Rabu, 14 November 2007

MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN


MASIH ADAKAH ANAK DIDIK YANG MENGIDOLAKAN PAHLAWAN

Oleh Marjohan

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar S

SUDAH milyaran rupiah dana yang dihamburkan agar penataran dan pelatihan untuk memantapkan rasa kebangsaan dapat terwujud. Disamping itu media massa, lewat media cetak dan media elektronik, juga diserutkan agar segenap generasi muda dapat memahami arti semangat perjuangan 45.
Semangat perjuangan 45 adalah semangat yang tidak mengenal istilah pantang mundur demi meraih kemerdekaan. Malah nyawa, harta dan keluarga adalah taruhannya. Bagaimanakah semangat generasi kita seputar tahun 2.000 ini? Tanpa mengadakan penelitian yang akan membuang-buang waktu dan dana kita dapat mengatakan bahwa rata-rata generasi muda sekarang banyak yang tidak memiliki semangat perjuangan.
Andaikata kita pajangkan sederet nama mulai dari nama artis sinetron, olahragawan sampai kepada nama tokoh pahlawan yang telah berjasa banyak bagi bangsa ini. Maka artis dan olahragawan kerapkali sebagai tokoh Idola mereka yang utama dan para pahlawan sering sekedar idola pelengkap saja. Sebetulnya tidak salah kalau generasi muda termasuk anak didik kita menjadikan para artis dan olahragawan sebagai idola mereka, tidak mengapa bila tokoh-tokoh idola mereka baik luar-dalam. Maksudnya penampilan luarnya sama baik dengan karakter mereka yang sesungguhnya. Sekarang yang kita pertanyakan adalah apakah masih ada kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa kita ini?
Cukup kagum juga kita, dari membaca koran dan majalah, bahwa di luar negeri, seperti Amerika, masih ada generasi muda mereka, yang mempunyai kontak batin dengan pahlawan yang telah terpisah selama puluhan generasi atau ratusan tahun. Mereka masih kenal baik sehingga dalam pembicaraan harian, mereka pun mengutip kalimat yang pernah diungkapkan oleh pahlawan bangsa mereka. Penyebaran buku-buku biografi adalah salah satu faktor pembentuk tetap adanya hubungan batin antara mereka dengan para pahlawan.
Bagaimana kontak batin antara anak didik kita dengan para pahlawan bangsa? Rata-rata, kecuali sebagian kecil, Cuma sebatas mengenal nama mereka saja. Oh, kalau Sisingamaraja itu berasal dari tanah Batak, Imam Bonjol dari daerah Minang dan Pangeran Diponegoro berasal dari daerah anu …! Atau anak didik kita Cuma dapat mengenal tahun-tahun saja. Bahwa Sukarno, Presiden RI pertama dan tokoh Proklamator, lahir tahun sekian dan Kihajar Dewantara mendirikan sekolah itu tahun sekian. Dan bisa jadi generasi muda sekarang hanya mengenal pahlawan hanya sebatas nama, karena nama-nama jalan juga mengabaikan nama-nama para pahlawan. Oh, itu jalan Pattimura dan ini jalan Rang Kayo Rasuna Said dan yang lain adalah jalan R.A Kartini, Jalan Teuku Umar, Jalan Haji Agus Salim, Jalan Sukarno-Hatta atau jalan Prof. Dr Hamka, dan lain-lain. Tetapi mereka kemungkinan tidak pernah tahu bahwa Rang Kayo Rasuna Said itu adalah pejuang wanita dari ranah Minang yang merupakan wanita pertama yang masuk ke dalam bui karena perjuangan bangsa. Atau mereka kurang mengetahui bagaimana Muhammad Hatta, Haji Agus Salim dan Hamka bergelut dengan buku-buku untuk menuntut ilmu demi perjuangan kemerdekaan bangsa. Atau bagaimana Sukarno berlatih berpidato di kegelapan malam semasa kecil dan Raden Ajeng Kartini beserta adik-adiknya berjuang menentang adat yang kolot demi membebaskan kaum wanita dari belenggu kebodohan untuk memperoleh emansipasi dan harga diri.
