Pasar Tradisionil
1. Kota Yang Sejuk
Kami tiba di
lokasi pasar tradisionil Melbourne sekitar pukul 10.00 pagi. Pak Ismet dan Ibu
Rebbeca memberi kami waktu untuk menjelajah isi pasar tradisionil
tersebut. Aku merasakan Melbourne
sebagai kota yang sangat sejuk dan damai. Kami diberi waktu buat shopping hingga jam
12.00 siang. Saat datang di pasar cuaca masih terasa dingin. Aku merasa mujur
karena memakai pakaian dua lapis, sementara Inhendri Abbas pakaianya terbatas.
Ia memperkirakan suhu musim panas
Australia ibarat suhu di Indonesia dan ia hanya memakai pakaian biasa hingga ia
menggigil kedinginan.
“Ia terlalu
percaya bahwa ia tidak perlu membawa baju tebal dari Indonesia”.
“Cuaca di sini memang sering ekstrim. Saat pergi bekerja
di pagi hari orang orang berpakaian tebal karena merasa dingin. Namun di siang
hari bisa jadi mereka pulang sudah dengan pakaian tipis karena merasa cuaca
panas. Adalah pemandangan biasa, saat pergi sekolah anak-anak memakai jaket
tebal dan pulang sekolah hanya memakai kemeja tipis”. Demikian penjelasan Pak
Ismet kemaren.
Yang juga berkesan bagiku adalah saat berada di lokasi
pasar tradisionil, sarana toilet tersedia disamping kedai- kedai pasar. Toilet
di sana mudah dijumpai bagi pendatang baru. Toiletnya sangat bersih. Siapa saja
bisa menggunakannya dan gratis. Selanjutnya bahwa kondisi pasar tradisionil
juga terang dan bersih- tidak ada sampah berserakan, tidak pengap.
Aku memutuskan untuk membeli cendera mata seperti
gantungan kunci, boomerang dan piringan pajang dengan ukiran tentang Australia.
Ya …yang penting ada kata Australianya. Cendera mata ini nanti akan aku
hadiahkan buat teman- temanku di tanah air- di Batusangkar.aku juga membeli
beberapa helai kaus oblong buat anak- anakku di tanah air. Tentu saja aku harus
memperhatikan standar harga agar aku tidak kehabisan uang dollar Australia.
Pada umumnya pedagang tradisionil di sana adalah warga
keturunan. Aku berbelanja pada warga Australia keturunan India. Bahasa
inggrisnya terasa lucu pada telingaku. Di sampingnya juga ada pedagang keturunan China dan negara- negara Eropa.
Pak Ismet
memang selaludatang on time (tepat waktu). Ya sebagai warga Austalia mereka
sudah memiliki karakter disiplin yang sangat bagus. Ya sudah jam 12.00 tepat,
mereka muncul dari belakang saat kami makan roti yang kami bawa dari hotel
Ibis, kami duduk di pinggir trotoar pada gerbang menuju pasar tradisionil.
Katanya bahwa siang ini kami mau diantar ke sebuah apartemen yang sewanya lebih
murah dari sewa kamar hotel Ibis.
Tentu saja
aku belum bisamembayangkan seperti apa bentuk dan suasana sebuah apartemennya.
Sambil melaju menuju kea rah apartemen kami juga banyak berbincang-bincang
dengan Ibu Rebecca. Ternyata orangnya juga asyik untuk diajak bertukar pikiran.
“Anda lihat
banyak mobil Australia dengan nama Melayu dibawah nomor polisinya. Itu
menandakan bahwa itumobil milik orang Malaysia. Memang benar bahwa di daerah
ini terdapat banyak orang keturunan Malaysia dan ekonomi mereka sangat bagus.
Mereka bekerja pada sektor bisnis. Sementara orang Indonesia banyak bekerja
hanya pada sektor pabrik- yaitu menjadi pekerja atau buruh”. Demikian
penjelasan ibu Rebecca.
