SINETRON DICURIGAI SEBAGAI PEMICU SISWA
TERCERABUT DARI BUDAYA “Adat Bersandi Sarak- Sarak Bersandi Kitabullah”.
Oleh: Marjohan
(marjohanusma@yahoo.com)
guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Adalah merupakan fenomena sepanjang masa bahwa pengaruh budaya luar selalu menyusup ke dalam tradisi kita lewat mode atau gaya hidup. Dulu, beberapa belas tahun atau dua dekade yang lalu, gaya hidup berkacamata hitam, memakai anting- anting besar, berambut kribo dan bercelana Spanyol adalah pilihan anak muda. Kemudian datang mode breakdance, rambut punk-rock, bertato, beranting sebelah telinga, membuat grafitty- coretan- coretan. Dan sekarang mode tidak hanya menjadi konsumsi anak muda pareman, tetapi juga dikonsumsi secara habis- habisan oleh sebahagian siswa SLTP dan SLTA dan malah juga sebahagian mahasiswa yang nota-benenya sebagai calon intelektual, mengadopsi gaya hidup yang aneh sebagai kebutuhan primer mereka. Fenomena yang diuraikan diatas tentu ada penyebab dan pemicunya. .
Setiap orang sudah tahu bahwa apa itu “media massa” dan kita tidak perlu lagi mencari defenisinya. Setiap orang sudah tahu bagaimana bentuk media massa itu, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa audio visual atau televisi sangat ampuh dalam menyedot perhatian puluhan ribu malah jutaan penonton. Media massa cetak, seperti beberapa jenis tabloid, koran dan majalah, juga mampu menyedot banyak perhatian pembaca.
Kedua jenis media massa diatas mampu memberikan dampak positif dan negative pada masyarakat. Terutama televisi dengan layar kacanya mempunyai manfaat dalam menghibur dalam mendidik masyarakat. Namun porsi menghiburnya kelewat banyak dibandingkan porsi mendidik dan memberikan informasi pada orang banyak. Unsur hiburan televisi telah menciptakan banyak masyarakat (baca: generasi muda dan anak didik) berprilaku serba aneh dan asing dari gaya hidup masyarakat sekitarnya.
Televisi telah lama menjadi kebutuhan primer masyarakat, seperti kebutuhan terhadap makan, minum atau sandang, pangan dan papan. Apalagi sejak menjamurnya stasiun televisi swasta yang menawarkan iklan dan menyuguhkan hiburan yang membius para pemirsa sampai malas bekerja dan belajar, maka banyak masyarakat memilih untuk membeli televisi dengan ukuran layar lebih jumbo, memajangnya ditengah rumah dan menyulap ruang tamu menjadi theater bagi keluarga.
Dahulu, sebelum televisi masih sebagai “makhluk yang langka”, banyak anak- anak yang begitu dekat dengan sang nenek, ingin tidur bersama sambil menikmati bedtime story (cerita menjelang tidur) atau kisah hidup sang nenek sewaktu muda. Namun itu kini tinggal kenangan, malah banyak anak- anak memilih untuk lebih akrab dengan kotak elektronik yang bernama televisi itu. Kemudian istilah atau kosa- kata bedtime story akan segera menghilang dari kamus dan pengalaman hidup mereka.
Adalah menjadi suatu fenomena sosial bahwa sekarang sebahagian anak-anak memang lebih akrab dengan pesawat televisi dari pada anggota keluarga dan famili yang lain. Mereka tampak begitu senang dan ikhlas menghabiskan waktu berjam-jam demi menikmati tayangan hiburan televisi yang muncul sambung bersambung sepanjang waktu. Malah mereka sudi untuk berteriak, marah- marah sambil mengungkapkan kata- kata emosional bila merasa terusik oleh siapa saja.
