Otodidak Untuk Memacu Prestasi
Marjohan
Usman
Guru
SMAN 3 Batusangkar, West Sumatra Indonesia
phone:
085264340180
Bangsa
kita, Indonesia, sempat memiliki tokoh nasional yang cukup terkenal di dunia, mereka
adalah seperti Presiden Sukarno, Hamka, Haji Agus Salim, dan banyak lagi.
Bagaimana mereka bisa terkenal pada masa lalu, yaitu di era tahun 1950 hingga
tahun 1980-an ? Salah satu penyebabnya adalah karena mereka cukup memberi
pengaruh terhadap masyarakat di Indonesia dan di dunia. Pengaruh ini terbentuk
melalui cara berfikir mereka. Perlu kita pertanyakan bahwa mengapa mereka bisa
menjadi terkenal dan memberi pengaruh ke pada dunia, pada hal ditinjau dari
segi pendidikan bahwa pada masa itu Indonesia belum memiliki system pendidikan
yang bagus dan berkualitas, namun mereka bisa menjadi orang yang berpengaruh
melalui kualitas pribadi mereka yang mereka bentuk secara otodidak. Memang
betul bahwa belajar secara otodidak bisa mengubah dunia.
Otodidak
atau autodidak (dari bahasa Yunani, autodídaktos bearti "belajar sendiri") merupakan orang yang tanpa
bantuan guru atau pembimbing bisa mendapatkan banyak pengetahuan dan dasar empiris
yang besar dalam bidang tertentu. Mereka mendapatkan pengetahuan tersebut
dengan belajar sendiri. Yang menariknya dari orang otodidak,
karena mereka mampu mempelajari sesuatu dengan baik dan dibarengi oleh
prakteknya, sebagian dari mereka mampu mengungguli kemampuan orang yang belajar
ilmu yang sama dengan cara dibimbing.
Indonesia termasuk
kategori negara baru di dunia, karena muncul dan resminya terbentuk di tahun
1945. Sebelumnya Indonesia yang juga disebut dengan Nusantara terdiri dari
beberapa Kerajaan yang makin lama makin lemah karena mereka tidak memiliki
system pertahanan dan militer yang memadai akhirnya dengan mudah dikuasai dan
ditaklukan oleh bangsa Eropa terutamanya Belanda. Namun pada masa penjajahan
juga muncul beberapa orang yang bisa menjadi tokoh dan berpengaruh. Mereka
menempa diri mereka melalui belajar di sekolah yang di bentuk oleh Penjajahan
Belanda atau sekolah yang dibentuk oleh masyarakat local, mungkin berbentuk
pesantren dan dengan fasilitas yang sangat minim. Namun usaha belajar secara
otodidak telah mengantarkan mereka menjadi orang hebat di dunia, sebut saja
seperti beberapa tokoh nasional kita, Muhammad Natsir, Sukarno, Buya Hamka,
Haji agus Salim, Raden Ajeng Kartini, dan Lain- lain.
Beberapa kisah tokoh
yang menjadi berpengaruh secara otodidak perlu saya paparkan agar bisa memberi
motivasi bagi pembaca buku ini. Bagi pembaca yang sedang menuntun ilmu dan juga
yang mungkin tidak lagi mengenyam pendidikan di bangku sekolah, yang tidak
punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah entah karena
hambatan financial atau lainnya, bahwa untuk menjadi sukses dan mengubah dunia
bisa kita lakukan dengan belajar secara otodidak.
1. Otodidak Presiden Sukarno
Semua orang yakin bahwa belajar adalah cara yang jitu untuk mengubah
hidup. Belajar mengubah seseorang menjadi lebih cerdas dan lebih berkualitas.
Belajar bisa membuat seseorang menjadi kaya dalam pengalaman atau dalam
finansial. Oleh karena itu banyak orang memandang belajar sebagai investasi
untuk meraih masa depan.