Mobil kami
bergerak di kawasan bisnis milik Asia. Pada bagian sudut lain aku juga melihat
grup bisnis orang Vietnam dan orang China. Namun sering ke duakelompok ini
punya aktivitas dalam mengedarkan narkoba. Tentu saja mereka yang baik- baik
juga cukup banyak. Perkembangan bisnis mereka terlihat cukup pesat, apa lagi
karena ada subsidi pada mula mereka
datang- yaitu saat musim datangnya immigrant Vietnam beberapa puluh tahun
silam.
“Migran telah memperkaya hampir setiap aspek kehidupan Australia,
dari bisnis sampai seni, dari memasak untuk komedi dan dari ilmu pengetahuan
untuk olahraga. Mereka, pada gilirannya, harus disesuaikan dengan toleran
Australia, informal dan egaliter masyarakat luas.”
Mobil terus melaju dan tiba-tiba phonecell-ku bordering. Dari
siapa ya ? Ternyata ada SMS dari Diwarman di Batusangkar. Aku berniat untuk
membalasnyanamun deposit hapeku terbatas dan aku perlu berhemat karena harga
satu SMS empat puluh kali lebih mahal dibanding di Indonesia.
Aku
menggunakan SMS sangat terbatas dan hanya untuk mengirim pesan yang sangat
urgen. Misal minta belikan pulsa pada istriku di Indonesia. Nanti bila sudah
berada di apartemen aku akan membalas Diwarman dan juga mengirim SMS buat
istriku (Emi Surya) dan anak-anakku (Nadhilla dan Fachrul).
2. Toko Rempah Asia
Sekali- sekali kami melewati college. Bagi kita college itu adalah tempat sekolah anak- anak SMP
dan SMA. Merek sekolah di sana tidak ditulis besar seperti merek sekolah di
sekolah. Inhendri Abbas sempat berkata:
“Kok saya tidak pernah melihat sekolah di Melbourne ?”
“Pak Inhendri….coba and abaca ada primary school, dan college…itu
berarti sekolah. Nama atau merek sekolah memang kecil tidak ditulis gede- gede
seperti di negara kita”. Demikian Desi Dahlan menjelaskan pada Inhendri Abbas.
Kami kemudian singgah pada sebuah toko rempah Asia.
Penjualnya kemungkinan adalah orang Indonesia. Pelayan toko itu kemudian
berbicara dalam Bahasa Indonesia dan berasal dari Jakarta. Di sana dijual
banyak jenis rempah yang sudah diolah, diracik, diramu dan dikemas dalam kotak
dan dipasarkan di toko.
“Ada beberapa merek bumbu seperti bumbu semur, bumbu soto
betawi, bumbu rawon, bumbu gulai kepala ikan, bumbu balado ayam, bumbu pepes
ikan, bumbu ayam panggang, bumbu rendang
padang, bumbu sop buntut asam segar, dan bumbu lainnya. Bumbu ini siap
digunakan buat hidangan cepat saji- fast
food”.
Mahasiswa Australia dan juga warga lain juga banyak yang
memasuki toko ini. Aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat produk bumbu ini
dan juga mengambil beberapa foto. Aku juga melihat ada cabe kering. Juga ada
serbuk cabe. Syukurlah semua bumbu cepat saji ini juga diproduksi oleh
Indonesia.
Kami memutuskan untuk memasak sendiri karena makan di
restoran Australia membuat hati kami berkata tentang kehalalan makanan.
Mengingat begitu banyak makan seperti ham, sosis, pork, pig….itu semua adalah
berupa babi dan diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh sebab itu kami membeli
keperluan dapur seperti beras, bumbu, cabe, sayur dan juga apel. Kami beruntung
karena kami bisa memasak sendiri dan tidak perlu harus pergi ke mall buat cari
makanan.
Kalau kami mencari makan halal ya kami bisa pergi ke
restoran Indonesia. Namun harga porsi makanan Indonesia juga mahal buat ukuran
nilai Rupiah. Harga satu porsi bisa 30 Aus $, sementara kalau berbelanja dan
masak sendiri bisa untuk kebutuhan kami bertiga, pokoknya jauh lebih irit.
