Nilai Obralan Meruntuh Wibawa dan Kualitas Pendidikan
Oleh Marjohan
SMA Negeri 3 Batusangkar
Kita masih ingat bahwa dulu saat fenomena bahwa kantor-kantor pemerintah dan swasta mengumumkan nilai rata-rata paling rendah 7, sebagai syarat mengikuti ujian kepegawaian. Dan sebelum penilaian dengan “NEM” dilakukan, sebelum tahun akademik 1985/1986, banyak orang mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang kikir dalam memberikan nilai. Guru-guru sendiri kadang-kadang suka mikir-mikir dua kali untuk memberikan nilai angka enam saja kepada muridnya.
Tetapi semenjak pemerintah membuat persyaratan rata-rata nilai tujuh ke atas sebagai penentuan seleksi pegawai maka itulah titik awal dari pengobrolan nilai yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan alasan sekadar untuk menolong murid agar mereka tidak menjadi pengangguran di tengah masyarakat.
Ketentuan persyaratan ini dapat bernilai negatif atau positif sesuai dari kaca mata kita memandang. Kita beranggapan baik bahwa dengan persayaratan nilai minimal tujuh untuk diterima untuk bekerja maka diharapkan agar anak-anak didik bersemangat dan berpacu dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dari kacamata negatif seolah-olah syarat ini memancing kolusi-kolusian demi meraih nilai, menggerogoti tubuh pendidikan.
Sekarang bagaimana wajah penilaian terhadap lulusan sekolah, misalnya lulusan SMP dan SLTA? Setiap siswa memiliki nilai ganda, yaitu nilai pada ujian yang rata-rata cukup tinggi dan nilai yang tertera pada NEM yang sering memalukan siswa sendiri untuk mengungkapkannya. Jarang sekali penilaian ini yang sinkronis. Idealnya bukankah anak-anak yang memiliki NEM tinggi juga memiliki nilai ijazah tinggi.
Setelah munculnya penilaian lewat “NEM” atau sekarang diistilahkan dengan Standar kelulusan maka tampaknya ijazah kehilangan harga diri. Orang sudah terlanjur percaya kepada kehadiran NEM atau standar angka kelulusan , pada hal NEM itu sendiri memiliki dimensi banyak. Kita katakan dia berdimensi banyak karena NEM itu sendiri dapat diotak-atik oleh orang-orang tertentu.
Sudah terlalu sering media massa menyingkapkan adanya kasus jual beli NEM. Malah pada tiap sekolah, kemungkinan, harga diri sekolah diukur lewat NEM. Maka agar NEM sekolah tinggi maka saat ujian berlangsung dibuatlah aturan main. Ada sekolah yang sengaja membuat suasana ruang ujian begitu padat yang mana idealnya dalam satu deret mesti berderet sampai lima atau enam. Dan kalau ditanya “kenapa begini?” Maka alasannya adalah karena kekurangan kelas. Padahal di balik alasannya itu adalah karena peningkatan mutu yang palsu.
Ada pula sekolah yang membuat aturan, tempat bangku peserta Ebtanas selang seling antara siswa bodoh dengan siswa pintar. Dengan tujuan yang pintar dapat membantu temannya yang lemah. Dan apakah ini betul-betul cara penolongan yang baik? Malah legalisasi dan dikelola pula oleh sekolah. Apakah ini suatu fenomena peningkatan mutu pendidikan atau malah sebaliknya?
Menolong siswa dengan cara yang naif ini juga banyak dilakukan oleh guru-guru bidang studi yang kebetulan bidang studi itu di-UAN’kan. Ya kalau panitia ujian itu kebetulan guru bidang studi sendiri, atau ia datang saat ujian dengan dalih lain, padahal ikut menjawab lembaran ujian dan menyebar kunci jawaban kepada anak-anak yang keluar dengan alasan ingin ke kamar kecil atau pura-pura ingin membuang ingus padahal menyabet kunci ajaib yang telah ditebar guru. Hal ini dilakukan agar bidang studi yang ia ajar tinggi dan ia tetap dianggap pintar mengajar dan bukan sebagai guru yang “goblok”. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan penilaian ini dengan alasan kalau diungkapkan dapat merusak nama baik guru, atau nama baik sekolah. Kalau pelecehan ini terungkap dapat meruntuhkan wibawa instansi kita. Demikian komentar-komentar pembelaan yang sering diungkapkan agar berita tidak meluas.
