Hatiku
Merasa Galau
Saat itu aku punya
kesempatan buat melakukan umroh ke tanah suci, namun mengapa hatiku masih
terasa galau selalu ? Mengapa tidak ada terniat olehku buat membersihkan hati
dan menenangkan jiwa. Mengapa aku terbius untuk beraktifitas kurang serius dalam suasana hati
yang galau dan mengapa saat itu aku merasa usiaku ibarat seorang pemuda, bukan
malah sebagai seorang tua ??
Galau
adalah istilah orang sekarang,
yaitu suasana hati yang sangat tidak menentu. Ya memang suasana itu
hatiku memang galau dan sangat
hampa. Aku sangat tidak menerima keberadaan diri, benci melihat kulit yang sedikit mengering dan kulit
agak keriput. Aku belum siap untuk menjadi tumbuh tua.
Pada hal menjadi tua
itu adalah kodrat Ilahi dan tua atau muda itu adalah alami. Tua itu nggak bisa ditahan, ada orang berumur tua namun
terlihat muda, ahhh itu hanya kamuflase sesat. Aku berada dalam dunia
kamuflase. Semua orang tumbuh tua serentak di seluruh dunia. Teman
temanku yang seangkatan denganku, yang waktu dulu sama-sama sekolah di SMA- sama sama berusia remaja- dan kemudian sama sama kuliah di perguruan tinggi ternyata juga
serentak terlihat tua. Bedanya aku
belum siap jadi tua dan mereka tidak mempermasalahkan untuk jadi tua. Mereka
malah terlihat masih gembira dan menerima diri.
“Ya,
namun sekali lagi aku malah menolah
takdir buat menjadi tua”.
Dalam
kondisi hati yang masih galau
aku harus mnenerima telepon
agar segera merespon jatah reward yang aku sebagai guru terbaik nasional. Reward itu disediakan oleh Pemerintah Sumatera
Barat dengan anggaran
sebanyak Rp. 34 juta.
“Pemerintah
memberi penghargaan
buat warga yang berprestasi untuk menunaikan haji ke Mekkah”. Tahun lalu aku sempat menang sebagai guru terbaik di
Indonesia dan saat itu kondisi jiwa (hati) masih stabil. Aku belum merasa resah
dan aku belum dilanda rasa galau.
Tiba- tiba aku ditelpon oleh kepala
sekolah. Karena pihak Dinas Pendidikan Sumatera Barat harus mencair dana
anggaran buatku dalam bentuk
dana haji. Karena kuota haji itu sekarang terbatas, karena terjadi peluasan
pekerjaan lokasi Masjidil Haram. Gantinya aku diberi kesempatan untuk
menunaikan “Umroh Plus”.
“Ayoo
respon segera, dan setelah anda menunaikan ibadah Umroh maka anda punya kesempatan mengunjungi tempat
wisata religi seperti ke Jerusalem, Turki, dan Mesir “.
Pihak
Dinas Pendidikan Propinsi nggak bisa mengontak nomor HP ku, ya karena kartu HP
aku ganti dengan kartu “three” buat internetan. Aku terlihat internetan maniak
kayak ABG (anak baru gede) di usia yang ku yang juga sudah punya dua anak ABG.
Namun kami seolah olah berlomba menggunakan internet, terutama berselancar.
“Haaa
aku rajin update status pada Facebook. Kadang aku update hampir tiap jam. Aku
sendiri jadi ketagihan dengan internetan dan terlihat melupakan keluarga- istri
dan anak anak ku. Aku yang biasanya suka memanjakan keluarga sekarang hilang
tiba- tiba. Apa aku berubah ?
Entahlah aku nggak lelah dan aku nggak tahu.
Tentu
saja aku nggak bisa berhubungan dengan Dinas Pendidikan untuk pencairan dana
buat Umroh Plus. Wah aku merasa gembira. Dalam fikiran galauku, saat itu aku
mau pergi tour, pergi berlibur dengan hati besar, hati ceria sama cerianya
dengan hati anak Sekolah Dasar yang memperoleh
penghargaan. Hati galauku lupa bahwa pergi Umroh seharusnya buat pergi
beribadah.
