Masa Muda Yang Beruntung- Lucky Young Life
Oleh: Marjohan
Guru SMAN 3 Batusangkar
1. Orang Tua Dengan
Pengetahuan Yang Minim
Sudah
lama saya ingin menulis tentang pengalaman bagaimana mempelajari bahasa asing
yang banyak. Dalam hidup ini, saya sempat mempelajari banyak bahasa, seperti Bahasa
Jerman, Bahasa Spanyol, Bahasa Perancis, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Namun saat
saya berusia remaja, tidak banyak sarana belajar untuk mendukung sehingga
bahasa-bahasa yang saya pelajari belum terserap secara optimal. Bahasa Asing
yang telah menjadi bagian hidup saya adalah bahasa Inggris, Perancis dan Bahasa
Arab.
Itu semua saya pelajari
secara otodidak. Hal lain yang saya pelajari secara otodidak adalah kiat- kiat
untuk menjadi penulis. Jadinya saya sangat rajin membaca buku-buku biorafi
penulis. Nama- nama yang masih saya ingat adalah seperti Ernest Hemingway,
Hilman- penulis novel lupus, Arswendo Atmowiloto, Zakiah Darajat, Buya Hamka,
Zera Zetira, Muchtar Lubis, dll. Kenapa saya suka membaca biografi para penulis
? Karena seseorang yang ingin menguasai sebuah hobi atau karir, maka ia perlu
bercermin dengan orang orang yang telah sukses sebelumnya- yaitu melalui
membaca biografi mereka.
Sebelum saya
mengisahkan tentang perjalanan saya dalam menguasai berbagai bahasa asing, maka
saya ingin memaparkan sedikit tentang latar belakang keluarga sayai. Saya
terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang ilmu pengetahuan mereka sangat
minim.
Meskipun ayah saya
seorang prajurit polisi dan ibu hanya memperoleh pendidikan hingga kelas 3 SR
(sekolah Rakyat). Dengan demikian dalam mendidik anak mereka hanya sebatas
berjuang untuk mencari sesuap nasi buat memenuhi kebutuhan makan dan minum
keluarga. Kebutuhan keluarga yang mereka penuhi adalah kebutuhan sandang dan
pangan.
Banyak orang-orang yang
seusia saya yang waktu kecilnya- di sekitar tahun 1970-an dan 1980-an yang
bercerita bahwa mereka makan dengan lauknya adalah sebutir telur yang harus
dibagi enam atau dibagi empat. Dan kalau lagi menyantap hidangan maka tidak
boleh boros-boros dalam mengambil lauk pauknya. Memang kami diajar untuk hidup
sederhana dan bersahaja. Dan ini juga merupakan strategi hidup yang dilakoni
oleh banyak orang di Indonesia.
Orang tua saya, sebagai
mana banyak orang tua lainnya di negara ini, adalah orang tua yang memiliki
ilmu pengetahuan yang sangat terbatas. Mereka mungkin tidak mengerti bahwa
anak-anak perlu mengakses (memperoleh) pendidikan yang berkualitas, eksplorasi,
kesehatan tubuh yang prima dan hak-hak untuk bermain dan memenuhi rasa ingin
tahu setiap anak.
Tentu saja ini adalah
mimpi kalau kondisi orang tua juga serba terbatas- terbatas ilmu mereka, miskin
wawasan dan rendah ilmu pengetahuan mereka sehingga untuk memenuhi hak-hak anak
yang ideal tentu saja adalah sebuah isapan jempol. Memang kondisi ekonomi orang
tua saya saat itu berada di ambang miskin. Kami tinggal di rumah bedeng terbuat
dari papan dan dinding bamboo. Tentu saja kontrakannya berharga sangat murah.
Saya sering melihat ibu membayarkan kontrakan rumah hanya dengan beberapa liter
beras saja. Harga nominal sekarang mungkin sekitar Rp. 80 ribu hingga Rp. 100
ribu per bulan.