Belajar dengan sarana lengkap dan moderen bisa membuat
seseorang jadi sukses, itu adalah hal yang biasa. Namun belajar dengan suasana
bersahaja, dukungan lingkungan juga bersahaja namun oleh prakarsa dan proses
kreatifitas yang dilakukan hingga menghasilkan kesuksesan yang luar biasa. Ini
baru namanya suatu hal yang hebat. Itulah yang dilakukan oleh tokoh tokoh hebat
dalam sejarah dunia, seperti Abraham Lincoln (presiden pertama Amerika
Serikat), Thomas Alfa Edison (penemu listrik), Albert Einstein (Ahli Fisika),
Bung Karno (Presiden pertama Indonesia), dan beberapa tokoh besar lainnya.
Mereka menjadi tokoh besar bukan diperoleh secara kebetulan, tetapi diperoleh
melalui proses kreatif yang selalu mereka lakukan, dan proses kreatif yang
sudah menjadi gaya hidup mereka.
Banyak pelajar sekarang yang belum mengenal bagaimana proses
belajar yang hebat itu. Paling sering mereka hanya terbiasa belajar karena
selalu diberi komando dalam belajar oleh orang tua dan guru. Atau mereka pergi
ke pusat Bimbel (bimbingan belajar) atau pergi belajar ke rumah guru agar jadi
pintar. Di pusat bimbinan belajar atau di rumah guru merekapun hanya sebatas
mengolah soal soal ujian matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa
Inggris, pokoknya pelajaran yang menjadi acuan dalam ujian nasional. Namun
apakah ini yang dinamakan sebagai proses belajar yang kreatif ?
Belajar sebagaimana yang digambarkan di atas baru hanya
sebahagian kecil dari proses belajar, hanya sekedar menguasai konsep, dan belum
lagi disebut sebagai belajar yang sejati. Untuk melakukan proses belajar yang
hakiki atau belajar yang sejati maka kita bisa mengambil cermin diri dari tokoh
sejarah, misal bagaimana Presiden Sukarno (Bung Karno) pada waktu kecil belajar
dan melakukan proses kreatifitas yang lain (?).
Membaca adalah kebiasaan positif yang selalu dilakukan Bung
Karno sejak kecil. Apa alasan mengapa Bung Karno harus gemar membaca, rajin
belajar dan belajar tentang segala sesuatu ?
Didorong oleh ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan
siswa-siswa bule, maka Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius dalam
belajar. Ketika belajar di HBS- Hoogere Burger School Surabaya, dari 300 murid yang ada dan hanya
20 murid saja yang pribumi (satu di antaranya adalah Bung Karno) yang sulit
menarik simpati teman-teman sekelas. Mereka memandang rendah kepada anak
pribumi sebagai anak kampungan. Namun Bung Karno adalah murid yang hebat
sehingga satu atau dua guru menaruh rasa simpati padanya.
Rasa simpati gurunya, membuat Bung Karno bisa memperoleh
fasilitas yang lebih untuk
“mengacak-acak atau memanfaatkan” perpustakaan dan membaca segala buku, baik
yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Umumnya buku ditulis dalam bahasa
Belanda. Problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya (membaca buku
yang ditulis dalam bahasa Belanda). Entah strategi apa yang ia peroleh secara
kebetulan, namun Bung Karno punya jalan pintas (cara cepat) dalam menguasai
bahasa Belanda. Bung karno menjadi akrab dengan noni Belanda sebagai
kekasihnya. Berkomunikasi langsung dalam bahasa asing (Bahasa Belanda) adalah
cara praktis untuk lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah
satu kekasih Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.
Dalam usia 16 tahun, Bung Karno fasih berbahasa dan membaca
dalam Bahasa Belanda. Ia sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di
antaranya dalah Thomas Jefferson dengan bukunya Declaration of Independence. Bung Karno muda, juga mengkaji
gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln, mereka
adalah tokoh hebat dari Amerika Serikat. Tokoh pemikir bangsa lain adalah
seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Bung Karno juga
mempelajari ‘Gerakan Buruh Inggris” dari tokoh-tokoh tadi. Bung Karno juga
membaca tentang Tokoh Italia, dan ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini,
Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Bung Karno bahkan sudah menelan
habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi,
menginspirasi Bung Karno muda untuk menjadi maju dan smart.
