Pendidikan Yang Belum Mendidik
Oleh : Marjohan
(marjohanusman@yahoo.com)
Apa gunanya belajar begitu lama dan begitu tinggi, menghabiskan waktu belasan tahun, malah sampai dua puluh atau dua puluh lima tahun, kalau pada akhirnya menjadi sarjana pengangguran atau intelektual pengangguran. Dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mendidik generasi bangsa ini menjadi orang yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam realita pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang senang meramaikan mall, plaza dan tempat rekreasi. Barangkali itu semua terjadi karena kita , pemerintah, masyarakat, orangtua dan guru, telah salah dalam mendidik. Kalau begitu kita semua harus bertanggung jawab atas fenomena ini.
Generasi senior seperti orangtua, mamak, dan kakak yang sukses perlu tahu bahwa mereka harus membekali generasi muda, anak- anak , suatu kekuatan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan ini. Mereka tidak perlu untuk melakukan studi banding jauh- jauh, cukup belajar dari makhluk yang hidup di seputar mereka.
Induk ayam., secara instink tahu sekali bahwa ia perlu mengajar anak- anaknya agar bisa memiliki kekuatan untuk menghadapi hidup. Ia memberi model (pelajaran dan contoh langsung) bagaimana agar mereka bisa memiliki cakar dan paruh yang kuat untuk mengais rezeki yang tersembunyi. Kucing liar (bukan kucing rumahan yang hidup manja) secara instink juga mengajar anak- anaknya lewat latihan dalam bentuk pemodelan- melonpat dan menerkam- agar anak anaknya bisa menjadi cerdas untuk melompat, menerkam dan mencakar rezki dan meghadapi problema hidup dengan tangguhnya.
Lantas bagaimana eksistensi orangtua dalam mendidik dan mewarisi kehidupan yang layak bagi anak ? Terus terang bahwa tidak banyak orangtua yang tahu teori tentang mendidik. namun mereka mewarisinya dalam bentuk pemberian model, latihan dan kesempatan dalam berbuat.
Orang tua, dalam generasi masa lalu, mempunyai banyak anak, karena program Keluarga Berencana belum mereka kenal. Saat itu alam dan lingkungan masih aman, ramah dan jauh dari berbagai jenis polusi. Mereka membiarkan anak lepas di alam bebas, mengeksplorasi alam. Bila sudah agak besar,dalam tradisi orang Minang masa lalu, maka anak laki- laki memilih tidur di surau. Disana mereka berbagi ilmu tentang life skill – kecakapan hidup- bersilat, berpidato dan mengolah lahan. Bila saatnya tiba, maka ayah dan / atau paman (mamak) memberi model dan peran dalam kehidupan- seperti mengurus kebutuhan kaum kerabat.. dan demikian juga anag gadis memperoleh peran sesuai dengan posisinya di rumah.
Ibu dan ayah karena punya banyak anak musti membanting tulang sebagai wujud tanggung jawab. Ibu pun kekurangan waktu dalam mengurus anak secara detail. Anak saat itu jauh dari karakter over protective (watak terlalu melindungi), karakter orang tua yang serba melarang dan karakter serba membantu.
Pada masa itu setiap anak dari kecil sudah mengenal hidup susah, mereka serba mencoba pengalaman hidup- diterpa oleh hujan dan panasnya kehidupan. Bila masa akhil balikh berakhir, memasuki awal usia dewasa. Mereka merasa malu untuk menjadi “anak mama”. Atau anak yang selalu berada di bawah ketek orang tua. Bagi mereka merantau adalah menjadi solusi dan alternative terbaik. Merantau untuk mencari hidup dan ilmu. Adalah fenomena pada saat itu, orang Minang dikenal sebagai perantau yang ulung. Mencari pengalaman hidup, belajar untuk hidup susah. Almarhum Buya Hamka memberikan perumpamaan ibarat memakan tebu, memulai dari ujung yang hambar dan kelak berakhir di ujung dengan kehidupan yang manis. Ujung yang manis sebagai hasil pengalaman hidup yang hambar dan pahit membuat orang Minang pada masa itu dikenal sebagai pedagang yang ulet dan tangguh di negeri orang.
