktifitas seksual iseng-iseng dengan kawan sejenis atau beda jenis kelamin (?), karena usia remaja adalah usia seksual sekunder dengan ciri-ciri dorongan libido yang cukup tinggi, perlu penyaluran positif seperti olahraga, seni dan lain-lain. Kisah-kisah demikian dapat diperoleh langsung dari anak-anak muda yang pernah tinggal di asrama atau pemondokan dengan kontrol yang rapuh.
Sekolah dengan pemondokan yang terjamin kualitasnya, dalam komplek sekolah atau di rumah-rumah penduduk seputar sekolah, yakni dengan hadirnya orang dewasa pengganti figur orang tua sendiri yang hangat pribadinya dan tahu dengan disiplin adalah harapan orang tua untuk menempatkan anaknya untuk menuntut ilmu. Tetapi pemondokan atau asrama sekolah yang dikelola asal-asalan saja maka disana akan terjadi pelabuhan berbagai watak yang hasilnya adalah cenderung jelek. Anak dari keluarga baik-baik tetapi lemah kontrol diri setelah bergabung dengan anak-anak yang berwatak amburadul akan memperlihatkan karakter kompensasi untuk dapat diterima menjadi anggota genk dengan membuat tato, tindik telinga, rambut funk-rock, celana metal dan segudang aksesoris lain yang menghiasi tubuh mereka. Sementara itu tanggung jawab untuk belajar dikesampingkan.
Kalau kualitas pribadi anak akan cenderung jelek gara-gara sekolah jauh dari rumah lebih baik orang tua membuat alternatif terakhir yaitu daripada sekolah jauh dari rumah, tinggal di pemondokan atau rumah kos yang kualitasnya centang prenang, lebih baik sekolah dekat orang tua sebagai pengontrolnya. Tidak ada salahnya bersekolah di pedesaan karena keberhasilan seorang tidak ditentukan oleh faktor desa atau kota tapi ditentukan oleh pribadinya sendiri.
Apa yang musti dilakukan oleh orang tua agar bisa memiliki anak yang berkualitas adalah dengan menanamkan budaya belajar mandiri, belajar secara otodidak dan mengembangkan anak agar memiliki kecerdasan berganda. Agus Nggermanto (dalam buku Quantum Quotient, cara melejitkan IQ, EQ dan SQ:2003) menjabarkan kecerdasan berganda seperti : cerdas matematika, cerdas berbahasa, cerdas intrapersonal dan interpersonal, cerdas dengan seni dan gerak dan cerdas dengan spiritual. Untuk melejitkan kecerdasan berganda adalah dengan mengkondisikan otak, buku-buku, psikomotorik, rasa cinta atau emosi positif, spiritual dalam bentuk mengamalkan ajaran agama dan bersikap selalu aktif dan kreatif.
Beberapa usaha untuk mencapai hal-hal diatas adalah seperti menggalakan kebiasaan membaca dan diskusi keluarga agar anak menjadi mantap dalam melakukan komunikasi. Usaha lain adalah membiasakan anak untuk melakukan penjelajahan dalam rangka menambah wawasan anak, melakukan rekreasi edukasional seperti pergi ke toko buku, tempat bermain anak, pabrik, tempat-tempat profesi lain agar anak memiliki segudang cita-cita dan tak kalah pentingnya adalah menyediakan sarana dan prasaran serta memberi contoh langsung pada keluarga.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)
Oleh: Marjohan
marjohanusman@yahoo.com
Sudah menjadi pendapat umum bahwa sekolah yang berlokasi di kota kualitasnya lebih bagus dari pada sekolah yang berlokasi di desa. Sehingga fenomena yang terlihat setiap awal tahun pelajaran adalah adanya mobilisasi remaja/pelajar ke kota untuk mencari sekolah yang mereka idamkan. Mereka yang memiliki nilai ijazah tinggi dari sekolah sebelumnya, tentu saja boleh merasa bangga dan berharap agar mimpi untuk belajar di sekolah yang bermutu itu bukan di desa. Mencari sekolah berkualitas merupakan faktor yang mendorong untuk ikut melakukan urbanisasi. Masalah juga ada siswa yang memiliki nilai rendah ikut-ikutan melakukan urbanisasi pendidikan.