Saya kadang-kadang
merasa malu dengan kondisi rumah yang kami tempati yang terkesan sangat jauh
dari kelayakan. Saya sering menolak atau mencari-cari alas an agar teman-teman
di sekolah yang ekonomi dan rumah mereka lebih bagus untuk tidak berkunjung kev
rumah saya. Jadinya saya membatasi pergaulan karena didera oleh rasa rendah
diri.
Pernah suatu ketika
kebetulan teman sekolah saya berkunjung secara dadakan, tidak saya layani dan
saya malah menyembunyikan diri di bawah kolong rumah hingga ia berlalu. Atau ke
tika saya duduk di kelas satu SMP Negeri 1Payakumbuh, saya terserang penyakit
campak (measles) saya sengaja tidak memberi kabar ke sekolah. Dengan tujuan
agar guru dan teman-teman tidak datang buat membezuk saya. Saya jadi lega saat
para siswa dan guru mau membezuk saya pada hari yang ke tujuh, saya ternyata
sudah hadir di sekolah dengan wajah yang penuh bercak- bercak hitam yang
bertaburan di seluruh permukaan tubuh dan wajah saya.
Saya tidak mengerti
mengapa saya memendam inferior complex (rasa rendah diri) yang berlebihan saat
itu. Mungkin karena kedua orang tua tidak tahu dan tidak pernah mengajarkan
bahwa seseorang tidak perlu merasa rendah diri atas kekurangan harta dan
kemiskinan hidup yang kita derita. Karena orang bersosial tidak selalu
memandang harta, namun juga memandang fikiran yang bersih dan hati yang suci.
2.
Keluarga Kecil Versus Keluarga Besar
Saat saya kecil di
tahun 1970-an, gerakan KB atau keluarga berencana sedang gencar-gencarnya
dikampanyekan. Namun orang tua saya terlanjur memiliki banyak anak, anak mereka
semua berjumlah 9 orang. Namun yang diboyong oleh ayah saya ke Payakumbuh
sebanyak 6 orang. Yang 2 orang lagi- anak yang lebih tua tinggal di Lubuk
Alung, dititip kepada nenek, dan satu saudara saya meninggal saat berusia bayi.
Hidup dalam keluarga
besar saya rasa punya plus dan minus bagi pertumbuhan anak. Tidak ada
istilah pemanjaan pada anak dan juga tidak ada ibu yang memonopoli semua
pekerjaan rumah. Semua anggota keluarga- dan juga anak anak dilibatkan dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Ayah saya termasuk
pimpinan yang bertipe laissez-faire yaitu tidak mau ambil pusing apa yang kami
kerjakan. Yang kami tahu bahwa kerja ayah adalah buat mencarin uang. Jadi
setiap kali ayah pergi ke luar rumah itu berarti ayah pergi mencari uang. Jadinya
ibulah yang menjadi manajer tunggal dalam mengurus rumah tangga yang sederhana
itu.
Sebetulnya ibu saya
tidak tahu tentang ilmu mendidik dan ilmu parenting- nagaimana menjadi orang
tua yang baik. Karena ayah tidak mau tahu tentang urusan rumah dan ibu memiliki
tenaga dan tangan yang terbatas untuk mengurus rumah maka kami anak- anak yang lebih
besar diberi tugas (job description)
buat membantu ibu.
Abang saya, Suwirman, memperoleh
tanggung jawab untuk mengurus lampu petromak. Bila sore sudah larut maka ia
mulai menyalakan lampu petromak dan malam hari bila lampu bermasalah maka ia
bertanggung jawab untuk menghidupkan lagi.
Saat itu rumah kami
belum dialiri oleh jaringan listrik. Ia juga punya tanggung jawab untuk memarut
kelapa buat ibu setiap kali memasak gulai. Sementara kerja rumah buat saya
adalah mencuci piring dan menggiling cabe- hingga jari jemari saya sudah kebal
menahan panasnya sengatan cabe.
Disamping itu ibu
memberi saya kerja tambahan buat menggembalakan itik- melepas itik dan
menjemputnya bila hari telah sore. Di belakang rumah saya terbentang sawah
hingga ke kaki bukit. Dan saya sudah hafal dengan pohon-pohon dan puncak-puncak
bukit tersebut karena tiap hari terutama bila sore datang saya telah berada di
sawah buat menghalau itik-itik pulang ke kandangnya.