Tetapi bagaimana keadaan generasi belakangan, generasi dimana setiap orang tua sudah agak tinggi tingkat pendidikannya, paling kurang tamat SLTA dan sudah paham manfaat memiliki dua atau tiga anak- keluarga yang kecil. Anak- anak yang tumbuh dalam keluarga kecil pertumbuhan biologinya lebih bagus, bisa memiliki asupan gizi yang lebih baik. Namun bagaimana dengan asupan pengalaman hidup mereka ?
Orang tua zaman sekarang, sebahagian, cendrung bersifat over protective , suka mencampuri kehidupan anak sampai terlalu detail, serba melarang dan banyak memanjakan anak dengan hal yang bersifat banyak hiburan dan serba membantu mereka. Orang tua zaman sekarang hanya lebih mencikaraui pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak , namun cendrung tidak tidak tahu atau kurang peduli terhadap perkembangan dan pendidikan pada aspek lain- kecakapan hidup, spiritual, emosional , sikap positive dan kecakapan lain nya.
Sekarang bila anak mampu bernyanyi sebagai artis organ tunggal, menyanyikan lagu syahdu dan romantis, maka ia akan dikagumi dan diberi sanjungan setinggi mungkin. Bila anak jagoan dalam matematika, maka orangtua hampir tidak sabar untuk memberi tahu pada setiap orang tentang kelebihan dan keunggulan anak. Namun bila anak tidak pandai membaca Alfatihah, lalai dalam menunaikan Shalat lima waktu adakalanya sebahagian orang tua tampak tidak peduli dan malah memaafkan.
Orang tua sadar betul bahwa mereka perlu mempersiapkan anak agar kelak bisa hidup sukses. Agar anak sukses di sekolah maka mereka punya resep yaitu “bebaskan mereka untuk melakukan tugas rumah”. Kerja anak Cuma belajar dan belajar- apalagi ia dibebani dengan segudang PR dari sekolah. Keperluan makan dan pakaian semua diurus oleh orang tua. Namun akhirnya anak menjadi gagap dalam menyapu, mencuci, memasak dan malah bersosial. Mereka diharapkan hanya bisa jadi juara kelas
Dalam kenyataan orang tua yang terlalu banyak berharap agar anak jadi pintar dan sempurna yaitu dengan cara serba membantu, serba memanjakan, serba mengatur dan serba melarang. Metode atau cara ini malah membuat anak jadi miskin dengan life skill – kecakapan hidup. Mereka tidak tahu bagaimana cara membersihkan rumah, dan bagaimana memasak rendang Padang. Ini salah satu potret dari pendidikan yang salah dalam mendidik.
Pendidikan yang bukan atau yang belum mendidik adalah fenomena yang juga terjadi dalam dunia pendidikan (baca: di sekolah). Sekali lagi, buat apa anak- anak belajar dari SD, SMP, SLTA dan terus ke Perguruan Tinggi dan tamat kalau hanya bisa menjadi pengangguran. Apakah ini sebagai hasil dari bentuk dan gaya pendidikan yang mereka lalui selama ini.
Hanya pendidikan pra sekolahlah – taman kanak kanak- yang berkesan bagi anak dan menyenangkan dalam hidup mereka. Pendidikan mulai dari SD sampai ke tingkat SLTA harus mereka lalui dengan berbagai macam bentuk benturan demi benturan dalam kehidupan mereka. Mereka harus tahu bagaimana persaingan sehat dan juga sering terjadi persaingan tak sehat. Bagaimana bereaksi ketika dipermalukan oleh teman. Dan anak mulai mengenal stress oleh beban tugas sekolah yang begitu padat. Jari- jari kecil mereka harus banyak menulis agar SKL (standar kelulusan) bisa tercapai agar nama sekolah tidak tercemar. Mereka harus dikarantina di sekolah dan menjadi lupa bagaimana indahnya bermain lumpur dan berenang di kolam yang masih menyimpan segarnya aroma alam.