Pokoknya cukup sederhana pengetahuan anak didik kita tentang para pahlawan yakni sebatas nama, tahun-tahun kejadian dan daerah asal mereka. Mereka memperoleh itu lewat hafalan dan kemudian secara pelan-pelan melupakan apa yang dihafal sebelum sempat dijiwai sampai pada akhirnya para pahlawan itu terlupakan dan terputus dalam kontak batin. Kalau begitu siapakah yang bertanggung jawab atas masalah ini? Tentu saja kita semua, para guru-guru, akibat metode proses belajar mengajar yang salah kaprah.
Sebetulnya selain lewat proses belajar mengajar di sekolah anak didik masih dapat mengenal para pahlawan lewat media masa seperti televisi, majalah dan koran-koran. Tetapi acara-acara kepahlawanan sering kalah menarik dibandingkan dengan acara hiburan dan film-film. Sehingga anak-anak didik kita di rumah memperhatikannya tidak dengan sepenuhnya hati dan malah meninggalkan acara tersebut. Begitu pula kerapkali anak didik lebih tertarik dengan membaca gosip para bintang film dan mengabaikan biografi para pahlawan kalau ada. Walau tidak semua anak didik yang berbuat begitu.
Agaknya anak didik kita cukup peka juga. Mereka dapat mengatakan bahwa pelajaran yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan pahlawan kepada mereka adalah seperti pelajaran PSPB, Sejarah, Agama, KWN, Tata Negara dan Bahasa Indonesia. Dan tentu pada umumnya seluruh guru-guru juga bertanggung jawab untuk memperkenalkan para pahlawan kepada anak didik sebagai generasi muda.
Suatu hari ketika ditanya, kepada murid tentang metode proses belajar mengajar yang baik dalam rangka mempelajari dan mengenal tokoh-tokoh pahlawan lewat mata pelajaran yang kita sebutkan di atas. Maka murid mengatakan bahwa metode yang terbaik adalah guru mencatatkan ringkasan pelajaran dan kemudian menerangkan pelajaran atau sebaliknya guru menerangkan pelajaran kemudian baru mencatatkan keringkasan yang telah dibuat guru.
Karena anak didik telah terlatih menjadi “beo” atau menerima saja apa yang telah disuguhkan guru lewat cara menghafal ibarat sapi agama Hindu” di India yang mengunyah-ngunyah kertas yang berisi tulisan dan kemudian dikeluarkan lewat kotoran tanpa singgah di kepala, telah menyukai metode ini. Pada hal metode ini adalah metode yang salah kaprah karena dapat mematikan kreatifitas berfikir anak didik. Sedangkan orang-orang dari negara maju telah lama meninggalkan metode proses belajar mengajar seperti ini. Namun kita dalam saat-saat menjelang tahun 2000 ini masih ada yang terpaku pada metode ini.
Cukup banyak ragam metode salah kaprah ini. Ada guru yang bercerita mengelantur kesana kemari tentang tokoh-tokoh pahlawan di dalam negeri dan di luar negeri, tanpa jelas salah benarnya, kemudian pada akhir pelajaran mencatatkan keringkasan yang telah dibuat oleh bapak atau ibu guru. Ada lagi guru yang setiap kali masuk kelas selalu menyuruh murid-murid untuk meringkaskan isi halaman dari sebuah buku dan dia sendiri duduk dengan enaknya di depan kelas sampai kuap-kuap atau untuk menghilangkan rasa kantuk karena bosan dalam mengajar sengaja pergi ke ruangan majelis guru untuk mengobrol atau bergosip mulai dari masalah umum sampai kepada masalah rumah tangga. Begitu pula bagi guru yang tidak menguasai pelajaran sama sekali amat sudi untuk mendiktekan seluruh isi buku pada hal tidakkah baik kalau murid disuruh saja membeli buku atau memfoto kopi saja. Tetapi ada kalanya guru melarang siswa untuk membeli buku dan kalaupun punya buku tetap harus mencatat sebab akan diambil nilai kerajinan atau catatan bakal diperiksa. Dan masih ada seribu satu metode yang mirip dengan metode yang salah kaprah begini.
