RETURN TO JAPAN
A. Kesempatan Terbang
Ke Jepang Lagi
Seperti judul
bab IV ini, Return to Japan- yang
berarti kesempatan bagiku untuk terbang ke Jepang Lagi. Kesempatan ini datang
secara tiba- tiba dan kesempatan memang datang satu kali dan harus kita ambil-
jangan disia-siakan.
Aku pulang dari
Jepang- setelah berada di sana selama 3 tahun- pada bulan November 2012. Aku
tidak pernah membayangkan kalau- kalau aku bisa balik lagi ke sana, dengan
alasan bahwa programku sudah habis dan biaya pesawat serta biaya hidup sangat
mahal. Namun aku memperoleh kesempatan untuk balik lagi buat beberapa minggu
saja dalam bulan Februari 2013.
Aku
bukan kangen balik ke Jepang- seolah-olah Jepang adalah tanah airku. Negara
yang lebih aku cintai tentu saja Indonesia. Aku ke sana ingin karena ada
kesempatan- aku senang ke sana karena terus terang negaranya bersih, tertib dan
aman. Segala sesuatu terlihat teratur.
Aku
memperoleh undangan dari Oonishinorio San, pemilik perusahaan tempat aku
bekerja sebelumnya. Dia mau datang ke Indonesia untuk suatu urusan. Jadi aku
datang menyusul dan berencana aku balik ke Indonesia bareng dengan rombongannya.
Singkat cerita saat aku tiba di sana aku diajak untuk jalan- jalan di seputar
daerah- tidak jauh dari Osaka- propinsinya Fukuyama.
“Kami
pergi ke pantai, menyaksikan dolphin, kami juga pergi ke kebun
binatang-menyaksikan panda”.
Osaka
sendiri adalah kota terbesar kedua di Jepang, dan merupakan terbesar diantara
Kansai Trio yaitu Osaka, Kobe dan Kyoto. Sejak jaman dahulu Osaka sudah
terkenal sebagai kota perdagangan dan transit. Sebagian orang memandang Osaka adalah kota yang membosankan, karena
kalau sebagai kota wisata, reputasi Osaka masih kalah jauh dibandingkan Tokyo.
Kota Osaka memang tidak memiliki banyak atraksi tetapi jika kita merencanakan berkunjung ke daerah Kansai maka
mau tidak mau kita harus lewat Osaka. Untuk itu tidak ada salahnya kita menyediakan
beberapa hari untuk menjelajah kota ini. Osaka juga mempunyai moto yaitu kuidaore
yang artinya kurang lebih “makanlah sampai puas”.
B.
Prosedur Ke Luar Negeri
Tiba-tiba
Oonishinorio San meneleponku dari Jepang. Ia mengundangku untuk bisa berkunjung
ke sana. sebagai Ia menjamin untuk akomodasiku disana. “Horeeee…..tentu aku merasa sangat
bahagia”. Aku harus mengurus prosedur
keberangkatan ke luar neger- aku mengurus visa kunjungan ke Jepang.
Terus terang aku belum
pernah pergi ke Medan- jadi aku tidak tahu daerah Medan sama sekali. Sebelumnya
yang mengurus perjalanan kami ke Jepang diatur oleh pihak pemerintah Kab. Tanah
Datar. Aku memberanikan diri untuk berangkat ke Medan. Untung aku punya paman
di sana. Maka aku harus berkunjung ke rumah paman terlebih dahulu. Aku berjumpa
paman dan bibi di Medan, namun aku
memutuskan untuk tinggal di penginapan (hotel).
Aku tidak bisa tidur
dengan nyaman hotel dengan pencahayaan agak remang- reman, aku punya kebiasaan
phobi kegelapaan- ingat dengan cerita kanak- kanak- cerita tentang hantu atau
makhluk yang seram- seram. “Wah aku sudah dewasa…..hantu itu tidak
ada….kuntilanak itu hanya dongeng anak-anak” Aku harus mengalahkan ketakukan
ala anak- anak. Maka sekarang aku berpesan
pada semua orangtua bahwa anak- anak
tidak boleh disuguhi cerita seram- seram yang berlebihan karena dalam memori jangka panjangnya bisa tertanam ketakutan
tanpa alasan.