Memang sekarang pengobralan nilai telah terlalu lumrah untuk dijumpai dalam lingkungan sekolah Kurva normal dalam penilaian yang dipelajari di perguruan tinggi hanya menjadi kenangan manis pendidikan dari sekolah rendah, dan barangkali juga sampai ke perguruan tinggi.
Kalau ada murid atau orang tua murid yang berkunjung ke rumah dan membawa oleh-oleh maka nilainya akan aman. Kalau ada murid yang lincah, ramah dan manis maka nilai enam atau tujuh itu sudah berada di tangan. Begitu pula bila ujian telah usai maka rapor akan ditulis. Banyak yang datang kepada wali kelas, apakah guru atau teman wali kelas, memohon pengertian agar rapornya mesti bagus. Soalnya siswa yang bersangkutan akan dibawa oleh pamannya untuk bekerja di sebuah perusahaan. Pokoknya sekarang setiap usai ujian caturwulan adalah mengemis untuk memperoleh nilai dambaan. Sekarang suasana ujian tidaklah merupakan hal yang sakral. Apakah belajar dengan penuh semangat ditemani secangkir kopi pahit, pada malam-malam sekitar musim ujian. Atau santai-santai saja toh hasilnya akan sama jika “jimat” dibuat cukup rapi dan guru-guru pengawas cuek bebek saja malah suka mengobrol atau terkantuk-kantuk selama mengawas ujian.
Kita rasa kelonggaran dalam mengawasi ujian susah berurat berakar di sekolah-sekolah. Tidak hanya pada sekolah yang berlokasi di pedesaan, malah pada sekolah perkotaan yang sering dicap dengan sekolah berkualitas sering suasananya centang-prenang saat musim ujian. Kertas-kertas jimat bertebaran dimana-mana. Bangku dan dinding kelas pun juga bisa dijadikan jimat bila telah ditulis dengan isi catatan pelajaran. Barangkali beginilah akibat ujian dari cara menghafal dimana siswa merasa terpaksa memindahkan isi catatan ke dalam kepala untuk diujikan selama ujian dan dilupakan setelah itu. Persis ibarat lembu-lembu suci di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang ia temukan dan mengeluarkannya kemudian dalam bentuk kotoran tanpa pernah menyimpannya di dalam kepala.
Dalam manajemen kita mengenal bahwa penilaian atau evaluasi amat penting untuk mendapatkan umpan balik. Dari penilaian dapat diketahui bagaimana hasil usaha yang telah dilakukan agar kita dapat melakukan follow up (kelanjutan). Namun kalau penilaian kita lakukan secara acak-acakan sebagai permainan anak kecil, hasil apa yang akan kita harapkan. Dan ini memang adalah kenyataan bahwa penilaian di sekolah-sekolah banyak dilakukan sebagai persyaratan saja.
Ada juga penilaian yang dilakukan oleh guru-guru dengan pendekatan objektif tetapi kemudian dikatrol setinggi mungkin. Malah kelupaan dalam mengatrol bisa jadi nilai siswa yang lemah sama tinggi dengan siswa yang unggul. Malah karena siswa bodoh tadi lincah dan aktif ia pun bisa menjadi pemuncak di kelas dan siswa yang merasa berhak karena betul-betul pintar terpaksa gigit jari dengan gerutu protes dalam hati.
Kita sangat yakin bahwa pengobralan nilai dapat meruntuhkan wibawa dan kualitas dunia pendidikan. Kalau penilaian diharapkan dapat untuk memperoleh umpan balik dalam peningkatan mutu maka tentu ada baiknya kita tinjau kembali semua kebijaksanaan. Termasuk semua yang membuat dan ikut mempengaruhi keobjektifan atau kemurnian penilaian.
Dalam hal ini harapan kita patut kita sampaikan kepada lembaga pemerintah, BUMN dan lembaga swasta agar tidak mengumumkan ketentuan penerimaan tenaga pegawai NEM atau ijazahnya mesti disyaratkan tujuh. Barangkali ada cara lain dalam kriteria penerimaan dan dalam hal ini tentu banyak orang yang tahu.
Atau mungkin ada baiknya dibuat suatu penelitian untuk meluncurkan suatu persyaratan. Agar masyarakat kita yang banyak mempunyai emosi yang tidak stabil tidak salah dalam beramal. Begitu pula terhadap perangkat pendidikan seluruhnya agar lebih dewasa dan objektif.