Begitu pula dengan anak didik di sekolah, mereka lebih dekat dan mengenal lebih banyak nama- nama stasiun televisi dengan program tayangannya, nama presenter yang kerap tampil di layar kaca, dibandingkan dengan mengenal nama dan pribadi guru- guru mereka. Mereka lebih suka kalau duduk bersama dengan teman sebaya untuk membahas acara- acara televisi, bintang iklan, tokoh- tokoh artis sinetron daripada membahas mata pelajaran dan “pe er demi pe er” yang baru saja ditugaskan oleh bapak dan ibu guru. Malah sering karena kelewat rajin mengikuti program sinetron, membuat mereka lalai dalam mengerjakan pekerjaan rumah tadi.
Orang tua jarang tahu atau mungkin tidak mau tahu kalau televisi itu punya segudang mudharat atau kerugian. Hampir banyak rumah yang membiarkan televisi on air atau menyala di tengah keluarga selama berjam-jam, malah ada yang menyala sampai 24 jam. Bagi keluarga yang punya rumah besar tentu tidak begitu masalah. Sebab tentu mereka masih punya kamar atau ruangan untuk menyepi agar anggota keluarga mereka yang rajin bisa belajar berfikir di bahagian kamar lainnya. Tetapi mayoritas bangsa Indonesia tidak kaya, mereka mempunyai rumah berukuran kecil, atau satu rumah dihuni oleh satu sampai tiga keluarga atau lebih, malah banyak keluarga yang hidup menumpang. Apa lagi bagi mereka yang hidup di daerah perkotaan, satu rumah kecil untuk menampung beberapa orang, mereka tidur ibarat ikan dalam kaleng sarden. Fungsi rumah pasti tidak ada kecuali hanya sebagai tempat tidur pada malam hari dan keluyuran pada siang hari. Dan bayangkan bila disana juga menyala siaran televisi yang non stop pasti tidak ada disana terdengar kata- kata untuk memotivasi anak untuk belajar.
Banyak guru-guru dan stakeholder sekolah juga tidak menyadari seberapa betul manfaatnya televisi itu sehingga televisi itu harus hadir dalam kantor majlis guru dan menyala dari pagi sampai sekolah usai. Pada mulanya televisi hadir di sana adalah dengan alasan agar guru tidak ketinggalan informasi. Namun karena bagusnya kemasan tayangan iklan dan sinetron yang datang silih berganti telah membuat guru terbius dan enggan untuk menunaikan tugasnya sebagai guru dalam kelas dan membiarkan siswa kucar- kacir.
Memang benar bahwa iklan dan sinetron adalah materi utama pada semua stasiun televisi yang ada di Indonesia ini. Manfaat utama dari program sinetron yang ditayangkan tiap saat dengan judul yang silih berganti terhadap masyarakat luas (juga jutaan anak didik) adalah sebatas untuk menghibur sja. Namun hakekatnya bisa membuat masyarakat, apalagi anak didik menjadi salah didik.
Pada umumnya tema berbagai sinetron yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia adalah tentang “cinta” yang diberi bumbu dengan unsur kemewahan, kekayaan kekerasan dan kemanjaan atau kecengengan. Sering karakter tokoh dalam sinetron- sinetron tersebut kurang berimbang dan tidak logika dengan porsi yang juga kurang berimbang.
Penokohan untuk dunia pendidikan ,misalnya, maka penulis naskah sinetron sering membuat citra bahwa figur atau tokoh siswa yang pintar itu adalah sosok seorang pelajar memakai kaca mata minus, kuper (kurang pergaulan), pribadinya terlalu baik namun mudah untuk diinjak- injak oleh pribadi teman lain. Sementara itu peran tokoh guru yang dicitrakan oleh penulis naskah sinetron adalah figur guru yang miskin, kampungan atau guru yang super killer. Tema cerita tentang hal ini dikemas seapik mungkin dan ditayangkan kepada publik, yang mana penontonnya adalah ratusan ribu bahkan jutaan anak anak sekolah se Indonesia. Namun apa tujuannya untuk mengemas cerita seperti ini, apakah untuk mengangkat citra pendidikan atau malah untuk menghempaskanya (?).
