DEMAM PINDAH RAYON MELANDA CALON SISWA SMA
Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
BARANGKALI sudah merupakan public opini bahwa bersekolah di daerah perkotaan akan lebih menjanjikan kualitas yang lebih baik. Fenomena ini dipastikan setiap tahun ajaran melanda calon-calon siswa SMA. Seolah-olah mereka lagi dilanda wabah demam pindah rayon.
Banyak calon siswa yang memperoleh NEM tergolong tinggi merasa bangga. dan kadang-kadang hidung sedikit menengadah ke langit, serta berkesimpulan bahwa mutu sekolah di daerah tidak begitu menjamin alias rendah. Tentu calon siswa-siswa bebas untuk menganalisa sesuai dengan bobot wawasan dan pengalaman mereka. Tetapi ada lagi hal-hal yang lucu kita perhatikan yakni ada pula calon siswa SMA yang cuma mengantongi NEM sekitar slawe, atau sekitar angka 25, juga ikut-ikutan dilanda oleh gejala demam pindah rayon.
Berbicara tentang kualitas suatu sekolah. Itu banyak bergantung dengan input, proses dan out put nya. Seorang calon siswa tentu berhak pindah rayon kalau dia betul-betul memiliki misi suci untuk meningkatkan kualitas diri. Apakah itu kualitas fikiran, wawasan sosial, wawasan keimanan dan wawasan lain. Tetapi yang amat kita sayangkan adalah calon siswa yang ikut ikutan juga menyerbu sekolah perkotaan dan sudipula untuk kos dengan lingkungan teman-teman yang tidak menjamin. Sementara lingkungan rumah yang sangat harmonis yang mana ia butuhkan agar dapat tumbuh sehat secara jiwa dan raga, dan apalagi ia pun telah sukses memperoleh nilai baik di sekolah tingkat SMP. Banyak kita temui anak-anak yang ketika masih di SMP tergolong pintar tetapi setelah berada pada sekolah perkotaan, jauh dari orang tua dan tak mampu mengontrol diri, memperoleh nilai sangat mengecewakan setelah berada pada tingkat SMA. Pepatah mengatakan “mengharap burung di langit, punai di tangan dilepaskan”. Nah banyak anak-anak sekolah yang dilanda atau yang disindir oleh pepatah ini.
Seperti yang tadi kita nyatakan bahwa mutu suatu sekolah itu ditentukan oleh inputnva, proses belajar mengajarnya dan output-nya. Kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk berkualitas, proses belajar di sekolah dan di rumah bagus, maka kita tidak perlu heran. Tetapi kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk tidaklah begitu unggul dan setelah tamat siswanya memperlihatkan peningkatan kualitas SDM. Maka kita patut mengacungkan jempol kepada sekolah yang demikian. Identik dengan itu untuk sekolah-sekolah swasta, yang bukan sekolah berlabel elit, tetapi sang-up menunjukkan peningkatan kualitas anak didik maka kita wajib mengacungkan dua jempol. Begitu pula untuk, sekolah-sekolah yang berlokasi di pedesaan kalau sukses dalam membina pendidikan generasi maka sekolah kota patut melakukan instrospeksi diri. Dan bertanya apa saja yang dilakukan oleh anak didik dan guru-gurunya selama ini? Apakah hanya sekedar pembayar kewajiban saja dan menerima hak setiap bulannya.
Kita patut mengingatkan kepada para orang tua yang mana anak-anaknya lagi dilanda demam pindah rayon, apakah anak-anak yang merupakan amanah Tuhan telah diwarisi dengan nilai agama yang mantap. Syukur-syukur kalau anak yang akan sekolah jauh dan orang tua memiliki tempat dan lingkungan yang baik. Sehingga kualitas anak lebih baik. Tetapi apabila anak yang pada mulanya memiliki pribadi dan intelektual yang baik kemudian setelah dilepas oleh orang tua untuk bersekolah jauh dari pengawasan dan ternyata menjadi anak yang bandel dan biang kerok masyarakat maka siapakah yang patut untuk disalahkan. Biasanya orang tua ikut latah untuk menyalahkan lingkungan. Tetapi dia sendiri tidak tahu mana lingkungan yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau begitu yang patut disalahkan adalah pribadi orang itu sendiri. Kenapa dia tidak melengkapi anak dengan bekal hidup sejak anak berusia dini?