Mobil terus melaju melalui jalan raya yang sangat mulus.
Aku tahu bahwa Ibu Rebecca adalah seorang guru/ dosen bahasa Indonesia dan juga
tahu tentang linguistic. Aku bertanya tentang kosa kata avenue, street dan
road.
“Kalau avenue itu adalah jalan raya yang lebar dan ada
pemisahnya ditengah. Sekarang pemakaian kata street dan road sudah sama, tidak
ada lagi bedanya. Kalau dahulu street itu istilah jalan dalam kota dan road
adalah jalan raya di luar kota”. Aku
tetap melihat banyak toko-toko yang sepi. Salah seorang penjual mengatakan
bahwa itu adalah sebagai efek dari pengaruh ekonomi dunia yang lesu.
Tram adalah
kereta api listrik dan juga berjalan di atas rel besi. Namun tidak suka hantam
kromo seperti kereta api yang ada di Jakarta. Di Jakarta kereta api ada mobil
ringsek di atas rell ditabrak saja hingga membuat jatuh korban (meninggal).
Kereta api Indonesia seakan- akan kebal hukum. Kalau di Melbourne ya..tram/
kereta api listrik juga taat peraturan lalu lintas, ia juga berhenti saat ada
lampu merah dan boleh melaju bila cahaya lampu hijau menyala. Aku berpikir
bahwa kereta apa Indonesia juga perlu undang- undang lalu lintas.
Akhirnya
mobil kami memasuki halaman apartement Punthill Knoxyang berlokasi di 400-404
Burwood Highway Wantina south, Melbourne. Alamat apartemen ini aku juga
sampaikan pada WisnuWardana, yang istrinya, Yetti Zainil, sedang merampungkan
kuliah S.3 nya di Universitas Deakin Melbourne.
Wow
apartemenya megah sekali bertingkat 4 lantai. Sewa apartemen permalam adalah
245 Aus $ atau lebih dari 2,5 juta Rupiah. Ya masih agak mahal untuk ukuran
mata uang Indonesia. Namun itu lebih mendingan disbanding dengan sewa hotel
Ibis, karena hotel apartemen ini memiliki dua kamar dan juga ada dapur tempak
memasak kami.
”Kami sudah
bisa berbagi kamar, satu buat Desi dan satu lagi buat kami- laki-laki. Tentu
saja kami merasa lebih leluasa dan juga punya privacy sendiri”.
Kami amat
senang dengan suasana hotel aprtemen punt hillkarena dilengkapi dengan ruang
tamu, pesawat tv, ada sofa dan adakeperluan internet. Juga ada peralatan
memasak di dapur. Juga sarana telepon. Sebetulnya kami juga bisa berbuat banyak
seperti mencuci karena di apartement juga disediakan mesin cuci, jadi kami
tidak perlu pergi ke laundry.
3. Kunjungan Pak Dadang
Indra Wisnu
Wardana yang sering aku panggil “Dadang atau Pak Dadang” adalah temanku dalam
Face Book. Ia teman baru yang diperkenalkan oleh Diwarman. Aku baru berteman
dengannya sekarang (ngobrol dengannya di tahun tahun 2012) namun 28 yang lalu aku sudah kenal dengannya dan
dia belum tahu dengan aku- jadi baru kenal secara sepihak saja.
Sebelum
kedatanganku kedatanganku ke Australia aku sudah menghubungi Pak Dadang bahwa
aku mau berkunjung ke Benua Kangguru (Australia). Saat itu aku belum mengenal
figure atau wajah Pak Dadang. Dalam imajinasiku bahwa Dadang mungkin saja
seorang nama/ mahasiswa program Doktor di Australia yang berasal dari pulau
Jawa, semisal dari Yogyakarta atau Jawa Barat.
Tiba-tiba
Pak Dadang mengontak phonecell-ku dan aku tidak tahu di bagian mana ia berada.