Oleh Marjohan
SMA Negeri 3 Batusangkar
Kita masih ingat bahwa dulu saat fenomena bahwa kantor-kantor pemerintah dan swasta mengumumkan nilai rata-rata paling rendah 7, sebagai syarat mengikuti ujian kepegawaian. Dan sebelum penilaian dengan “NEM” dilakukan, sebelum tahun akademik 1985/1986, banyak orang mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang kikir dalam memberikan nilai. Guru-guru sendiri kadang-kadang suka mikir-mikir dua kali untuk memberikan nilai angka enam saja kepada muridnya.
Tetapi semenjak pemerintah membuat persyaratan rata-rata nilai tujuh ke atas sebagai penentuan seleksi pegawai maka itulah titik awal dari pengobrolan nilai yang dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan alasan sekadar untuk menolong murid agar mereka tidak menjadi pengangguran di tengah masyarakat.
Ketentuan persyaratan ini dapat bernilai negatif atau positif sesuai dari kaca mata kita memandang. Kita beranggapan baik bahwa dengan persayaratan nilai minimal tujuh untuk diterima untuk bekerja maka diharapkan agar anak-anak didik bersemangat dan berpacu dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dari kacamata negatif seolah-olah syarat ini memancing kolusi-kolusian demi meraih nilai, menggerogoti tubuh pendidikan.
Sekarang bagaimana wajah penilaian terhadap lulusan sekolah, misalnya lulusan SMP dan SLTA? Setiap siswa memiliki nilai ganda, yaitu nilai pada ujian yang rata-rata cukup tinggi dan nilai yang tertera pada NEM yang sering memalukan siswa sendiri untuk mengungkapkannya. Jarang sekali penilaian ini yang sinkronis. Idealnya bukankah anak-anak yang memiliki NEM tinggi juga memiliki nilai ijazah tinggi.
Setelah munculnya penilaian lewat “NEM” atau sekarang diistilahkan dengan Standar kelulusan maka tampaknya ijazah kehilangan harga diri. Orang sudah terlanjur percaya kepada kehadiran NEM atau standar angka kelulusan , pada hal NEM itu sendiri memiliki dimensi banyak. Kita katakan dia berdimensi banyak karena NEM itu sendiri dapat diotak-atik oleh orang-orang tertentu.
Sudah terlalu sering media massa menyingkapkan adanya kasus jual beli NEM. Malah pada tiap sekolah, kemungkinan, harga diri sekolah diukur lewat NEM. Maka agar NEM sekolah tinggi maka saat ujian berlangsung dibuatlah aturan main. Ada sekolah yang sengaja membuat suasana ruang ujian begitu padat yang mana idealnya dalam satu deret mesti berderet sampai lima atau enam. Dan kalau ditanya “kenapa begini?” Maka alasannya adalah karena kekurangan kelas. Padahal di balik alasannya itu adalah karena peningkatan mutu yang palsu.
Ada pula sekolah yang membuat aturan, tempat bangku peserta Ebtanas selang seling antara siswa bodoh dengan siswa pintar. Dengan tujuan yang pintar dapat membantu temannya yang lemah. Dan apakah ini betul-betul cara penolongan yang baik? Malah legalisasi dan dikelola pula oleh sekolah. Apakah ini suatu fenomena peningkatan mutu pendidikan atau malah sebaliknya?
Menolong siswa dengan cara yang naif ini juga banyak dilakukan oleh guru-guru bidang studi yang kebetulan bidang studi itu di-UAN’kan. Ya kalau panitia ujian itu kebetulan guru bidang studi sendiri, atau ia datang saat ujian dengan dalih lain, padahal ikut menjawab lembaran ujian dan menyebar kunci jawaban kepada anak-anak yang keluar dengan alasan ingin ke kamar kecil atau pura-pura ingin membuang ingus padahal menyabet kunci ajaib yang telah ditebar guru. Hal ini dilakukan agar bidang studi yang ia ajar tinggi dan ia tetap dianggap pintar mengajar dan bukan sebagai guru yang “goblok”. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan penilaian ini dengan alasan kalau diungkapkan dapat merusak nama baik guru, atau nama baik sekolah. Kalau pelecehan ini terungkap dapat meruntuhkan wibawa instansi kita. Demikian komentar-komentar pembelaan yang sering diungkapkan agar berita tidak meluas.
