MEMULUSKAN KOMUNIKASI ATAS-BAWAH DI SEKOLAH
Oleh : Marjohan
Tak sedikit mass media menyuarakan tentang jeleknya mutu pendidikan pada masa-masa yang telah lalu. Penurunan mutu pendidikan ini sebagian tersandung karena buruknya komunikasi atas bawah. Yaitu komunikasi antara murid dan guru dan komunikasi antara guru-guru dengan pihak atasan.
Ada beberapa isyarat di sekolah yang menunjukkan bahwa komunikasi lagi tersandung. Apakah di dinding WC dan bagian dinding sekolah lain banyak coret-coretan, waktu bukan karena aksi vandalisme, tetapi sebagai sarana pelampiasan rasa tidak puas.
Suatu ketika kita melihat coretan yang ditulis siswa yang lagi memprotes kepala sekolah atau salah seorang guru bidang studi yang kurang bersahabat dengannya. Parahnya lagi kala siswa itu memiliki karakter mental yang labil dan tidak mampu mengekspresikan dalam bahasa lisan secara jantan, memilih cara sembunyi-sembunyi untuk menuliskan kata-kata jorok sebagai ungkapan rasa protes.
Tingginya tingkat absensi guru-guru adalah isyarat jeleknya komunikasi antara guru dengan pihak atasan. Begitu pula terhadap siswa-siswa. Walaupun dari rumah terlihat menuju sekolah, tetapi kemudian menyimpang entah kemana, juga merupakan dari jeleknya komunikasi antara guru dan murid di kelas.
Komunikasi yang ideal adalah komunikasi yang dua arah, atau two ways communication. Tetapi yang lazim terlihat dan teraplikasikan adalah komunikasi satu arah dan datanya selalu di atas.
Di kelas, dalam proses belajar mengajar, lebih ditekankan sistem belajar “student-centered” dan “communicative approach”. Pelaksana penekanan kedua sistem ini amat menyokong teraplikasinya komunikasi sistem dua arah, dari guru ke murid dan dari murid ke guru. Tetapi sayang penekanan kedua sistem ini belum memasyarakat di sekolah-sekolah. Yang masih sering teraplikasikan adalah sistem “teacher-centered’ dan “non communicative approach”.
Suasana umum yang terlihat pada hampir banyak sekolah adalah aktivitas belajar mengajar yang berfokus kepada guru. Dimana guru lebih kerap memilih metoda berceramah di depan murid-murid yang terpaksa tenang. Kalaupun ada guru yang memilih metoda belajar mengajar dan menyajikan pelajaran dengan menggunakan media-media sederhana di papan tulis, karena baru saja selesai melakukan penataran pendidikan. Tetapi kerap kali cara mengajar yang begini hanya bertahan untuk sesaat saja dan setelah itu kembali menggunakan metoda mengajar asal jadi saja.
Komunikasi satu arah, dari guru ke murid, kerap kali membuat murid serba pasif. Apa saja yang diperbuat dan diperintahkan oleh guru adalah mutlak dan harus diterima oleh murid. Sebetulnya ada juga murid yang ingin berpartisipasi aktif dalam berkomunikasi. Tetapi ia khawatir kalau guru salah paham. Pada akhirnya adalah berdampak pada gertakan pengurangan nilai rapor.
Kadang kalau guru ada yang aneh. Kalau dalam kegiatan belajar mengajarnya tidak ada murid yang mampu bertanya atau menjawab, maka ia akan marah. Tetapi kalau ada murid yang bertanya atau mengungkapkan protes, sebagai tanda bahwa murid itu juga kritis, maka guru tertentu akan marah. Barangkali dimatanya adalah bahwa murid yang baik adalah murid yang tidak banyak cerita dan kalau diminta musti menurut.
Komunikasi satu arah dalam kelas menunjukkan bahwa hak murid untuk berbicara masih terbelenggu. Memang cukup banyak murid yang suka bicara balik belakang sebagai isyarat bahwa komunikasi dari arus bawah, dari murid ke guru, masih macet. Ada seorang murid tercatat sebagai penerima beasiswa, misalnya, tetapi setelah belajar dua atau tiga bulan beasiswa itu belum juga cair. Rasa takut membuat ia tetap tersandung dalam mewujudkan komunikasi dari arah bawah. Khawatir akan berantakan atau jawaban yang mengecewakan dari guru tetap menyebabkan rasa takut dan khawatir yang dirasakan oleh murid.
