Jangan
Menyalahkan Masa Lalu
1.Makna Figur Ayah bagiku
Cukup lama aku merasa surprised atas diriku.
Surprised karena aku mampu meraih guru berprestasi peringkat 1 kategori guru SMA tingkat
nasional,. Pengumumannya tanggal 12 September
bulan lalu (1012). Surprised ini makin hebat saat mengingat bahwa aku
sendiri bukan berasal dari keluarga utuh, dan bukan pula dari keluarga yang
kurang mengenal akan makna dari pendidikan.
Jangankan memperoleh kehangatan perhatian dari orang tua, malah
yang aku alami adalah minusnya perhatian dari ayah dan ibuku.
Aku sempat
8 tahun tidak berjumpa dengan
ayah. Setelah 8 tahun aku ditelpon agar
segera menuju rumah sakit M.Jamil Padang. Sebelumnya aku juga telah lama tidak
berjumpa dengan ayah yaitu ada selama sepuluh tahun pula. Itu berarti bahwa aku
kehilangan figure ayah selama belasan tahun dan berarti masa anak-anak dan masa
remajaku hampa dari sentuhan dan kasih sayang seorang ayah.
“Apakah ayahku seorang pria yang sibuk ?
Entahlah, aku sendiri tidak bisa menjawabnya”.
Ternyata aku masih punya memori dengan ayah.
Saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar, sekitar tahun 1970-an, aku dibawa ke
Padang, ke kampung ayah, di Nagari Koto
tangah Lubuk Minturun- Padang. Saat itu transportasi publik belum begitu
lancar, aku dan ayah berjalan kaki dari pasar Lubuk Buaya menuju Ikur Koto,
terus ke rumah nenek.
“Wah... jauh sekali rasanya…dibalik hamparan
perkampungan orang dan sawah”. Yang aku ingat adalah kebahagiaan bersama ayah
pada di awaln masa remajaku saja. Aku
ingat dengan perjalanan yang terasa merasa tersiksa karena kakiku merasa capek
dan pegal-pegal. Namun aku bangga dan senang karena bisa jalan bareng dengan ayah. Meskipun aku harus
berpacu untuk mengikuti langkah ayah yang panjang.
Aku hampir menangis dan hampir rubuh karena
harus berjalan menuju ujung jalan yang amat jauh. Aku ingin saat itu bisa naik
sepeda atau bisa digendong oleh ayah. Namun aku tidak terbiasa bermanja- manja.
Akhirnya aku (kami) sampai juga di rumah nenek. Di sana aku jadi tahu tentang
cerita ayah dan saudara- saudaranya.
Ayah adalah anak laki-laki satu-sarunya dari ia
memiliki 3 orang saudara perempuan. Diperkirakan ayah termasuk anak yang manja.
Namun ternyata tidak, malah waktu kecil ayah termasuk anak paling bandel,
tetapi berani. Hingga ia pernah diusir atau lari dari rumah.
Aku amat senang mendengar ayah bercerita tentang
masa kecilnya. Suatu hari ayah pulang sekolah dengan perasaan lapar. Namun
nenek mengatakan bahwa tidak ada makanan buat dimakan. Dalam hati ayah merasa
kurang yakin. Maka diam-diam ia mencari-cari dan ternyata ia menjumpai ada makanan dan gulai rendang
tersembunyi.
Merasa
dibohongi, maka ayah menghabiskan semua gulai rendang tadi. Namun karena merasa jengkel ayah melumuri sprei kasur dengan saus/ cabe
dan sisa makanan. Melihat kelakuan ayah yang brandal demikian maka nenek menjadi marah besar. Ayah dikejar dan
mau dipukul. Ayah juga merasa sangat ketakutan yang hebat hingga ia melarikan
diri menuju rumah keluarga yang lain yang berlokasi di sebuah desa dekat kota
Padang Panjang.