“Kamu pergi umroh buat
beribadah..bukan buat pergi tour”. Ada puluhan ucapan selamat dan nasehat yang
aku terima. Aku menganggap sepi semua nasehat yang bernada mengguruiku.
Aku
menuju Padang dengan perasaan seorang remaja. Haa ha...usiaku
sudah jauh bdi atas 40-an namu telingaku juga terselip
dengan head set. Aku lagi dilanda
hati yang galau, yaiyu hati yang kesepian. Maka aku lagi getol mendengar lagu- lagu cinta. Tetapi
aku nggak tahu kepada siapa arah cinta itu aku tujukan.
“Seharusnya pesan dan rasa cinta aku tujukan buat
kedua anakku dan istriku. Tetapi saat itu rasa cinta yang mengambang saja. Aku mungkin ibarat selebriti dan aku senang dipuja,
haaaaa.....!!!! Hatiku
galau sendiri dan aku merasa sedih tak menentu. Rasa hatiku dan lagu yang
sedang aku dengar aku tulis dalam status di facebook.
“Sedang mendengar lagu Celindione, sedang mendengar lagu Rossa..dan seterusnya”. Haaa jiwaku masih remaja, ya remaja taraf ke dua. Status seperti ini seharusnya ditulis
oleh ABG yang betul-betul
berusia belasan maka itu baru normal. Namun status yang
demikian ditulis oleh seorang pria yang berumur separoh baya yang lagi
terbang di atas awang-awang, yaitu aku sendiri.
Tentu saja satu dua
orang sahabatku dari dunia nyata dan
juga sahabat di Facebook menegur aku dan mengingatkan aku dengan santun, lewat
inbox:
“Maaf
Pak guru, usia kita sudah sama-sama tua dan Pak guru sendiri
kan
mau pergi Umroh,
menuju ke Tanah Suci, itu bukan buat pergi
jalan-jalan. Pak guru niatnya harus dibetulkan, bukan buat pergi tour namun buat pergi mendekatkan diri
pada Allah”. Aku merasa benar
sendirian. Aku jadi mudah naik pitam. Aku jadi emosian.
“Wah
kamu mencampuri pribadiku. Aku tahu kok pergi Umroh buat mendekatkan diri pada
Tuhan.. Memangnya aku orang sesat dan kamu orang bersih dan suci”. Itu beberapa kalimat protes, meski protes tersebut tidak aku suarakan atau tidak aku tulis. Malah yang keterlaluan memberi aku nasehat,
aku delete mereka dari pertemananku di Face Book.
“Ya
Allah aku sekarang merasa sedih, dan aku menyesal telah mendelete mereka dari pertemanan di jejaring
sosial”. Moga moga mereka sekarang tetap berbaik sangka padaku, memaafkan aku dan mendoakan aku agar aku bisa bangkit
dari kegalauian hati yang muncul secara
pelan-pelan.
Aku
terus menuju Travel Biro Armindo Jaya Tur di Padang. Keberangkatan aku ke Tanah suci digabungkan dengan jemaah umum. Kalau mereka berangkat dengan bayaran secara pribadi, sementara aku berangkat dibayarkan oleh
pemerintah Propinsi Sumatera Barat. Aku saat itu terlihat
gagah dan muda karena penampilanku sudah dipoles. Sementara orang orang yang
seusiaku terlihat sangat tua dan aku terlihat sangat muda.
“Bedanya
ada, meski mereka terlihat sudah tua, namun mereka sangat bergembira dan aku terlihat masih muda, karena dipoles dengan penampilan
muda, namun aku merasa
agak beduka- merasa galau dan tidak menentu- atau aku merasa gembira yang penuh dengan senyum palsu”. Saat mengikuti kegiatan manasik umroh aku ikuti juga dengan perasaan separoh hati.