Aku
meninggalkan hotel lebih awal di pagi hari. Aku berjalan menuju Wisma BII di
jalan Diponegoro untuk mengurus visa.
Aku berjalan kaki sekitar 8 km dari Istana Maimun. Untuk wilayah Pulau Sumatera
Attase Budaya Jepang ada di Medan- di sana juga ada perpustakaan yang bisa kita
gunakan untuk mencari literature tentang Jepang.
“Konsulate
Jepang ada di Wisma BII lantai 5. Aku diberitahu tentang persyaratan pengurusan
visa: tiket pulang pergi, pas foto dengan latar belakang putih, fotocopy buku tabungan,
jaminan dari orang Jepang, tabungan, kartu keluarga, dan rencana perjalanan.
Kemudian aku juga harus mengisi formulir. Biaya pengurus visa Rp. 325 ribu.
Juga ada wawancara dengan orang Jepang dengan bahasa Jepang, yaitu tentang: apa
tujuannya, alasan dan berapa lama tinggal di Jepang.
Saat itu aku menunggu visa keluar selama 3 hari. Sambil
menunggu visa aku bisa jalan- jalan seperti ke dalam Istana Maimun, pergi
sholat ke Mesjid Raya Medan. Juga aku pergi untuk membaca literature tentang
negeri sakura di perpustakaan Konsulate Jepang”.
Selesai
pengurusan visa, aku kembali mengambil barang- barang ke penginapan dan menuju Bandara
Polonia Medan, untuk bisa terbang ke BIM Padang. Aku harus segera pulang ke
rumah- aku tidak punyabanyak waktu dan aku harus berkemas- kemas untuk menuju Jepang.
Aku
hanya punya satu hari saja di Lintau dan balik lagi ke Padang. Aku terbang dari
BIM Padang terus ke Kuala Lumpur dan Osaka. Kali ini aku juga terbang dari
Kuala Lumpur ke Osaka dengan Malaysia Airline. Terbang kali aku pergi
sendirian- jadi aku harus lebih berani.
C.
Terbang Sendirian
“Terbang
sendirian, berarti aku sudah berani dan sudah dewasa. Namun ada sedikit
problem, dari Padang aku membeli tiket
pesawat Air Asia. Aku baru tahu
kalau di Kuala Lumpur ada 2 Bandara: KL
(Kuala Lumpur) dan LCC. Sebenarnya aku harus pergi ke LCC bukan ke KL. Akibatnya
aku repot menuju bandara transit. Untung aku dibantu oleh seorang warga Australia untuk
menenteng koperku yang berat- mungkin ia
kasihan melihatku bertubuh mungil
dengan bagasi yang banyak. Ia adalah pelancong
Australia yang sama terbang denganku dari Padang menuju Kuala Lumpur dan kami
duduk bersebelahan”.
Kami
mendarat di Kuala Lumpur setelah terbang selama satu jam. Aku berencana untuk transit- karena aku beli
tiket Air Asia di Padang dengan rute Padang- Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur
Osaka. Terus terang aku tidak mengerti dengan bahasa Inggris. Aku jadi gelisah
karena pesawat yang bakalan aku ambil untuk transit ke Osaka sudah terbang. Aku
mohon bule Australia mengatakan ke pada petugas
bandara bahwa aku ketinggalan pesawat. Namun aku memang harus mengurus tiket baru lagi. Aku rugi-
kehilangan satu tiket pesawar Air Asia rute Malaysia- Jepang, sekitar Rp. 3 juta
dan aku ambil tiket baru dengan pesawat Malaysia Airlines.
“Idealnya
aku di Padang ngurus tiket ke biro penerbangan namun aku beli tiket secara
pribadi.Tiket yang baru lebih mahal ya harganya sekitar Rp. 6 juta atau 1.804
Ringgit. Usai ngurus tiket aku merasa capek dan lapar namun aku sulit untuk
melahap makanan- mungkin gara- gara stress lagi.Untung aku bawa duit ¥. 100.000.
