Mengakhiri
Kontrak
Begitulah saat terakhir
di Jepang – yaitu mengakhiri kontrakku dengan perusahaan. Malam terakhir yang
penuh sendu adalah malam perpisahan bagiku (grupku) dengan pihak perusahaan dan
teman- teman di sana .
Pagi berikutnya kami juga melakukan perpisahan dengan kepala perusahaan (boss),
namanya “Nokio”. Kami merayakan perpisahan cukup gembira tetapi campur rasa
haru biru dalam hati. Usai perpisahan, kami segera menuju kamar (kamar kami
berlokasi dalam komplek perusahaan itu).
Aku
harus mengakhiri segala sesuatu yang berhubungan dengan dokumen- aku menutup
rekening tabunganku pada bank disana. Aku juga pergi ke kantor Pos buat menutup
pembukuan, karena aku juga menabung di kantor Pos.
Aku
balik ke tempat pemondokan dengan langkah separoh bersemangat dan separoh
bersedih karena harus berpisah dengan banyak teman dan negara yang rapi itu. Dibalik
sedih, aku juga harus bergembira karena membayangkan negaraku- kampungku/ tanah
airku- dimana berkumpul orang- orang yang sangat mencintaiku. Aku masuk kamar
buat beres- beres yang terakhir- aku merasa bermimpi saat menyeret travelling
bag ke luar kamar. Rasanya kemaren aku tiba dan membawa banyak barang untuk aku
susun dalam kamar itu dan tiba lagi masanya untuk harus keluar.
Sebelum
keluar aku menulis catatan kecil buat 3 orang temanku yang akan segera aku
tinggalkan. Waktu itu aku nggak sempat membersihkan kamar, karena sudah keburu-
buru. Aku kekurangan waktu untuk mengurus itu dan ini, dan tubuhku terasa agak
lemah soalnya 2 minggu sebelumnya aku sempat masuk rumah sakit. Aku tanya apa
penyebabnya.
“Sakitmu
karena pengaruh stress- meski stress ringan- namun mempengaruhi selera makanmu
dan kamu jadi malas makan, akibatnya daya tahan tubuh mu lemah. Kamu perlu
rileks dan tersenyum banyak dalam hidup”. Demikian penjelasan dan nasehat dokter
di rumah sakit padaku. Aku merasakan bahwa sakitku terjadi pada usus dan
lambung. Aku memang susah makan kalau fikiran lagi sedang kacau. Aku dan dokter
tentu saja ngomong dalam bahasa Jepang.
Selama
disana bahasa Jepangku menjadi sangat baik- maklum frekuensi memakai bahasa
Jepang sangat tinggi. Maklum bahasa pengantar kami adalah bahasa Jepang, namun
aku tetap saja membawa kamus kemana-
mana. Saat ngobrol dengan dokter aku juga melihat kamus saat aku tidak mengerti
dengan beberapa kata dalam bahasa Jepang. Kalau aku masih kesulitan dalam memahami
percakapan maka dokter akan berbicara denganku dengan bahasa Jepang yang sangat
sederhana.
“Orang Jepang berbicara dalam
bahasa yang sederhana kepada orang yang baru belajar Bahasa Jepang- orang
asing. Ia menyampaikan dengan bahasa verbal ditambah dengan bahasa tubuh/
bahasa isyarat. Andaikata kita tidak mengerti dengan satu kosakata, bisa jadi
ia membuat defenisi atau penjelasan kata tersebut.
Aku akhirnya mau melangkah
menjauhi negara Jepang. Aku naik bus dari asrama menuju ke kota
Osaka . Sepanjang
jalan aku lebih banyak menatap pemandangan terakhir bagi mataku. Akhirnya bus
memasuki kota Osaka
dan bus bergerak menuju ke sebuah hotel-
untuk penginapan kami sebelum menuju
bandara internasional Osaka .
Saat itu pukul jam 17.00 sore, cuaca terasa sejuk dan angin sepoi- sepoi
bertiup. Tak lama kemudian senja dan malam pun tiba. Kami perlu beristirahat. Kami
disuguhi makan malam dan mencicipi hidangan perpisahan bersama. Kuresapi
bagaimana citra masakan Jepang saat itu.