Guru, meskipun di dalam kelas dapat berceloteh tetapi dalam berkomunikasi dengan pihak atasan juga sering tersandung. Akibatnya banyak mereka suka bicara belakangan dan melakukan perbuatan apa yang dia suka meski merugikan murid sebagai ungkapan protes atas ketidakpuasan.
Seringkali seorang guru banyak mempunyai ide-ide dan unek-unek lain yang ingin disampaikan kepada pihak atasan. Tetapi begitu rapat telah berlangsung ia tak mampu lagi mengutarakan segala ide dan unek-unek dalam kepala tak mampu meluncur keluar. Rasa percaya diri kurang, tidak terlatih untuk berbicara dalam forum dan beban psikologis lain selalu menjadi batu penyandung dalam berkomunikasi. Sehingga tetap saja komunikasi dua arah gagal untuk terwujud. Ditambah lagi dengan sikap pihak atasan yang selalu suka menjaga jarak, barang kali ingin menjaga harga diri atau wibawa mungkin.
Banyak hal-hal yang tetap menyebabkan kita gagal dalam menyalurkan ekspresi dalam komunikasi dua arah. Penyebab utama adalah karena kita tidak terlatih sejak kecil dalam keluarga. Ini semua bisa jadi akibat kesibukan orang tua dalam mencari nafkah dan tidak tahu cara untuk melowongkan waktu untuk mendidik kita sebagai generasi penerus mereka. Atau kalaupun ada waktu mereka tidak memiliki ilmu cara mengembangkan pribadi kita untuk berkomunikasi. Ini disebabkan rendahnya pendidikan rata-rata orang tua kita.
Umumnya kita dapat mengungkapkan pikiran dalam bentuk komunikasi dua arah adalah dalam suasana informal diluar kegiatan proses belajar mengajar bagi guru dan murid. Dalam suasana santai, pada waktu senggang, bagi komunikasi guru dengan pihak atasannya. Tapi sayang sering diluar kegiatan belajar mengajar, begitu proses belajar mengajar usai, guru walau tidak semua buru-buru meninggalkan ruangan kelas dan tidak menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan murid walau hanya sepatah-dua patah kata. Begitu pula bagi pihak atasan sekolah, walau tidak semuanya, pada waktu senggang mengurung diri di ruangannya. Atau kalau punya waktu untuk berkumpul dengan rekan-rekan guru lebih sering bersikap sebagai mandor yang akan mengawasi para pekerja. Dalam arti kata berpenampilan angker dan mahal senyum, datang cuma mencek “kenapa anda mengajar begini dan kenapa tidak begitu”. Atau datang cuma untuk memberikan anjuran demi anjuran seperti : tingkatkanlah disiplin, cobalah anda tingkatkan NEM bidang studi anda, buatlah satuan pelajaran dan lain-lain. Itu Cuma kalimat yang disampaikan dalam komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, yang isinya Cuma seputar “anjuran dan larangan semata”. Setelah itu ia kembali menyelinap kedalam ruangan kantornya sebagai menara gadingnya.
Ada anggapan bahwa untuk tetap berwibawa maka seorang guru harus menjaga jarak terhadap murid dan seorang atasan membuat jarak sosial terhadap guru-guru. Menjaga jarak dalam makna yang sempit dan makna kata “berwibawa” yang lebih picik telah mewarnai bentuk interaksi dan komunikasi kita.
Malah ada orang yang beranggapan bahwa ia telah beranggapan bahwa ia telah mengaplikasikan prinsip penampilan berwibawa dengan cara berbusana rapi, mahal senyum dan dengan gerak dan cara berbicara yang dibuat-buat. Namun dampaknya orang malah merasa risih apabila berdampingan dengan orang seperti itu. Namun bila telah saling berpisah terasa adanya kelapangan dan kebebasan. Ibarat seorang anak yang berdampingan seorang ayah yang otoriter atau diktator yang menganggap pribadinya sebagai ayah yang berwibawa. Dimana anak merasa bebas kalau tanpa ada ayah disampingnya.