Rencana aku bawa sejumlah uang demikian buat beli oleh- oleh bila pulang ke Indonesia,
karena biaya tiket sudah ada porsinya”.
Aku
punya pengalaman jelek namun tentu juga ada indahnya- yaitu adanya toleransi atau
kebersamaan bersama warga lintas bangsa- dengan orang Australia. Aku tidak
mengerti bahasa Inggris, namun untung aku punya buku electronic- frase Bahasa
Inggris dan Jepang: percakapan dalam perjalanan.
Sayang
kini aku lupa dengan nama pria Australia
yang baik itu. Saat itu aku harus
menjadi wanita yang tetap kuat dan
semangat. Oh ya aku masih ingat bahwa
aku dan bule itu juga satu taxi
saat mau pindah bandara- waaah ….. aku
kehabisan dollar namun masih punya mata uang Jepang. Maka aku
memberanikan diri untuk meminjam duit
dia sampai aku pergi ke money changer- aku turun taxi pergi dan langsung ke
money changer dan aku bayar utangku pada bule itu.
“Mengapa aku musti
memakai dollar…mengapa tidak memakai mata uang Rupiah, aku bangga lho punya
mata uang negara sendiri. Itulah aku berharap usaha pemerintah dalam kebijakan
denumerasi- pengurangan tiga nol mata Rupiah bisa bikin Rupiah menjadi mata
uang yang laku di Internasional- aku iri dengan ¥ (Yendaka), satu Yendaka (¥)
masih punya nilai di pasaran internasional. Sementara Rp 500 juga hampir tak
punya nilai lagi. Anak anak saja tak mau menerima uang Rp.500 sebagai
oleh-oleh, ia tahu nilainya amat kecil”.
Pernah suatu ketika
temanku orang Jepang bilang, “kalian kan punya mata uang sendiri, kenapa harus
membayar dengan dollar ? Seharusnya juga bisa bayar dengan uang sendiri.”
Aku tidak mengerti tentang moneter dan aku
tentu tidak bisa menjawab.Sebagai bangsa Indonesia aku jadi sedih dan malu. Di
Malaysia, saat aku beli tiket, ia tidak mau terima dollar- ia hanya menerima
Ringgit- ia lebih mencintai mata uangnya sendiri.Apakah sikapku salah, aku
bukan pura-pura malu.
“Satu lagi adalah aku
bermimpi atau punya keinginan untuk melihat Indonesia yang bersih. Kadang aku
berfikir- andai aku sebagai penanggung jawab kebersihan di negeriku, biarlah
aku terjun langsung untuk memungut sampah dari bumi Indonesia yang tercinta.
Andai aku punya lahan di sebuah kota- aku akan menggunakan lahan tersebut untuk
menampung sampah dan aku ingin mengolah sampah dengan dibantu warga lokal
seperti negara maju (Jepang) mendaur ulang sampah tersebut. Kalau sampah bersih
maka tata ruang kota akan tampak semakin berseri”.
Namun mimpi yang sedang
aku wujudkan sekarang adalah bahwa kami sedang mendirikan lembaga bahasa
Mandarin dan Jepang di Lampung. Kami ingin mengelolanya dengan memadukan system
pengelolaan kebersihan lingkungan, dimana anak- anak/ para remaja yang belajar bahasa asing juga harus
belajar tentang budaya bersih. Jadi kita hidup jangan sembrono saja.
Aku
seharusnya sudah terbang ke Jepang jam 03.00 sore, namun karena ada problem
maka harus menunggu terbang jam 12.00 malam. Akhirnya aku bisajuga terbang malam itu dan di sebelahku duduk
orang Jepang asal Kobe. Aku merasa senang karena kami bisa ngobrol dalam bahasa Jepang. Aku
juga menceritakan pengalaman indahku yang terjadi hari itu. Nama orang Jepang
itu Yosida San. Sangat mudah bagiku untuk mengingat nama orang Jepang daripada
nama orang Australia- mungkin Bahasa Jepang sudah menjadi bahasa keduaku.