Aku juga tidak yakin kalau iamau datang mengingat Australia ini tanahnya cukup
luas. Mana tahu ia berada di Perth, Australia Barat. Memang saat aku masih
berada di Jakarta aku sering membalas akun Face Book dan begitu masuk
Australia, aku tidak lagi mengaktifkan phonecell-ku dan juga tidak mengaktifkan
Face Book, mengingat biaya deposito (atau pulsa) phonecell sangat mahal.
Pak Dadang
mengatakan bahwa ia baru saja selesai menonton sebuah pertunjukan (theater) dan
bersiap-siap menuju ke apartementku. Belum sempat aku membalas SMS-nya,
kemudian ada dering telephone dan suara lembut receptionist dalam Bahasa Inggris.
“Hello, this is the Punt hill Apartment Hotel receptionist, do I
speak with Mr. Marjohan….there is your guest arrive here”.
Aku segera
turun lewat lift menuju lantai dasar. Ke dua temanku- Desi dan Inhendri- juga
turun. Kami segera menuju reseptionis. Ya kami melihat teman- teman yang
wajahnya bukan baru bagiku lagi.
“Assalamualaikum
Pak Dadang, Uni Yet dan anak-anakku sekalian….selamat datang di Punt hill ?”
Sapaku dengan hangat.
Begitu kami
berada di parlor (ruang tunggu), kami saling bertatap pandang dan ternyata
–sekali lagi- mereka bukanlah orang baru bagiku lagi. Di pertengahan tahun
1980-an, saat aku masih studi pada IKIP Paadang (sekarangUNP), baik Pak Dadang
maupun istrinya, Yetti Zainil, adalah tetanggaku di wisma Garuda Putih, gang
gurami- jalan Cendrawasih, Air Tawar Barat- Padang. Saat itu Pak Dadang dan Uni
Yetti Zainil belum menikah dan mereka masih sebatas berpacaran. Aku sering
melihat Dadang muda berkunjung ke rumah Yetti Zainil bila akhir pecan tiba.
Mereka terlihat ngobrol romantic dan saat itu aku juga ingin punya kekasih dan
juga ngobrol yang romantic seperti mereka.
Aku tidak
lama berjumpa dengan mereka. Selanjutnya setelah aku lulus dari IKIP Padang aku meninggalkan kota Padang dan tidak
mengikuti perkembangan cinta mereka lagi. Namun yang aku dengar bahwa mereka
kemudian menikah. Cukup fenomena sebab saat saat itu Pak Dadang dalam
pandanganku cukup playboy (mungkin ia punya beberapa gadis yang juganaksir
padanya) sementara Uni Yetti Zainil adalah seorang gadis yang sangat alim, berkerudung,
kalau berjalan selalu menundukan pandangannya- ya cara berjalannya seorang
muslimah (wanita Islam).
Pak Dadang
kemudian bertugas di Dinas Pendidikan Kab. Tanah Datar- Sumatera Barat dan Uni
Yetti Zainil menjadi dosen Bahasa Inggris di UNP. Ayahnya- Prof Dr. Zainil-
kebetulan juga seorang dosen senior di UNP. Lama aku tidak berjumpa dengan
mereka berdua dan aku hanya berjumpa beberapa tahun silam hanya dengan Uni
Yetti Zainil saat aku melanjutkan studi pada pascasarjana UNP. Kemudian aku
juga mendengar bahwa Yetti Zainil melanjutkan pendidikan Post Graduate-nya di
Australia dan aku mendengar bahwa keluarganya juga ikut ke Australia.
“Pertemuan
kami tadi sore membuatku lebih saling mengenal. Aku kini menjadi lebih akrab
dengan mereka berdua. Aku juga menyapa keponakannya Zaki dan kedua anaknya
Gandhi dan Indera”.