“Aku sedih…sedih berpisah
dengan teman- teman yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Hubunganku
dengan kawan-kawan di perusahaan dan juga dengan pimpinan perusahaan terasa
begitu akrab, sehingga saat berpisah ya terasa berat dalam hati.Aku merasa
bersalah karena tidak bisa menemui beberapa teman untuk salam perpisahan yang
terakhir. Aku juga tidak sempat berjumpa dengan Sacho (pemimpin perusahaan)- ia
kurang sehat karena baru saja keluar dari rumah sakit”.
Namun Kacho ikut dalam mobil
rombongan kami menuju Osaka .
Ia adalah sebagai penanggung jawab grup kami sebagai karyawannya. Aku juga
tidak bisa banyak berbicara karena kondisinya terlihat kurang fit and fresh (segar dan bugar). Untuk
mengatasi rasa bersalah karena tidak bisa jumpa langsung dengan teman- teman
maka aku hanya bisa menelpon dengan mereka- say
good bye/ sayonara.
“Maafkan aku teman- teman…selama
menjadi senior kalian tentu aku punya banyak kesalahan….maafkan aku
ya…..maafkan aku ya..!!” Seru aku pada mereka lewat handphone. Aku yakin bahwa
masih ada ilmu yang aku peroleh dari Sacho yang belum aku transfer pada mereka.
Bukan aku sok menggurui…namun Sacho memberi amanah padaku untuk berbagi ilmu
dan pengalaman - membantu teman teman yang pengalaman kerjanya masih kurang.
“Aku kepingin ketemu lagi
dengan mereka lebih lama dan minta maaf bila aku bersalah. Sebelum aku pulang-
naik bus ke Osaka-
aku benar benar ingin sekali lagi bisa minta maaf, kemudian baru aku bisa
bilang sayonara….!!!”.
Wah ternyata aku tidak bisa
tidur nyenyak di hotel Osaka malam itu. Aku memaksa diri untuk bisa tertidur,
aku mengosongkan fikiran agar segera terlelap. Akhirnya pagi pun tiba dan
setelah sarapan, kami segera berkemas- kemas untuk menuju bandara Osaka . Aku melepaskan
pandangan ke luar jendela bus. Pohon pohon seolah –olah melambai dan tersenyum
semua kepadaku. Aku menangis- merasa
terharu biru. Aku biarkan airmata meleh di pipi dan mengikis make-up yang
menempel pada pipiku.
“Aku sedih….sedih berpisah
dengan Jepang…dengan orang-orang baik yang telah bersahabat denganku selama 3
tahun”.
Dalam kesedihan itu banyak
memori yang terlintas dalam fikiran, termasuk percakapan aku dengan Kanako.
Kanako itu adalah orang Jepang yang sangat baik dan ia pernah bilang bahwa
kalau kelak aku menikah dengan pria pilihanku
maka ia bakal datang untuk menghadiri pernikahanku.
“Namun siapa pria pilihanku- ya
soulmate ku….tapi itu janjinya padaku…pada persahabatan kami, persahabatan
lintas bangsa”. Ini benar- benar janji dan ia konfirmasi ulang bahwa kalau aku
menikah maka ia akan datang ke Indonesia .
Kanako sendiri juga masih lajang…namun ia bukan kekasihku…dia adalah teman baik
ku”.
Aku sekarang sudah berada
kembali di Padang- di Batusangkar- di Lintau. Lantas ada yang bertanya tentang
kapan aku balik lagi ke Jepang. Nah itulah yang aku susah untuk menjawabnya
karena biaya transport dan biaya hidup di Jepang itu mahal sekali. Kecuali
kalau orang yang menjaminku untuk pergi ke Jepang lagi. Untuk ukuran orang
Jepang, rata- rata mereka menghabiskan Rp 1.000.000 per hari. Jadi rata- rata
biaya hidup mereka per-bulan adalah Rp. 30 juta rupiah.
Propinsi Kakagawa…pulau Sikoku
selalu terbayang dalam ingatan. Aku naik pesawat Garuda Indonesia Airway dari Bandara Osaka menuju Indonesia . Rute
terbangnya adalah Osaka- Bali, dari Bali ke Jakarta . Karena rute pesawat Jepang adalah
Osaka-Bali, maka orang Jepang menganggap Bali itu adalah Indonesia .