Namun bila itik-itik
lagi masa dalam masa kawin- pra-bertelur- maka mereka menjadi sedikit lebih
liar dan susah buat dikendalikan. Bila dikejut untuk berjalan menuju kandang, mereka
ada yang lari dan terbang. Sehingga itik yang pulang ke kandang jumlahnya
berkurang. Resikonya saya harus pasang ketabahan dan kesabaran menerima kemarahan
ibu karena kelalaian saya. Agar tidak dimarahi ibu karena kelalaian maka saya
harus mencari-cari suara itik yang kesasar agar bisa pulang ke kandang dan itu
bisa berlangsung hingga gelap malam.
Manfaat hidup dalam
keluarga besar yang saya rasa adalah adanya rasa kompetisi sesama saudara, dan
pembentukan karakter yang berani. Agaknya anak-anak dari keluarga besar tidak
ada yang berkarakter pemalu, karena sejak dari usia dini kita telah terbiasa
berekspresi. Juga kemampuan berkomunikasi anak-anak dari keluarga besar lebih
bagus dari keluarga kecil.
Keberanian untuk
menanggung resiko dan keberanian untuk mengungkapkan fikiran lebih terasa dalam
keluarga besar. Sebagaimana yang kami alami bahwa anak-anak dari keluarga besar
lebih agresif untuk berbuat dan lebih berani untuk mencoba. Memang anak-anak
lebih suka usil, ingin serba mencoba sehingga terkesan lebih lasak –suka coba coba atau lebih usil. Bila bersalah maka
kami rentan untuk diejek dan kami sudah kenyang dikritik dan dimarahi.
Dibanding dengan
keluarga kecil, maka anak-anak dari keluarga besar lebih kaya dengan pengalaman
hidup. Dalam keluarga saya, ibu lebih dominan sebagai pendidik, tentu saja
hanya sebatas memberi instruksi: tentang apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh. Kami tidak boleh mengganggu ketenangan orang lain, tidak boleh
berkelahi, tidak boleh mencuri dan melanggar norma social. Lebih lanjut ibu
tidak punya waktu buat mengawasi kami secara detil.
Dalam keterbatasan
ekonomi membuat orang tua tidak sanggup membelikan kami permainan, kecuali
hanya beberapa kali saja membelikan mobil-mobilan plastic yang harganya cukup
murah. Namun permainan yang berbekas dalam fikiran adalah permainan yang kami
peroleh dari menjelajah- atau bereksplorasi- di sawah di belakang rumah. Dari
sana kami mengenal jenis-jenis serangga dan yang cukup menantang saat kami main
perang-perangan dengan cara saling melemparkan lumpur ke tubuh saudara-saudara
kami hingga semua pakaian berlumuran lumpur. Takut kalau dimarahi oleh ibu maka
sebelum pulang kami mencuci pakaian dan membersihkan di selokan kecil.
Bereksplorasi lewat
berlarian, melompat, mendaki menurun di hamparan sawah hingga lading penduduk
membuat tubuh kami menjadi kuat. Karena tidak mempunyai uang jajan maka kami
minta izin buat memanjat pohon-pohon perawas, jambu, pohon cherry, hingga pohon
mangga milik tetangga. Kadang- kadang agar tetangga sudi memberi izin buat
memanjat pohon mereka yang sedang berbuah maka kami perlu dulu menyapa mereka
dan kalau perlu memberi bantuan atau sekedar mampir dan bersalaman dengan
mereka.
Anak-anak dari keluarga
besar terasa lebih memiliki kepekaan social. Yabagaimana tidak, interaksi yang
sangat intense telah terjadi di antara mereka, kemudian mereka merasa cukup
enteng untuk memberi sapaan buat tetangga dan orang-orang yang baru datang.
3.