Penelusuran atas dokumen barang-barang milik Bung Karno di
Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat Negara yang ditemukan setelah
ia digulingkan. Dari ribuan item miliknya, hampir 70 persen adalah buku.
Sisanya adalah pakaian, lukisan, mata uang receh, dan pernak-pernik lainnya.
Harta Bung Karno yang terbesar memang buku.
Dari biografinya (Sukarno As
retold to Cindy Adams) diketahui bahwa betapa dalam setiap pengasingan
dirinya, baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu
kembali ke Jakarta, maka bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah
buku. Semua itu, belum termasuk buku-buku yang dirampas dan dimusnahkan
penguasa penjajah. Apa muara dari proses belajar sepanjang hidup yang sangat
kreatif adalah mengantarkan Bung Karno menjadi Presiden yang pernah memperoleh
26 gelar Doktor Honoris Causa. Jumlah
gelar doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC
yang rinciannya, 19 dari luar negeri, 7
dari dalam negeri. Ia memperoleh gelar doctor HC dari Far Eastern University,
Manila: Universias Gadjah Mada,
Yogyakarta: Universitas Berlin: Universitas Budapest: Institut Teknologi
Bandung: Universitas Al Azhar, Kairo: IAIN Jakarta: Universitas Muhammadiyah
Jakarta: dan universitas dari negaralain seperti Amerika Serikat, Kanada,
Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil,
Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.
Kemudian, bagaimana masa kecil dan proses kreatifitas Bung Karno yang lain? Agaknya Bung Karno
telah memiliki jiwa leadership
(kepemimpinan) sejak kecil, karena apa saja yang diperbuat Bung Karno kecil,
maka teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Bung Karno kecil,
maka teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Bung Karno
bahkan dijuluki “jago”. karena gayanya yang begitu “pe de”. Itu pula yang
mengakibatkan ia sering berkelahi dengan anak anak Belanda.
Ada satu karakter yang tidak berubah selama enam dasawarsa
kehidupannya. Salah satunya adalah karakter pemuja seni. Ekspresinya disalurkan
dengan cara mengumpulkan gambar bintang-bintang terkenal. Karena kecerdasan dan
keluasan wawasannya sejak kecil maka pada usia 12 tahun, Bung Karno sudah punya
gang (pasukan pengikut yang setia). Kalau Bung Karno bermain jangkrik di tengah
lapangan yang berdebu, segera teman temanya mengikuti. Kalau Karno diketahui
mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya. Kalau “gang” mereka bermain panjat pohon,
maka Bung Karno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh
Bung Karno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain. Dalam segala
hal, Bung Karno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasib Bung Karno adalah
untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan”.
Bung karno menganut ideologi ‘berdiri di atas kaki sendiri’.
Saat menjadi presiden Bung Karno dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan
negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan
bantuanmu. Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu.
Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi
bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI. Bung Karno juga memiliki slogan yang
kuat yaitu “gantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya
menuju kehidupan sejahtera, adil makmur”.
Bung Karno adalah juga orator Ulung. Gejala berbahasa Bung
Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang.
Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan
kepribadiannya dan latihan latihan berpidato yang ia lakukan. Ketika masih
belajar Bung Karno sering berlatih berpidato sendirian di depan kaca dan juga
berbicara di depan gang nya. Bung Karno
juga gemar menuliskan opini-opininya dalam bentuk artikel. Kumpulan tulisannya
dengan judul “Dibawah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh
dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno
sebagai Soekarno. Tulisanya yang lain dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme,
dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai
titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya.