Percaya
diriku menggunakan bahasa Jepang dengan orang asli Jepang tumbuh lagi. Aku
menceritakan padanya bahwa aku sebelumnya pernah di Jepang dan bekerja di
perusahaan pertanian. Teman warga Jepang itu (Yosida San) juga mengatakan bahwa ia pergi ke Malaysia
untuk berlibur- menghindari musim dingin yang sangat ektsrim di Jepang. Dia
mengatakan tidak terlalu suka dengan musim dingin.
Yosida
belum pernah ke Indonesia- namun aku juga
sempat menceritakan tentang budaya dan iklim di Indonesia. Aku menganjurkan
agar lain waktu ia juga berlibur ke Indonesia. Apalagi jarak Indonesia dan
Malaysia hanya 45 menit saja.
Aku
pengen tahu tentang beberapa profesi yang banyak digeluti oleh orang Jepang. Yosida
itu kayaknya seorang guru atau mungkin seorang petugas konseling. Yang aku
tangkap dari percakapan kami bahwa ia juga tahu dengan psikologi. Yosida punya
anak dan juga istri yang menetap di kota Kobe. Terbang kali ini aku bisa tidur
pulas dalam pesawat dan itu akibat kelelahan pada siang sebelumnya.
Aku
akhirnya sampai di bandara Osaka- saat
itu sudah pagi. Aku beradaptasi dengan cuaca Jepang yang dinginnya sangat
menusuk. Waktu itu aku sedikit kurang sehat- aku mungkin masuk angin. Suaraku agak
serak dan malah cenderung hilang.
Betul bahwa aku kayak
bermimpi lagi karena bisa tiba lagi di bandara Osaka. Aku tidak ada berfikir
untuk terbang ke sana buat kedua kalinya. Ternyata aku bisa terbang dalam
kesempatan lain dan melalui cara yang lain.
Kedatangan
aku pertama kali ke Jepang pada bulan November- di musim gugur dan kedatangan
yang ke dua ini dalam bulan Februari- musim dingin. Aku melihat ada
perbedaannya. Dalam musim gugur udara sudah terasa dingin namun banyak angin,
dan kedatanganku dalam musim dingin udara
terasa dingin yang ekstrim. Salju pada turun dan suhu sampai minus
dibawah titik nol. “Bapak Yosida mengatakan padaku bahwa kedatanganku ke Osaka
pada musim dingin yang paling dingin”.
D.
Kedatangan penuh Kejutan- Surprised Arrival.
Aku turun pesawat dan aku
dijemput oleh Oonishinorio San di Bandara Osaka. Bersama bus Oonishinorio San juga ada teman- teman satu perusahaan dan
mereka tidak tahu kalau aku datang lagi. Jadi mereka surprised dan merasa nggak percaya kalau yang datang itu aku.
Apalagi Oonishinorio San juga tidak bilang pada mereka tentang
kedatanganku.
Memang bahwa kedatanganku
ke Jepang tanpa memberi tahu teman-teman
….ya untuk kejutan. Suasana bandara dan kota Osaka di musim dingin tetap ramai, yang membedakan
hanya suasana pakaian saja. Saat aku datang bertepatan dengan musim libur- aku
melihat yang banyak yang berkunjung di Osaka adalah orang- orang China, aku
tahu dari bahasa mereka dan juga wajah mereka.
Sekedar bagi- bagi
rahasia saja tentang bagaimana beda wajah orang China dan Jepang (?). Orang Jepang cenderung memiliki
struktur wajah oval bermata besar dan hidung yang lebih jelas. Wanita Jepang
sering memakai make-up tebal
memberikan kesan warna kulit putih pucat.
Sementara orang China cenderung memiliki wajah bulat daripada orang
Korea dan Jepang. China adalah negara dengan multi-etnis besar, tidak seperti
Korea dan Jepang (yang punya etnis lebih
homogen) sehingga lebih sulit untuk membedakan atau mengeneralisasi.