Keluarga Kecil
Gerakan KB
(keluarga berencana) di negara kita terasa cukup berhasil. Pada umumnya orang
sudah tertarik buat memiliki dua orang anak. Dan kadang- kadang memiliki 3 atau
4 orang anak. Namun jumlah yang begini lebih sedikit populasinya menurut
pantauan saya.
Malah jauh di luar
negeri, di Eropa, sebagaimana yang diungkapkan oleh teman saya warga Perancis
yang bernama Anne Bedos, Louis Deharveng dan Francoise Brouquisse bahwa kalau di
negeri mereka satu keluarga cukup satu anak atau tanpanak. Itulah mengapa saya
menemui bahwa mayoritas teman-teman saya yang berasal dari luar negeri jarang
yang mempunyai anak. Saya tidak mau menanyakan tentang mengapa tidak mau
memiliki anak, karena itu termasuk privacy atau hak—hak pribadi mereka yang
taboo kalau ditanyakan.
Hal-hal taboo lainnya adalah menanyakan umur
mereka, gaji mereka dan pekerjaan mereka. Jadi percakapan yang lazim buat
permulaan dialog adalah tentang hal-hal yang umum. Seperti menanyakan tentang
negara mereka, tentang cuaca, dan tentang hal- hal umum lainnya. Percakapan
tentang hal pribadi bisa terjadi bila kita dan mereka sudah terasa lebih akrab
dan memperoleh izin dari mereka.
Anak-anak dari keluarga
kecil, sebagaimana yang terlihat sekarang, terlihat lebih sehat dan lebih
sejahtera. Kita tidak mendengar lagi bahwa anak- anak sekarang kalau makan
terpaksa lauk pauk, seperti telur harus dibagi empat atau di bagi dua. Kebutuhan gizi tubuh
anak-anak sekarang lebih baik dari generasi yang terlahir 30 tahun sebelumnya.
Malah akses pendidikan dan permainan anak-anak sekarang jauh lebih baik. Lantas
apakah anak-anak sekarang bakal lebih sukses ?
Orang tua zaman
sekarang telah memiliki ilmu pengetahuan yang lebih baik dari orang tua 30
tahun yang lalu. Sehingga orang tua zaman sekarang telah sadar untuk memenuhi
kebutuhan anak seperti kebutuhan “drink,
meal, clothing, affectionate and education”. Sekarang orang tua
berlomba-lomba buat menyekolahkan anak mereka ke sekolah favorite atau berlabel
unggulan. Mereka sadar agar anak mereka perlu memiliki score yang tinggi untuk
bidang studi yang masuk dalam UN (Ujian Nasional), seperti kimia, fisika,
biologi matematik, bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sosiologi, dll.
Jadinya orang tua juga
mendorong anaknya agar selepas belajar di sekolah agar juga pergi ke lembaga
Bimbel (Bimbingan Belajar) agar kelak anak mereka bisa sukses ujian dan kelak
bisa bisa kuliah di perguruan tinggi favorite di Pulau Jawa. Perguruan Tinggi
yang di pandang favorite sepanjang masalah adalah seperti UI (Universitas
Indonesia), ITB, UNPAD, UNDIP, dan UGM. Sementara jurusan yang sangat mereka
favoritekan adalah Kedokteran dan Jurusan Perminyakan. Mengapa ? Karena lewat
ke dua jurusan ini kelak uang akan mudah mengujur ke dalam kantong mereka.
Inilah realita
pendidikan kita di Indonesia. Tetap saja orang tua memiliki ilmu parenting yang kurang memadai. Memang
orang tua sekarang- yang cendrung memiliki sedikit jumlah anak- telah memberi
memberi mereka “love, attention and affection- cinta, perhatian dan kasih
sayang”. Namun anak- anak sekarang miskin dengan soft skill atau keterampilan
social.
Cukup banyak rumah
tangga sekarang tidak memiliki job description- pembagian tugas, dimana anak-
anak kurang dilibatkan dalam kegiatan di rumah. Anak-anak sekarang tidak
mengenal banyak seperti apa melakukan pekerjaan dasar di rumah seperti “mencuci
piring, mencuci gelas, mencuci pakaian, menyapu rumah, menyapu halaman, memasak
sayur, hingga mensetrika pakaian”. Anak anak hanya didorong buat belajar,
kursus, dan dibikin PR dan setelah itu anak terbiasa buat berpangku tangan.