Desa dengan suasana santai ikut mewarnai kepribadian anak-anak sekolah. Kesantrian itu lebih menguasai alam fikiran mereka. Lihatlah cara berjalan anak-anak sekolah SMA di sekolah desa, sungguh amat lamban. Orang yang jalannya lamban, cara berbicara dan cara berfikirnya juga lamban. “Kalau anda ingin gesit dalam berfikir maka cobalah percepat gerak jalan Anda”. Demikian pesan-pesan orang yang berjiwa sukses yang dapat kita temui dalam berbagai buku.
Tidak mengapa kita bersekolah di sekolah pedesaan. Seseorang yang tinggal di pedalaman, sekalipun dapat menjadi sukses kelak. Kalau begitu keberhasilan, atau kesuksesan, tidak mutlak ditentukan oleh geografi semata. Untuk Sumatera Barat tentu kita cukup kenal dengan tokoh-tokoh sejarah seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim misalnya yang kampungnya berlokasi di pelosok Kabupaten 50 Kota bisa menjadi berhasil, terkenal dan tercatat harum namanya dalam sejarah. Kalau begitu apa yang musti kita terapkan agar bisa menjadi pintar dalam belajar, terutama bagi calon siswa dan siswa SMA di sekolah pedesaan, yaitu kita harus menanamkan kegemaran dan kebiasaan membaca.
Orang-orang yang alergi dengan buku-buku dan bacaan yang berfaedah sering kali harus mengerutkan dahi kalau membaca. Itupun belum tentu menjamin kalau mereka dapat memahami isi bacaan. Siswa yang malas membaca cenderung kesulitan dalam memahami pelajaran dan pada akhirnya merasakan kebosanan dan ibarat dalam penjara kalau berada dalam kelas. Pada akhirnya mereka-mereka ini dengan segudang kemalasan untuk membaca punya andil dalam memperjelek mutu proses belajar mengajar dan mutu out put, atau lulusan, suatu sekolah.
Sekarang apa yang musti kita usahakan untuk mengubah kondisi ini. Pejabat sekolah musti mengaktifkan perpustakaan sekolah dan senantiasa memperkaya judul-judul bukunya. Para aparat pemerintah harus membentuk perpustakaan, umum dan mengusahakan bangunan pepustakaan, dari pada membangun gedung-gedung kosong yang pada akhirnya cuma berfungsi sebagai kandang ternak. Begitu pula bagi orang tua harus mengusahakan fasilitas bacaan, majalah, dan buku-buku yang berbobot. Tentu orang tua tidak perlu membuat seribu satu alasan untuk tidak merasa keberatan dalam meningkatkan pendidikan anak. Seperti hal entengnya perasaan orang tua untuk membeli barang elektronik dan perhiasan lain untuk sekedar pamer kepada tetangga. Padahal seharusnya orang tua harus merasa lebih enteng untuk membiayai pendidikan anak yang mana ini adalah investasi nyata orang tua untuk dunia dan akhirat.
Demam pindah rayon ini barangkali identik dengan kecenderungan untuk bersekolah di luar negeri bagi orang-orang yang berkantong tebal. Kalau begitu, ini bisa jadi merupakan trendi dari sikap mental kita.
Pada umumnya banyak orang tua membanggakan anak-anak yang dapat bersekolah di luar negeri. Atau bagi orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah di rayon idola. Orang tua sekarang lebih gembira melihat anaknya kalau mampu berbahasa Inggeris tetapi tampak santai-santai saja kalau ternyata memiliki anak yang berjiwa kufur kepada agama, tidak pandai membaca Al-Qur’an. Kalau sekarang kemudaratan telah begitu akrab dalam pergaulan masyarakat, maka kecuekan, rasa tidak acuh orang tua kepada agamalah penyebabnya. Untuk itu kita perlu meningkatkan kewaspadaan kepada anak didik yang tidak mendapat, sentuhan ajaran agama dan hidup dalam keluarga broken home. Konsep kita tentang keluarga bahagia dan sejahtera hendaknya perlu dikoreksi ulang.
Tidak ada istilah terlambat bagi kita untuk selalu bertindak mendukung penuh pendidikan agama. Kecenderungan sebagian anggota masyarakat menyekolahkan putera-puterinya di luar rayon, di luar provinsi sampai keluar negeri dan jauh dari pengawasan orang tua, perlu mendapat perhatian yang serius semua pihak. Selain dikarenakan hal tersebut telah menjadi prestise yang tidak perlu bagi sebuah negeri yang membangun. Juga anak-anak usia tingkat SLTA, kematangan berfikir dan kepribadiannya masih belum apa-apa, jauh dari kemapanan. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka yang tidak bisa membedakan cara hidup yang disiplin untuk meraih ilmu dengan mereka yang ingin hidup bebas tanpa terikat oleh moral. Mari kita renungkan. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/
Oleh Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar
BARANGKALI sudah merupakan public opini bahwa bersekolah di daerah perkotaan akan lebih menjanjikan kualitas yang lebih baik. Fenomena ini dipastikan setiap tahun ajaran melanda calon-calon siswa SMA. Seolah-olah mereka lagi dilanda wabah demam pindah rayon.