Saat datang di musim
dingin, kegiatan orang di perusahaan pertanian tetap berjalan- aktivitas tetap
berjalan. Kalau mereka beraktivitas di luar maka mereka harus memakai baju
berlapis- lapis. Bisa 4 lapis atau 5 lapis, tidak cukup hanya dengan satu helai
baju tebal saja. Kedatangan kali kedua aku masih menginap di daerah Onohara-
propinsi Kagawa-Ke, Kecamatan Kawaninggishi. Jaraknya 3 jam naik mobil dari
Osaka.
Kota Osaka adalah kota
pantai- terlihat banyak pemandangan laut. Sementara daerah tempat kami menginap di daerah dataran tinggi dan
daerah pertanian. Disana kita melihat perbukitan, pergunungan dan kebuh sayur
yang luas dan modern. Daerah desa sama bersihnya dengan daerah perkotaan- jadi
manajemen tata ruang sudah tersebar dari kota hingga ke desa.
Begitu berjumpa dengan
teman lama di asrama, spontan saja kami berbincang- bincang tentang pengalaman
masa lalu. Aku juga bertanya tentang suka dukanya sejak aku tinggalkan. Beberapa
senior datang padaku dan mereka melaporkan tentang masalah yang mereka hadapi.
Namun aku katakan pada mereka bahwa aku datang bukan sebagai karyawan lagi,
tetapi datang kali ini sebagai turis Indonesia yang berkunjung ke Jepang. Namun
mereka tampak tidak percaya- mereka menduga kalau aku memperoleh perpanjangan
kerja disana lagi. Dan mereka membutuhkan aku sebagai kakak senior buat curhat.
Tampaknya mereka selalu butuh teman curhat di saat suka dan duka.
Akhirnya teman- temanku jadi kaget semuan. Malah saat kunjungan singkat
terebut aku sempat diminta untuk mewawancarai karyawan. Dia asli orang Jepang
yang ingin memperpanjang masa kontraknya. Meskipun aku orang Indonesia dan
berpendidikan rendah- hanya SMA saja- namun mereka menghargaiku. Dimata atasan
perusahaan bahwa mungkin aku memiliki kualitas. Mereka tidak melihat ijazahku tetapi melihat
pengalaman lapanganku.
Aku saat mewawancarai
dia, bahasa Jepangku agak terbata- bata tidak sebagus bahasa Jepang asli Orang
Jepang. Namun ingat dengan perkataan guruku di Batusangkar bahwa di mata orang
Jepang asli…bahasa Jepangku yang patah-patah enak untuk didengar. Ya ibarat
kita mendengar orang asing menggunakan bahasa Indonesia. Pantas saat aku
ngomong Jepang mereka mendengarku dengan
tenang.
Ada yang mengatakan
bahwa meskipun aku hanya tamatan SMA- sebagai pendidikan formal- namun
wawasanku sama dengan tamatan Universitas, malah seolah-olah aku adalah tamatan
pascasarjana. Alasannya aku bisa mengambil keputusan- juga lancar berkomunikasi
menurut ukuran warga non-Jepang.
Katamereka bahwa aku punya wawasan dan
punya percaya diri- ya mungkin itu berkat pengalaman dan tuntutan hiduplah yang
membuat aku lebih dewasa- Alhamdulillah….!!!
Terus terang bahwa
sebenarnya aku juga banyak belajar dari Sacho- pemilik perusahaan pertanian-
Jepang. Dia idolaku dan aku tahu bahwa dia juga tidak kuliah (tidak tamat universitas).
Ia juga tamat SMA namun ia memiliki semangat sukses yang tinggi. Dia berprinsip
bahwa dia tidak mau kalah dan selalu
ingin menjadi nomor satu dalam menyelesaikan pekerjaan yang berkualitas. Walaupun
Sacho sudah berusia separo baya dan kadang-
kadang terlihat lelah namun ia tidak mau mengatakan “Aku tidak bisa….!!!” Ia secara tidak langsung punya motto: the
nature is the teacher atau alam takambang jadi guru.
