SDM Diperbindangkan Guru Tinggalkan Tugas
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar
DALAM menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua ini orang, khususnya bangsa Indonesia, sangat sadar akan peranan dan keberadaan sumber daya manusia. Media masa ramai memberitakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Berbagai lembaga pendidikan dan non pendidikan sibuk mengadakan acara pelatihan, ceramah, seminar dan acara lain dengan satu tema yaitu meningkatkan kwalitas sumber daya manusia.
Tetapi saat orang ramai membicarakan tentang sumber daya manusia, masih banyak kita menemui guru-guru yang rela untuk meninggalkan tugas mengajar tanpa merasakan adanya beban mental sedikit pun. Guru-guru yang berbuat seperti ini persentasenya di sebuah sekolah memang tidak seberapa. Tetapi apabila dikumpulkan jumlah oknumnya dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi dan dari sekolah yang berdomisili di desa sampai di kota, tentu akan memperlihatkan suatu angka yang dapat menggoncang wibawa dunia pendidikan ini.
Untuk memperoleh jawaban yang tepat atas perilaku oknum guru yang begini, agak sulit tetapi dari gejala luar yang mereka perlihatkan dapat diperoleh sejumlah kesimpulan atau alasan. Alasan yang membuat masih ada guru yang meninggalkan tugas adalah seperti: tidak menguasai materi pelajaran; tidak memahami perkembangan jiwa pelajar, masalah pribadi dan masalah interen sekolah.
Ada usaha positif yang telah ditempuh oleh kalangan pendidik untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran. Usaha positif tersebut adalah mengadakan penyegaran kepada guru-guru untuk aktif dalam MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) dan penataran-penataran pada tingkat regional rendah sampai regional tinggi.
Kita sadari bahwa MGMP dan penataran-penataran hanyalah bersifat sebagai perangsang bagi guru untuk memacu kualitas diri. Namun yang sering dijumpai adalah sebagian peserta hanya bersikap hura-hura dan malah hanya bersikap hura-hura dan malah hanya sekedar mengejar sertifikat untuk bahan kenaikan pangkat. Guru yang sering juga dikatakan sebagai katalisator, pendorong untuk mempercepat perkembangan, bila tidak membelajarkan diri (autodidak) tentu akan tetapi ilmunya lebih tua satu malam dari murid akan klengpengkong dalam mengajar dan menguasai ruangan kelas.
Menguasai pelajaran saja tetapi sempit wawasan dan tidak memahami perkembangan jiwa pelajar akan membuat penyajian terasa kering. Guru yang masih tetap mahal senyum pada jam-jam pelajaran terakhir akan menimbulkan kontra yang makin melebar antara guru dan siswa. Perlu untuk diketahui bahwa sedikit saja kita tertutup dan merenggangkan diri tentu anak-anak didik tak ada tempat bergantung. Mereka melarikan jiwa dan guru mereka tidak kerasan, kemudian meninggalkan tugas mengajar dengan membuat alasan yang dibuat-buat.
Ada pamer. Lelucon, guru-guru atas kebosanan menghadapi kelas. Mereka membagi waktu yang satu jam atas empat bagian. Pas lonceng masuk berbunyi guru mondar-mandir seperempat jam; kemudian masuk dan mengambil absen selama seperempat jam’ dilanjutkan guru marah-marah selama seperempat jam. Tinggal waktu lagi seperempat jam dan digunakan untuk mencatat buku sampai penuh, sebagai kepanjangan dari istilah CBSA.
Masalah pribadi sering menyebabkan guru meninggalkan tugas dengan enteng. Selain masalah berat yang dapat diterima adalah masalah ringan yang sengaja diberat-beratkan. Penyakit-penyakit ringan seperti masuk angin, flu dan batuk ringan sering sebagai penyebab guru terpaksa meninggalkan tugas mengajar. Padahal tepat pada tanggal-tanggal baru mengambil gaji walau mereka sedang lumpuh kakinya sempat datang ke sekolah untuk menandatangani amprah gajinya.