Mereka tidak lagi
trampil seperti ayah dan ibu mereka dalam mengurus rumah. Miskonsepsi (salah
konsep) dalam mendidik memang berasal dari pemahaman parenting orang tua. Orang
tua yang memonopoli semua pekerjaan dan apalagi bagi keluarga yang memiliki
pembantu di rumah telah menjadikan anak- anak mereka sebagai tuan besar di
rumah, yang pintarnya hanya memberi perintah dan minta tolong.
Ternyata anak-anak yang
berambisi untuk memburu skor yang tinggi mampu kuliah di Perguruan Tinggi
favorite dan jurusan yang juga mereka favoritekan. Pada saat rekruitmen posisi
pekerjaan hanya melihat skor ujian tulis dan IPK kuliah yang tinggi maka mereka
cukup mampu menempati posisi tersebut. Namun rekruitmen job seeker telah
berubah, dan malah setelah pemerintah mencabut dan membatasi MoU (memorandum of
Understanding) penerimaan PNS maka para sarjana yang sekedar jago meraih skor
yang tinggi namun miskin dalam soft skill atau kepintaran social akan
terkatung-katung harapan sukses mereka sepanjang masa.
Memang benar bahwa pada
umumnya pelajar dan mahasiswa kita di Indonesia hanya sekedar jago untuk
memburu nilai kognitif. Setiap kali saya ikut dalam rekruitmen siswa baru- di
sekolah unggulan- dan saya ikut memberikan wawancara, maka hampir seratus
persen anak-anak yang cerdas tersebut hanya tertarik untuk menjadi dokter atau
kuliah di jurusan Perminyakan di ITB. Iniberarti bahwa ujung-ujungnya mereka
hanya tertarik menjadi bawahan atau menjadi anak buah di tempat yang mereka
anggap cukup bergengsi.
Sejak penerimaan PNS
(pegawai negeri sipil) telah dikurangi atau dihentikan oleh pemerintah maka
Perguruan Tinggi, temasuk Perguruan Tinggi Negeri favorite, memang tidak lagi
sebagai wadah penyedia tenaga kerja. Jadinya semua perguruan tinggi hanya
sebatas tempat pendewasaan cara berfikir seluruh mahasiswa yang nanti akan
dibuktikan oleh selembar ijazah. Jadi para calon sarjana yang berprinsip bahwa
Perguruan Tinggi adalah jalan toll buat memperoleh pekerjaan adalah sebuah
isapan jempol belaka.
Hanya pemuda yang
memiliki soft skill- nilai kecakapan hidup yang lebih mudah untuk mewujudkan
jadi diri mereka kelak. Sarjana yang memiliki keterampilan social dan kecakapan
vokasional akan berjaya dan memperoleh pekerjaan dan malah dalam menciptakan
lapangan pekerjaan baru karena memiliki semangat entrepreneurship
(kewirausahaan). Sementara para pemuda yang beasal dari keluarga kecil, yang
terbiasa serba dibantu oleh orang tua dan urusan mereka serba dimudahkan akan
memiliki pengalaman hidup yang minim dan orang lain tidak tertarik untuk
merekrut mereka sebagai partner kerja, tentu akan berdiri dalam deretan para
penganggur dan sebagai job-seeker
yang berkepanjangan.
Adalah fenomena bahwa
anak-anak yang pemalu dan dan miskin dalam ketemprilan social- social soft skill- sering lebih banyak
berasal dari keluarga kecil. Karena interaksi social dan interaksi personal
mereka lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga besar.
Pada sebuah unggulan
yang mana siswanya cukup pintar secara kognitif. Mereka selain belajar Bahasa
Inggris, juga belajar Bahasa Jepang. Dan mereka belajar teori- teori bahasa
Jepang serta mempelajari huruf-huruf Jepang seperti kanji, romanji, katagana
dan hiragana. Guru bahasa Jepang mereka ujian dan mereka memperoleh skor
sekitar 85 hingga 100. Sebuah skor yang cukup tinggi dan patut diacungkan
jempol.