Kewibawaan bukan ditentukan oleh ukuran fisik guru atau seorang. Bersikap dan berbicara yang dibuat-buat tidak akan mendatangkan arti wibawa yang sesungguhnya. Wibawa lebih ditentukan oleh isi kepala, isi data dan sikap seseorang. Tidak salah kalau kita membuka diri kepada murid dan sekali-kali bercanda dengan mereka. Tetapi bila kita terlalu suka bercanda bebas dan berlebihan tentu tidak ada lagi batas-batas dan akan membuat wibawa hancur. Begitu pula bila kita mengabaikan cara berpakaian dan cara berbicara, tentu wibawa bisa lebur.
Sekarang tampaknya usaha pemerintah dan kita semua dalam meningkatkan sumber daya manusia di sekolah terlihat semakin serius. Kalau tidak buat apa gunanya diadakan sekolah unggul atau kelas unggul segala.
Namun usaha-usaha kita dalam peningkatan mutu tentu tidak tercapai secara sempurna kalau komunikasi tidak pernah dimuluskan. Dan yang kita maksudkan adalah memuluskan komunikasi dua arah.
Kebiasaan mengkritik atau berbicara balik belakang menandai adanya komunikasi internal, komunikasi dua arah yang tersumbat. Ini tentu saja karena komunikasi terlalu bersifat searah, alias hanya dari pihak atasan kepada guru-guru dan dari guru-guru kepada murid-murid.
Jika komunikasi internal tak segera dibenahi dan kepentingan kedua pihak tidak dipertemukan maka konflik demi konflik akan merusak hasil-hasil usaha yang telah kita lakukan. Maka salah satu usaha yang dapat kita melakukan untuk memuluskan komunikasi atas bawah di sekolah adalah dengan cara membudayakan komunikasi intensif.
Forum informal, mengadakan dialog-dialog ringan pada saat guru dengan murid, adalah cara efektif untuk membudayakan komunikasi intensif. Forum informal itu penting untuk menangkap aspirasi dari arus bawah. Tidak semua hal bisa terungkap dan digali lewat komunikasi formal.
Oleh : Marjohan
Tak sedikit mass media menyuarakan tentang jeleknya mutu pendidikan pada masa-masa yang telah lalu. Penurunan mutu pendidikan ini sebagian tersandung karena buruknya komunikasi atas bawah. Yaitu komunikasi antara murid dan guru dan komunikasi antara guru-guru dengan pihak atasan.
Ada beberapa isyarat di sekolah yang menunjukkan bahwa komunikasi lagi tersandung. Apakah di dinding WC dan bagian dinding sekolah lain banyak coret-coretan, waktu bukan karena aksi vandalisme, tetapi sebagai sarana pelampiasan rasa tidak puas.
Suatu ketika kita melihat coretan yang ditulis siswa yang lagi memprotes kepala sekolah atau salah seorang guru bidang studi yang kurang bersahabat dengannya. Parahnya lagi kala siswa itu memiliki karakter mental yang labil dan tidak mampu mengekspresikan dalam bahasa lisan secara jantan, memilih cara sembunyi-sembunyi untuk menuliskan kata-kata jorok sebagai ungkapan rasa protes.
Tingginya tingkat absensi guru-guru adalah isyarat jeleknya komunikasi antara guru dengan pihak atasan. Begitu pula terhadap siswa-siswa. Walaupun dari rumah terlihat menuju sekolah, tetapi kemudian menyimpang entah kemana, juga merupakan dari jeleknya komunikasi antara guru dan murid di kelas.
Komunikasi yang ideal adalah komunikasi yang dua arah, atau two ways communication. Tetapi yang lazim terlihat dan teraplikasikan adalah komunikasi satu arah dan datanya selalu di atas.
Di kelas, dalam proses belajar mengajar, lebih ditekankan sistem belajar “student-centered” dan “communicative approach”. Pelaksana penekanan kedua sistem ini amat menyokong teraplikasinya komunikasi sistem dua arah, dari guru ke murid dan dari murid ke guru. Tetapi sayang penekanan kedua sistem ini belum memasyarakat di sekolah-sekolah. Yang masih sering teraplikasikan adalah sistem “teacher-centered’ dan “non communicative approach”.