Namun bila ada guru yang meninggalkan tugas mengajar karena masalah interen sekolah, tentu ini dapat ditinjau toleransinya. Yang bisa berkaitan dengan hal ini adalah seperti: Kepala sekolah yang perhatian dan kasihnya tidak merata pada setiap guru. Malah dalam sistem kenaikan pangkat sekarang, angka kredit jabatan, posisi kepala sekolah bisa berubah dari posisi manusia kepada posisi Malaikat. Guru yang bisa mengamin dapat diberi SK dan diusulkan kenaikan pangkat. Guru yang mempunyai paham lain dapat disiksa dengan memencilkan, dimana pada akhirnya timbullah keonaran dalam tubuh sekolah. Persaingan guru sama guru membuat guru yang tersingkir, tidak kerasan berada di sekolah. Orang atau guru bila tidak mencintai lagi instansi sekolah tentu pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin melemah. Sebaliknya bila guru mencintai sekolah dan sudi menjadikan sekolah sebagai rumah kedua tentu dia akan betah berada di sekolah untuk merawat dunia pendidikan.
Memang saat sumber daya manusia diperbincangkan pada tingkat nasional, tidak tepat lagi bila masih ada guru yang sengaja meninggalkan tugas mengajar. Malah yang lebih tepat dilakukan oleh guru untuk ikut menyukseskan program peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua adalah menguasai skil-skil. Bagi seorang guru ada tiga bentuk skill yang harus dikuasai yaitu, keterampilan (skill) implementasi, yakni menguasai materi pelajaran. Kemudian menguasai keterampilan komunikasi, untuk syarat ini guru mesti mempunyai wawasan. Dan, terakhir, menguasai keterampilan humanrelasi.
Tentang sumber daya manusia, walau sekarang baru ramai didengungkan namun leluhur pendidikan bangsa Indonesia telah dahulu menyerukan agar guru mengamalkan “ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tut wury handayani”. Dan begitu pula, berabad abad sebelumnya, Islam telah menyerukan “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” Semuanya itu mengingatkan kita.
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg. 3 Batusangkar
DALAM menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua ini orang, khususnya bangsa Indonesia, sangat sadar akan peranan dan keberadaan sumber daya manusia. Media masa ramai memberitakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia. Berbagai lembaga pendidikan dan non pendidikan sibuk mengadakan acara pelatihan, ceramah, seminar dan acara lain dengan satu tema yaitu meningkatkan kwalitas sumber daya manusia.
Tetapi saat orang ramai membicarakan tentang sumber daya manusia, masih banyak kita menemui guru-guru yang rela untuk meninggalkan tugas mengajar tanpa merasakan adanya beban mental sedikit pun. Guru-guru yang berbuat seperti ini persentasenya di sebuah sekolah memang tidak seberapa. Tetapi apabila dikumpulkan jumlah oknumnya dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi dan dari sekolah yang berdomisili di desa sampai di kota, tentu akan memperlihatkan suatu angka yang dapat menggoncang wibawa dunia pendidikan ini.
Untuk memperoleh jawaban yang tepat atas perilaku oknum guru yang begini, agak sulit tetapi dari gejala luar yang mereka perlihatkan dapat diperoleh sejumlah kesimpulan atau alasan. Alasan yang membuat masih ada guru yang meninggalkan tugas adalah seperti: tidak menguasai materi pelajaran; tidak memahami perkembangan jiwa pelajar, masalah pribadi dan masalah interen sekolah.
Ada usaha positif yang telah ditempuh oleh kalangan pendidik untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran. Usaha positif tersebut adalah mengadakan penyegaran kepada guru-guru untuk aktif dalam MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) dan penataran-penataran pada tingkat regional rendah sampai regional tinggi.
Kita sadari bahwa MGMP dan penataran-penataran hanyalah bersifat sebagai perangsang bagi guru untuk memacu kualitas diri. Namun yang sering dijumpai adalah sebagian peserta hanya bersikap hura-hura dan malah hanya bersikap hura-hura dan malah hanya sekedar mengejar sertifikat untuk bahan kenaikan pangkat. Guru yang sering juga dikatakan sebagai katalisator, pendorong untuk mempercepat perkembangan, bila tidak membelajarkan diri (autodidak) tentu akan tetapi ilmunya lebih tua satu malam dari murid akan klengpengkong dalam mengajar dan menguasai ruangan kelas.