Walau semua guru sudah tahu bagaimana melaksanakan proses belajar mengajar yang dituntut oleh kurikulum, maka tetap saja pembelajaran yang tradisional atau konvensional itu menarik dan sangat praktis - teacher centered, metode mencatat, metode berceramah, metode menghafal dan murid yang harus membeo atau membungkam. Agar nama guru bagus atau nama sekolah harum , Maka siswa harus bisa mengejar skor yang tinggi. Kunci nya adalah pembelajaran berfokus pada hasil- proses tidak perlu dihiraukan – anak atau siswa harus kaya dengan bentuk dan model test. Anak perlu digiring ke dalam suasana kelas yang membosankan- mereka harus rela berkorban untuk tidak membantu orangtua di sawah, mengawasi air kolam, atau memasak bersama nenek atau etek mereka di rumah, karena tuntutan sekolah lebih penting dari pada membantu orang tua dan melaksanakan tugas- tugas tadi. Namun kalau anak tidak punya kecakapan hidup, apakah itu karena kesalahan orang tua atau karena sekolah memonopoli waktu anak untuk berbakti (?).
Sejak ada kebijakan agar anak harus mampu menyelesaikan SKL atau bisa mencapai target skor kelulusan, maka semua sekolah berlomba membuat program bagaimana anak bisa gol, lulus seratus persen. Kasihan bila ada ada siswa yang gagal, nama baik sekolah bisa ambruk. Untuk menjaga citra baik sekolah, guru, mungkin juga kepala sekolah, komite dan kalau perlu juga orang tua harus memberi resep- bagaimana trik- trik mencontek dan melakukan rekayasa yang jitu. Pada akhirnya sekolah dengan skor tinggi sebagai hasil dari murid berbudaya mencontek diberi penghargaan dan kalau perlu diberitakan di media massa, sementara sekolah yang menjunjung tinggi nilai kejujuran namun harus memiliki skor agak rendah, memperoleh cibiran secara missal dan dicap sebagai sekolah yang telah gagal (?).
Dibalik fenomena pendidikan yang belum mendidik ini, ada usaha segelintir orang yang berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa sangat diperlukan sekolah punya program akselerasi dan program perintisan lain. Namun ujung- ujungnya hanya masih memajukan pendidikan dalam segi kognitif. Untuk itu dikemas paket akselerasi yang apik dan lagi- lagi anak harus disandera agar mampu membahas soal- demi soal ujian standar nasional agar kelak bisa lulus di UMPTN dan kuliah di perguruan tinggi bergengsi.
Namun dalam kenyataan tidak semua anak yang tertarik pada kegiatan kognitif dan tidak semuanya bermimpi untuk studi di pulau Jawa . Sebagai akibat terpaksa ikut kegiatan akselerasi, mereka belajar asal asalan karena dipaksa oleh kolaborasi orang tua dan sekolah. Meminjam istilah pendidikan quantum teaching, sebahagian dari mereka mungkin hanya tertarik dengan kegiatan otot, kegiatan seni, kegiatan interpersoanal atau intrapersonal dan mungkin kelak disana karir mereka. Tetapi mengapa mereka dipaksa mengikuti pelajaran akselersai pada bidang kognitif yang penuh rumus dan bahasa yang kering, dan angka- angka. Program ini tidak salah namun tempatnya belum tepat menurut istilah- the right man in the right place.
Kalau pada banyak sekolah dibentuk English club, maka adalah juga tepat untuk membentuk club- club mata pelajaran- mathematics club, history club, geografpy club. Kemudian juga club berdasarkan hobi, dan minat seperti photography club, atau menghidupkan aktivitas yang berbasis life skill- berkebun, beternak, bertani. Bukankah pekerjaan seperti sudah dipandang sebelah mata oleh generasi muda. Padahal profesi pada bidang ini sangat mulia, menghidupi jutaan orang di dunia dan jauh dari dosa korupsi, kolusi dan nepotisme. Opini ini hanya mengajak setiap orang untuk melakukan kontemplasi tentang pendidikan yang belum punya nilai mendidik, yang telah melahirkan banyak generasi yang cemas menghadapi hidup. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
(Marjohan, guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program pelayanan keunggulan Tanah Datar.)