Aku masih ingat saat ia
menjemputku ke bandara dan aku duduk di depan bersebelahan dengan Sacho. Kami sempat
bercerita sepanjang jalan tentang berbagai hal. Aku juga menceritakan bahwa aku
sedang menulis buku. Ya buku yang sedang and abaca ini. Yaitu tentang kisah hidup dan perjalananku selama di
Jepang. Ia bertanya tentang apa judul buku dan gambar apa di depannya (?).
Judulnya mungkin tentang True Story-
menimba motivasi di negeri Jepang.
Aku merasakan beda kedatanganku ke Jepang kali ini. Saat datang pertama kali
aku butuh energi yang besar untuk
beradaptasi. Saat itu aku juga mengalami cultural shock (kejutan budaya) tentang Jepang. Kedatanganku yang ke-dua, aku merasakan sudah penuh kemudahan- aku tidak mengalami kekagetan
budaya….aku datang karena diundang, mungkin aku orang VIP (Very important person…ha..ha), dan juga kedatanganku penuh
surprised.
“Kedatangan ya petama
aku banyak merasakan khawatir…kedatangan yang kedua aku merasa enjoy”
Yang membuat aku
khawatir saat datang pertama adalah tentang makanannya. Sebagai orang muslim
tentu kami berpantangan untuk makan babi. Babi itu haram, sementara dimana-
mana di Jepang aku temui betaburan makanan mengandung babi. Namun untuk datang
yang ke dua aku sudah tahu banyak cara mengatasi
permasalahan hidup/ makanan. Bedanya hanya aku kaget dengan beda cuaca yang
sangat kontra antara Indonesia dan Jepang. Sekarang kalau aku pergi ke
restaurant aku perlu membaca dan mengenal kanji untuk nama babi: sosis, ham dan
pig.
Rata rata kalau kita
makan mie di Jepang, diperkirakan ada unsur babi- paling kurang mengandung
minyak babi. Tetapi kalau Sacho yang mengajak kami makan, maka ia akan mengatakan tentang “some do’s dan some don’t’s” - yang boleh dan yang tidak boleh- tentang
makan bagi orang Islam. Satu lagi kedatanganku kedua ke Jepang, bahasa Jepangku
sudah semakin bagus.
E. Kehangatan
Persahabatan
Kualitas
persahabatan sangat penting- apalagi saat kita berada jauh di rantau orang.
Sahabat bisa menjadi obat bagi kesehatan
jiwa kita. Aku merasakan hal yang demikian. Saat kita lagi dilanda galau, saat
kita diterpa rasa duka maka kehangatan pergaulan sangat berarti. Dimana kita
bisa mengadukan keluh- kesah perasaan pada teman, maka ini bisa menjadi sitawa
sidingin- pelipur lara bagi kita.
Aku
merasa surprised bisa datang ke
Jepang lagi dan aku sengaja tidak memberitahu kedatanganku pada teman-teman dan
mantan atasanku yang aku anggap sebegai teman di Kagawa- Oonishinorio San yang
mengundangku- juga demikian. Dia juga tidak menginformasikan kedatanganku pada
teman lain. Kami khawatir kalau kosentrasi kerja mereka terganggu oleh kedatanganku. Junior- juniorku yang
berada di asrama juga tidak tahu kalau- kalau aku datang. Mereka tahu bahwa aku
di Jepang saat aku mampir ke asrama mereka. Mereka marah semuanya:
“Kenapa
kak Sefrita (Kak Oshin) sudah 2 minggu berada Di Jepang tak bilang- bilang, Kak
Oshin sudah sombong sekarang. Kenapa Kak Oshin bisa ke sini lagi ?” Gerundel
mereka ramai- ramai.
“Aku
datang ke sini karena diundang oleh perusahaan jadi aku nggak bisa keluar atau
berkunjung seenak dewe. Aku tidak bisa keluyuran untuk datang ke sini semau gue
saja. Kalau aku ke luar aku harus minta izin pada Oonishinorio San - karena aku
selama di Jepang berada pada tanggung jawab dia. Aku tidak punyaKTP- kecuali
hanya passport. Kalau kemana-mana dan
terjadi accident maka tentu tanggung
jawab beliau”. Aku menjelaskan agak detail.