“Mengapa
aku merasa nggak
bersemangat, berarti aku nggak bersyukur. Aku lupa dengan janji Allah: Kalau kamu bersyukur, nikmatKu akan Aku tambah dan bila kamu
kufur atau lupa maka kamu akan memperoleh azab atau cobaan”. Aku tahu dengan ayat ini, namun saat itu
aku lupa. Ya namanya sedang lupa
diri- karena dilanda krisis
kehilangan identitas diri, dimana aku nggak mau terlihat jadi tua .
Dalam
manasik umroh itu ada banyak hal yang aku peroleh, ya seperti apa beda Umroh
dengan Haji. Kemudian kami diberi
tahu tentang perbedaan geografi antara
Indonesia
dan geografi Timur Tengah.
Kami juga diberi tahu tentang:
“Some
do’s dan some dont’s-
atau beberapa hal yang dibolehkan dan hal-hal lain yang dilarang ”. Karena aku
sudah membaca banyak buku,
aku sudah membaca ratusan buku, maka aku merasa sudah sangat tahu- perasaan seperti ini tidak boleh muncul.
Para peserta umroh yang satu rombongan
denganku semua terlihat
sangat khusyuk dan bersykur
mengikuti kegiatan manasik umroh. Mereka bersyukur atas
kesehatan yang mereka peroleh dan juga atas dana umroh yang mereka bayarkan- lewat tabungan mereka.
Ya mungkin mereka dengan susah payah
menabung uang buat pergi Umroh. Pada mulanya ada yang ingin pergi haji, namun kuota haji
memang sudah penuh
dan mereka harus menunggu bertahun-tahun.
“Mereka
merasa sudah tua dan khawatir tidak akan sempat melihat
baitullah, ya karena
merasa umur sudah tua dan mau mati maka mereka cukup merasa puas dengan hanya
pergi umroh saja”. Itupun
juga termasuk memenuhi panggilan Illahi. Bagaimana denganku ?
Aku
merasa bahwa hidupku ini selalu penuh dengan kebetulan. Seharusnya aku nggak
boleh begitu, hidup ini sudah ada
takdirnya dan sudah ada rancangan dari Allah. Mungkin aku berfikir demikian
karena aku orangnya nggak begitu berambisi.
Diberi jabatan....ya syukur dan
kalau nggak
diberi juga nggak jadi masalah, lagi pula pada saat itu “mungkin” aku merasa kurang bersyukur pada Allah.
Sebenarnya aku beberapa tahun yang lalu memang pernah
bisa memperoleh kesempatan buat pergi studi ke luar negeri karena, persyaratan bahwa kesempatan buat guru senior akan
memperoleh kesempatan lebih dahulu. Dan saat itu umurku (posisiku) memang lebih senior daripada kolegaku. Namun ada juniorku lebih cerdas membikin
pendekatan
yang lebih bagus pada pihak stake-holder (pengambil kebijakan) maka
dialah yang ternyata bisa pergi.
“Ya
ropopo- ngak apa apa !!” Dan aku tidak merasa bersedih, bagitu nggak bisa pergi ke luar
negeri ya tidak jadi masalah. Aku berfikiran positif- kalau sekarang nggak bisa,
mungkin nanti aku punya kesempatan.
Juga pernah dalam sebuah lomba karya tulis antar
guru di Kabupatenku,
malah para pesaingku ramai-ramai datang ke rumahku menanyakan bagaimana tata
cara menulis karya ilmiah
yang baik. Dengan
senang hati aku jelasin dan juga aku buatkan sebahagian untuk mereka. Al-hasil dalam kompetisi karya tulis mereka
menjadi menang dan aku jadi kalah, namun tetap tidak jadi masalah bagiku.
Jadinya aku dikatakan sebagai orang “sebagai
orang sosial yang sial...haa haaa”. Yang jelas aku selalu coba untuk bersikap
ikhlas.
Mungkin ini adalah salah satu sisi
positif yang aku miliki dan
yang
perlu selalu aku miliki. Bila
aku memperoleh kesempatan ya aku syukuri, dan kalau tidak dapat kesempatan maka itu juga nggak masalah.