Oleh : Marjohan
(marjohanusman@yahoo.com)
Apa gunanya belajar begitu lama dan begitu tinggi, menghabiskan waktu belasan tahun, malah sampai dua puluh atau dua puluh lima tahun, kalau pada akhirnya menjadi sarjana pengangguran atau intelektual pengangguran. Dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mendidik generasi bangsa ini menjadi orang yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam realita pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang senang meramaikan mall, plaza dan tempat rekreasi. Barangkali itu semua terjadi karena kita , pemerintah, masyarakat, orangtua dan guru, telah salah dalam mendidik. Kalau begitu kita semua harus bertanggung jawab atas fenomena ini.
Generasi senior seperti orangtua, mamak, dan kakak yang sukses perlu tahu bahwa mereka harus membekali generasi muda, anak- anak , suatu kekuatan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan ini. Mereka tidak perlu untuk melakukan studi banding jauh- jauh, cukup belajar dari makhluk yang hidup di seputar mereka.
Induk ayam., secara instink tahu sekali bahwa ia perlu mengajar anak- anaknya agar bisa memiliki kekuatan untuk menghadapi hidup. Ia memberi model (pelajaran dan contoh langsung) bagaimana agar mereka bisa memiliki cakar dan paruh yang kuat untuk mengais rezeki yang tersembunyi. Kucing liar (bukan kucing rumahan yang hidup manja) secara instink juga mengajar anak- anaknya lewat latihan dalam bentuk pemodelan- melonpat dan menerkam- agar anak anaknya bisa menjadi cerdas untuk melompat, menerkam dan mencakar rezki dan meghadapi problema hidup dengan tangguhnya.
Lantas bagaimana eksistensi orangtua dalam mendidik dan mewarisi kehidupan yang layak bagi anak ? Terus terang bahwa tidak banyak orangtua yang tahu teori tentang mendidik. namun mereka mewarisinya dalam bentuk pemberian model, latihan dan kesempatan dalam berbuat.
Orang tua, dalam generasi masa lalu, mempunyai banyak anak, karena program Keluarga Berencana belum mereka kenal. Saat itu alam dan lingkungan masih aman, ramah dan jauh dari berbagai jenis polusi. Mereka membiarkan anak lepas di alam bebas, mengeksplorasi alam. Bila sudah agak besar,dalam tradisi orang Minang masa lalu, maka anak laki- laki memilih tidur di surau. Disana mereka berbagi ilmu tentang life skill – kecakapan hidup- bersilat, berpidato dan mengolah lahan. Bila saatnya tiba, maka ayah dan / atau paman (mamak) memberi model dan peran dalam kehidupan- seperti mengurus kebutuhan kaum kerabat.. dan demikian juga anag gadis memperoleh peran sesuai dengan posisinya di rumah.
Ibu dan ayah karena punya banyak anak musti membanting tulang sebagai wujud tanggung jawab. Ibu pun kekurangan waktu dalam mengurus anak secara detail. Anak saat itu jauh dari karakter over protective (watak terlalu melindungi), karakter orang tua yang serba melarang dan karakter serba membantu.
Pada masa itu setiap anak dari kecil sudah mengenal hidup susah, mereka serba mencoba pengalaman hidup- diterpa oleh hujan dan panasnya kehidupan. Bila masa akhil balikh berakhir, memasuki awal usia dewasa. Mereka merasa malu untuk menjadi “anak mama”. Atau anak yang selalu berada di bawah ketek orang tua. Bagi mereka merantau adalah menjadi solusi dan alternative terbaik. Merantau untuk mencari hidup dan ilmu. Adalah fenomena pada saat itu, orang Minang dikenal sebagai perantau yang ulung. Mencari pengalaman hidup, belajar untuk hidup susah. Almarhum Buya Hamka memberikan perumpamaan ibarat memakan tebu, memulai dari ujung yang hambar dan kelak berakhir di ujung dengan kehidupan yang manis. Ujung yang manis sebagai hasil pengalaman hidup yang hambar dan pahit membuat orang Minang pada masa itu dikenal sebagai pedagang yang ulet dan tangguh di negeri orang.