Kunjungan
ke Jepang yang ke dua kali sangat mengesankan bagi persahabatan kami. Begitu
sampai di Jepang aku diajak makan bersama oleh perusahaan, aku berjumpa teman
dan aku sengaja membawakan oleh- oleh buat mereka. Oleh-oleh yang aku
bawa bisa membuat mereka jadi kangen pada tanah air. Aku bawakan mereka “randang talua (rendang telur), kerupuk
ikan dari Lampung, kerupuk pisang khas Lampung, pisang coklat, kerupuk sanjay,
batiah” dan juga aku bawakan mereka baju kaus dengan merek Jepang yang aku
pesan khusus buat mereka sejak dari Batusangkar.
Oleh-
oleh tersebut aku persiapkan buat orang Indonesia dan juga orang Jepang. Oleh-
oleh penganan yang aku bawa membuat orang Indonesia dan juga orang Jepang
teringat dengan Indonesia- Batusangkar, Padang dan Bukittinggi. Jadi mereka
makan dengan feeling atau emosi
mereka.
Bagi
orang Jepang sendiri, mereka menyukai karupuak
balado (keripik balado). Meskipun rasanya pedas- membuat mata berair, tetapi mereka berusaha untuk menikmatinya.
Apalagi di Jepang tidak ada singkong- jadi mereka sangat menyukai keripik
singkong balado- “Enaaak…..!!!” kata mereka.
“Mengapa
ya aku diundang oleh Sacho..dan mengapa aku seolah- olah menjadi penting di
matanya ?” Ya mungkin Sacho punya kesan positif dengan kinerjaku. Karena dulu
sebelum pergi kelapangan- dalam meeting- aku aktif berbagi ide dalam membuat
rencana kerja sebelum terjun ke lapangan. Jadi aku sering bertukar pikiran
dengan beliau.
Aku
dulu mengurus bidang pembibitan- aku harus tahu dengan kadar tanah dan kadar
suhunya. Aku rasanya sangat bersahabat dengan tanaman- maka saat beraktivitas aku
rasanya bercerita- cerita dengan tanaman tersebut, sehingga aku jadi tahu
banyak tentang pembibitan. Itu yang membuat
aku bisa menjelaskan proses pembibitan dan penanaman yang baik pada
teman- teman dan juga pada Sacho.
Dulu
saat ada kunjungan dari luar, aku pernah diminta oleh Sacho untuk jadi Host
(tuan rumah) untuk menjelaskan segala sesuatu
tentang pertanian: proses pembibitan, penanaman dan panen. Ada yang mengatakan bahwa
aku juga punya bakat sebagai leadership
buat para junior di perusahaan. Jadi alhamdulillah Sacho berkesan dengan kemampuanku.
“Bakatku
apakah sebagai leader atau konsultan
buat para junior tidak pernah aku ketahui. Mungkin bakat ini muncul mengalir
bersama waktu. Jadi saat aku mengajar atau menjelaskan prosedur pertanian pada
junior aku jelaskan dengan tenang- tanpa pernah emosional. Kalau kita berkata
dengan nada tinggi atau marah, tentu orang yang mendengar bakal jadi mendongkol
dan merasa kurang enak. Karakter junior bermacam- macam, ada yang butuh
ditegur/ dimarahi, ada yang butuh diberi warning
agar bekerja, ada yang butuh kelembutan baru berbuat/ bekerja".
Bakat
leadership kita juga bisa muncul dan berkembang melalui aktivitas yang kita
lakukan. Aku sendiri dulu aktif dalam kegiatan pramuka, karena pramuka membuat
kita mandiri, percaya diri dan berani serta beranggung jawab. Tamat SMA jiwa leadershipku menjadi tumbuh. Paling
kurang buat diri sendiri dan juga buat
memimpin adik- adik. Apalagi aku sadari aku tidak punya ayah, kami berasal dari
keluarga broken home, ya aku harus
menjadi leader.