Sekarang , sebagaimana yang telah disebutkan tadi, bahwa banyak anak didik yang lebih mengenal figur presenter dan tokoh- tokoh sinetron pujaan mereka pada layar kaca dari pada mengenal figur guru – guru mereka di sekolah. Apalagi bila bapak dan ibuk guru mereka di sekolah tidak pula memoles diri dengan SDM yang tinggi dan penampilan yang anggun atau gagah. Maka semakin larilah siswa untuk menjadikan mereka sebagai panutan, model atau sebagai “uswatul hasanah (contoh teladan yang baik)”. Seolah- olah figur bagi bapak dan ibu guru yang demikian bisa berpuas diri dengan dengan dendang lagu “hymne guru- pahlawan tanpa tanda jasa” yang dihadiahkan siswa setiap Senin pagi saat upacara penaikan bendera.
Bahwa dalam hidupnya anak didik itu memperoleh pendidikan langsung dari guru di sekolah dan dari tokoh sinetron dan presenter pada layar kaca televisi mereka di rumah. Anak didik akan membandingkan dua jenis figur dengan kultur yang saling mempengaruhi mereka. Yaitu guru-guru yang senantiasa berusaha membuat dan mengajak mereka agar bisa menjadi insan yang memiliki kognitif, afektif dan psikomotorik (keterampilan) yang mantap. Atau agar mereka bisa memiliki keterampilan yang berganda dengan memantapkan intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient mereka, dengan tarikan tokoh sinetron dan presenter yang penampilan mereka yang tidak lagi membumi dan sudah jauh dari akar budaya bangsa ini- tubuh cantik dibalut pakaian super ketat dan super mini, rambut dicat cukup norak, penampilan dibuat- buat- dan menjanjikan seribu kemewahan, kekayaan, kecengengan dengan pesan-pesan yang menghalalkan hal-hal yang selama ini taboo- berciuman dimuka publik, hamil sebelum nikah, dan lain- lain adalah suatu hal yang wajar dan lumrah.
Figur guru dan figur artis sinetron (dan juga figur presenter) selalu berusaha berlomba dalam mempengaruhi pribadi anak didik kita. Karena figur artis dan presenter dibawakan oleh orang- orang yang sangat cerdas dan lincah namun gaya hidup mereka sudah serba tiruan dari gaya hidup dunia lain (baca: dunia barat) maka jadilah mereka sebagai tokoh yang dikagumi oleh jutaan pelajar se Indonesia dan sekaligus terpelantinglah figur guru sebagai panutan yang selalu serba bersahaja, dengan SDM dan penampilan yang juga pas- pasan pula dari fikiran anak didik mereka Maka terpaksalah mereka mendidik generasi muda yang bermentalkan (sebagian) cengeng, manja, sok elit, dan tiap malam sebelum tidur bermimpi untuk hidup mewah. Barangkali itulah penyebabnya kalau pesan- pesan pendidikan yang disampaikan oleh guru guru tidak sampai pada tujuannya. Guru asyik berceloteh di depan kelas sampai kering kerongkongan namun anak didik mereka masih bermimpi bersama tokoh tokoh artis sinetron yang selalu mereka dambakan sepanjang hari pada layar kaca di rumah mereka.
Adalah amat tepat kalau kini para orang tua harus mencurigai bahwa bila anak- anak yang didik dan tumbuh di depan mata kita menjadi generasi yang tampil serba aneh adalah gara gara tayangan iklan dan sinetron pada layar televisi yang dipajang dan dihidupkan sepanjang waktu di rumah. Sinetron dicurigai sebagai pemicu anak didik menjadi tercabut dari akar budaya ABS- SBK (Adat Bersandi sarak- Sarak bersandi Kitabullah). Wallahualam bissawab. .