Suasana umum yang terlihat pada hampir banyak sekolah adalah aktivitas belajar mengajar yang berfokus kepada guru. Dimana guru lebih kerap memilih metoda berceramah di depan murid-murid yang terpaksa tenang. Kalaupun ada guru yang memilih metoda belajar mengajar dan menyajikan pelajaran dengan menggunakan media-media sederhana di papan tulis, karena baru saja selesai melakukan penataran pendidikan. Tetapi kerap kali cara mengajar yang begini hanya bertahan untuk sesaat saja dan setelah itu kembali menggunakan metoda mengajar asal jadi saja.
Komunikasi satu arah, dari guru ke murid, kerap kali membuat murid serba pasif. Apa saja yang diperbuat dan diperintahkan oleh guru adalah mutlak dan harus diterima oleh murid. Sebetulnya ada juga murid yang ingin berpartisipasi aktif dalam berkomunikasi. Tetapi ia khawatir kalau guru salah paham. Pada akhirnya adalah berdampak pada gertakan pengurangan nilai rapor.
Kadang kalau guru ada yang aneh. Kalau dalam kegiatan belajar mengajarnya tidak ada murid yang mampu bertanya atau menjawab, maka ia akan marah. Tetapi kalau ada murid yang bertanya atau mengungkapkan protes, sebagai tanda bahwa murid itu juga kritis, maka guru tertentu akan marah. Barangkali dimatanya adalah bahwa murid yang baik adalah murid yang tidak banyak cerita dan kalau diminta musti menurut.
Komunikasi satu arah dalam kelas menunjukkan bahwa hak murid untuk berbicara masih terbelenggu. Memang cukup banyak murid yang suka bicara balik belakang sebagai isyarat bahwa komunikasi dari arus bawah, dari murid ke guru, masih macet. Ada seorang murid tercatat sebagai penerima beasiswa, misalnya, tetapi setelah belajar dua atau tiga bulan beasiswa itu belum juga cair. Rasa takut membuat ia tetap tersandung dalam mewujudkan komunikasi dari arah bawah. Khawatir akan berantakan atau jawaban yang mengecewakan dari guru tetap menyebabkan rasa takut dan khawatir yang dirasakan oleh murid.
Guru, meskipun di dalam kelas dapat berceloteh tetapi dalam berkomunikasi dengan pihak atasan juga sering tersandung. Akibatnya banyak mereka suka bicara belakangan dan melakukan perbuatan apa yang dia suka meski merugikan murid sebagai ungkapan protes atas ketidakpuasan.
Seringkali seorang guru banyak mempunyai ide-ide dan unek-unek lain yang ingin disampaikan kepada pihak atasan. Tetapi begitu rapat telah berlangsung ia tak mampu lagi mengutarakan segala ide dan unek-unek dalam kepala tak mampu meluncur keluar. Rasa percaya diri kurang, tidak terlatih untuk berbicara dalam forum dan beban psikologis lain selalu menjadi batu penyandung dalam berkomunikasi. Sehingga tetap saja komunikasi dua arah gagal untuk terwujud. Ditambah lagi dengan sikap pihak atasan yang selalu suka menjaga jarak, barang kali ingin menjaga harga diri atau wibawa mungkin.
Banyak hal-hal yang tetap menyebabkan kita gagal dalam menyalurkan ekspresi dalam komunikasi dua arah. Penyebab utama adalah karena kita tidak terlatih sejak kecil dalam keluarga. Ini semua bisa jadi akibat kesibukan orang tua dalam mencari nafkah dan tidak tahu cara untuk melowongkan waktu untuk mendidik kita sebagai generasi penerus mereka. Atau kalaupun ada waktu mereka tidak memiliki ilmu cara mengembangkan pribadi kita untuk berkomunikasi. Ini disebabkan rendahnya pendidikan rata-rata orang tua kita.
