Bersikap
Hospitality (Ramah Tamah)
Kira-kira apa kelebihanku ? Hingga suatu hari
ada sekelompok wisatawan asal Amerika salah jalan di Payakumbuh. Mereka ingin
pergi menuju kota Pakan Baru. Aku segera mendatangi mereka dan menuntun
mereka hingga sampai ke jalan utama agar memperoleh kendaraan menuju kota Pakan
Baru. Mereka mengatakan bahwa aku orang yang sangat “hospitality”.
Beberapa waktu kemudian juga ada dua orang
wisatawan asal Australia “Craig dan John” yang juga salah memilih tempat
wisata. Aku mendekati mereka dan mengatakan bahwa mereka lebih baik
memilih tempat wisata yang tepat. Aku juga memberi alternative kalau mau
berlibur ke daerah ku- Batusangkar, hingga ke duanya memilih untuk berlibur ke
desa-ku pada hari berikutnya.
Keesok harinya mereka sampai ke alamat ku. “ Why
you trust me and decide to visit, don’t you feel worried with me- Kok kamu berani memutuskan berlibur di desa
saya, apa tidak takut kalau ternyata saya orang yang kurang baiks ?”. Tanyaku.
“Tidak,
saya membaca dari wajahmu bahwa kamu adalah orang baik dan hospitality Jawab
Craig dalam bahasa Inggris beraksen Australia.
Oke, baiklah kalau begitu. Dan keduanya
aku antarka ke homestay, dekat rumahku. Dan selanjutnya aku ajak mereka jalan
jalan dan memperkenalkan budaya serta geografi seputar rumahku. Mereka
juga pergi berlibur berdua ke daerah Danau Singkarak dan Danau Maninjau atas
petunjukku. Agar tidak repot dalam perjalanan, mereka menitipkan beberapa
barang berharga bersamaku.
“Wah
mengapa anda percaya saja menitipkan barang-barang pada saya ?”. Tanyaku.
“I can read your mind that you are good person”,
jawab mereka spontan.
Mereka hanya berlibur beberapa hari saja dan
kembali memutuskan pergi ke Australia. Saat berangkat mereka
menyerahkan oleh-oleh buatku, dan aku yakin isinya pasti dollar
Australia. Aku tidak menerimanya:
“No
thanks, don’t submit it to me, as you are away of your country and you need
financial”.
Aku tolak
hadiah yang ia berikan dengan halus karena aku tahu bahwa mereka harus
menghemat uang. Namun mereka berdua kaget karena katanya akulah orang
yang ia temukan “menolak” dollar yang diberikannya. Ya aku tahu bahwa mereka
masih mahasiswa, jauh dari negaranya dan mereka butuh uang. Lagi-lagi mereka
mengatakan bahwa aku orang nya “hospitality”.
Untuk selanjutnya Craig Pentland telah menjadi
teman ku, malah sudah aku anggap keluarga sendiri. Ia pun sering datang pada
tahun-tahun berikutnya. Ia bercerita banyak tentang aku, sumatera dan Indonesia
pada orang tuanya. Sehingga kedua orang tuanya “Joan dan John Senior” juga
datang berlibur ke Sumatra ke tempatku. Keduanya aku tunggu di bandara
Internasional Padang dan kami naik taxi menuju Batusangkar.
Keluarga John Pendland ini juga senang dengan
perlakuanku. Aku tahu bahwa orang-orang asing menghargai hospitality ini.
Hospitality tentu tidak bisa diukur dengan materi. Namun ketika mereka bertanya
apa yang aku butuhkan, maka aku menjawab bahwa keluargaku butuh peningkatan
bahasa Inggris. Sehingga Craig dan orangtuanya, John Pentland, selanjutnya
sering mengirimi aku oleh-oleh sampai seberat 5 Kg, yang mayoritas isinya
adalah buku-buku bagus.
Tahun berikutnya Craig datang dengan girl-friendnya.
Aku mengusulkan bahwa mereka lebih baik menikah kelak. Aku tidak berfikir
tentang usulanku itu diterima, hingga mereka memutuskan menikah dengan dengan
girl friendnya yang bernama Norjana Binti Ibrahim- gadis Melayu Singapore.
Mereka menikah di Singapore dan aku juga diberi undangan untuk hadir ke sana.
Selain warga Australia, aku juga punya teman
dari negara lain yang sering berlibur bersama ku. Mereka adalah Louis
Deharveng, Anne Bedos, Francois Brouquisse, Francois Beluche, Alexandra dan ada
beberapa orang lagi dari Eropa dan USA. Buat apa mereka datang
berulang-ulang untuk berlibur.
“Ya
karena alam Sumatera indah dan hospitality yang menjadi karakter ku”.
Hospitality itu tidak saja merupakan karakterku
namun juga telah menjadi karakter banyak orang Indonesia. Aku sendiri merasakan
bahwa hospitality yang aku miliki adalah dalam bentuk kemampuan “bersimpati”.
Ya memang bahwa aku suka bersimpati pada semua orang.
“Bersimpati itu maksudnya adalah memahami
fikiran dan perasaan seseorang sebagaimana adanya”.