Mereka hanya lebih mengenal pulau Bali daripada bagian Indonesia yang
lain.
Di Jakarta aku menginap satu
malam dan paginya baru aku terbang menuju Padang .
Waktu aku check-in di bandara Osaka aku tidak mau
melihat orang orang Jepang yang mengantarku…ya sedih rasanya berpisah dengan
mereka. Siap bersalaman paling terakhir aku
jadi sedih lagi. Ya mereka sudah aku anggap sebagai pamanku atau orang tuaku. Mereka
sangat baik, selalu memperhatikan
kesehatan kami dan kondisi kami selama tiga tahun.
Pendek kata saat kita jauh dari
orang tua maka figure orang tua angkat sangat kita damba. Maka orang- orang
Jepang yang posisinya sebagai atasan kami di perusahaan juga berfungsi sebagai
orang tua kami. Mereka terasa sebagai orang tua…bukan sebagai boss- karena boss
konotasinya adalah pemimpin yang agak formal dan mudah marah.
“Bekerja di Jepang..jauh dari
kampung/ dari orang tua, maka susah dan senang kita tanggung sendiri”.
Aku membiarkan petugas pesawat/
petugas bandara mengurus traveling bag
dan aku kemudian bergabung dengan rombongan orang- orang yang hendak terbang menuju
Bali . Namun saat aku melintasi metal detector tiba- tiba alat detector berbunyi sebagai tanda ada
logam dalam tas taganku. Oh ternyata ada kotak/ kaleng foam facial (untuk cuci
wajah) terbuat dari logam dan aku
mengeluarkannya agar aku bisa masukan ke traveling
bag di lantai bawah (karena belum dikemas menuju pesawat) dan aku jumpa
lagi dengan atasanku orang Jepang- mereka masih di sana, mereka akan berangkat
pulang kalau pesawat kami sudah terbang (ternyata facial foamku harus ditinggal di bandara Osaka karena traveling bagku sudah dibawa ke dalam
kabin bagasi pesawat).
Kami semua menuju lambung
pesawat, dimulai dari rombongan penumpang kelas eksekutif, rombongan wanita dan
anak- anak dan rombongan kelas ekonomi. Aku duduk diantara penumpang lain.
Pelan- pelan pesawat bergerak hingga terbang tinggi ke angkasa. Aku yakin
orang- orang Jepang yang melepas kami terbang tengah melambaikan tangan dari
bumi meski kami tidak melihat lambaian mereka.
“Sayonara…….sayonaraa…..!!!!!” Aku tidak merasa sedih kalau ada orang
lain diajak untuk bertukar cerita dan rasa sedih muncul kalau aku sibuk dengan
fikiran sendiri.
“Sedih tanpa sebab….sedih oleh
berpisah…sedih oleh angan- angan wah ini normal dan semua orang juga mengalami
hal yang sama sebagai mana aku alami. Apalagi aku ingat saat bersalaman aku
tidak bisa ngomong- lidahku terasa kelu. Aku disuruh ngomong, baru saja satu atau
dua patah kata, namun aku tak bisa melanjutkan kalimatku…..!!!”.
Saat perayaan perpisahan kecil-
kecilan (farewell party), terdiri
atas 7 orang, ada aku dan beberapa teman dari perusahaan dimana aku bekerja.
Saat itu aku pingin ngomong tentang masalah kaisa-
kaisa maksudnya perusahaan. Namun
saat itu ada teman dari grup/ perusahaan lain maka tentu saja aku tak mungkin
ngomong tentang privacy- problem kami
di perusahaan setempat- kurang enak mengekspos problem sendiri dekat orang
lain..
Aku melihat ke luar jendela
langit biru terlihat indah dan sekali sekali aku bisa melihat laut di bawah dan
pemandangannya begitu syahdu hingga aku berfikir: kapan ya aku bisa pergi ke
Jepang lagi ? Kalau sebagai tenaga kerja ya tidak bisa lagi karena pemerintah
Jepang hanya memberlakukan satu kali saja, kemudian merekrut dan melatih tenaga
baru. Mungkin ada misi tersembunyi yaitu agar banyak tenaga kerja Indonesia yang
mengerti dan bisa berbahasa Jepang dan menyukai budaya Jepang.