TERCERABUT DARI BUDAYA “Adat Bersandi Sarak- Sarak Bersandi Kitabullah”.
Oleh: Marjohan
(marjohanusma@yahoo.com)
guru SMA Negeri 3 Batusangkar
Adalah merupakan fenomena sepanjang masa bahwa pengaruh budaya luar selalu menyusup ke dalam tradisi kita lewat mode atau gaya hidup. Dulu, beberapa belas tahun atau dua dekade yang lalu, gaya hidup berkacamata hitam, memakai anting- anting besar, berambut kribo dan bercelana Spanyol adalah pilihan anak muda. Kemudian datang mode breakdance, rambut punk-rock, bertato, beranting sebelah telinga, membuat grafitty- coretan- coretan. Dan sekarang mode tidak hanya menjadi konsumsi anak muda pareman, tetapi juga dikonsumsi secara habis- habisan oleh sebahagian siswa SLTP dan SLTA dan malah juga sebahagian mahasiswa yang nota-benenya sebagai calon intelektual, mengadopsi gaya hidup yang aneh sebagai kebutuhan primer mereka. Fenomena yang diuraikan diatas tentu ada penyebab dan pemicunya. .
Setiap orang sudah tahu bahwa apa itu “media massa” dan kita tidak perlu lagi mencari defenisinya. Setiap orang sudah tahu bagaimana bentuk media massa itu, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa audio visual atau televisi sangat ampuh dalam menyedot perhatian puluhan ribu malah jutaan penonton. Media massa cetak, seperti beberapa jenis tabloid, koran dan majalah, juga mampu menyedot banyak perhatian pembaca.
Kedua jenis media massa diatas mampu memberikan dampak positif dan negative pada masyarakat. Terutama televisi dengan layar kacanya mempunyai manfaat dalam menghibur dalam mendidik masyarakat. Namun porsi menghiburnya kelewat banyak dibandingkan porsi mendidik dan memberikan informasi pada orang banyak. Unsur hiburan televisi telah menciptakan banyak masyarakat (baca: generasi muda dan anak didik) berprilaku serba aneh dan asing dari gaya hidup masyarakat sekitarnya.
Televisi telah lama menjadi kebutuhan primer masyarakat, seperti kebutuhan terhadap makan, minum atau sandang, pangan dan papan. Apalagi sejak menjamurnya stasiun televisi swasta yang menawarkan iklan dan menyuguhkan hiburan yang membius para pemirsa sampai malas bekerja dan belajar, maka banyak masyarakat memilih untuk membeli televisi dengan ukuran layar lebih jumbo, memajangnya ditengah rumah dan menyulap ruang tamu menjadi theater bagi keluarga.
Dahulu, sebelum televisi masih sebagai “makhluk yang langka”, banyak anak- anak yang begitu dekat dengan sang nenek, ingin tidur bersama sambil menikmati bedtime story (cerita menjelang tidur) atau kisah hidup sang nenek sewaktu muda. Namun itu kini tinggal kenangan, malah banyak anak- anak memilih untuk lebih akrab dengan kotak elektronik yang bernama televisi itu. Kemudian istilah atau kosa- kata bedtime story akan segera menghilang dari kamus dan pengalaman hidup mereka.
Adalah menjadi suatu fenomena sosial bahwa sekarang sebahagian anak-anak memang lebih akrab dengan pesawat televisi dari pada anggota keluarga dan famili yang lain. Mereka tampak begitu senang dan ikhlas menghabiskan waktu berjam-jam demi menikmati tayangan hiburan televisi yang muncul sambung bersambung sepanjang waktu. Malah mereka sudi untuk berteriak, marah- marah sambil mengungkapkan kata- kata emosional bila merasa terusik oleh siapa saja.