Apa yang dapat kita jadikan I’tibar (pembelajaran) dari
uraian di atas (dari kehidupan Bung Karno) dan kita hubungkan dengan cara
belajar dan gaya hidupm kita ? Bahwa membaca adalah kebiasaan positif yang
perlu selalu dilakukan. Sebagaimana halnya Bung Karno membaca buku-buku
berbahasa asing (bahasa Belanda). Untuk membuat bahasa asingnya lancar adalah
dengan mempraktekan/menggunakan bahasa tersebut dengan orang yang mahir
(pribumi maupun orang asing). Setelah lancar berbahasa asing/ bahasa Belanda,
ia tidak cepat merasa puas dan berhenti belajar. Ia malah membaca biografi tokoh
tokoh besar di dunia dan juga buku buku berpengaruh di dunia sehingga ia
memiliki wawasan dan cara pandang yang luas.
Untuk menjadi sukses maka juga perlu punya prinsip hidup
“mandiri atau berdikari (berdiri pada kaki sendiri), jangan terlaku suka untuk
mencari bantuan. Kemudian juga penting untuk mengembangkan pergaulan/ teman
yang banyak untuk melakukan proses bertukar fikiran. Juga penting untuk melatih
jiwa pemimpin- bukan jiwa penurut, pasif atau pendengar abadi.
Selanjutnya bahwa juga penting mengembang
kemampuan berbicara/ berpidato lewat latihan sendiri dan berpidato didepan
kelompok. Kemampuan berbicara/ berpito perlu didukung oleh kemampun menulis,
karena membuat pidatio punya kharismatik an menarik. Ini dapat dikembankan
melalui latihan demi lathan. Untuk menjadi maju maka kita perlu pula memiliki
keterampilan berganda (menguasai seni, olah raga, dekat dengan Manusia dan
dengan Sang pencipta (Allah Azza Wajalla) serta mencari inspirasi dari tokoh
hebat. Maka salah satunya gaya belajar Bung Karno juga bisa menjadi inspirasi
bagi kita.
2. Otodidak Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini
lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan, masih
sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak
diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh
orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk menikah. Kartini kecil
sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena
takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan
buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya
di taman rumah yang ditemani Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada
hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada
kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu
menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan
berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia).
Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Indonesia. Perempuan tidak hanya
di dapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan
teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan
lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat
dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tidak berapa lama ia
menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk
belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang
didapatkan Kartini tidak sempat dimanfaatkannya karena ia dinikahkan oleh
orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut
suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk
mendirikan sekolah perempuan. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan
Sekolah Perempuan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon
dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.
Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati
keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17
september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia
melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon
memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini
pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot
Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Raden Ajeng Kartini
sudah lama meninggalkan kaumnya namun ide, fikiran dan cita-citanya tentu
selalu relevan dengan zaman sekarang. Namun bagaimana realita perempuan
sekarang kalau kita rujuk kepada pribadi Raden Ajeng Kartini ?.
Umumnya perempuan
sekarang memang sudah banyak yang memperoleh pendidikan. Ada yang memperoleh
emansipasi dan pendidikan tinggi. Namun sebahagian besar baru sebatas bisa
membaca (melek huruf) dan sebatas bisa berhitung (melek angka) dengan cita-cita
masih yang kerdil atau tidak memiliki cita-cita sama sekali, karena bingung
dengan kondisi masa depan. Pribadi mereka pun banyak yang masih rapuh- mudah
putus asa. Ada yang terlalu manja dan terlalu cengeng.
Beberapa karakter
mereka yang lain yang perlu dikritik karena begitu kontra dengan karakter
kartini. Yaitu gaya hidup hedonisme (terlalu memuja kemewahan dan kesenangan
hidup) dan konsumerisme. Gejala-gejala ini sudah terlihat sejak kaum perempuan
duduk di bangku SLTA, menjadi Mahasiswa dan setelah dewsa kelak. Agaknya
Kartini tetap senang melihat kaumnnya menjadi cantik, namun ia akan gerah bila
melihat para perempuan yang pemalas- malah bergerak, malas belajar, malas
bekerja, banyak menggantungkan hidup pada orang tua, kakak atau terlalu
menunggu komando dari suami. Karakter yang ideal dengan harapan Kartini- sesuai
dengan kodrat perempuan timur/ perempuan Indonesia adalah seperti karakter yang
terdapat dalam uraian singkat tentang Kartini tadi.