Positifnya adalah para alumni
tenaga kerja yang pulang dari Jepang. Setelah pulang kampung mereka menjadi orang yang punya percaya diri,
punya motivasi bekerja yang tinggi karena sudah terlatih hidup punya target dan
disiplin selama tiga tahun di Jepang. Mereka juga punya uang- menjadi pahlawan
devisa bagi negara. Kelak mereka bisa bikin usaha sendiri- tak perlu berfikir
untuk menjadi PNS atau karyawan kantoran lagi. Mereka bisa bikin usaha ternak, berkebun,
usaha restoran, membuka ruko/ usaha bisnis dari uang yang mereka tabungkan
selama di Jepang.
Aku berusaha untuk bergembira
selama dalam pesawat. Tiba- tiba aku menonton tentang kisah hidup tentang orang
Indonesia -
penuh duka. Ha….ha…sedih jadinya aku menangis lagi. Perempuan sepertinya gampang menangis…ya menangis karena terharu
saja. Aku jadinya tidak banyak ngomong dengan penumpang di kiri dan di kananku.
Sekali- sekali wajah teman- teman dan
orang Jepang terlintas dalam ruang mataku. Itulah yang terjadi selama
penerbanganku dari Osaka menuju Bali saat itu.
C. Mana
Yang Besar Pulau Bali Dengan Indonesia
?
Pesawat yang terbang dari Osaka-
Bali berukuran jumbo (jumbo jet). Rata- rata penumpangnya berwajah Jepang- ya
mereka adalah orang Jepang yang ingin menikmati hangatnya suhu tropis di pulau Bali . Makanya rata- rata orang Jepang lebih mengenal Bali . Mereka tidak kenal dengan Jakarta, apalagi Sumatra
Barat atau objek wisata seperti Danau Singkarak, Danau Maninjau, Batusangkar
dengan Istano Pagaruyungnya atau Danau Toba dengan pulau Samosir.
“Mana besar pulau Bali dengan Indonesia ?“ Itu
pernah ditanyakan oleh salah seorang temanku orang Jepang. Rata- rata orang
awam Jepang kurang kenal dengan Indonesia .
Mereka hanya tahu bahwa Bali itu di Indonesia dan Indonesia itu dimana ? Ya di pulau Bali . Kalau begitu Indonesia itu cukup kecil ya..?”
Demikian wawasan orang Jepang tentang Indonesia .
Aku kaget- saat pesawat mendarat
di bandara Denpasar- aku menjumpai
suasana lingkungan amat jorok- sampah berserakan persis ditempat droping
zone penumpang pesawat sebelum dibawa oleh mobil ke terminal. Kesan kontra
yang aku peroleh dengan membandingkan antara kebersihan bandara Osaka dan bandara Bali .
Di Osaka mataku tidak melihat sekeping sampahpun. Selama 3 tahun aku tidak
melihat sampah.
“Di bandara Bali
mulai terlihat tidak keteraturan. Sementara itu Bali sudah merupakan Bandara
super-internasional untuk ukuran Indonesia , maka bagaimana kira-
kira kondisi bandara- bandara lain di negeri ini. Aku merindukan keteraturan
dan kebersihan pada negeri ini. Bukan aku benci pada Bali
atau pada bangsa sendiri, namun aku pengen orang- orang kita peduli pada
kebersihan- buang dan basmilah sampah itu dengan sungguh- sungguh !!”.
“Jarak terbang Osaka
dan Bali adalah 8 jam. Aku terbang jam 11.00
pagi dan sampai jam 07.00 malam. Penerbangan yang lama itu cukup membosankan. Untuk
mengatasi kebosanan ya kita bisa nonton atau tidur- namun aku tidak suka tidur.
Atau kita bisa baca- baca buku atau majalah, atau lagi mendengar musik dan diselingi
dengan menikmati menu yang disajikan oleh pramugari. Ya itulah akvitas kita dalam
pesawat”.