Begitu pula dengan anak didik di sekolah, mereka lebih dekat dan mengenal lebih banyak nama- nama stasiun televisi dengan program tayangannya, nama presenter yang kerap tampil di layar kaca, dibandingkan dengan mengenal nama dan pribadi guru- guru mereka. Mereka lebih suka kalau duduk bersama dengan teman sebaya untuk membahas acara- acara televisi, bintang iklan, tokoh- tokoh artis sinetron daripada membahas mata pelajaran dan “pe er demi pe er” yang baru saja ditugaskan oleh bapak dan ibu guru. Malah sering karena kelewat rajin mengikuti program sinetron, membuat mereka lalai dalam mengerjakan pekerjaan rumah tadi.
Orang tua jarang tahu atau mungkin tidak mau tahu kalau televisi itu punya segudang mudharat atau kerugian. Hampir banyak rumah yang membiarkan televisi on air atau menyala di tengah keluarga selama berjam-jam, malah ada yang menyala sampai 24 jam. Bagi keluarga yang punya rumah besar tentu tidak begitu masalah. Sebab tentu mereka masih punya kamar atau ruangan untuk menyepi agar anggota keluarga mereka yang rajin bisa belajar berfikir di bahagian kamar lainnya. Tetapi mayoritas bangsa Indonesia tidak kaya, mereka mempunyai rumah berukuran kecil, atau satu rumah dihuni oleh satu sampai tiga keluarga atau lebih, malah banyak keluarga yang hidup menumpang. Apa lagi bagi mereka yang hidup di daerah perkotaan, satu rumah kecil untuk menampung beberapa orang, mereka tidur ibarat ikan dalam kaleng sarden. Fungsi rumah pasti tidak ada kecuali hanya sebagai tempat tidur pada malam hari dan keluyuran pada siang hari. Dan bayangkan bila disana juga menyala siaran televisi yang non stop pasti tidak ada disana terdengar kata- kata untuk memotivasi anak untuk belajar.
Banyak guru-guru dan stakeholder sekolah juga tidak menyadari seberapa betul manfaatnya televisi itu sehingga televisi itu harus hadir dalam kantor majlis guru dan menyala dari pagi sampai sekolah usai. Pada mulanya televisi hadir di sana adalah dengan alasan agar guru tidak ketinggalan informasi. Namun karena bagusnya kemasan tayangan iklan dan sinetron yang datang silih berganti telah membuat guru terbius dan enggan untuk menunaikan tugasnya sebagai guru dalam kelas dan membiarkan siswa kucar- kacir.
Memang benar bahwa iklan dan sinetron adalah materi utama pada semua stasiun televisi yang ada di Indonesia ini. Manfaat utama dari program sinetron yang ditayangkan tiap saat dengan judul yang silih berganti terhadap masyarakat luas (juga jutaan anak didik) adalah sebatas untuk menghibur sja. Namun hakekatnya bisa membuat masyarakat, apalagi anak didik menjadi salah didik.
Pada umumnya tema berbagai sinetron yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia adalah tentang “cinta” yang diberi bumbu dengan unsur kemewahan, kekayaan kekerasan dan kemanjaan atau kecengengan. Sering karakter tokoh dalam sinetron- sinetron tersebut kurang berimbang dan tidak logika dengan porsi yang juga kurang berimbang.
Penokohan untuk dunia pendidikan ,misalnya, maka penulis naskah sinetron sering membuat citra bahwa figur atau tokoh siswa yang pintar itu adalah sosok seorang pelajar memakai kaca mata minus, kuper (kurang pergaulan), pribadinya terlalu baik namun mudah untuk diinjak- injak oleh pribadi teman lain. Sementara itu peran tokoh guru yang dicitrakan oleh penulis naskah sinetron adalah figur guru yang miskin, kampungan atau guru yang super killer. Tema cerita tentang hal ini dikemas seapik mungkin dan ditayangkan kepada publik, yang mana penontonnya adalah ratusan ribu bahkan jutaan anak anak sekolah se Indonesia. Namun apa tujuannya untuk mengemas cerita seperti ini, apakah untuk mengangkat citra pendidikan atau malah untuk menghempaskanya (?).