Bahwa Kartini tahu
dengan adat istiadat dan tidak memungut adat/budaya luar tanpa filter- adat yang menjunjung
tinggi etiket (tata krama berpakaian, berbicara, bersikap) tanpa harus memungut
gaya hidup yang glamour hingga lupa diri. Kartini takut dianggap sebagai anak
durhaka (maka ia tidak mau menentang orang tua) berarti ia bersikap bijaksana
dalam mengangkat harga diri.
Meskipun Kartini
menikah tapi ia tidak berhenti dalam belajar. Ia masih setia mengoleksi buku
(mengumpulkan buku-buku yang berkualitas) dan melakukan otodidak- belajar
mandiri atau belajar sepanjang hayat (long life education). Ia melakukan
korespondensi untuk bertukar fikiran dengan orang yang juga punya wawasan dan
malah membuka diri untuk menguasai bahasa Asing (Bahasa Belanda).
Cukup kontra dengan
kebanyakan perempuan sekarang yang hanya belajar hingga universitas atau selagi
masih bersekolah. Kemudian tidak pernah menyentuh buku lagi setelah dewasa atau
setelah berkeluarga sehingga fikirannya membeku atau mengristal. Maka cukup
berbanding lurus kalau ibu yang berhenti belajar menciptakan keluarga/anak-anak
yang juga kurang berhasil dalam bidang akademik atau kehidupan, dan lantas kemudian
menuduh sekolah sebagai biang kerok kegagalan.
Buku bacaan Kartini
bisa jadi buku level orang orang yang hidup di Eropa (Belanda) pada masa itu.
Sebab mayoritas kartini membaca buku terbitan Belanda dan menulis buat sahabatnya J.H Abendanon
juga dalam Bahasa Belanda. Ini berarti bahwa dalam usia seputar 20 tahun, tanpa
pergi Les Bahasa Inggris Kartini sudah
menjadikan Bahasa Internasional (Bahasa Belanda) sebagai bahasa kedua dalam
hidupnya. Sekali lagi bahwa cukup kontra dengan pemuda dan pemudi sekarang yang
belajar bahasa asing yang hanya sekedar mampu bercakap dan mengatakan “hello, how are you….. what is your name”,
namun tidak pernah membaca dan menamatkan buku-buku berskala internasional
dalam bahasa Inggris/ Perancis, bahasa Jepang atau (juga) bahasa Arab- sesuai
dengan bahasa yang mereka pelajari. Mereka menguasai bahasa asing cukup
sederhana saja, hanya sekedar mencari muka dan mencar nilai buat rapor dan
penyenang hati orang tua.
Karakter Kartini yang
lain adalah bahwa ia tidak egois dan mengutamakan diri (self-fish). Walau ia
cerdas namun ia dalam usianya yang muda sudah/ dan selalu mencerdaskan kaum
perempuan dengan gratis/ penuh ikhlas dalam ruangan yang sederhana- hanya ada
ruangan dengan bangku dan papan tulis- inilah disebut dengan sekolah kartini.
Saat itu ia menjadi perempuan ternama karena usahanya, namun ia tetap rendah
hati, dan tidak sombong.
Zaman begitu cepat
berlalu, produk teknologi dan ICT saling berpacu. Tayangan program media cetak
dan media elektronik dari berbagai stasiun televisi bukan membuat orang makin
kenal dan akrab dengan Kartini. Apalagi nama, ide dan pemikiran Kartini jarang
disinggung dan dikupas. Ini membuat
sosok Kartini nyaris terlupakan kecuali hanya sekedar nyanyian “Ibu kita
Kartini” yang dengan setia masih dilantun oleh anak-anak SD sambil berlarian
atau hanya sekedar upacara seremonial tiap tanggal 21 April untuk memperebutkan
kontes perempuan anggun dengan kebaya dan dan sanggul indah.