Menguasai pelajaran saja tetapi sempit wawasan dan tidak memahami perkembangan jiwa pelajar akan membuat penyajian terasa kering. Guru yang masih tetap mahal senyum pada jam-jam pelajaran terakhir akan menimbulkan kontra yang makin melebar antara guru dan siswa. Perlu untuk diketahui bahwa sedikit saja kita tertutup dan merenggangkan diri tentu anak-anak didik tak ada tempat bergantung. Mereka melarikan jiwa dan guru mereka tidak kerasan, kemudian meninggalkan tugas mengajar dengan membuat alasan yang dibuat-buat.
Ada pamer. Lelucon, guru-guru atas kebosanan menghadapi kelas. Mereka membagi waktu yang satu jam atas empat bagian. Pas lonceng masuk berbunyi guru mondar-mandir seperempat jam; kemudian masuk dan mengambil absen selama seperempat jam’ dilanjutkan guru marah-marah selama seperempat jam. Tinggal waktu lagi seperempat jam dan digunakan untuk mencatat buku sampai penuh, sebagai kepanjangan dari istilah CBSA.
Masalah pribadi sering menyebabkan guru meninggalkan tugas dengan enteng. Selain masalah berat yang dapat diterima adalah masalah ringan yang sengaja diberat-beratkan. Penyakit-penyakit ringan seperti masuk angin, flu dan batuk ringan sering sebagai penyebab guru terpaksa meninggalkan tugas mengajar. Padahal tepat pada tanggal-tanggal baru mengambil gaji walau mereka sedang lumpuh kakinya sempat datang ke sekolah untuk menandatangani amprah gajinya.
Namun bila ada guru yang meninggalkan tugas mengajar karena masalah interen sekolah, tentu ini dapat ditinjau toleransinya. Yang bisa berkaitan dengan hal ini adalah seperti: Kepala sekolah yang perhatian dan kasihnya tidak merata pada setiap guru. Malah dalam sistem kenaikan pangkat sekarang, angka kredit jabatan, posisi kepala sekolah bisa berubah dari posisi manusia kepada posisi Malaikat. Guru yang bisa mengamin dapat diberi SK dan diusulkan kenaikan pangkat. Guru yang mempunyai paham lain dapat disiksa dengan memencilkan, dimana pada akhirnya timbullah keonaran dalam tubuh sekolah. Persaingan guru sama guru membuat guru yang tersingkir, tidak kerasan berada di sekolah. Orang atau guru bila tidak mencintai lagi instansi sekolah tentu pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin melemah. Sebaliknya bila guru mencintai sekolah dan sudi menjadikan sekolah sebagai rumah kedua tentu dia akan betah berada di sekolah untuk merawat dunia pendidikan.
Memang saat sumber daya manusia diperbincangkan pada tingkat nasional, tidak tepat lagi bila masih ada guru yang sengaja meninggalkan tugas mengajar. Malah yang lebih tepat dilakukan oleh guru untuk ikut menyukseskan program peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menyongsong era pembangunan jangka panjang tahap kedua adalah menguasai skil-skil. Bagi seorang guru ada tiga bentuk skill yang harus dikuasai yaitu, keterampilan (skill) implementasi, yakni menguasai materi pelajaran. Kemudian menguasai keterampilan komunikasi, untuk syarat ini guru mesti mempunyai wawasan. Dan, terakhir, menguasai keterampilan humanrelasi.
Tentang sumber daya manusia, walau sekarang baru ramai didengungkan namun leluhur pendidikan bangsa Indonesia telah dahulu menyerukan agar guru mengamalkan “ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, tut wury handayani”. Dan begitu pula, berabad abad sebelumnya, Islam telah menyerukan “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” Semuanya itu mengingatkan kita.