2. Tidak Guna Menyesal
Ayahku tumbuh jauh dari orang tuanya. Dalam pelariannya,
ayah memperoleh banyak pengalaman. Ia pernah belajar sebagai pandai emas atau
tukang emas di kota Padang Panjang. Diceritakan bahwa saat muda, ayah juga
pernah ikut pergi berdagang ke Tanjung Pinang- Kepulauan Riau. Tentu saja
ayahku harus berperilaku baik selama tinggal dengan orang lain.
Dalam masa remaja, ayah mencoba untuk pulang ke
kampungnya ke Padang, saat itu ia masih memendam rasa takut. Ternyata orang tua
dan semua familinya sudah kangen dengannya. Kedatangan ayah, sebagai anak yang
hilang, disambut dengan penuh suka cita. Selama tinggal di kampungnya lagi -
dengan nenek dan kakek, tentu ayahku tidak perlu bekerja keras, karena
kebutuhan makan dan minum bisa diperoleh dari orang tuanya.
Dalam masa remaja, tentu saja ayahku memiliki
teman khususnya. Dan yang aku masih ingat bahwa dia jatuh cinta dengan gadis satu kampungnya.
Ayah menikah dalam usia yang sangat muda- pernikahan dini. Dari perkawinannya, ayah memperoleh seorang
anak perempuan. Dari sejarah hidup ayah, aku tangkap kisahnya bahwa ayah kurang
memperlihatkan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah dan juga sebagai suami.
Barangkali itu adalah gara-gara factor ekonomi
atau keuangan. Ya akhirnya ayah ku bercerai dari istri pertamanya dan ia segera
menjadi duda dalam usia remajanya. Dan ayahku termasuk orang yang gampang jatuh cinta. Ia jatuh cinta lagi dengan seorang perempuan. Perempuan
kedua yang hadir dalam hati ayah juga berasal dari Padang. Perkawinan ayah yang
kedua tidak berlangsung lama, hanya seumur jagung. Namun sedikit lebih lama
dari pernikahannya yang pertama.
Lagi-lagi
seorang suami, ayah belum bisa mencukupi kebutuhan buat rumah tangganya dan
pasti mereka sering cekcok dengan antara ayah dan istri keduanya. Ayah orangnya
bersifat keras kepala dan sensitive. Dalam hidupnya ia sempat tumbuh dalam
pemanjaan, namun ayah kurang
dilatih/ diajari tanggung jawab.
Satu hari ayahku dan istri keduanya naik kereta
api menuju Bukittinggi. Selama dalam perjalanan telah terjadi perbedaan
pendapat dan mereka terlibat cekcok. Klimaks pertengkarannya terjadi di
Kayutanam, sebuah kota kecil tidak jauh dari Padang Panjang. Di stasiun
persinggahan, kereta api berhenti dan ayahku ngambek dan “mengatakan good bye” selamat tinggal
selamanya untuk perkawinannya yang kedua. Begitu mudah bagi ayahku menikah,
begitu muda bercerai dan meninggalkan/ melupakan anak-anaknya.
“Wah aku tidak perlu menyalahkan siapa- siapa
dalam kisah nyata ayah itu, itu bisa menjadi guru bagiku dan agar aku tidak
mengulang kegagalan perkawinan ayah buat perkawinanku kelak”.
Ya kembali ayahku bertualang dalam hidupnya.
Akhirnya ayahku pun ikut-ikutan masuk
kelompok militer liar. Ayah kemudian tercatat sebagai tentara pemberontak melawan
pemerintahan pusat, ia pro dengan pemerintahan Ahmad Hosen untuk membentuk
negara PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Ayahku bergerilya untuk
melawan pemerintahan yang syah, ia dan grupnya bergerak hingga sampai ke Lubuk Alung. Di sana ia
jatuh cinta lagi untuk yang ke tiga kalinya dengan seorang wanita. Wanita
tersebut adalah ibuku sendiri.
Saat itu ibuku berstatus masih punya suami, seorang tentara
resmi pemerintah Indonesia. Namun suami ibuku sudah satu tahun tidak pulang-pulang karena ia
pergi bertugas ke daerah Jambi.
“Wah…ibuku terlibat cinta dengan seorang pria. Kelak
pria tersebut adalah sebagai ayahku.