Berbicara tentang sebuah sekolah, kualitasnya tentu saja ditentukan oleh berbagai aktor seperti kondisi input dan proses yang ada dalam suatu sekolah dan faktor lingkungan, kualitas guru serta sarana pendukung untuk memperoleh output atau lulusan yang berkualitas. Setiap anak didik tentu punya hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harapan agar memiliki ilmu, keterampilan, wawasan dan pergaulan yang lebih luas.
Setiap anak didik perlu untuk cerdas dalam memilih sekolah. Disamping itu orang tua perlu untuk memberi pertimbangan yang masuk akal. Orang tua harus selalu bersikap arif terhadap anaknya. Dalam kenyataan banyak ditemui orang tua dan yang kurang arif (tidak punya pengalaman) dalam memilih sekolah. Tiap awal tahun ajaran mereka ikut meramaikan arus mobilisasi untuk mencari sekolah di perkotaan. Atau bagi mereka yang berdomisili di perkotaan untuk mencari sekolah yang jauh dari rumah dengan kata lain jauh dari orang tua, sehingga mereka harus mencari tempat kos atau rumah kontrakan. Untuk selanjutnya tinggal bersama teman-teman dan lingkungan yang belum tentu berkualitas baik. Padahal sebetulnya mereka bisa belajar di sekolah yang terdekat agar bisa tetap berada di bawah pengawasan dan kasih sayang orang tua. Kita tahu bahwa anak-anak usia SD sampai SMA seharusnya masih berada dalam pengawasan orang tua dengan suasana rumah yang harmonis penuh dengan berbagai kegiatan agar dapat tumbuh cerdas dan sehat secara intelektual, emosional dan spiritual. Dari pengalaman dapat dijumpai banyak anak-anak yang ketika masih kecil, di SD dan SMP, tergolong dalam kategori pintar dan berbudi pekerti terpuji tetapi setelah berpisah dari orang tua, karena sekolah jauh, kurang bisa mengontrol diri dan memilih pergaulan yang tepat. Sehingga mereka telah membuat orang tua menjadi resah, karena jangankan memperoleh nilai akademis baik malah memperoleh kualitas dan reputasi yang jelek.
Kadang-kadang orang tua latah dengan kata “demokrasi” dan kata “pendidikan” tanpa memahami apa dan bagaimana hakekat kedua kata tersebut. Ada pengalaman yang terjadi pada seorang orang tua dan anak laki-lakinya yang baru saja tamat SD, tergolong cerdas termasuk dalam berkomunikasi. Dalam usia yang tergolong relatif masih kecil tapi atas nama mencari pendidikan berkualitas di kota yang jarak rumah dengan sekolah itu cukup memakan waktu. Tentu saja orang tua tidak bisa memantau perkembangan anak secara berkala tiap hari atau tiap minggu. Pada mulanya hanya bisa memantau anak sekali dua minggu, menjadi sekali sebulan dan terus molor dan akhirnya sekali enam bulan. Tapi catatan yang diberikan pihak sekolah berbeda dengan catatan anak yang banyak membela diri. Pihak sekolah menyodorkan fakta data bahwa anak sudah menjadi orang pemalas dan tidak disiplin. Kalau begitu idealnya sejak awal orang tua ini harus punya pendapat dan pandangan yang mantap tentang hakekat mendidik dan membesarkan anak dan dunia yang luas agar tidak menyesal di belakang hari.
Banyak orang tua berfikir dan bertanya tentang kapan sebaiknya sorang anak boleh bersekolah jauh dari orang tua (?). Jawabannya sangat relatif sesuai dengan perspektif masing-masing.
Keberhasilan pendidikan seorang anak tidak ditentukan oleh jauh atau dekatnya lokasi sebuah sekolah. Bila kualitas sekolah dekat rumah lumayan bagus buat apa harus mencari sekolah yang jauh (?).
Sangat wajar orang tua, untuk memahami sekolah untuk anaknya dan menghindari sekolah dengan budaya belajar jelek, suasana belajar santai, guru-guru tidak disiplin dan anak didik dengan kontrol diri dan motivasi belajar rendah. Bila suasana belajar di sekolah terdekat seperti demikian maka sangat patut orang tua mencarikan sekolah dan pemondokan anak yang cukup terjamin baik. Namun orang tua perlu tahu bahwa apakah anak sudah cukup matang untuk mandiri dan berpisah dari orang tua?