Tamat
SMA aku tentu harus punya fikiran, punya visi untuk mengangkat harga diri. Aku tidak
mungkin bisa kuliah- karena tidak punya cukup uang. Solusinya aku harus
berfikir untuk mencari kerja. Ya itulah melalui perjuangan dan usaha hingga aku
sampai di Jepang. Leadershipku juga aku salurkan buat membimbing para junior
dalam bekerja di perusahaan.
Kehangatan
orang Jepang aku rasakan sama saja dengan orang kita. Kalau kita smart maka mereka (Jepang) juga ada yang smart dan kalau kita loyo maka mereka
juga ada yang loyo. Pekerja asal Indonesia juga bekerja dengan semangat tinggi.
Semangat atau tidak tentu saja tergantung suasana hati atau motivasi.
F.
Plus Minus Orang Jepang dan Orang Kita
Teman-
temanku di kampung (Batusangkar) sering
bertanya: Apa sih beda orang Jepang dan orang Indonesia (?). Namun aku
cenderung mengatakan beda orang Jepang dengan orang kita atau pribadi kita
sendiri tentu saja. Misal dari segi parenting-
atau bagaimana menjadi orang tua yang ideal, bedanya cukup banyak.
“Apa beda parenting gaya orang Jepang dan parenting
gaya orang kita di negeri kita ? Jawabannya- banyak bedanya”. Kalau ada
sekumpulan anak Jepang dan sekumpulan anak anak kita yang jelas akan terlihat perrbedaan mereka. Beda yang
terlihat tentu dari sisi yang negatifnya dan tujuannya buat instropeksi bagi
kita. Anak-anak di Jepang, misalnya, mereka sangat well behaved- perangainya baik, sedang anak- anak kita banyak yang
berperilaku ala negara dunia ketiga. Misal anak kita suka mencoret- coret,
merusak fasilitas umum atau tawuran. Ngomong- ngomong mengapa hal ini bisa
terjadi? Penyebabnya adalah:
1)
Parenting orang kita bersifat permisif dan kurang disiplin.
Permisif maksudnya semuanya diperbolehkan, banyak
pemakluman. Sering orang tua berpendapat, toh masih anak-anak jadi maklum saja.
Anak-anak punya kecenderungan untuk mencoba melawan batas. Sebetulnya melarang
anak bukan menekan kreatifitas. Kreatifitas harus terus didukung, tetapi juga
harus pada tempatnya. Misal, anak suka bermain bola. Tentu saja mereka harus
bermain bola di lapangan bola. Bukan di sembarang tempat dalam ruangan sehingga
kaca- kaca bisa pecah.
2)
Anak diasuh pembantu (sebagian orang).
Pembantu tentu saja tidak
punya kekuasaan dan kemampuan untuk melarang dan mendidik. Dan banyak orang tua
yang merasa punya duit yang terlalu menyerahkan anaknya kepada pembantu karena
tidak ingin repot, tidak ingin diganggu waktunya sehingga anak kurang mendapat
perhatian dan pengawasan.
3)
Kurangnya empati dan budaya egosentris.
Sebahagian kita selalu
memikirkan diri sendiri terlebih dahulu, baru orang lain. Kita tidak peduli
jika kelakuan sang anak mengganggu hak orang lain.
4).
Miskin dengan pesan Karakter Positif
Kita lupa untuk melatih
dan membudayakan disiplin dan mudah lagi melanggar disiplin. Belajar untuk
bergantian dan bersabar terhadap mainan saja sulit dilakukan. Akibatnya anak-
anak kita terbiasa main rebut. Kata-kata “tolong, terima kasih dan maaf” pun jarang terucap dari mulut orang tua
sendiri.
5)
Pengaruh buruk media TV yang banyak menyiarkan kekerasan dan berita-berita
negatif.
Anak-anak cenderung
meniru apa yang mereka dengar dan lihat di televisi. TV kita menganut filsafat
“bad news is good news, jadi berita/
programnya banyak yang buruk”. Jika anak- anak terus menerus terpapar berita
kekerasan maka lambat laun mereka merasa bahwa kekerasan adalah hal yang lumrah
dan biasa bagi mereka.