Mereka jatuh cinta dan tentu saja semua family tidak setuju- karena status ibu
masih sedang bersuami- hingga akhirnya berita cinta segitiga ibu tercium oleh
suaminya. Akhirnya ibu diberi surat cerai- diberi talak tiga. Ibu sangat
bersedih dan ibarat berjalan di awang-awang, namun ibu juga sangat gembira
dengan kekasih barunya- yaitu calon ayahku”.
Tampaknya ibu dan ayah tidak bisa dipisahkan, ya
ada gula ada semut rupanya. Mereka menikah dan selanjutnya hidup sebagai suami
istri. Saat itu ibuku juga telah punya 3 anak dari perkawinan sebelumnya- namun
ibu juga menikah dalam usia yang amat muda. Anaknya yang tua saja memanggil
“kakak” padanya. Saat itu ayah berhenti sebagai tentara pemberontak, karena
tidak ada jaminan financial dan ayah juga sebagai pria pengangguran. Namun
ibuku termasuk wanita yang kreatif dan mandiri. Ia mengajak ayah untuk
berdagang makanan dan pada hari-hari senggang menjadi nelayan di sepanjang
aliran sungai Batang Anai yang mengalir melintasi Lubuk Alung.
3. Saat Kelahiranku Ke Dunia
Kata ibu bahwa saat aku lahir, rezki mereka
melimpah. Kalau berdagang ya…laris, kalau menangkap ikan…hasilnya berlimpah.
Kata ibu bahwa saat aku lahir ..ayahku memperoleh nasib baik. Karena isengiseng
ia mendaftarkan diri untuk masuk ke dalam rekruitmen Kepolisian RI, seputar
tahun 1965 atau 1966 dan ia lulus
menjadi polisi. Itulah maka aku memperoleh perlakuan sedikit ekstra baik oleh
ibu. Aku tidak boleh dimarahi terlalu kasar oleh ayah.
Ayah mengikuti
program pendidikan Kepolisian di daerah Padang Besi dekat kota Padang. Akhirnya
ayah diangkat menjadi polisi di Resor Kepolisian 303 Kota Payakumbuh. Hidup kami terasa berubah dan kami semua
diboyong pindah ke sana. Kehidupan pun
berobah. Ibuku menjadi istri prajurid
Polisi dan juga tetap menjadi wanita yang mandiri. Ia mengasuh kami dan juga
membantu karir ayah sebagai polisi.
Ibu cukup pintar mengelola keuangan, walau
pangkat ayah kecil, kami tidak pernah kekurangan uang. Ibu punya ternak unggas-
itik dan juga ternak ayam. Kalau ada uang, ibu paling senang menabung dalam
bentuk emas. Kalau berpergian, aku sering melihat tubuh ibu dihiasi oleh banyak
perhiasan emas.
Dalam hidupnya, sebagai polisi berpangkat
rendah, ayahku cukup pintar. Ia juga membuat usaha bisnis dengan
teman-temannya. Sambil bertugas sebagai polisi, ayah juga berbisnis ternak
ayam, bisnis daging sapi, bisnis penebangan kayu untuk diekspor- kegiatan ini
kemudian disebut sebagai kegiatan “illegal loging atau penebangan liar”.
Aku rasa bahwa ayahku cukup hebat. Meski
berpangkat sebagai prajurid Polisi namun
waktu aku kecil aku melihat bahwa ayahku juga memiliki sebuah truck,
mobil Chevrolet dan rice milling. Namun aku tidak pernah tahu bagaimana caranya
ayah memperolehnya.
Saat aku kecil hingga remaja, aku jarang melihat
ayah berada di rumah. Kalau aku tanya
“Ayah pergi kemana”. Maka jawabnya adalah bahwa ayah pergi mencari rezeki/
mencari uang.
Ya kalau
di rumah ia cuma banyak tidur. Seharusnya ayah mengajak kami atau menemani kami
dalam belajar. “Ah lagi lagi aku tidak suka menyalahkan masa lalu itu”.