Banyak calon siswa yang memperoleh NEM tergolong tinggi merasa bangga. dan kadang-kadang hidung sedikit menengadah ke langit, serta berkesimpulan bahwa mutu sekolah di daerah tidak begitu menjamin alias rendah. Tentu calon siswa-siswa bebas untuk menganalisa sesuai dengan bobot wawasan dan pengalaman mereka. Tetapi ada lagi hal-hal yang lucu kita perhatikan yakni ada pula calon siswa SMA yang cuma mengantongi NEM sekitar slawe, atau sekitar angka 25, juga ikut-ikutan dilanda oleh gejala demam pindah rayon.
Berbicara tentang kualitas suatu sekolah. Itu banyak bergantung dengan input, proses dan out put nya. Seorang calon siswa tentu berhak pindah rayon kalau dia betul-betul memiliki misi suci untuk meningkatkan kualitas diri. Apakah itu kualitas fikiran, wawasan sosial, wawasan keimanan dan wawasan lain. Tetapi yang amat kita sayangkan adalah calon siswa yang ikut ikutan juga menyerbu sekolah perkotaan dan sudipula untuk kos dengan lingkungan teman-teman yang tidak menjamin. Sementara lingkungan rumah yang sangat harmonis yang mana ia butuhkan agar dapat tumbuh sehat secara jiwa dan raga, dan apalagi ia pun telah sukses memperoleh nilai baik di sekolah tingkat SMP. Banyak kita temui anak-anak yang ketika masih di SMP tergolong pintar tetapi setelah berada pada sekolah perkotaan, jauh dari orang tua dan tak mampu mengontrol diri, memperoleh nilai sangat mengecewakan setelah berada pada tingkat SMA. Pepatah mengatakan “mengharap burung di langit, punai di tangan dilepaskan”. Nah banyak anak-anak sekolah yang dilanda atau yang disindir oleh pepatah ini.
Seperti yang tadi kita nyatakan bahwa mutu suatu sekolah itu ditentukan oleh inputnva, proses belajar mengajarnya dan output-nya. Kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk berkualitas, proses belajar di sekolah dan di rumah bagus, maka kita tidak perlu heran. Tetapi kalau ada suatu sekolah dimana siswa yang masuk tidaklah begitu unggul dan setelah tamat siswanya memperlihatkan peningkatan kualitas SDM. Maka kita patut mengacungkan jempol kepada sekolah yang demikian. Identik dengan itu untuk sekolah-sekolah swasta, yang bukan sekolah berlabel elit, tetapi sang-up menunjukkan peningkatan kualitas anak didik maka kita wajib mengacungkan dua jempol. Begitu pula untuk, sekolah-sekolah yang berlokasi di pedesaan kalau sukses dalam membina pendidikan generasi maka sekolah kota patut melakukan instrospeksi diri. Dan bertanya apa saja yang dilakukan oleh anak didik dan guru-gurunya selama ini? Apakah hanya sekedar pembayar kewajiban saja dan menerima hak setiap bulannya.
Kita patut mengingatkan kepada para orang tua yang mana anak-anaknya lagi dilanda demam pindah rayon, apakah anak-anak yang merupakan amanah Tuhan telah diwarisi dengan nilai agama yang mantap. Syukur-syukur kalau anak yang akan sekolah jauh dan orang tua memiliki tempat dan lingkungan yang baik. Sehingga kualitas anak lebih baik. Tetapi apabila anak yang pada mulanya memiliki pribadi dan intelektual yang baik kemudian setelah dilepas oleh orang tua untuk bersekolah jauh dari pengawasan dan ternyata menjadi anak yang bandel dan biang kerok masyarakat maka siapakah yang patut untuk disalahkan. Biasanya orang tua ikut latah untuk menyalahkan lingkungan. Tetapi dia sendiri tidak tahu mana lingkungan yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau begitu yang patut disalahkan adalah pribadi orang itu sendiri. Kenapa dia tidak melengkapi anak dengan bekal hidup sejak anak berusia dini?
Desa dengan suasana santai ikut mewarnai kepribadian anak-anak sekolah. Kesantrian itu lebih menguasai alam fikiran mereka. Lihatlah cara berjalan anak-anak sekolah SMA di sekolah desa, sungguh amat lamban. Orang yang jalannya lamban, cara berbicara dan cara berfikirnya juga lamban. “Kalau anda ingin gesit dalam berfikir maka cobalah percepat gerak jalan Anda”. Demikian pesan-pesan orang yang berjiwa sukses yang dapat kita temui dalam berbagai buku.