Tetapi bagaimana keadaan generasi belakangan, generasi dimana setiap orang tua sudah agak tinggi tingkat pendidikannya, paling kurang tamat SLTA dan sudah paham manfaat memiliki dua atau tiga anak- keluarga yang kecil. Anak- anak yang tumbuh dalam keluarga kecil pertumbuhan biologinya lebih bagus, bisa memiliki asupan gizi yang lebih baik. Namun bagaimana dengan asupan pengalaman hidup mereka ?
Orang tua zaman sekarang, sebahagian, cendrung bersifat over protective , suka mencampuri kehidupan anak sampai terlalu detail, serba melarang dan banyak memanjakan anak dengan hal yang bersifat banyak hiburan dan serba membantu mereka. Orang tua zaman sekarang hanya lebih mencikaraui pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak , namun cendrung tidak tidak tahu atau kurang peduli terhadap perkembangan dan pendidikan pada aspek lain- kecakapan hidup, spiritual, emosional , sikap positive dan kecakapan lain nya.
Sekarang bila anak mampu bernyanyi sebagai artis organ tunggal, menyanyikan lagu syahdu dan romantis, maka ia akan dikagumi dan diberi sanjungan setinggi mungkin. Bila anak jagoan dalam matematika, maka orangtua hampir tidak sabar untuk memberi tahu pada setiap orang tentang kelebihan dan keunggulan anak. Namun bila anak tidak pandai membaca Alfatihah, lalai dalam menunaikan Shalat lima waktu adakalanya sebahagian orang tua tampak tidak peduli dan malah memaafkan.
Orang tua sadar betul bahwa mereka perlu mempersiapkan anak agar kelak bisa hidup sukses. Agar anak sukses di sekolah maka mereka punya resep yaitu “bebaskan mereka untuk melakukan tugas rumah”. Kerja anak Cuma belajar dan belajar- apalagi ia dibebani dengan segudang PR dari sekolah. Keperluan makan dan pakaian semua diurus oleh orang tua. Namun akhirnya anak menjadi gagap dalam menyapu, mencuci, memasak dan malah bersosial. Mereka diharapkan hanya bisa jadi juara kelas
Dalam kenyataan orang tua yang terlalu banyak berharap agar anak jadi pintar dan sempurna yaitu dengan cara serba membantu, serba memanjakan, serba mengatur dan serba melarang. Metode atau cara ini malah membuat anak jadi miskin dengan life skill – kecakapan hidup. Mereka tidak tahu bagaimana cara membersihkan rumah, dan bagaimana memasak rendang Padang. Ini salah satu potret dari pendidikan yang salah dalam mendidik.
Pendidikan yang bukan atau yang belum mendidik adalah fenomena yang juga terjadi dalam dunia pendidikan (baca: di sekolah). Sekali lagi, buat apa anak- anak belajar dari SD, SMP, SLTA dan terus ke Perguruan Tinggi dan tamat kalau hanya bisa menjadi pengangguran. Apakah ini sebagai hasil dari bentuk dan gaya pendidikan yang mereka lalui selama ini.
Hanya pendidikan pra sekolahlah – taman kanak kanak- yang berkesan bagi anak dan menyenangkan dalam hidup mereka. Pendidikan mulai dari SD sampai ke tingkat SLTA harus mereka lalui dengan berbagai macam bentuk benturan demi benturan dalam kehidupan mereka. Mereka harus tahu bagaimana persaingan sehat dan juga sering terjadi persaingan tak sehat. Bagaimana bereaksi ketika dipermalukan oleh teman. Dan anak mulai mengenal stress oleh beban tugas sekolah yang begitu padat. Jari- jari kecil mereka harus banyak menulis agar SKL (standar kelulusan) bisa tercapai agar nama sekolah tidak tercemar. Mereka harus dikarantina di sekolah dan menjadi lupa bagaimana indahnya bermain lumpur dan berenang di kolam yang masih menyimpan segarnya aroma alam.