Dari bandara Ngurah Rai aku
transit menuju Jakarta ,
ya masih dengan pesawat Garuda Indonesia Airways. Pesawatku dari Jepang hingga
ke Padang tetap
Garuda. Aku terbang jam 007.00 malam dan sampai jam 08.00 atau jam jam 09.00
malam Waktu Indonesia Barat. Wah aku harus menyesuaikan jam/ waktu Jepang
dengan Waktu Indonesia Barat lagi.
Di Jakarta aku ditunggu oleh
ayahku dan temanku ikut dengan rombonganku. Hari itu kami nginap di tempat ayah.
Aku sudah 5 tahun tidak berjumpa dengan ayahku. Karena ayah dan ibuku sudah
berpisah/ bercerai sejak aku duduk di kelas 6 SD. Jadi aku putuskan bahwa
sebelum pulang ke Padang
aku harus berjumpa dengan ayah kandungku. Saat itu ayahku dapat sakit yaitu stroke- akibat hipertensi. Ayah
tinggal di Jakarta
bersama sepupunya- yaitu bibiku sendiri. Waktu ayah menjemputku, aku lihat
kondisi ayah dengan tangan lemah sebelah dan susah payah dalam melangkah..
“Tangan kanannya kena stroke
dan aku amat sedih menyaksikan fisik ayah yang sakit itu. Ayahku asli orang
Lintau- Batusangkar, namun setelah bercerai dari ibu ia jualan di Jakarta . Ia sempat punya istri
setelah bercerai dari ibu kandungku. Namun sekarang ayah sudah jadi duda dan
hidup menompang pada bibiku”.
“Ayah berpisah dari ibu kandung
bukan gara gara ayah tidak punya uang. Ibuku bukan tipe perempuan materialis.
Mereka berpisah mungkin jodohnya sudah berakhir dan aku tidak tahu penyebab
persisnya. Setelah bercerai ayahku kawin lagi. Namun ibuku tidak kawin lagi, ia
wanita yang hebat dan bekerja keras untuk menghidupi kami (anak- anaknya) dengan
semangat juang yang hebat”.
Sebelum melanjutkan perjalanan
ke Padang , aku
sempat makan bareng dengan keluarga dan ayahku dengan hidangan gulai jengkol.
Ya terasa enak, apalagi aku sudah lama tidak makan jengkol- di Jepang tidak ada
jengkol. Cabenya terasa agak pedas namun terasa sangat enak. Aku ingin membawa
ayah ke kampung, aku ingin ayah dan ibu berkumpul dan aku ingin membahagiakan
mereka di hari tuanya. Namun apa mau dikata, ayah sudah bercerai dari ibu dan
ia tidak mau”.
“Aku ingin membalas budi baik
kedua orang tuaku, moga moga mereka bisa berkumpul bareng dan aku sudi untuk
merawat dan membahagiakan mereka berdua. Ya keinginan ini masih menjadi ilusi”.
Aku terbang ke Padang . Aku sudah ditunggu oleh ibu dan
keponakankku di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang . Aku dan ibu sama- sama kangen apalagi
kami sudah 3 tahun tidak berjumpa. Juga
ibu tahu bahwa wilayahku di Jepang selamat dari hantaman tsunami saat menerjang
daerah Ibaraki .
Beberapa menit kemudian kami telah berada dalam kendaraan, kami segera menuju Lintau-
Batusangkar. Kami ngobrol tentang apa saja dari bandara hingga sampai ke rumah.
Malah setelah sampai di rumah kami masih
ngobrol hingga larut malam.
“Aku menjadi kurang tidur.
Sementara itu saat berada di Jepang aku juga kurang tidur. Jadi karena kurang
tidur aku merasa letih dan amat mengantuk. Malam itu jam 02.00 malam- dini
hari, aku belum bisa tidur, family- family masih bergembira dengan
kedatanganku- kami bernyanyi lewat karaoke. Aku menyanyikan lagu Jepang: Ai Tai
(ingin bertemu), Sayonara (sampai jumpa lagi), dan beberapa lagu Jepang yang
lain- aku lupa judul lagunya”.
Aku merasa senang banget bisa
tiba di Lintau- batusangkar lagi. Aku bahagia banget…tapi aku jadi termenung
karena merasa berbeda. Karena teman- teman seusiaku di Lintau semuanya sudah
pada menikah. Yang paling bahagia dengan kedatanganku adalah ibu. Ya persis sampai
di rumah, kami ditungu dan disuguhi makan malam yang enak, yang sudah lama
tidak aku rasakan selama di rantau orang.