Suatu ketika saya
berjumpa dengan dua orang wisatawan berkebangsaan Jepang, sebut saja nama
mereka Sho Shimada dan Sumitomo. Saya mengajak mereka untuk berbincang-bincang
dengan para siswa yang kebetulan berkumpul dalam sebuah aula. Shimada dan
Sumitomo memperkenalkan diri dan juga menjelaskan sesuatu tentang Jepang.
Setelah itu mereka mengajukan pertanyaan. Ternyata dari 70 orang siswa yang
rata rata memiliki skor bahasa Jepang di rapor mereka dengan angka sekitar 90,
namun tidak seorang pun yang berani menjawab atau memberi sepatah kata pun
respon dalam Bahasa Jepang.
Nilai 90 yang mereka
peroleh di rapor hanya menggambarkan sedikit teori tentang bahasa Jepang namun
belum lagi menggambarkan kecerdasan dan keberanian mereka. Inilah fenomena
siswa cerdas yang hanya sebatas “smart
book”, namun tidak punya nyali besar untuk mampu memaparkan kemampuan
mereka. Kemampuan untuk berani dalam berkomunikasi yang santun dan cerdas
kepada orang baru dan di tempat yang baru jarang terjadi di rumah.
Apa lagi dalam
deskripsi keluarga kecil sekarang, dimana anak hanya didukung buat belajar
semata dan kemudian dijejalkan dengan beban PR atau kegiatan bimbel, sehingga
mereka hampir tidak punya waktu buat mengikuti kegiatan social dan
mengekspresikan aktualisasi diri. Maka jadilah mereka sebagai remaja cerdas
yang penakut. Atau remaja yang crrdas tetapi memiliki pengalaman sosial yang
sangat minim.
Bukan berarti bahwa
orang tua yang memiliki sedikit lebih baik kualitas anak-anak mereka
dibandingkan orang tua yang memiliki anak-anak yang banyak. Juga bukan berarti
bahwa orang yang berasal dari keluarga besar jauh lebih berkualitas.
Agaknya orang tua yang
memiliki sedikit anak lebih memiliki kesempatan yang besar untuk melahirkan
anak-anak yang cerdas. Yaitu cerdas intelektualnya, spiritual dan emosionalnya.
Orang tua sendiri mutlak harus memiliki pengetahuan parenting yang memadai,
agar orang tua bisa menjadi orang tua yang bertanggung jawab dalam mendidik dan
membimbing keluarga mereka.
4.
Keluarga Kecil Berpeluang Lebih Sukses
Pada
umumnya keluarga di negara maju mengadopsi bentuk keluarga inti. Rumah mereka
dihuni oleh ayah, ibu dan anak. Juga pada umumnya orang-orang di negara maju
memiliki sedikit anak. Satu atau dua anak, malah juga banyak yang tidak memilki
anak.
Hidup
dalam keluarga kecil bukan berarti anak-anak mereka memperoleh pemanjaan. Semua
orang tua di sana telah memilki ilmu parenting,
dan mereka cukup cerdas untuk mendidik anak untuk menjadi manusia yang cerdas
dan bertanggung jawab.
Di
dunia ini agaknya ada sepuluh negara terbaik dalam kualitas pendidikannya- The best top ten nations in education
quality- yaitu: Amerika Serikat, Polandia, Jerman, Perancis, Israel,
Swedia, England, Korea Selatan, Jepang dan Kanada. Negera-negara tersebut bisa
meraih predikat sebagai negara terbaik untuk kategori pendidikan karena
kemajuan kualitas SDM masyarakatnya, mereka punya wawasan dan pengetahuan yang
luas. Kondisi ini terbentuk karena faktor budaya membaca mereka yang sangat
kuat. Juga karena kualitas Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan mereka yang
sangat bagus. Kemudian, kaum perempuan mereka, sebagai pembentuk kualitas
keluarga, juga sangat menentukan. Inilah komponen dasar untuk menilai kualitas
pendidikan bangsa-bangsa di dunia.