Kemampuan
bersimpati membuat aku jarang bermasalah dengan orang lain. Sejak karir
mengajar atau menjadi guru, aku rasanya tidak pernah punya masalah dengan
semua anak didik. Apakah mereka pintar, nakal, cerewet, suka ngambek...
semuanya bisa beradaptasi denganku. Aku pernah ditanya oleh Aulizul Suib (wakil
Bupati Tanah Datar) saat launching buku ku yang berjudul “School Healing
Menyembuhkan Problem Pendidikan” tentang siswa yang nakal. Dan aku jawab:
“Menurutku tidak ada siswa yang nakal. Yang ada
adalah anak yang mengalami skin hunger- kulit yang butuh sentuhan dan
kehangatan hati seorang guru”. Dan semua hadirin bertepuk tangan mendengar
responku.
Kemampuan bersimpati yang berlebihan terbentuk
oleh pengalaman hidupku. Sebagaimana aku terlahir dari keluarga yang sangat
besar. Sebelum menikah dengan ibuku, ayahku juga pernah menikah
dengan dua orang wanita sebelumnya dan mereka memperoleh 3 orang anak. Dan ibu
ku juga demikian, sebelum dia menikah dengan ayah, ibu juga pernah menikah dua
kali dan juga memiliki tiga orang anak. Dalam perkawinan barunya, ayah dan ibu
ku, aku adalah anak yang kedua dan dalam perkawinan mereka memiliki 6
orang anak.
Ayahku seorang prajurit polisi dan karena punya banyak
anak, ia sibuk berbisnis di luar dan ibu ku sibuk pula mengurus anak-anak yang
banyak. Sejak aku kecil, aku jarang sekali diajak ayahku jalan-jalan, kecuali
diakhir tahun. Aku pernah keliling Sumatera Barat dan juga pergi ke kota Pekan
Baru saat ayah memiliki mobil Chevrolet. Namun aku merasa ada yang hilang.
“Aku kehilangan kasih sayang dari ayah dan
ibuku”.
Ayahku
hanya mampu memberi aku uang jajan yang
jumlah agak lebih, namun yang aku butuh adalah aku bisa bermain-main bersama
ayahku. Dan ibuku juga tidak pernah mengatakan “I love you” pada ku dan
anak-anak yang lain. Itu karena ia capek mengurus rumah dan anak-anak yang
jumlahnya banyak. Sebagai anak kecil, aku sering menangis dan meratap sambil
menjauhkan diri dan bermohon agar aku memperoleh rasa cinta.
Karena masa kecilku terasa kurang bahagia, aku
menjadi orang yang mudah rapuh dalam perasaan. Aku beruntung punya pengalaman
indah di luar rumah. Tetangga dan familiku yang lain berkata bahwa aku adalah
anak yang santun dan baik. Hingga kemana aku pergi aku diterima oleh banyak
orang.
Aku masih
ingat saat masih kecil aku diajak oleh keluarga lain (tetangga) untuk ikut
kekampung mereka. Aku senang sekali, rumahnya dekat kaki bukit, di sana
ada kincir dan ada sawah. Aku diberi kebebasan untuk bereksplorasi dan suatu
ketika aku terjatuh ke dalam sawah dan mereka segera memberiku perhatian .
“Oh tidak apa-apa sayangku, ayo mari pulang dan
kita ganti pakaian kotor ini”.
Kalbu ku terasa sejuk mendengar kata kata cinta
dari keluarga itu. Sampai sekarang akupengalaman indah tersebut masih berbekas
dan aku sering berfikir tentang “Siapa orang baik tersebut, apa ia masih
hidup dan dimana negeri itu kini ?”
Karena aku sempat menderita skin hunger- yaitu
kulitku yang rindu dengan belaian kasih sayang dari orang tua, maka aku tumbuh
menjadi orang yang suka bersimpati. Aku tidak ingin orang-orang merasa kesepian
karena hampa dari rasa kasih sayang. Suatu ketika aku punya tetangga baru yang
bekerja di kantor pos dan giro. Mereka adalah keluarga Khatolik dari Lampung.
Aku senang untuk bermain-main ke sana. Hingga aku sudah menjadi bagian dari
keluarganya, di sana mereka memberi aku rasa cinta dan rasa damai. Namun aku
sangat sedih dan kehilangan yang mendalam saat keluarga tersebut pindah lagi ke
Lampung.
Perasaan sedih dan kehilangan yang mendalam
inilah yang kerap datang dan membuat aku sengsara. Saat aku bersekolah di
Sekolah Dasar dan di SMP, aku juga memiliki banyak teman-teman yang amat baik.
Aku sendiri pernah membawakan coklat buat mereka dari rumah. Aku ingin selalu
bermain dan dekat dengan mereka setiap saat, karena di sana ada rasa tenang dan
damai. Namun tiap kali aku dan mereka harus berpisah maka inilah yang membuat
aku menjadi sangat sengsara dan menderita. Aku takut berpisah dan jauh dari
mereka.