Tidak mengapa kita bersekolah di sekolah pedesaan. Seseorang yang tinggal di pedalaman, sekalipun dapat menjadi sukses kelak. Kalau begitu keberhasilan, atau kesuksesan, tidak mutlak ditentukan oleh geografi semata. Untuk Sumatera Barat tentu kita cukup kenal dengan tokoh-tokoh sejarah seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim misalnya yang kampungnya berlokasi di pelosok Kabupaten 50 Kota bisa menjadi berhasil, terkenal dan tercatat harum namanya dalam sejarah. Kalau begitu apa yang musti kita terapkan agar bisa menjadi pintar dalam belajar, terutama bagi calon siswa dan siswa SMA di sekolah pedesaan, yaitu kita harus menanamkan kegemaran dan kebiasaan membaca.
Orang-orang yang alergi dengan buku-buku dan bacaan yang berfaedah sering kali harus mengerutkan dahi kalau membaca. Itupun belum tentu menjamin kalau mereka dapat memahami isi bacaan. Siswa yang malas membaca cenderung kesulitan dalam memahami pelajaran dan pada akhirnya merasakan kebosanan dan ibarat dalam penjara kalau berada dalam kelas. Pada akhirnya mereka-mereka ini dengan segudang kemalasan untuk membaca punya andil dalam memperjelek mutu proses belajar mengajar dan mutu out put, atau lulusan, suatu sekolah.
Sekarang apa yang musti kita usahakan untuk mengubah kondisi ini. Pejabat sekolah musti mengaktifkan perpustakaan sekolah dan senantiasa memperkaya judul-judul bukunya. Para aparat pemerintah harus membentuk perpustakaan, umum dan mengusahakan bangunan pepustakaan, dari pada membangun gedung-gedung kosong yang pada akhirnya cuma berfungsi sebagai kandang ternak. Begitu pula bagi orang tua harus mengusahakan fasilitas bacaan, majalah, dan buku-buku yang berbobot. Tentu orang tua tidak perlu membuat seribu satu alasan untuk tidak merasa keberatan dalam meningkatkan pendidikan anak. Seperti hal entengnya perasaan orang tua untuk membeli barang elektronik dan perhiasan lain untuk sekedar pamer kepada tetangga. Padahal seharusnya orang tua harus merasa lebih enteng untuk membiayai pendidikan anak yang mana ini adalah investasi nyata orang tua untuk dunia dan akhirat.
Demam pindah rayon ini barangkali identik dengan kecenderungan untuk bersekolah di luar negeri bagi orang-orang yang berkantong tebal. Kalau begitu, ini bisa jadi merupakan trendi dari sikap mental kita.
Pada umumnya banyak orang tua membanggakan anak-anak yang dapat bersekolah di luar negeri. Atau bagi orang tua yang anaknya bersekolah di sekolah di rayon idola. Orang tua sekarang lebih gembira melihat anaknya kalau mampu berbahasa Inggeris tetapi tampak santai-santai saja kalau ternyata memiliki anak yang berjiwa kufur kepada agama, tidak pandai membaca Al-Qur’an. Kalau sekarang kemudaratan telah begitu akrab dalam pergaulan masyarakat, maka kecuekan, rasa tidak acuh orang tua kepada agamalah penyebabnya. Untuk itu kita perlu meningkatkan kewaspadaan kepada anak didik yang tidak mendapat, sentuhan ajaran agama dan hidup dalam keluarga broken home. Konsep kita tentang keluarga bahagia dan sejahtera hendaknya perlu dikoreksi ulang.
Tidak ada istilah terlambat bagi kita untuk selalu bertindak mendukung penuh pendidikan agama. Kecenderungan sebagian anggota masyarakat menyekolahkan putera-puterinya di luar rayon, di luar provinsi sampai keluar negeri dan jauh dari pengawasan orang tua, perlu mendapat perhatian yang serius semua pihak. Selain dikarenakan hal tersebut telah menjadi prestise yang tidak perlu bagi sebuah negeri yang membangun. Juga anak-anak usia tingkat SLTA, kematangan berfikir dan kepribadiannya masih belum apa-apa, jauh dari kemapanan. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka yang tidak bisa membedakan cara hidup yang disiplin untuk meraih ilmu dengan mereka yang ingin hidup bebas tanpa terikat oleh moral. Mari kita renungkan. http://penulisbatusangkar.blogspot.com/