Terus terang pakaian
kebaya dan sanggul yang besar tidak ada artinya apabila karakter hidup
kontestan dan kaum perempuan yang lain sangat kontra dengan pribadi, prilaku
atau karkter Kartini. Sebelum Kartini nyaris terlupakan maka buru burulah
mencari biografi Kartini, temui hikmah darinya dan ikuti suri teladannya- jadikanlah
gaya hidup Kartini sebagai gaya hidup kaum perempuan Indonesia kembali.
D. Otodidak, Belajar Tanpa Memperoleh
Ijazah
Motivasi
saya untuk menulis tentang betapa pentingnya selalu “memiliki semangat belajar
yang kuat bagi generasi muda” semakin menggebu. Apalagi melihat fenomena
sekarang, anak anak, pelajar dan mahasiswa semakin lemah animo mereka buat
pergi ke perpustakaan untuk mendapatkan bacaan. Mereka perlu tahu bahwa buat
menjadi maju dan dihargai perlu memiliki ilmu dan pengalaman yang luas. Tidak
bisa memperoleh pendidikan di tempat favorite atau tersandung oleh factor
financial buat menuntut ilmu, itu semua tidak begitu masalah. Karena Otodidak
bisa menjadi solusi buat menjadi sukses.
Ketika sedang browsing di
internet, saya menemukan beberapa tokoh panutan yang semuanya sukses tanpa
mengandalkan ijazah mereka dan bahkan tidak pernah menyelesaikan sarjana
mereka. Yang menjadi kunci sukses mereka adalah ketrampilan dan keahlian mereka
serta semangat tidak menyerah disaat mereka jatuh kedalam kegagalan. Mereka
selalu melakukan otodidak atau melakukan self-learning (belajar mandiri) dalam
hidupnya. Penulis cantum kan tiga orang dalam karier yang berbeda, yaitu Andy
Lores Noya (Jurnalis), Adam Malik (Tokoh Politik) dan Andrie Wongso
(Pengusaha).
a) Andy Flores Noya
Karena kecintaannya
kepada dunia tulis-menulis sejak beliau kecil ditambah pula dengan kemampuannya
menggambar kartun dan karikatur mengantarkan dirinya menjadi wartawan cetak di
beberapa perusahaan ternama seperti majalah Tempo, Bisnis Indonesia dan
Matra.Sampai akhirnya Andy menjadi pemimpin redaksi Metro TV dan berhasil juga
menjadi pembawa acara terpopuler Kick Andy yang disiarkan di Metro TV. Acara
ini selalu menjadi sorotan publik dan disukai banyak orang karena memberikan
edukasi,pengalaman,dan riwayat hidup sesuai fakta.
Kalau melihat latar
belakang Andy yang adalah seorang teknik,kenapa dia bisa berhasil di lingkungan
yang berbeda yakni dikarenakan keseriusannya menggeluti bidang yang
disukai,dunia jurnalistik yang dijadikan sebagai jalan hidupnya. Karena itu
gelutilah dengan serius apa yang menjadi hobby atau kesukaan kita,tanpa melihat
latar belakang dan ijazah kita dan diiringi doa akan menjadi jalan sukses bagi
kita.
b) Adam Malik
Adam Malik Batubara
(Dilahirkan di Pematang Siantar,22 Juli 1917). beliau juga tidak kalah
fenomenal terutama sukses yang didapatkannya. Adam Malik dijuluki juga "si
kancil" ini lebih disebabkan karena kelincahan,kebebasan dan keaktifannya
dalam berbagai organisasi yang dijalaninya,sehingga membawa dirinya pernah
menjabat sebagai Menteri pada beberapa Departemen,seperti menteri Luar Negeri
dan juga jabatan tertingginya sebagai Wakil Presiden RI yang ketiga.