Memperkenalkan para tokoh pahlawan lewat proses belajar mengajar adalah sangat ampuh untuk menangkal agar anak didik tidak tercabut dari akar budaya dalam arti mereka tidak melupakan pahlawan bangsa. Tetapi pelaksanaan proses belajar mengajar tidaklah sesederhana metode yang di atas tadi. Idealnya setiap guru, terutama guru, KWN, Agama, Sejarah dan Bahasa Indonesia dari sekolah dasar dan bagi pelajaran yang terkait di tingkat SLTP dan SLTA harus menguasai topik-topik pelajaran yang bukan sekedar hafalan belaka untuk mengajar murid menjadi beo. Malah sangat ideal lagi kalau guru-guru, lebih tepat lagi guru-guru mata pelajaran Sejarah KWN, , juga membaca buku-buku biografi tanpa terlebih dahulu berlindung dibalik alasan. Kita sering mendengar, tidak hanya guru wanita tetapi juga guru yang senantiasa mengungkapkan tidak punya waktu untuk membaca guna untuk menambah ilmu.
“Wah saya tidak punya waktu karena sibuk dengan kerja di rumah, sibuk karena anak mengganggu, tak sempat karena rumah jauh, tak sempat membaca karena saya mempunyai jam mengajar sangat banyak, dan lain-lain”. Sering alasan-alasan kuno ini kita dengar dari rekan guru-guru yang mana mereka senantiasa mengungkapkan kesibukan mereka di luar kegiatan mengajar seolah-olah mereka lebih sibuk daripada menteri atau negarawan lain. Pada hal Menristek, B.J. Habibie yang memiliki segudang jabatan dan pekerjaan atau KH Zainuddin MZ, ulama sejuta umat.
Mereka juga mempunyai rumah tangga dan anak-anak, disamping tanggung jawab terhadap pekerjaan yang banyak tetapi tetap mempunyai waktu untuk belajar atau menambah ilmu. Bagi sebagian rekan guru-guru yang selalu berlindung dibalik alasan “sibuk” ternyata untuk nongkrong di warung kopi atau untuk bergosip tanpa mereka sadari mereka telah menghabiskan waktu selama berjam-jam terbuang percuma.
Pengenalan tokoh-tokoh pahlawan kepada anak didik lewat proses belajar mengajar merupakan sarana yang tepat karena disana anak didik terkondisi dengan bersyarat dengan imbalan nilai sebagai titik awal. Maka tentu ada usaha-usaha lain yang positif agar anak didik lebih mengenal para pahlawan. Misalnya memberikan tugas untuk membuat sinopsis dari biografi-biografi pahlawan. Begitu pula menugaskan murid untuk membuat resensi dari sebuah buku yang mengandung biografi seorang pahlawan. Agar anak didik tidak asal tulis atau mungkin memalsukan karya tulis orang lain. Maka ada baiknya guru mengujikan atau menyuruh murid untuk mempresentasikan di depan kawan-kawannya sambil melatih keberanian mereka untuk tampil di depan umum.
Melowongkan waktu bagi guru dan murid untuk dapat membaca setiap buku biografi sangat besar manfaatnya. Selain untuk menambah wawasan juga sebagai sarana untuk “cermin diri” untuk memacu prestasi dan untuk mencari idola sebagai jati diri kita dalam rangka mengembangkan kwalitas diri. Semoga.

Penerimaan Siswa Baru "PPDB 2021-2022 SMAN 3 BATUSANGKAR"

  SMA NEGERI 3 BATUSANGKAR INFORMASI PEDAFTARAN PPDB 2021 -2022 1. Persyaratan PPDB Umum : 1. Ijazah atau surat keterangan Lulus 2. Kartu ke...