Suasana pemondokan di luar sekolah dan dalam komplek sekolah bagi sekolah khusus ikut menentukan bagaimana output anak di kemudian hari. Sebelum melepas anak untuk hidup mandiri di pemondokan, baiknya orang tua melakukan “Cek dan Ricek” atau melakukan observasi langsung ke tempatnya. Jangan minta pendapat orang agar bebas dari kesan pembohongan. Sekolah dengan pemondokan yang didampingi oleh tenaga pembina yang bebas dari sikap otoriter tapi disiplin adalah sungguh sangat bagus. Pemondokan tanpa ada tenaga pengontrol atau pembina, maka disana akan muncul bibit penyimpangan dalam usia dini seperti pencurian kecil-kecilan, penyemaian hukum rimba dimana yang berkuasa adalah anak yang berotot kekar, dan tak terkecuali juga terjadi aktifitas seksual iseng-iseng dengan kawan sejenis atau beda jenis kelamin (?), karena usia remaja adalah usia seksual sekunder dengan ciri-ciri dorongan libido yang cukup tinggi, perlu penyaluran positif seperti olahraga, seni dan lain-lain. Kisah-kisah demikian dapat diperoleh langsung dari anak-anak muda yang pernah tinggal di asrama atau pemondokan dengan kontrol yang rapuh.
Sekolah dengan pemondokan yang terjamin kualitasnya, dalam komplek sekolah atau di rumah-rumah penduduk seputar sekolah, yakni dengan hadirnya orang dewasa pengganti figur orang tua sendiri yang hangat pribadinya dan tahu dengan disiplin adalah harapan orang tua untuk menempatkan anaknya untuk menuntut ilmu. Tetapi pemondokan atau asrama sekolah yang dikelola asal-asalan saja maka disana akan terjadi pelabuhan berbagai watak yang hasilnya adalah cenderung jelek. Anak dari keluarga baik-baik tetapi lemah kontrol diri setelah bergabung dengan anak-anak yang berwatak amburadul akan memperlihatkan karakter kompensasi untuk dapat diterima menjadi anggota genk dengan membuat tato, tindik telinga, rambut funk-rock, celana metal dan segudang aksesoris lain yang menghiasi tubuh mereka. Sementara itu tanggung jawab untuk belajar dikesampingkan.
Kalau kualitas pribadi anak akan cenderung jelek gara-gara sekolah jauh dari rumah lebih baik orang tua membuat alternatif terakhir yaitu daripada sekolah jauh dari rumah, tinggal di pemondokan atau rumah kos yang kualitasnya centang prenang, lebih baik sekolah dekat orang tua sebagai pengontrolnya. Tidak ada salahnya bersekolah di pedesaan karena keberhasilan seorang tidak ditentukan oleh faktor desa atau kota tapi ditentukan oleh pribadinya sendiri.
Apa yang musti dilakukan oleh orang tua agar bisa memiliki anak yang berkualitas adalah dengan menanamkan budaya belajar mandiri, belajar secara otodidak dan mengembangkan anak agar memiliki kecerdasan berganda. Agus Nggermanto (dalam buku Quantum Quotient, cara melejitkan IQ, EQ dan SQ:2003) menjabarkan kecerdasan berganda seperti : cerdas matematika, cerdas berbahasa, cerdas intrapersonal dan interpersonal, cerdas dengan seni dan gerak dan cerdas dengan spiritual. Untuk melejitkan kecerdasan berganda adalah dengan mengkondisikan otak, buku-buku, psikomotorik, rasa cinta atau emosi positif, spiritual dalam bentuk mengamalkan ajaran agama dan bersikap selalu aktif dan kreatif.
Beberapa usaha untuk mencapai hal-hal diatas adalah seperti menggalakan kebiasaan membaca dan diskusi keluarga agar anak menjadi mantap dalam melakukan komunikasi. Usaha lain adalah membiasakan anak untuk melakukan penjelajahan dalam rangka menambah wawasan anak, melakukan rekreasi edukasional seperti pergi ke toko buku, tempat bermain anak, pabrik, tempat-tempat profesi lain agar anak memiliki segudang cita-cita dan tak kalah pentingnya adalah menyediakan sarana dan prasaran serta memberi contoh langsung pada keluarga.
Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat. (rekening: Batusangkar, Kota II 33-22-3872)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them