Dari
10 negara terbaik pendidikannya, saya terkesan dengan kemajuan pendidikan
Amerika Serikat, Jepang dan Perancis. Alasannya adalah karena Amerika Serikat sebagai
sebuah “Melting Pot” atau wadah besar
sebagai tempat meleburnya berbagai ras, agama dan kebudayaan berbagai bangsa. Kalau
Jepang, karena orang-orangnya yang berkarakter serius dan bersungguh-sungguh. Dan
negara Perancis, sebagai negara pelopor untuk “egalite, fraternite et liberte” atau persamaan, persaudaraan dan
kebebasan hidup. Pembahasan lebih detail adalah sebagai berikut:
a) Amerika Serikat
terkenal sebagai negara super power
yang memang superior pada segala bidang. Yang mencolok adalah pada bidang
pertahanan, tekhnologi dan ekonomi. Di sekolah Amerika Serikat rasa ingin tahun
dan sikap ilmiah siswa dirangsang melalui gaya belajar “learning by doing- belajar dengan cara berbuat”. Pada pelajaran
sains, lab-nya pasti ramai.
Negara Amerika adalah
negara sekuler, pendidikan agama diserahkan ke orang tua. Namun bukan berarti
mereka tidak belajar tentang akhlak atau etiket. Di sekolah sana pendidikan
budi pekerti dan etiket diberikan dalam bentuk kegiatan amal atau charity. Mereka beraktifitas untuk
masyarakat yang dikelola oleh Osis dan guru/sekolah. Jadi mereka mengerti
tentang etiket, bagaimana menghargai orang, menolong dan berbahasa yang sopan
melalui praktek nyata. Sejak kecil secara langsung mereka telah tahu tentang
apa yang boleh dan yang tidak boleh dalam masyarakat.
Sekolah dan rumah
(karena orang tua mereka mengerti tentang parenting), mereka selalu
memperkenalkan pada anak tentang: how to
dine, telephone manner, on correspondence, be gracious pada orang lain.
Setiap anak harus diberi tahu bahwa shoes
are important. Mereka tidak membiasakan anak untuk bertelanjang kaki, be open to the new food, tahu tentang
bertanya yang baik, santun saat berada di meja makan, mereka musti bisa
bersikap ramah dan mereka musti terbiasa mengucapkan thanks.
b) Jepang, konsep
pendidikannya adalah berdasarkan moral atau akhlak. Ternyata konsep akhlaknya
juga sesuai dengan ajaran Islam, karena akhlak yang baik sifatnya sangat
universal. Di awal tahun pembelajaran, orang tua diundang ke sekolah. Mereka
diajak ke dalam kelas buat melihat langsung praktek pendidikan anak mereka. Semua
mata pelajaran di sekolah Jepang juga berdasarkan moral. Sejak dari usia dini
dan di SD mereka sudah diajar untuk punya rasa malu, dan punya harga diri.
Mereka bukan diajar bersekolah untuk bisa berlomba menjadi kaya.
Ada 4 bentuk dari harga
diri yaitu: regarding self,
menghargai orang lain- relation to other,
menghargai lingkungan dan keindahan- relation
to nature and sublime, dan menghargai komunikasi dan kelompok- relation to group and society. Setiap
anak sekolah harus memahami dan mempraktekan konsep ini dan sehingga orang
Jepang jadi suka saling menghagai.
Guru/ sekolah juga
menugaskan agar anak di rumah diberi tugas untuk menyikat WC, menyapu, mengepel
lantai, jadi bukan harus dibebaskan- tidak terlibat- untuk ikut merapikan
rumah. Mereka diajakan untuk tahu arti bertanggung jawab, bukan diajar buat
bersenang- senang atau menjadi tuan besar. Ya akibatnya anak jadi menghargai
orang lain dan hidup bersahaja, bukan hidup dengan tinggi hati. Anak-anak
Jepang tidak ada yang membawa HP ke sekolah. Mereka tidak terbiasa berbicara
tentang materi, karena itu adalah memalukan dan dianggap rendah di sana.