Walau semua guru sudah tahu bagaimana melaksanakan proses belajar mengajar yang dituntut oleh kurikulum, maka tetap saja pembelajaran yang tradisional atau konvensional itu menarik dan sangat praktis - teacher centered, metode mencatat, metode berceramah, metode menghafal dan murid yang harus membeo atau membungkam. Agar nama guru bagus atau nama sekolah harum , Maka siswa harus bisa mengejar skor yang tinggi. Kunci nya adalah pembelajaran berfokus pada hasil- proses tidak perlu dihiraukan – anak atau siswa harus kaya dengan bentuk dan model test. Anak perlu digiring ke dalam suasana kelas yang membosankan- mereka harus rela berkorban untuk tidak membantu orangtua di sawah, mengawasi air kolam, atau memasak bersama nenek atau etek mereka di rumah, karena tuntutan sekolah lebih penting dari pada membantu orang tua dan melaksanakan tugas- tugas tadi. Namun kalau anak tidak punya kecakapan hidup, apakah itu karena kesalahan orang tua atau karena sekolah memonopoli waktu anak untuk berbakti (?).
Sejak ada kebijakan agar anak harus mampu menyelesaikan SKL atau bisa mencapai target skor kelulusan, maka semua sekolah berlomba membuat program bagaimana anak bisa gol, lulus seratus persen. Kasihan bila ada ada siswa yang gagal, nama baik sekolah bisa ambruk. Untuk menjaga citra baik sekolah, guru, mungkin juga kepala sekolah, komite dan kalau perlu juga orang tua harus memberi resep- bagaimana trik- trik mencontek dan melakukan rekayasa yang jitu. Pada akhirnya sekolah dengan skor tinggi sebagai hasil dari murid berbudaya mencontek diberi penghargaan dan kalau perlu diberitakan di media massa, sementara sekolah yang menjunjung tinggi nilai kejujuran namun harus memiliki skor agak rendah, memperoleh cibiran secara missal dan dicap sebagai sekolah yang telah gagal (?).
Dibalik fenomena pendidikan yang belum mendidik ini, ada usaha segelintir orang yang berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan. Mereka berfikir bahwa sangat diperlukan sekolah punya program akselerasi dan program perintisan lain. Namun ujung- ujungnya hanya masih memajukan pendidikan dalam segi kognitif. Untuk itu dikemas paket akselerasi yang apik dan lagi- lagi anak harus disandera agar mampu membahas soal- demi soal ujian standar nasional agar kelak bisa lulus di UMPTN dan kuliah di perguruan tinggi bergengsi.
Namun dalam kenyataan tidak semua anak yang tertarik pada kegiatan kognitif dan tidak semuanya bermimpi untuk studi di pulau Jawa . Sebagai akibat terpaksa ikut kegiatan akselerasi, mereka belajar asal asalan karena dipaksa oleh kolaborasi orang tua dan sekolah. Meminjam istilah pendidikan quantum teaching, sebahagian dari mereka mungkin hanya tertarik dengan kegiatan otot, kegiatan seni, kegiatan interpersoanal atau intrapersonal dan mungkin kelak disana karir mereka. Tetapi mengapa mereka dipaksa mengikuti pelajaran akselersai pada bidang kognitif yang penuh rumus dan bahasa yang kering, dan angka- angka. Program ini tidak salah namun tempatnya belum tepat menurut istilah- the right man in the right place.
Kalau pada banyak sekolah dibentuk English club, maka adalah juga tepat untuk membentuk club- club mata pelajaran- mathematics club, history club, geografpy club. Kemudian juga club berdasarkan hobi, dan minat seperti photography club, atau menghidupkan aktivitas yang berbasis life skill- berkebun, beternak, bertani. Bukankah pekerjaan seperti sudah dipandang sebelah mata oleh generasi muda. Padahal profesi pada bidang ini sangat mulia, menghidupi jutaan orang di dunia dan jauh dari dosa korupsi, kolusi dan nepotisme. Opini ini hanya mengajak setiap orang untuk melakukan kontemplasi tentang pendidikan yang belum punya nilai mendidik, yang telah melahirkan banyak generasi yang cemas menghadapi hidup. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
(Marjohan, guru SMA Negeri 3 Batusangkar. Program pelayanan keunggulan Tanah Datar.)