Umumnya kita dapat mengungkapkan pikiran dalam bentuk komunikasi dua arah adalah dalam suasana informal diluar kegiatan proses belajar mengajar bagi guru dan murid. Dalam suasana santai, pada waktu senggang, bagi komunikasi guru dengan pihak atasannya. Tapi sayang sering diluar kegiatan belajar mengajar, begitu proses belajar mengajar usai, guru walau tidak semua buru-buru meninggalkan ruangan kelas dan tidak menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan murid walau hanya sepatah-dua patah kata. Begitu pula bagi pihak atasan sekolah, walau tidak semuanya, pada waktu senggang mengurung diri di ruangannya. Atau kalau punya waktu untuk berkumpul dengan rekan-rekan guru lebih sering bersikap sebagai mandor yang akan mengawasi para pekerja. Dalam arti kata berpenampilan angker dan mahal senyum, datang cuma mencek “kenapa anda mengajar begini dan kenapa tidak begitu”. Atau datang cuma untuk memberikan anjuran demi anjuran seperti : tingkatkanlah disiplin, cobalah anda tingkatkan NEM bidang studi anda, buatlah satuan pelajaran dan lain-lain. Itu Cuma kalimat yang disampaikan dalam komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, yang isinya Cuma seputar “anjuran dan larangan semata”. Setelah itu ia kembali menyelinap kedalam ruangan kantornya sebagai menara gadingnya.
Ada anggapan bahwa untuk tetap berwibawa maka seorang guru harus menjaga jarak terhadap murid dan seorang atasan membuat jarak sosial terhadap guru-guru. Menjaga jarak dalam makna yang sempit dan makna kata “berwibawa” yang lebih picik telah mewarnai bentuk interaksi dan komunikasi kita.
Malah ada orang yang beranggapan bahwa ia telah beranggapan bahwa ia telah mengaplikasikan prinsip penampilan berwibawa dengan cara berbusana rapi, mahal senyum dan dengan gerak dan cara berbicara yang dibuat-buat. Namun dampaknya orang malah merasa risih apabila berdampingan dengan orang seperti itu. Namun bila telah saling berpisah terasa adanya kelapangan dan kebebasan. Ibarat seorang anak yang berdampingan seorang ayah yang otoriter atau diktator yang menganggap pribadinya sebagai ayah yang berwibawa. Dimana anak merasa bebas kalau tanpa ada ayah disampingnya.
Kewibawaan bukan ditentukan oleh ukuran fisik guru atau seorang. Bersikap dan berbicara yang dibuat-buat tidak akan mendatangkan arti wibawa yang sesungguhnya. Wibawa lebih ditentukan oleh isi kepala, isi data dan sikap seseorang. Tidak salah kalau kita membuka diri kepada murid dan sekali-kali bercanda dengan mereka. Tetapi bila kita terlalu suka bercanda bebas dan berlebihan tentu tidak ada lagi batas-batas dan akan membuat wibawa hancur. Begitu pula bila kita mengabaikan cara berpakaian dan cara berbicara, tentu wibawa bisa lebur.
Sekarang tampaknya usaha pemerintah dan kita semua dalam meningkatkan sumber daya manusia di sekolah terlihat semakin serius. Kalau tidak buat apa gunanya diadakan sekolah unggul atau kelas unggul segala.
Namun usaha-usaha kita dalam peningkatan mutu tentu tidak tercapai secara sempurna kalau komunikasi tidak pernah dimuluskan. Dan yang kita maksudkan adalah memuluskan komunikasi dua arah.
Kebiasaan mengkritik atau berbicara balik belakang menandai adanya komunikasi internal, komunikasi dua arah yang tersumbat. Ini tentu saja karena komunikasi terlalu bersifat searah, alias hanya dari pihak atasan kepada guru-guru dan dari guru-guru kepada murid-murid.
Jika komunikasi internal tak segera dibenahi dan kepentingan kedua pihak tidak dipertemukan maka konflik demi konflik akan merusak hasil-hasil usaha yang telah kita lakukan. Maka salah satu usaha yang dapat kita melakukan untuk memuluskan komunikasi atas bawah di sekolah adalah dengan cara membudayakan komunikasi intensif.
Forum informal, mengadakan dialog-dialog ringan pada saat guru dengan murid, adalah cara efektif untuk membudayakan komunikasi intensif. Forum informal itu penting untuk menangkap aspirasi dari arus bawah. Tidak semua hal bisa terungkap dan digali lewat komunikasi formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them