“Aku disuguhi hidangan daging
dan juga ada jengkol. Namun aku memilih jengkol karena selama 3 tahun di negeri
sakura aku tidak pernah mencicipi jengkol. Saaat makan malam fikiranku tentang
Jepang terlintas lagi- Ai Shiteru Japan …..!!!!”
D. Indonesia Terlihat dari Osaka
Saat aku berada di Osaka / Jepang aku sering meneropng bagaimana bentuk tanah
airku- Indonesia .
Mungkin inilah yang dinamakan dengan renungan atau refleksi diri. Ya Indonesia dan
Jepang itu memang sangat jauh berbeda. Dari pengalaman hidup selama tinggal di sana , aku (kita) bisa menemukan
beberapa perbedaan orang orang kita dengan orang Jepang. Maaf….!!! Aku tidak
mengatakan tentang pribadi atau karakter orang Indonesia secara umum, tetapi
beberapa gelintir saja dari orang kita. Perbedaan tersebut antara lain:
1). Bila
berada dalam kendaraan umum: Orang Jepang terbiasa membaca
buku atau tidur,
sementara orang kita terbiasa dengan ngobrol, ngegosip,
ketawa-ketiwi cekikikan, ngelamun, grasak grusuk, dan tidur.
2). Bila
menikmati jajan atau makan di kendaraan
umum, maka: Orang Jepang terbiasa
menyimpan sampah atau sisa makanan ke
dalam saku celana atau dimasukkan ke dalam tas, kemudian baru dibuang setelah
nemui tong sampah. Sementara itu orang
kita dengan wajah tanpa dosa, sampah sisa makanan dibuang dengan rasa enteng (begitu saja) di kolong bangku/dilempar ke luar jendela.
3). Ketika belajar di kelas:
di ruang kelas Jepang yang kosong adalah bangku kuliah paling
belakang. Sementara di kelas
kita, yang kosong adalah bangku kuliah paling depan.
4). Bila dosen
memberikan kuliah: maka semua mahasiswa Jepang tenang (suasana sunyi
senyap) mendengarkan dengan
serius. Sementara mahasiswa di kampung kita
kebiasaanya tengok ke kiri, ada
yang ngobrol. Dan tengok ke kanan, ada yg baca komik.
Tengok ke belakang, pada tidur.
Cuman barisan depan saja yang agak
serius mendengar,
itu pun karena duduk persis di depan hidung dosen.
5). Kalau diberi tugas
oleh dosen: mahasiswa Jepang- hari itu juga membuat tugas. Siang/malam
akan langsung
menyerbu perpustakaan atau browsing internet buat mecari data. Sementara
sebahagian mahasiswa kita berprinsip bahwa kalau masih ada hari esok, ngapain
dikerjain hari ini!
6). Bila terlambat
masuk kelas: maka mahasiswa/ siswa Jepang akan memohon maaf sambil
membungkukkan badan 90 derajat,
dan menunjukkan ekspresi malu serta menyesal-
berjanji tidak akan mengulangi
lagi. Sementara sebahagian mahasiswa/ siswa kita akan
menyelonong saja masuk, mungkin
tanpa permisi ke dosen sama sekali.
7). Bila lagi
berkendaraan di jalan raya: maka di Jepang mobil sangat jarang terlihat- kecuali
di
8). Ketika berjalan
dipagi hari: Orang Jepang terbiasa berjalan dengan langkah cepat, karena
khawatir
telat ke kantor/sekolah. Sementarakalau kita terbiasa berjalan santai saja,
karena atasan/ boss atau dosen juga ada yang datangnya telat.
9). Ketika membuang
sampah: orang Jepang terbiasa membuang sampah sesuai jenisnya-
sampah organik dibuang di
tempat sampah khusus organik, sampah anorganik dibuang di
tempat sampah anorganik. Kalau
bagi kita, mau sampah organic, anorganik, sampah
basah, semuanya tumplek jadi 1
dalam kantong plastik.
10). Bila pergi berangkat
kerja: maka orang Jepang terbiasa berangkat naik kereta/bus kota .