Memang sekarang pengobralan nilai telah terlalu lumrah untuk dijumpai dalam lingkungan sekolah Kurva normal dalam penilaian yang dipelajari di perguruan tinggi hanya menjadi kenangan manis pendidikan dari sekolah rendah, dan barangkali juga sampai ke perguruan tinggi.
Kalau ada murid atau orang tua murid yang berkunjung ke rumah dan membawa oleh-oleh maka nilainya akan aman. Kalau ada murid yang lincah, ramah dan manis maka nilai enam atau tujuh itu sudah berada di tangan. Begitu pula bila ujian telah usai maka rapor akan ditulis. Banyak yang datang kepada wali kelas, apakah guru atau teman wali kelas, memohon pengertian agar rapornya mesti bagus. Soalnya siswa yang bersangkutan akan dibawa oleh pamannya untuk bekerja di sebuah perusahaan. Pokoknya sekarang setiap usai ujian caturwulan adalah mengemis untuk memperoleh nilai dambaan. Sekarang suasana ujian tidaklah merupakan hal yang sakral. Apakah belajar dengan penuh semangat ditemani secangkir kopi pahit, pada malam-malam sekitar musim ujian. Atau santai-santai saja toh hasilnya akan sama jika “jimat” dibuat cukup rapi dan guru-guru pengawas cuek bebek saja malah suka mengobrol atau terkantuk-kantuk selama mengawas ujian.
Kita rasa kelonggaran dalam mengawasi ujian susah berurat berakar di sekolah-sekolah. Tidak hanya pada sekolah yang berlokasi di pedesaan, malah pada sekolah perkotaan yang sering dicap dengan sekolah berkualitas sering suasananya centang-prenang saat musim ujian. Kertas-kertas jimat bertebaran dimana-mana. Bangku dan dinding kelas pun juga bisa dijadikan jimat bila telah ditulis dengan isi catatan pelajaran. Barangkali beginilah akibat ujian dari cara menghafal dimana siswa merasa terpaksa memindahkan isi catatan ke dalam kepala untuk diujikan selama ujian dan dilupakan setelah itu. Persis ibarat lembu-lembu suci di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang ia temukan dan mengeluarkannya kemudian dalam bentuk kotoran tanpa pernah menyimpannya di dalam kepala.
Dalam manajemen kita mengenal bahwa penilaian atau evaluasi amat penting untuk mendapatkan umpan balik. Dari penilaian dapat diketahui bagaimana hasil usaha yang telah dilakukan agar kita dapat melakukan follow up (kelanjutan). Namun kalau penilaian kita lakukan secara acak-acakan sebagai permainan anak kecil, hasil apa yang akan kita harapkan. Dan ini memang adalah kenyataan bahwa penilaian di sekolah-sekolah banyak dilakukan sebagai persyaratan saja.
Ada juga penilaian yang dilakukan oleh guru-guru dengan pendekatan objektif tetapi kemudian dikatrol setinggi mungkin. Malah kelupaan dalam mengatrol bisa jadi nilai siswa yang lemah sama tinggi dengan siswa yang unggul. Malah karena siswa bodoh tadi lincah dan aktif ia pun bisa menjadi pemuncak di kelas dan siswa yang merasa berhak karena betul-betul pintar terpaksa gigit jari dengan gerutu protes dalam hati.
Kita sangat yakin bahwa pengobralan nilai dapat meruntuhkan wibawa dan kualitas dunia pendidikan. Kalau penilaian diharapkan dapat untuk memperoleh umpan balik dalam peningkatan mutu maka tentu ada baiknya kita tinjau kembali semua kebijaksanaan. Termasuk semua yang membuat dan ikut mempengaruhi keobjektifan atau kemurnian penilaian.
Dalam hal ini harapan kita patut kita sampaikan kepada lembaga pemerintah, BUMN dan lembaga swasta agar tidak mengumumkan ketentuan penerimaan tenaga pegawai NEM atau ijazahnya mesti disyaratkan tujuh. Barangkali ada cara lain dalam kriteria penerimaan dan dalam hal ini tentu banyak orang yang tahu.
Atau mungkin ada baiknya dibuat suatu penelitian untuk meluncurkan suatu persyaratan. Agar masyarakat kita yang banyak mempunyai emosi yang tidak stabil tidak salah dalam beramal. Begitu pula terhadap perangkat pendidikan seluruhnya agar lebih dewasa dan objektif.