Suatu ketika aku ingat, aku diajak ayah naik sepeda motor
sejauh 120 km, dari kotya Payakumbuh menuju Padang. Aku berbonceng dibelakang
ayah dan berusaha untuk tidak mengantuk dan khawatir bisa terjatuh dari sepeda
motor. Saat itu merupakan sebuah perjalanan yang eksotik bagiku. Namun aku
paling bosan menunggu ayah yang ngobrolnya dengan temannya kelewat lama. Aku juga
senang kalau diajak ayah ke tempat teman-temannya karena aku pasti bakal
dikasih oleh-oleh dan uang yang banyak.
Ada satu hal yang aku suka protes. Yaitu bahwa
ayah kurang mendukung proses pembelajaranku di rumah.Padahal aku sendiri anak
yang sangat rajin dalam belajar Suatu hari aku tengah asyik belajar di rumah
dan ayah dengan grupnya datang hendak bermain domino. Aku pasti terganggu
dengan suara dan suasana yang bukan budaya yang aku, lantas aku protes, aku
lempari atap rumah dengan batu bata, agar mereka berhenti mengganggu ku.
Sebagai protesku yang lain adalah aku mengempeskan motor- motor teman ayahku,
agar mereka jera datang dan menggangguku dalam belajar. Untung ayahku tidak pernah marah pada ku hingga ia
pindah tempat ke tempat lain. Atau ia paham bahwa aku butuh ketenangan dalam
belajar.
4. Prahara Dalam Rumah Tangga
Ternyata ibuku lebih tua usianya beberapa tahun
dari ayahku dan api cinta mereka mulai meredup dan rumah tangga mereka sering
cekcok. Hari-hari yang ku lihat dan ku dengar adalah percekcokan ayah dan ibu.
Pernah ayahku marah sambil mengacungkan revolver (pistol) pada ibu. Dan aku pun
juga pernah main main pistol dan secara tidak sengaja meletus….dor… dan untung
aku tidak menembak kakakku. Sejak itu, pistol dijauhkan dari jangkauanku.
Maka aku dan saudaraku yang lain dibesarkan
dalam suasana rumah yang penuh cekcok- broken home- sepanjang hari. Aku masih
ingat bahwa saat aku duduk di bangku SMP di kota Payakumbu bahwa aku sendiri
selama dua tahun lari dari rumah. Aku memilih tinggal jauh dari rumah dan begitu
juga dengan kakakku.
“Aku tinggal di rumah temanku dan orang tua
temanku bisa menerimaku”
Untung saja nilai pelajaran ku tidak begitu
jelek dan tidak terjebak dalam menghisap obat terlarang. Malah walau aku
berasal dari rumah yang broken home, aku pernah beberapa kali juara di kelas
dan selebihnya masuk nilai tujuh besar dalam kelas.
Hubungan cinta ayah dan ibu makin genting,
karena ada wanita lain hadir dalam hidup ayah. Pernah suatu kali ibuku lari ke
Jakarta dan menelantarkan kami anak-anaknya. Namun family yang di Jakarta
memberi ibu nasehat agar bersabar dan itu juga demi anak-anak- biarlah ayah
berkarakter demikian asal keuangan tetap lancar. Lagi-lagi aku tidak akan
menyalahkan ayahku.
Masa depan dan studiku ku saat itu merasa
terancam, namun untung ibu bisa bersabar dan mencari mkesibukan hingga bisa
melupakan problem hidupnya. Ibuku juga pintar menabung dan ia memiliki cadangan
emas untuk membiayai kuliahku. Aku takut memilih jurusan dan universitas yang
bakal menghabiskan banyak dana dan waktu yang lama. Aku memilih kuliah di
Padang saja, dan batal untuk kuliah ke pulau Jawa.
“Aku masih ingat
bahwa andai suatu hari ibu dan ayah nyaris bakal bercerai dan kami bakal
berpisah-pisah dalam pengasuhan berbagai family. Hubungan cinta ayah dengan
wanita lain makin menggila. Ia malah pergi jauh dari rumah dan hidup bersama
wanita yang baru. Demi keselamatan pendidikan aku, maka aku menjadi masa bodoh dengan urusan pertengkaran
ayah dan ibu”.