Mobil hanya
dipakai saat acara keluarga atau yang bersifat mendesak aja. Sebaliknya
sebagian orang kita merasa gengsi kalau naik angkot- transportasi publik.
11). Ketika ada acara rendesvouz (janjian untuk ketemu): maka
orang Jepang semuanya datang
tepat
pada jam yg disepakati. Sementara sebahagian orang kita salah satu pihak biasanya
ada kelamaan menunggu.
12). Selama jam kantor/
jam kerja: maka di Jepang jalan raya terlihat sepi, sementara bagi
kita-
ada saja oknum pakai seragam
yang keluyuran di mall-mall
Pengalaman di atas juga aku lihat
dengan mata- kepala sendiri, namun untuk lebih rinci bisa kita baca pada blog: Padamara-
bukan sekedar info tapi juga bermanfaat[1].
Anak
SD di Jepang, kalau pergi sekolah ya dibiasakan dengan jalan kaki meskipun itu dalam musim
dingin. Mereka pergi ke sekolah berjalan kaki dalam semua musim (summer, fall,
spring dan winter). Anak SMPnya baru pergi ke sekolah memakai sepeda.
Anak-
anak Jepang selalu memperhatikan perkiraan cuaca. Jadi kalau diperkirakan hujan
bakal turun di sore hari maka mereka sudah menyediakan payung atau jas hujan. Dengan
demikian siswanya membaya payung atau rain coat ke sekolah.
“Aku
nyatakan sekali lagi bahwa anak sekolah SMP di Jepang pergi sekolah dengan
sepeda bukan dengan sepeda motor matic. Sementara sepeda motor matik banyak
dipakai oleh bibi- bibi yang sudah berusia 60 tahun, bukan kendaraan buat anak
muda. Anak muda suka memakai sepeda motor gede seperti Harley Davidson atau
yang pake mobil”.
Saat
aku di Jepang aku sangat kangen dengan Indonesia , terutama kangen dengan
masakannya. Kalau aku lihat tentang waktu- kondisi cuaca ya lebih enak di Indonesia .
Apalagi untuk beribadah- waktu untuk sholat lebih mudah dikenal karena musim
kita tunggal yaitu summer atau musim
panas sepanjang tahun. Paling-paling kita membedakan hanya hujan atau kering
saja.
Di
Jepang untuk beribadah terasa nyaman juga. Apalagi negaranya tidak berisik dan
manusianya sangat toleran- menghargai eksistensi orang lain. Jadi di Jepang
tidak banyak yang mengusik. Di Indonesia banyak mesjid nah itulah yang membuat
aku rindu bila setiap waktu subuh datang. Aku rindu sholat subuh ke mesjid
kalau di Jepang- sedihnya…bahwa jarak mesjid dari asramaku ya jauh sekali. Kita
maklum karena Jepang bukan negara muslim, namun mereka menghormati orang muslim
dan semua agama.
“Aku
hanya sholat saja di rumah atau di tempat kerja. Selama musim dingin
ya…matahari cepat tenggelam- waktu sholat cepat masuk. Maka aku sering
melakukan sholat jamak zuhur- ashar dan magrib isya kalau lagi berpergian
antara rumah dan tempat kerja”.
Orang
Jepang dulunya beragama Shinto, namun sekarang banyak yang menjadi free-thinker
atau tidak memikirkan agama, namun ada juga yang memeluk agama lain dan juga
agama Islam. Di daerah Kobe aku lihat ada
mesjid, aku melihat mesjid yang jamaahnya banyak berwajah India , Pakistan ,Bangladesh dan
juga ada berwajah Jepang.
Orang
Jepang juga suka dengan Indonesia-
dengan alam dan budaya Indonesia .
Namun untuk makanan orang Jepang menghindari sebagian masakan Indonesia yang banyak
menggunakan santan dan minyak. Hidangan kita suka pake santan dan minyak. Katanya
bahwa minyak-makan bisa mengundang kecoa dan banyak mengkonsumsi minyak maka
usia bisa menjadi lebih pendek.