Di sekolah anak Jepang
juga punya jadwal piket. Juga membersihkan kelas, lantai menyikat WC dan
memilih sampah- kalau ada. Mereka makan siang di sekolah dan saling melayani
teman- teman mereka. Setelah makan langsung ruangan dirapikan kembali. Praktek pendidikan
seperti ini berlaku untuk semua sekolah, bukan hanya berlaku di sekolah unggul
saja.
Anak Jepang tidak boleh
memakai kendaraan. Itu untuk alasan keselamatan juga untuk kebersihan udara dan
lingkungan. Dan Jepang sebagai negara modern tetap memberikan pelajaran Home Economy, dimana anak-anak diajar
melakukan simple cooking dan sewing. Bagaimana dengan sekolah negara
kita, ya buru-buru menghapus pelajaran life
skill ini, hingga anak-anak kita tidak tahu cara memasak dan menjahit,
paling kurang membetulkan kancing baju yang sudah terlepas. Seharusnya ahli
pendidik kita kembali membetulkan praktek pengajaran yang salah itu lagi.
Dalam PBM- dalam kelas-
anak tidak duduk berderet. Mereka duduk dalam grup kecil. Dalam kegiatan
tahunan, sekolah melakukan acara jalan-jalan ke object bersejarah, ke festival
dan bereksplorasi. Melakukan kegiatan ini untuk beberapa hari dan setelah itu
membuat project- laporan perjalanna.
Kegiatan ekskul juga
harus diikuti oleh semua siswa. Dan ada beberapa klub ekskul pilihan seperti sport team, music, art group, dan science club. Club sport yang mereka
ikuti, mereka ikuti dengan serius sehingga melalui ekskul ini bermunculan para
atlit kelas nasional dan kelas internasional.
c) Perancis, bumi
diberi Perancis juga bisa disebut dengan bumi Air-Bus, karena pesawat udara Air
Bus dibuat di negara ini. Orang Perancis sangat patriotik dengan negara dan
bangsa mereka. Mereka hanya menggunakan bahasa Perancis dan suka menggunakan
produk Perancis. Film Hollywood dan lagu dari Korea Pop tidak begitu terkenal
di sana.
Beda dengan orang di
Malaysia yang senang dan bangga memakai bahasa bangsa penjajah, sehingga
kemampuan bahasa Malaysia mereka terabaikan. Demikian juga dengan sikap orang
kita yang gemar mengkonsumsi produk asing dan label asing ketimbang produk dan
label dari dalam negeri sendiri.
Umumnya orang tua
Perancis lebih tertarik menyekolahkan anak mereka pada Grade Ecole, dari pada ke Universitas yang mana mahasiswanya kurang
mantap penguasaan life skill mereka. Grande Ecole adalah semacam Sekolah
Tinggi yang jelas arahnya setelah menamatkan pendidikan.
Ada beberapa Grande Ecole, seperti Ecole Polythechnique, Ecole National
d’administration, dan Ecole Normal
Superirur. Orang Perancis sadar betul bahwa pendidikan itu adalah
investasi. Maka setiap orang punya semangat yang kuat dalam belajar di sekolah.
Kalau lagi dalam
belajar, orang Perancis menganggap bahwa merekalagi sedang bekerja. Pas deranger moi, Je suis en travailler-
mohon saya nggak diganggu soalnya neh lagi bekerja (lagi belajar).
Sekali lagi bahwa di
sana, pendidikan dianggap sebagai investasi. Jadi semakin tinggi pendidikan
seseorang semakin luas kemungkinan ia bisa bikin peluang kerja. Sebaliknya
pendidikan kita cenderung berorientasi buat cari uang: “Saya ingin kuliah
dokter, saya ingin kuliah di perminyakan karena masa depannya cerah dan lebih
mudah buat mendapatkan uang”. Apakah fenomena betul atau salah, maka tentu
andalah yang lebih tahu.