Sekarang , sebagaimana yang telah disebutkan tadi, bahwa banyak anak didik yang lebih mengenal figur presenter dan tokoh- tokoh sinetron pujaan mereka pada layar kaca dari pada mengenal figur guru – guru mereka di sekolah. Apalagi bila bapak dan ibuk guru mereka di sekolah tidak pula memoles diri dengan SDM yang tinggi dan penampilan yang anggun atau gagah. Maka semakin larilah siswa untuk menjadikan mereka sebagai panutan, model atau sebagai “uswatul hasanah (contoh teladan yang baik)”. Seolah- olah figur bagi bapak dan ibu guru yang demikian bisa berpuas diri dengan dengan dendang lagu “hymne guru- pahlawan tanpa tanda jasa” yang dihadiahkan siswa setiap Senin pagi saat upacara penaikan bendera.
Bahwa dalam hidupnya anak didik itu memperoleh pendidikan langsung dari guru di sekolah dan dari tokoh sinetron dan presenter pada layar kaca televisi mereka di rumah. Anak didik akan membandingkan dua jenis figur dengan kultur yang saling mempengaruhi mereka. Yaitu guru-guru yang senantiasa berusaha membuat dan mengajak mereka agar bisa menjadi insan yang memiliki kognitif, afektif dan psikomotorik (keterampilan) yang mantap. Atau agar mereka bisa memiliki keterampilan yang berganda dengan memantapkan intelligent quotient, emotional quotient dan spiritual quotient mereka, dengan tarikan tokoh sinetron dan presenter yang penampilan mereka yang tidak lagi membumi dan sudah jauh dari akar budaya bangsa ini- tubuh cantik dibalut pakaian super ketat dan super mini, rambut dicat cukup norak, penampilan dibuat- buat- dan menjanjikan seribu kemewahan, kekayaan, kecengengan dengan pesan-pesan yang menghalalkan hal-hal yang selama ini taboo- berciuman dimuka publik, hamil sebelum nikah, dan lain- lain adalah suatu hal yang wajar dan lumrah.
Figur guru dan figur artis sinetron (dan juga figur presenter) selalu berusaha berlomba dalam mempengaruhi pribadi anak didik kita. Karena figur artis dan presenter dibawakan oleh orang- orang yang sangat cerdas dan lincah namun gaya hidup mereka sudah serba tiruan dari gaya hidup dunia lain (baca: dunia barat) maka jadilah mereka sebagai tokoh yang dikagumi oleh jutaan pelajar se Indonesia dan sekaligus terpelantinglah figur guru sebagai panutan yang selalu serba bersahaja, dengan SDM dan penampilan yang juga pas- pasan pula dari fikiran anak didik mereka Maka terpaksalah mereka mendidik generasi muda yang bermentalkan (sebagian) cengeng, manja, sok elit, dan tiap malam sebelum tidur bermimpi untuk hidup mewah. Barangkali itulah penyebabnya kalau pesan- pesan pendidikan yang disampaikan oleh guru guru tidak sampai pada tujuannya. Guru asyik berceloteh di depan kelas sampai kering kerongkongan namun anak didik mereka masih bermimpi bersama tokoh tokoh artis sinetron yang selalu mereka dambakan sepanjang hari pada layar kaca di rumah mereka.
Adalah amat tepat kalau kini para orang tua harus mencurigai bahwa bila anak- anak yang didik dan tumbuh di depan mata kita menjadi generasi yang tampil serba aneh adalah gara gara tayangan iklan dan sinetron pada layar televisi yang dipajang dan dihidupkan sepanjang waktu di rumah. Sinetron dicurigai sebagai pemicu anak didik menjadi tercabut dari akar budaya ABS- SBK (Adat Bersandi sarak- Sarak bersandi Kitabullah). Wallahualam bissawab. .