Hal
yang bagus dari Indonesia
saat aku di Jepang. Adalah tentang pemandangan alamnya. Indonesia
sangat bagus, apa saja yang ditanam bisa tumbuh. Di Jepang aku lihat dengan 4
musim dan dalam satu musim terlihat tanamannya juga bisa berbeda. Jadi mereka
menemukan kesulitan, sementara bagi kita di Indonesia dengan tanah nyang subur-
tanaman apa saja yang ditanam bisa tumbuh. Namun ini membuat kita lalai,
mungkin karena kita dimanja oleh alam. Di Jepang satu lahan kecil tanah…ya
mereka garap dengan intensif…menggunakan pupuk organic- pakai pupuk kandang.
Satu
lagi aku harus juga bisa menyenter kelebih bangasa kita- teman teman kita para
generasi muda. Aku membaca artikel yang ditulis oleh Radon Dhelika[2] yaitu tentang: kelebihan generasi muda Indonesia dari
Jepang. Tentu saja ini cuma datanya subjektif namun berguna untuk menambah ide-
ide dan juga buat menambah percaya diri bangsa kita. Kita bisa menyimpulkan
bahwa generasi muda Indonesia
punya beberapa keunggulan dibandingkan generasi muda Jepang. Apa saja?...ya
sebagai berikut:
1).
Bahasa Inggris
Untuk yang satu ini, tanpa data
pun bisa terbukti bahwa anak-anak muda Indonesia lebih bagus bahasa
Inggrisnya dibandingkan anak-anak muda Jepang. Kalaupun ingin dibuktikan,
mungkin bisa dengan sampling sederhana. Coba pilih secara acak 10 anak muda Indonesia di
bilangan Senayan dan 10 anak muda Jepang di daerah Shibuya. Terus ajak ngobrol
dengan bahasa Inggris. Perbedaannya akan jelas.
2).
Sifat petualang, berani mencoba hal baru
Karakter ini yang mungkin
sedikit banyak menjelaskan mengapa orang Jepang bahasa Inggrisnya agak kurang.
Walaupun mereka belajar banyak, tapi enggan untuk mempraktekkannya. Fakta
lainnya, jumlah mahasiswa Jepang di luar negeri cenderung menurun. Anak muda Jepang sekarang
semakin tidak berani mengambil tantangan- resiko. Sementara misalnya para alumni
ITB, UI dan sebagainya sekarang semakin banyak yang mencoba peluang kerja di
luar negeri, terutama Singapore .
Belum lagi kalau bicara jumlah mahasiswa Indonesia yang ingin lanjut studi
ke luar negeri.
3).
Jiwa entrepreneurship (jiwa wirausaha)
Memang benar bahwa banyak perusahaan Jepang adalah UKM, namun rasa-rasanya itu adalah kontribusi para
generasi terdahulu Jepang. Seperti kalau kita melihat daftar
perusahaan-perusahaan multinasional asal Jepang, memang ada sangat banyak, tapi
tidak ada yang berdiri setelah tahun 1946. Sedangkan raksasa-raksasa baru
seperti Google, Facebook, yang banyak membentuk ekonomi sekarang adalah generasi
1990-an. Apa artinya? Generasi muda Jepang sekarang tidak sekuat generasi orang
tuanya dalam hal wirausaha. Alhamdulillah mahasiswa Indonesia melulu berorientasi mencari pekerjaan setelah
lulus.
4).
Semangat berkontribusi
Seorang mahasiswa Indonesia di
universitas di Jepang, pernah berkisah tentang sensei-nya yang meminta semua
mahasiswa menuliskan cita-cita masing-masing saat usia 25. Sang sensei dibuat
tersentak dengan uraian singkat bahwa ia “ingin berkontribusi bagi bangsa”,
sesuatu yang menurutnya sudah sangat langka di generasi muda Jepang
sekarang.
Tiba-tiba saja kita teringat
dengan program Indonesia Mengajar. Barangkali kalau diceritakan akan membuat
sang sensei lebih terbelalak tak percaya. Memang tampaknya orang Indonesia cukup
menonjol dalam hal ini. Walaupun tak sedikit yang pesimistis dan apatis, tapi
sepanjang yang kita temui, masih lebih banyak anak-anak muda Indonesia yang
bergerak dan terus bergerak untuk bangsa. Ingin berkontribusi, walaupun kecil-
ya sebatas yang bisa dilakukan.