Uni Yetti
Zainil dan juga Pak dadang memberi nama anak mereka “Indera” untuk anak
laki-laki dan “Gandhi” untuk anak perempuan karena mereka mengagumi figure
Indera Gandi. Mereka mengingin anak-anaknya juga menjadi hebat seperti Indera
Gandhi- seorang Perdana Menteri wanita dari India dalam tahun 1990-an.
Dalam
hidupku sejak dulu, aku jarang atau
belum pernah melihat Pak Dadang itu asyik membaca buku. Maksudnya ia tidak suka
membaca dan mungkin ia tidak begitu bagus dalam bidang akademik. Namun ia
memiliki kelebihi dalam berkomunikasi atau berbicara. Barangkali keberanian dan
kemampuan berkomunikasi inilah yang membuat dia cukup berhasil dalam karirnya. Ia
memiliki persahabatan yang sangat luas dan sangat suka menjaga kualitas
komunikasi. Inilah yang membuatnya bisapindah tugas dari Dinas Pendidikan di
Batusangkar ke Dinas Pendidikan di Padang.
Saat
istrinya Yetti Zainil menyelesaikan pendidikan Post Graduate di Deakin
University, ia mengajak suami (Pak Dadang) dan anak- anaknya (Indera,
Gandhi,Cindy dan Dipo) serta keponakannya (Zaki). Tujuannya adalah agar anak
anaknya juga bisa studi di kota Melbourne.
“Bagaimana
dengan biaya ?”.
Yetti
Zainil mengikuti kuliah Post Graduate melalui beasiswa Dikti. Suaminya- Pak
Dadang- juga minta izin kuliah untuk program graduate (pascasarjana), mungkin
dengan biaya sendiri. Dan tentu saja sudah ada Universitas atau tempat
kuliahnya. Ternyata biaya hidup di Australia sangat mahal, maka Pak Dadang
banting stir- mengurungkan niatnya buat kuliah di pascasarjana di kota
Melbourne.
“Kalau saya
ambil kuliah…bagaimana dengan biaya hidup anak-anak, kalau Yetti okelah…ia
diberi beasiswa dan juga pemondokan. Jadi untuk pemondokan kami (anak,
keponakan dan saya) bisa nompan melalui Yetti zainil. Akhirnya saya cari
kerja…jadi buruh di pabrik coklat milik orang Perancis. Target bagaimana bisa
makan dan juga bayar kebutuhan hidup anak. Saya juga mengajak keponakan (Zaki)
untuk juga bekerja di pabrik coklat dan juga meluangkan waktu buat kuliah di
Melbourne”. Demikian penjelasan Pak Dadang. Pak dadang juga pernah bekerja di
pabrik coklat milik orang Jerman.
“Di
Australia, kalau kita mau dan tidak gengsi-gengsian maka akan ada banyak
pekerjaan yang bisa menampung kita”.Demikian kata Pak Dadang menambahkan.
Memang
benar bahwa keberanian dan kepintaran dalam bergaul bisa membantu untuk
kemudahan dalam hidup kita. Maksudnya kita mudah memperoleh pekerjaan, namun
lebih beruntung kalau kita memiliki beberapa skill/ keahlian yang lain. Pada
umunya mahasiswa asal Indonesia yang pintar-pintar dalam hidup bisamencari uang
samping. Selain ia hidup dari danabeasiswa, ia paling kurang bisa bekerja
sebagai tukang antar koran dan ia akan memperoleh upah 250 Aus $ perminggu atau
1000 Aus $ per- bulan. Setara dengan Rp. 10
juta per bulan dan itu sudah bisa untuk mengontrak atau menyewa rumah
kecil (lodge) di Australia.
Teman
pemukian orang Indonesia banyak di seputar daerah Clayton. Orang Indonesia
menyebutnya atau meplesetkan nama Clayton menjadi “Klaten”. Ya sebuah kota di
Jawa Tengah. Sering orang orang asal Indonesia yang tinggal di Clayton sering
ditanya tentang dimana mereka tinggal.
“Ohhhh…we live in Klaten….maksudnya
mereka tinggal di Clayton”.