Saat aku duduk di bangku SMA, rasa kesepian ku
makin mudah kambuh- aku jadi ciut lagi. Dari luar aku memang tampak selalu
ceria dan tertawa namun hatiku sering menderita. Orang tuaku memang
selalu memberi aku kebutuhan sandang – pangan dan uang jajan
yang bisa lebih dari cukup. Namun ada yang selalu hilang dari mereka yaitu aku
tidak pernah merasa memperoleh “kasih sayang”. Aku rindu mereka mengatakan “I
love you” padaku.
Mereka juga tidak bersalah karena ayah dan
ibu ku juga tidak tahu cara mengatakan “I love you” satu sama
lain. Mereka pun sering bertengkar dan perkawinan mereka sempat terancam bubar
hingga aku menjadi remaja yang sangat gelisah dan aku menjadi pendiam. Itupun
terbaca oleh guru dan teman-temanku di sekolah “Kenapa Joe sekarang kok jadi
pendiam”. Dan aku tidak mungkin mengekspose problem yang aku alami pada mereka.
Cita-citaku pada mulanya sangat tinggi, namun
cita cita aku obah. Tidak mungkin aku harus kuliah ditempat yang lebih
favourite di Pulau Jawa. Aku takut kalau kuliahku patah di tengah jalan, karena
masalah broken home yang mulai mengintai keluarku. Maka aku memutuskan saja
kuliah di Padang. Selama empat semester pertama, aku kuliah asal-asalan saja.
Namun aku sadar bahwa aku harus serius.
Sambil belajar aku mengembangkan diri dan
karakter berani ku. Aku bekerja part time, menjadi pemandu wisata dan juga
member privat bagi ana-anak yang orang tuanya berduit. Selama kuliah aku dengan
mudah memperoleh pengalaman indah dan banyak teman-teman yang baik, ganteng dan
cantik. Namun aku selalu merasa terhempas bila perpisahan itu harus datang.
Rasa sepi dan rasa kehilangan dari orang orang yang pernah dekat di hati
membuat hatiku teriris-iris, aku menjadi susah tidur dan konsentrasi jadi
buyar.
Baru satu semester aku juga harus berpisah
dengan orang yang amat Aku cintai. Walau ibu ku termasuk wanita yang pemarah,
namun ia jarang marah padaku. Kalau mau marah ia memilih kata-kata yang lembut
sekali. Ibuku sendiri mengatakan bahwa ia tidak tahu apa yang harus dimarahkan
padaku karena “joe adalah anak cam jempol”.
Memang aku sendiri selama hidup hamper tidak
pernah bersuara kasar dan bernada tinggi pada ibuku. Semester lalu ibuku dapat
musibah, saat mau ke belakang, beliau terhempas dan terjatuh ke air panas dan
segera kami larikan ke Rumah Sakit Umum Payakumbuh. Aku ikut menemani di rumah
sakit. Saat kami merasa ia sudah sembuh, diam-dian ia berangkat menuju Sang
Pencipta. Aku ikut menyusul Jenazah ibuku Ke Lubuk Alung.
Habis memberikan ciumanku yang terakhir pada
wajah ibu dari balik kain kafannya, aku ikut mengankat tandu ibu menuju tempat
perisirahatanya yang terakhir. Makin turun duluan lebih dulu dan menunggu jasad
ibu dari dalam kubur. Aku ikut meletakkan ibu ke dalam lahatnya. Aku merasa
damai sekali saat bisa mengusap pipi dan bahu ibu buat yang terakhir kali.
Namun aku hamper-hampir tidak rela kalau segera berpisah dari ubuku. Akhirnya
tanah mulai turun memenuhi kuburan ibu. Sebanyak tanah turun- sebanyak itu pula
air mata mengalir pada pipiku. Aku tidak berani memperlihatkan bahwa air mataku
keluar pada orang, namun orang-orang juga pada tahu. Hatiku juga
berkeping-keping saat itu.
Akhirnya aku memilih karir sebagai guru- karir
yang amat mudah aku peroleh. Padahal cita-citaku waktu kecil adalah ingin
menjadi saintis atau dokter dan bekerja di luar negeri. Itulah yang memotivasiku
dalam mempelajari banyak bahasa “Inggris, Perancis, Arab dan Spanyol”.
Aku
menjadi guru dan aku dengan tulus memberikan rasa simpati pada murid-muridku.
Selama aku jadi guru aku tidak pernah marah-marah dan memang aku tidak bisa
marah-marah. Aku punya filosofi “Terimalah karakter siswa apa adanya”.
Akhirnya aku menjadi dekat sekali dengan mereka.
Lagi-lagi yang membuat aku sangat kehilangan
adalah bila mereka tamat dan pergi jauh dariku. Tapi juga sama, aku pernah
pindah sekolah dua kali. Dari sekolah ku yang pertama ke sekolah ku yang ke
dua. Dan dari sekolahku yang ke dua ke sekolah ku yang baru “SMA Negeri 3
Batusangkar:. Saat aku pindah murid-murid ternyata juga kehilanganku dan aku
juga. Aku sendiri saat menulis artikel ini juga sedang menderita merasa
kehilangan dari orang-orang yang pernah dekat di hatiku. Maka aku sering
berucap “I miss you ”.