Akhirnya aku bisa kuliah di Universitas. Aku juga harus bisa mengembangkan diri. Ini berguna agar aku bisa tumbuh menjadi pria mandiri kelak bila selesai kuliah. Aku
bekerja sambil kuliah. Aku mendaftar untuk menjadi pemandu wisata Sumatera Barat. Aku
juga memberi lest privat bahasa Inggris
untuk anak-anak orang yang berduit. Untuk keuangan aku tidak memperoleh
kesulitan. Aku memperoleh uang yang cukup dari orang tua dan aku juga dapat
uang sendiri, aku bisa menabung dan aku suka membeli cincin emas sebagai
tabungan karena harga emas sangat standar.
Perkawinan ayah dan ibuku kandas sudah, ibuku
sering sakit dan terlihat sangat sengsara. Aku menemui bahwa ibu sering menangis dan meratap sebagai istri yang
dibuang oleh suaminya. Namun itu sudah menjadi pemandangan biasa bagiku- kadang
kadang aku juga membujuk ibu bahwa tidak ada gunanya larut dalam kesedihan.
5. Aku Sempat Kehilangan Sosok Idola
Aku bisa melepaskan diri dari keruwetan rumah
tangga- broken home. Sejak ayahku punya wanita simpanan dan suka cekcok dengan
ibu maka aku merasa kehilangan idola/ figure ayah. Ada pengaruhnya terhadap
jiwaku, pada mulanya aku sedikit jadi sulit jatuh cinta. Namun aku menguasai
emosiku hingga aku bisa memperoleh cinta lagi dari seorang gadis yang cantik
menurutku namun punya karakter yang sederhana.
Akhirnya bantuan keuangan ayah untuk ibu nyaris
putus. Sehingga ibuku pernah menjadi buruh pada rumah tetangga. Untung aku
segera lulus dari Perguruan Tinggi dan segera punya pekerjaan. Gajiku aku
tabung dan juga aku gunakan untuk membantu ibu. Ibu akhirnya ditinggal pergi
oleh ayah. Aku melarang ibu untuk berduka dan menangis.
“Tidak ada gunanya mak banyak menangis dan
meratapi nasib karena mak masih punya
anak- anak yang baik dan bisa mengabdi ke orang tuanya”.
Ibuku akhirnya bosan untuk bersedih namun ia
terlihat menjadi wanita yang nestapa>
Ia memutuskan untuk kembali ke kampung
ke Lubuk Alung. Ia berniat untuk mengisi hari-hari berikutnya dengan hal-hal
yang berarti – pergi ke mesjid dan berbagi cerita dengan teman-teman seusianya.
Dengan cara tersebut ibu bisa mengobat
hatinya yang terluka gara-gara cinta ayah yang lenyap dari kalbu ibu. Ibupun
bisa menjadi tegar sekali dalam hidupnya,
“Aku sendiri tiap bulan datang berkunjung dan juga
ikut berbagi rezki dengan ibu. Ibu bersyukur, walau cintanya hancur namun lima
orang anak anaknya bisa memperoleh masa depan, bisa bekerja dan juga lulus dari
perguruan tinggi atau juga tamatan SLTA”.
Kami semuanya patungan untuk menghidupi ibu dan
membiarkan ayah dan gajinya untuk bersenang- senang di tempat kerajaan
cintanya. Sejak masa remajaku hingga aku menginjak dewasa aku tidak lagi
berjumpa dengan ayahku selama belasan tahun- kami tidak ingin mencari ayah dan
sudah mengikhlaskan ayah untuk hidup senang pada istana cintanya yang baru.
Dari dalam hati bahwa ternyata aku cukup rindu dengan cerita- cerita ayah.
Namun suatu hari aku memperoleh berita/ telepon:
“Harap
segera datang” sangat penting. Bahwa ayah tersungkur dan koma, dilarikan ke
rumah sakit M.Jamil Padang”.