Kalau melihat
kesuksesannya memegang beberapa jabatan di pemerintahan mungkin kita berpikir
bahwa beliau adalah lulusan luar negeri,tapi siapa sangka pendidikan yang
beliau tempuh hanya lulusan sekelas SD yakni di Hollandsch Inlandsche School
(HIS) ,Madrasah dan ilmu secara otodidak. Akan tetapi semangat beliau untuk
sukses dan kemampuannya dalam berorganisasi dengan asas kebebabasan sehingga
melahirkan azas politik luar negeri "bebas-aktif" ketika beliau
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri.
Kalau kita renungkan
pendidikan yang ditempuh Adam Malik hanya HIS,Madrasah,dan otodidak masih
mungkinkah pada zaman sekarang ini tanpa pendidikan formal dapat menempuh
karier yang gemilang ? jawabannya mungkin saja karena ini kembali kepada
pribadi yang menjalani dan jangan takut untuk gagal, karena kegagalan adalah
awal kesuksesan, terus melangkah dan lihat kedepan.
c) Andrie Wongso
Tokoh selanjutnya
adalah Andrie Wongso, siapa sih dia ..? yang mempunyai gelar SDTT (Sekolah
Dasar Tidak Tamat), tetapi bisa menjadi the number one motivator di indonesia,
wooww...sungguh hebat bukan ijazah saja tidak punya tapi dia menjadi sangat
sukses seperti sekarang ini.
Kalau melihat
kesuksesannya sekarang itu adalah wajar karena merupakan bayaran dari
perjuangannya yang memilukan selama ini. Dia bukanlah berasal dari keluarga
berada melainkan dari seorang keluarga miskin dari malang bahkan di usianya ke
11 tahun (6 SD) dia terpaksa berhenti dari sekolah, dikarenakan sekolah
Tionghoa tempat dia bersekolah ditutup dan akhirnya ia menjual kue di pasar dan
toko. Tapi kondisi tadi tidak mematahkan semangatnya untuk menjadi orang sukses
dan tidak ada dibenaknya sedikit pun perasaan malu. Dengan sikap tegar dalam
menghadapi kemiskinan inilah yang membentuk pribadinya lebih kuat lagi terutama
disaat orang tuanya meninggal, ini menjadi pukulan yang berat bagi dirinya.
Berbagai pekerjaan
dijalaninya tanpa ada perasaan malu dalam dirinya sampai kuli disebuah toko
pernah dijalaninya semua dengan semangat untuk menggapai kesuksesan. Bukan
mustahil juga ada perasaan lelah bahkan jatuh akan tetapi semua itu dikalahkan
dengan semangat dan motivasi di dalam dirinya untuk meraih kesuksesan.
Hingga akhirnya ia
merintis usaha sebagai pengusaha pembuatan kartu ucapan, ini juga tidak
langsung berhasil karena banyak liku yang dilalui berbagai penolakan dan
hambatan menghampiri, tetapi semangatnya untuk sukses tidak penah hilang. Dari
awalnya dia merintis usahanya dari door to door akhirnya usahanya berhasil dan
sekarang siapa yang tidak kenal dengan perusahaannya yakni Harvest yang bergerak pada pembuatan
kartu ucapan motivasi ini. Semangat dan motivasi dirinya selama mengarungi
perjalanan yang sulit dituangkan ke dalam filosofi saat dia menyampaikan
training motivasi yakni " Success
is My Right ".
" Masa saya yang
SD tidak tamat saja bisa sukses,lha wong kalian yang sarjana,tamat SMA dan
lahir dari keluarga mampu , nggak sukses " begitu ucapan Pak Andrie saat
memberikan motivasi.
Maka berbahagialah orang yang miskin dan sekolah rendah tapi mempunyai
jiwa yang besar untuk berhasil jangan pernah menyerah... kegagalan adalah kunci
keberhasilan yang tertunda.