Kami segera berkumpul menuju rumah sakit di
Padang. Perjalananku dan saudaraku yang lain dengan mobil travel terasa lambat
dan sunyi menuju rumah sakit. Setelah dua jam kami tiba di gerbang rumah sakit
setelah maghrib. Aku mencari tahu di mana posisi ayahku “Kamaruddin Usman”.
Akhirnya aku menemui ayah pada pada sebuah ruangan ICU, aku diizinkan masuk.
Aku mendapati ayahku dalam keadaan koma. Ajaib bahwa saat kami datang/ masuk
ayah sempat membuka matanya melihat kami dan menangis namun setelah itu mata
ayah terpejam. Malah mata ayah terpejam buat selamanya.
Ayah
masih bernafah, namun agak susah payah.
Perlu dibantu oleh oksigen luar.
Kadang-kadang air matanya bercucuran- barangkali ayah menyesal yang mendalam
namun sudah tidak bisa berucap. Kami harus memafkan dan kami tidak marah dan
dendam pada ayah. Buktinya kami masih datang dan memberi ayah ciuman.
‘Tidak perlu menyalahkan masa lalu, tidak ada
gunanya berjiwa kerdil. Kisahnya nyata ini aku ungkapkan untuk memberi hikmah-
yaitu jangan pernah manyalahkan masa lalu”.
Aku berada di rumah sakit hampir sepuluh hari.
Itu berarti ayahku dalam keadaan koma juga sudah sepuluh hari. Kami yakin bahwa
ayah tidak bakal sembuh lagi maka kami memberi khabar kepada family di kampung
ayah bahwa kalau tiba khabar jelek “ayah meninggal” maka harap segera dipersiapkan
kuburan buat ayah disebelah kuburan nenek.
Akhirnya ayah dinyakan meninggal dunia. Aku
bingung apalagi saat itu juga ada anak kecil usia 5 tahun
menangis mendekati mayat ayahku, aku berfikir “Siapa sih bocah kecil yang juga
ikut menangis”. Ternyata ia adalah bocah kecil hasil cinta ayah dengan wanita
simpanannya. Aku akhirnya memeluk bocah kecil tersebut dan ikut menghiburnnya
bahwa aku adalah kakak satu ayah dengannya. Aku usap air matanya dan kami bawa
jasad ayah ke kampungnya.
Hari-hari terasa sunyi. Setelah belasan tahun
tidak berjumpa dengan ayah dan bercanda dengan ayah maka aku jumpai ayah saat
sudah mau sekarat terbujur jadi mayat. Sore itu langit mendung, aku ikut
mengantarkan jasad ayah ke dalam kuburannya di Desa Lubuk Minturun dekat
Padang. Aku amat sedih dengan kepergian ayah. Aku juga ikut mengakat dan
meletakan jasad ayah ke dalam liang lahatnya. Tubuh ayah masih berisi kekar dan
gagah. Aku mengingat- ingat hari indah bersama ayah dan melantunkan doa pada
Sang Khalik buat memafkan ayahku.
“Tuhanku…maafkanlah ayahku….sayangilah
ayahku…” Aku ikhlas sekali melepas ayah hingga airmataku dengan mudah meluncur
membasahi pipiku. Saat itu dalam mpenghujan dan tiba-tiba hujan turun lebat,
membasahi bumi dan airnya tumpah ke dalam kuburanm ayahku. Aku dan saudaraku
yang lain tetap menyelesaikan penimbunan tanah kuburan ayahku- air mataku
lenyap bersama derasnya air hujan.
Malam itu aku tidak bias tertidur. Fikiranku
melayang jauh bersama memoriku, pengalaman indah tentangku dan ayahku bergulir
lagi. Walaupun bagaimana karakter ayahku, ia adalah tetap pahlawan terbaik
bukan aku dan saudara- saudaraku. Aku ajak ibu untuk memaafkan ayah.
“Ibuku maafkanlah ayah karena aku dan saudaraku
yang lahir adalah karena adanya engkau dan ayahku”. Aku tidak pernah tahu bahwa
apakah ibu memaafkan ayah atau tidak namun buatku ayah adalah pahlawan ku dan
aku tetap mencintai ayahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
if you have comments on my writings so let me know them